Lidia berpegangan pada bangkunya. "Ini tidak mungkin," desisnya geram.
"Lid, kok malah diam?" tanya Mita.Lidia mendadak berdiri dan tanpa mempedulikan teriakan Mita, Lidia itu berlari keluar kelas.Beberapa murid yang berdiri di kanan kiri sisi koridor menatap Lidia. Sebagian tersenyum sinis. Sebagian menyorakinya."Wah, ada pelakor junior nih. Woy Mbak, kalau mau jadi pelakor jangan ke sekolah dong. Noh, ke salon dan spa untuk perawatan, biar tetap wangi dan rapet!" seru salah seorang siswi yang iri oleh Lidia.Lidia yang memang cantik dan seksi dan merupakan anak angkat orang kaya membuat beberapa temannya iri. Apalagi Lidia juga termasuk pemilih dalam berteman.Lidia berlari ke dalam toilet perempuan dan masuk ke dalamnya. Dia meraih ponsel dengan tangan gemetar dan membuka akun sosial media berlogo F miliknya.Dan banyak sekali inbok yang masuk ke akun nya bersamaan dengan banyak japri yang diterima di w******p nya."Astaga! Sial*n betul Tante Hesti! Berani-beraninya mengingkari janji untuk tidak menyebarkan videoku. Tapi kenapa di akun Tante Hesti enggak ada postingan videoku ya? Jangan-jangan Tante Hesti bikin akun baru dan menyebarkan video ini. Hal ini tidak dapat dibiarkan!"Lidia memencet nomor telepon Adi. "CK, sial! Papa nggak mau jawab telepon ku! Kemana sih?"Saat Lidia hendak menekan nomor Adi lagi, mendadak sepasang tangan terulur dari pintu atas toilet dengan membawa ember berisi air bekas cuci piring dari kantin lalu mengguyurkannya pada Lidia.Byur!!!"Aaargh! Sial!"Lidia menjerit dan mengumpat saat rambut dan seragamnya kotor dan berbau."Heh, sial*n! Siapa yang berani menyiram aku? Kurang aj*r!" seru Hesti sambil berusaha membersihkan baju dan rambutnya yang lengket dan bau."Hahahaha! Rasain pelakor. Bikin malu sekolah saja!"Terdengar suara tawa berpadu dengan suara cekikikan di luar kamar mandi. Disusul oleh suara langkah kaki yang menjauh dari kamar mandi.Lidia menggeram dan segera keluar dari kamar mandi dengan mengomel panjang pendek.Dia mengawasi sekeliling toilet yang sepi lalu segera membasuh wajah, rambut dan tangannya yang terkena air cucian piring."Awas saja kalau aku tahu siapa yang melakukan hal ini padaku! Aku akan membalasnya tanpa ampun!"Tepat saat Lidia selesai membasuh rambutnya, mendadak bel sekolah berbunyi nyaring. Disusul suara dari pengeras suara yang menyuruh pada siswa dan siswi sekolah untuk segera memasuki ruang ujian.Lidia dengan langkah gontai memasuki kelas. Beberapa murid berbisik dan tertawa melihat Lidia yang basah kuyup dan kotor."Jangan berisik! Kertas ujiannya akan saya bagikan sekarang!" seru seorang guru berjilbab dan mulai membuka amplop berisi kertas soal yang dibawanya. Suasana kelas mendadak hening.Guru tersebut mulai membagikan soal dan murid paling depan menyalurkan nya hingga tempat duduk Lidia yang paling belakang."Semua sudah dapat soalnya? Kerjakan mulai dari sekarang. Kalau ada yang tidak paham, bisa bertanya langsung pada saya!""Permisi!"Saat semua siswa mulai menekuni soal di hadapannya, kepala sekolah masuk ke dalam kelas tersebut."Yang namanya Lidia Daniela harap ikut saya ke kantor!"Semua mata sontak memandang ke arah Lidia. Lidia dengan hati berdebar berdiri dan mengikuti kepala sekolahnya keluar kelas."Kamu benar-benar mencoreng nama sekolah kita! Lihat video yang beredar sekarang. Benar-benar memalukan!"Lidia hanya bisa tertunduk di depan kepala sekolah, guru Agama dan guru BP."Ma-maaf Pak. Sa-saya khilaf!"Kepala sekolahnya menatap tajam pada Lidia."Sayang sekali, kalau murid terjerat masalah amoral di sekolah ini, kami tidak dapat mentolerir nya. Hari ini kamu tidak usah ikut ujian karena kamu saya nyatakan telah dikeluarkan dari sekolah."Lidia meradang tapi nyalinya menciut saat berhadapan dengan tiga orang dewasa."Pak ini tidak adil. Saya berhak mengajukan pembelaan. Lagipula saya tinggal mengikuti ujian akhir sekolah saja lalu lulus. Saya tidak mungkin berhenti di tengah jalan," sahut Lidia menghiba."Tidak bisa. Dari awal masuk ke sekolah ini, peraturan sudah dijelaskan bahwa semua perbuatan yang berkaitan dengan kriminal, narkoba dan asusila akan dikeluarkan.""Tolong panggilkan orang tua saya!""Maksud kamu Pak Adi? Orang tua angkat kamu? Baik pak Adi, apalagi Bu Hesti tidak ada yang mau menanggung nasib kamu. Kami sudah menghubungi mereka, tapi tidak ada respon.""Kalau begitu tolong hubungi orang tua kandung saya, Pak," sahut Lidia dengan memelas."Oh, tidak bisa. Dari awal masuk ke sekolah ini, wali kamu Pak Adi dan Bu Hesti. Yang bertanggung jawab dan bertanda tangan dalam penerimaan rapor tiap semester juga mereka. Tidak bisa diwakilkan dalam hal seperti ini."Lidia hanya bisa menghela nafas dan terdiam mendengar penjelasan gurunya. Pupuslah sudah harapannya untuk lulus SMA tanpa masalah.***Flash back off:"Sudah puas kamu, Te? Gara-gara kamu, aku tidak dapat mengikuti ujian akhir sekolah dan langsung di DO!" seru Lidia melabrak Hesti seraya menuding wajah mantan ibu angkatnya."Hei, yang sopan ya. Kenapa kamu menerobos rumah orang sembarangan? Aku tidak melakukan apapun. Jangan sembarangan memfitnah!""Jangan banyak omong. Gara-gara Tante juga aku dibully dan dikeluarkan dari sekolah. Sekarang Tante harus tanggung jawab! Aku tidak mau tahu, Tante harus bisa membuat klarifikasi untuk membersihkan namaku atau aku akan melaporkan Tante ke kantor polisi."Hesti tersenyum dan menyeringai ke arah Lidia. Disilangkannya posisi kakinya dengan ekspresi menantang sang mantan anak."Kamu kira kamu bisa melaporkan saya ke polisi? Atas tuduhan apa? Oh ya, apa kamu punya bukti dan saksi untuk melaporkan saya?"Lidia terhenyak saat mendengar pertanyaan dari Hesti."Atau kalau memang kamu mau melaporkan saya, silakan saja. Tapi asal kamu tahu jangan-jangan malah kamu yang ditangkap polisi karena berzina dengan suami orang. Ada pasalnya lo," ucap Hesti membuat nyali Lidia semakin menciut.Next?Tamu lelaki itu tersenyum dan berkata, "Saya kurir, Bu. Hendak mengantarkan buket bunga."Hesti memandangi sekeliling ruang tamu nya dengan terheran-heran. Masalahnya tidak ada satupun buket bunga ada terlihat di ruangan itu. "Buket bunga? Dimana?"Kurir itu tersenyum. "Buketnya besar. Ada di dalam mobil kami. Sebentar saya ambil dulu."Lelaki itu tanpa menunggu persetujuan Hesti keluar dari ruang tamunya dan menuju ke halaman, tempat mobilnya terparkir. Lalu beberapa saat kemudian kembali ke ruang tamu dengan seorang temannya."Ini Bu."Lelaki itu menyerahkan sebuah standing buket bunga besar dengan isi mawar merah segar, uang seratus ribu rupiah berlembar-lembar, dan beberapa batang coklat silverqueen. Berbungkus kertas cellophane berwarna hitam dan putih bening. Dan menggunakan penyangga kayu. Mata Hesti membulat melihat buket bunga yang dibawa oleh kedua kurir tersebut. "Siapa yang mengirim ini?" tanya Hesti dengan rasa yang masih tercengang. "Ada dalam kertas pengirim di dala
Hesti dan Narendra serentak menoleh dan terkejut melihat kedatangan Adi. "Kamu?!""Iya aku. Kenapa? Kalian kaget?" tanya Adi dengan tertatih berjalan mendekat ke arah Hesti dan Narendra."Kamu ngapain ke sini Mas?" tanya Hesti. "Aku kangen dengan Verico. Memang kenapa? Aku kan ayah kandungnya, apa tidak boleh aku menemuinya?" tanya Adi ketus.Hesti dan Narendra saling berpandangan. "Halo Pa? Papa darimana?" tanya Verico mendekat ke arah Adi."Dari rumah saja. Kamu mau ikut Papa ke rumah Papa?" tanya Adi penuh harap. Sementara Hesti terlihat keberatan tapi menahan diri untuk tidak mengucapkan sepatah katapun. Verico menggeleng kan kepalanya dengan cepat. Lalu beralih mendekati Hesti. "Verico di sini saja sama Mama dan Eyang," tukas bocah lelaki itu sambil memeluk lengan Mamanya. Adi terlihat berdecak kesal. Tapi tanpa putus asa, dia terus berusaha merayu Verico untuk ikut dengannya. "Kenapa kamu tidak mau, Nak? Di sana kan ada Eyang juga? Ada Papa juga. Apa selama ini Mama meng
"Bu Ayu. Bu Ayu ini kan, ibunya Lidia?" tanya Mami Adi seraya menunjuk kan ponsel Adi pada sang suami.Papi Adi mengangguk. "Coba angkat aja telepon nya. Barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan oleh ibunya Lidia."Mami Adi menoleh pada Anaknya. "Gimana, Di? Boleh kah Mami terima telepon nya?"Adi terlihat berpikir sejenak. "Oke. Boleh, Mi.""Halo," sapa Mami Adi setelah menekan tombol hijau. "Halo. Adi nya ada? Saya ingin meminta tolong. Ini berkaitan dengan Lidia," sahut suara Ibu Lidia panik. Mami Adi melihat ke arah anaknya. Adi mengangguk. Mami Adi lantas menekan tombol loud speaker lalu mendekatkan nya ke arah Adi yang sedang berbaring. "Halo, Adi. Tolong Lidia. Lidia dua Minggu lagi menghadapi persidangan.""Lalu kenapa?" tanya Adi aduh tak acuh. "Loh, kok tanya kenapa sih? Bantuin dong Nak Adi, kamu kan calon suami Lidia."Adi nyaris tertawa mendengar perkataan ibu Lidia. Tapi rasa nyeri setelah dioperasi dan perasaan kaget pasca mengetahui bahwa dirinya mengalam
Dan detik berikutnya, Adipun terguling jatuh dari dua puluh lima anak tangga!!!Hesti dan Narendra tak kalah terkejutnya saat melihat Adi jatuh terguling. "Astaghfirullah, Mas Adi!" seru Hesti berlari mendekat ke tangga."Hes, hati-hati! Kamu memakai high heels!" seru Narendra. Ketiga asisten Narendra yang sedang mengejar Adi juga berlarian turun dari tangga. Adi yang terjatuh terguling sampai di tangga paling bawah mendarat dengan telentang. Ada cairan kental berwarna merah saat Hesti dan yang lainnya sampai di dekat tubuh Adi. "Hesti, darah! Apa kita harus membawa Adi ke rumah sakit sekarang?" tanya Narendra yang berjongkok di samping tubuh temannya. Hesti menghela nafas panjang. Dia sering bertemu dengan pasien yang mengalami luka lebih parah daripada Adi. Tapi saat melihat kondisi mantan suaminya seperti ini, apalagi setelah insiden di aula tadi, mau tidak mau jantung nya berdebar lebih kencang juga. "Jangan, biar aku telepon ambulance saja. Ada perdarahan di otaknya. Aku j
Flash back On :"Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur? Sebentar lagi kan ulang tahun show room kamu? Kenapa malah sedih?" tanya Mami Narendra sambil menyentuh bahu anaknya saat melihat Narendra sedang duduk sendiri di kursi taman belakang rumahnya. Narendra menoleh dan tampak Maminya sedang tersenyum. Tapi di matanya tersirat rasa cemas yang tidak bisa disembunyikan.Lelaki itu ikut tersenyum dan menyentuh tangan sang Ibu yang berada di atas bahunya. Lalu menarik sang ibu untuk duduk di sebelah nya. "Rendra ingin tiduran sejenak di pangkuan Ibu," tutur Rendra lirih sambil meletakkan kepalanya di paha ibunya. Ibunya menghela nafas. "Ada masalah apa? Kenapa sampai membuat kamu tidak bisa tidur?" tanya Ibunya sambil mengelus rambut sang anak. "Lah Mami juga, kenapa belum tidur?""Wah, anak ini, ditanya kok nanya balik. Ibu belum tidur karena rindu pada mendiang ayah kamu.""Hm, sama. Hanya aku juga sedang merindukan seseorang yang masih hidup.""Hesti kan?" tebak Mami Rendra. Rendra men
Adi tertegun melihat Verico yang menghambur ke pelukan Narendra. Ada rasa iri yang menusuk di dalam hatinya. "Verico Sayang, kenapa kamu lebih memilih untuk memeluk Om Narendra?! Kenapa kamu tidak memilih memeluk Papa? Papa juga rindu sama kamu," ujar Adi sambil merentangkan kedua tangannya. Meminta pelukan pada sang anak. "Enggak mau. Papa pernah membuat Mama menangis dan sekarang Papa sudah membuat Om Rendra terluka. Verico nggak mau sama Papa!" seru Verico sambil mengeratkan pelukan pada Rendra.Rendra merasakan bibirnya berkedut nyeri setelah mendapat bogem mentah dari Adi. Tapi lelaki itu menyunggingkan senyumnya. 'Kamu terlalu mudah emosi, Di. Sekarang kamu lihat kan bahkan anak kamu pun menjauhi kamu,' bisik Narendra dalam hati. Adi mengepalkan tangannya. "Verico, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Om Rendra itu jahat. Dia punya niat tidak baik pada mu dan Mama.""Adi."Terdengar suara Papi Hesti memanggil nama mantan menantunya. Adi menoleh. "Pi, apa Papi juga akan me