Dengan sisa tenaganya ia meringsut mundur kebelakang. Darahnya membasahi lantai sepanjang ia meringsut. "Amm.. ammpun, gue hanya di perintah", katanya ketakutan. "Arggghhhhh", Teriaknya lagi begitu kakinya yang patah di injak oleh Awan. Dan blaammmmm Sebuah pukulan keras menghantam kepalanya dan membuat ia langsung pingsan seketika. Puas sampai di situ!, ternyata tidak. Awan langsung menghajar semua anak – anak geng motor yang masih bergerak dengan sadisnya sampai tidak ada satupun lagi yang bergerak. Ruangan itu seperti ruang penjagalan saja, darah berceceran dimana – mana. Tapi Awan seperti tidak puas, yang mash pingsan juga dihajarnya sampai mereka tersadar paksa dan dihajar lagi, ia tidak seperti Awan yang biasanya, karena yang menguasainya saat ini adalah emosi puncaknya, yang haus akan darah. "Bajingaann", teriak Bosky orang suruhan Joe ketika baru masuk kedalam ruangan. Ia memandang semua orang yang tergeletak diatas lantai dengan penuh luka, dan di depan matanya sendir
"Awaann tolongin Reenn...", teriak wanita tersebut lirih.Kenapa ia memanggil namaku ? apa ia mengenalku ? R-e-n. Hah! ia adalah Renata. Aku kan kesini mau menolongnya. Aku melangkah gontai kearah Ren tanpa memikirkan semua yang ada di sekitarku."Kenapa kaliam diam saja! Cepat Bunuh dia!" teriak Bagas pada anak buahnya.Bughhhh bughh bummmmPukulan silih berganti masuk ke tubuhku. Tapi!, lagi – lagi aku tidak merasakan sakit sama sekali."Tidaaakk Awaann, jangan! hentikaann", terdengar teriakan Ren penuh duka.Kenapa ia berteriak seperti itu ? kenapa Ren menangis ? apa karena orang – orang yang menyerangku ini ? bangsat, kalian berani membuat Ren menangis.BummmmAku melayangkan sebuah pukulan kuat pada orang yang menyerangku.Kaget dengan serangan balasanku secara tiba – tiba, membuat yang lainnya terpana. Namun dengan cepat aku melayangkan pukulan ke arah teman di sebelahnya.BughhhhhKepalanya sampai berputar kearah kiri karena tinju kananku.Bumm bummmAku menghajar dua teman lain
Aku melihat ke arah Renata, tampak wajahnya yang pias dan ketakutan melihat ke arahku, astaga apa yang telah kulakukan ?, pikirku cemas. Aku melihat kesekeliling ruangan, tampak Bowie dan lima orang lainnya terbaring di lantai dengan kondisi yang menggenaskan, darah berceceran dimana – mana. Apa ini semua aku yang melakukannya ?, sesalku. Aku merasa seperti dejavu, terakhir aku kehilangan kuasa diri begini saat menyelamatkan Annisa ketika akan di perkosa waktu itu. Tapi, dulu ada kakek yang datang tepat waktu, sehingga aku tidak sampai membunuh orang waktu itu. "ARRRGGGHHHHHHH...", teriakku coba mengambil alih kesadaran. Belum puas, aku melampiaskan seluruh emosi tersisa dengan pukulan kuat kearah dinding. Bruaakkkkkkk Dinding ruangan tersebut sampai berlubang. Aku merasa lega, perlahan aku bisa menguasai kembali kesadaranku sepenuhnya. Aku mendekati Ren, dia seperti ketakutan ketika aku mendekatinya. Perasaanku sangat hancur melihat kondisi Ren seperti itu, pakaiannya nyaris ter
POV Awan Aku berada di tengah – tengah kegelapan, rasanya lumayan lama aku terbaring di suatu tempat yang lumayan keras dan sedikit basah. "Dimana aku ?", kataku pelan sambil mengerjap – ngerjapkan mata melihat ke sekeliling. Aku berada di tengah – tengah hutan. Terdengar suara malam di seantero hutan. Mulai dari suara khas burung hantu, kumbang malam, bahkan dari kejauhan terdengar ada lolongan suara serigala melolong tinggi. Astaga, aku baru ingat. Ini adalah memory ketika aku akan menyelesaikan latihan yang diberikan oleh Angku. (Angku=kakek) saat usiaku baru menginjak 16 tahun. Dalam sejarah keluarga besarku, ketika seorang anak laki – laki genap berusia 18 tahun, maka ia wajib melewati sebuah ujian tapa dan tarung di hutan larangan. Namun entah kenapa saat usiaku baru 16 tahun, Angku memaksaku untuk menghadapi ujian ini. Angku berfirasat kalau usianya sudah tidak akan lama lagi, sehingga dia mengajarkan semua yang dia bisa. Sebenarnya sangat besar resikonya dalam menghadapi uji
POV Renata. Lama kupandangi wajah Awan. Tubuhnya penuh luka demi menyelamatkanku. Hari ini, tepat 4 hari sudah setelah kejadian naas itu, kejadian yang hampir merenggut kehormatanku. Masih lekat diingatanku, ketika Bowie dan komplotan nya menculikku dengan paksa saat berada di depan sekolah. Suatu hal yang tidak kuduga sama sekali, kalau Bowie bisa berbuat senekat itu. Akibat kenekatannya itu, hampir saja merenggut kehormatanku dan mencelakai orang yang sangat kusayangi. Saat menegangkan itu, aku hanya teringat akan satu nama, Awan!. Aku membayangkan sebuah hal buruk yang benar – benar akan membuatku malu seumur hidupku dan yang paling kutakutkan, kalau aku tidak akan sanggup lagi menatap wajah Awanku. Dan di saat genting – genting itu, aku hanya bisa berteriak di dalam hati, Awan, tolong selamatkan aku. Entah karena doaku atau memang takdir yang masih berpihak padaku, di saat – saat kritis tersebut. Awan benar – benar datang menyelamatkanku, di saat aku benar – benar putus asa denga
Keesokan harinya pasca kejadian, kuperhatikan Awan masih saja belum sadar dari pingsannya. Entah apa yang terjadi dengannya di alam bawah sadarnya, walau ia seperti orang tertidur, tapi sesekali kuperhatikan ia tampak gelisah seperti orang yang sedang mengalami mimpi buruk. Beberapa kali kucoba untuk mebangunkannya, tapi sampai saat ini ia masih belum juga sadar. Om Joe menepati janjinya, pagi ini ia juga datang menjenguk Awan. Tidak hanyak menjenguk, mungkin lebih tepatnya mengobati Awan. Karena pagi ini kuperhatikan ia mengoleskan sebuah cairan, entah apa. Kata om Joe itu adalah obat untuk mengobati luka luar dan dalam. Dan memang jika kuperhatikan, beberapa luka luar di tubuh Awan tampak cepat mengering. Sepertinya Om Joe sangat berpengalaman dalam mengobati luka luar seperti apa yang di derita oleh Awan saat ini. Om Joe hanya sebentar mampir, tidak lama setelah kepergian om Joe banyak dari teman – teman sekolah serta beberapa orang guru yang mampir menjenggukku. Menurut pihak sek
Setelah kepergian teman – temanku, aku naik kelantai atas. Rencananya mau melihat Awan terlebih dahulu, tapi baru kakiku menginjak tangga paling atas, kembali bel pintu depan kembali berbunyi. Loh, kok balik lagi, apa ada yang ketinggalan ya. pikirku heran, karena kukira teman – temanku kembali. "Loh, mamah ?", ucapku kaget begitu membuka pintu, ternyata mamah yang datang. "Hmnn anak gadis mamah", kata mamah sambil memelukku. Kami berpelukkan beberapa saat. "Loh, papah sama Ibu kok gak pulang mah ?", tanyaku heran. Baru kusadari hanya Mama yang datang seorang diri. "Hmnn, kebiasaan!. Mama datang bukannya di layani dulu, malah ditanya – tanya", kata Mama sambil melangkah ke dalam rumah. "Ihh mama mah gitu", kataku manja sambil mengikuti langkah Mama keruang tamu. Begitu duduk diruang tamu lama Mama menatapku lekat. "Kamu gak apa – apakan sayang ?", tanya Mama tiba – tiba, aku baru ingat kalau om Joe sudah menceritakan detail kejadian kemaren. "Iyah, gak apa – apa Mah", kata ku d
Hari kedua, beberapa sahabatku datang dengan teman – teman kelasnya Awan. "Kak Nataaa... " Sapa Karin dan Irene. Mereka ini juniorku di ekskul musik sekolah. Selanjutnya diikuti oleh teman – teman kelas Awan yang lainnya menyalamiku. "Maaf yah kak, baru kesini. Tadi kita kita ke Rumah Sakit dulu, menjenguk Radit. Itu loh yang ikut bantuin Awan nyelamatin kak Nata kemarin", kata Irene. Oh iya, aku baru ingat kalau kemarin Awan datang menyelelamatkanku dibantu oleh temannya. Karena terlalu fokus sama Awan aku sampai terlupa kalau ada teman Awan lainnya yang ikut membantunya waktu itu. "Astaga, terus gimana keadaannya sekarang dek ?", tanyaku cemas. "Udah agak apa – apa kok kak, Radit juga sudah sadar. Paling besok sudah bisa kembali masuk sekolah", jawab Irene lagi. "Beneran Awan tinggal bareng kak Renata ?" "Tapi mereka beneran pacaran kan ?" "Wuih gak nyangka yah, Awan tinggal serumah ma Kak Renata ?" "Atau jangan – jangan mereka..." Terdengar bisik – bisikan dari beberapa tem