Pucuk dicinta ulampun tiba. Kegigihan Ali mendekati Ratih berbuah manis. Cintanya diterima oleh pegawai bank swasta itu. Kencan pertama dimulai. Sang gadis pujaan mengajak jalan-jalan ke mall.
“Yang, kita makan dulu yuk!” pinta Ratih dengan bergelanyut manja di lengan Ali. Segera dua sejoli yang baru pacaran itu masuk ke sebuah restoran Jepang cepat saji yang menjamur di mall seluruh Indonesia.
“Kamu mau apa?” tanya Ratih mesra.
“Sepertinya paket yang sama udangnya itu enak, Yang!” tunjuk Ali.
“Minumnya?”
“Es sarang wallet,” sahut Ali.
Ratih memesan menu untuk dirinya dan Ali. Tinggal satu antrian ke kasir, Ratih berlalu. Reflek Zuki ingin mencegah. Namun malu dengan orang-orang yang sedang mengantri.
“Dua ratus dua puluh ribu rupiah,” ucap sang kasir membuat Ali melongo.
Dengan berat hati, ia mengambil dompet dalam saku celana jeans. Me
Merasa boros saat mengajak kencan Ratih ke luar, Ali memutuskan untuk pacaran di rumah kekasihnya saja. Pasti akan ngirit uang dan bebas melakukan apa yang ia suka.“Aku main ke rumahmu ya!” pinta Ali saat menjemput dan diiyakan oleh sang pacar.“Aku saja yang bawa motor!” Dengan cepat Ratih menyambar kunci yang dipegang Ali.Bak Valentino Rossi, Ratih melajukan motor matic sang pacar. Sedikit membuat Ali ketakutan.“Yang, pelan-pelan!” titahnya.“Biar cepat sampai,” sahut Ratih santai.Benar saja, tak butuh waktu setengah jam, mereka sudah sampai di daerah Senin. Ratih memarkir motor di halaman rumahnya yang asri.“Assalamualaikum.” Ali dan Ratih memberi salam pada Umar, ayahnya Ratih.“Yang, aku tinggal mandi dulu ya! Kamu ngobrol dulu sama Bapak,” ucap Ratih hanya diiyakan oleh Ali.Sedikit gugup Ali berhadapan dengan Umar
Minggu yang indah. Sri dijemput oleh Saka dan kakak serta iparnya untuk jalan-jalan ke Monas. Tak butuh lama Innova milik ipar Saka sudah masuk parkiran tempat wisata murah meriah di ibu kota itu.“Akhirnya, aku bisa tahu Monas!” teriak Tara bahagia.“Seneng ga?” tanya Saka lembut kepada ponakannya yang baru berusia enam tahun.“Seneng, Om,” sahutnya girang.Sri menyewa tikar untuk duduk di taman Monas. Obrolan hangat mengalir dari empat orang itu. Sedang Tara, asyik bermain sendiri dengan menyewa ottoped.“Sri, dari mana kalian ketemu?” tanya Surya, sang ipar Saka.“Waktu itu pernah ketemu di Dufan pas pabrik Saka Family Day,” sahut Sri.“Tapi, setelah itu loss contac, ga pernah teleponan. Padahal saling tukeran nomor hape” lanjut Saka.“Terus, bagaimana ceritanya bisa ketemu lagi?” tanya Imaz, kakak kedua Saka.&ldqu
Ali masih kepikiran dengan obrolan di rumah Ratih tentang banyaknya modal untuk menikahi cewek Sunda. Sudah dua kali ia gagal nikah karena terlalu besarnya modal nikah. Sri yang meminta tiga puluh juta. Amoy yang meminta seratus juta. Lalu kini, Ratih meminta lima puluh juta.“Yang, jadi ke rumah kamu, ga?” Ratih yang baru ke luar dari bank membuyarkan lamunan Ali.“Jadi dong,” sahut Ali tersenyum menyambut sang kekasih.“Ya sudah, kita mampir beli oleh-oleh dulu ya!”Ratih membeli donat J-Co. brownies Amanda dan parcel buah sebagai buah tangan untuk calon mertua. Tak perlu heran jika ekspetasi Ratih juga tinggi mengenai ibu, rumah dan kontrakan Ali. Pasalnya dari Ali cerita yang menggembar-gemborkan kontrakan sepuluh pintu kepada keluarga Ratih.“Assalamualaikum.” Ali mengucap salam saat tiba di rumah.Ratih menelan saliva. Pandangannya mengedar ke sekelil
Romlah memandang heran anaknya yang pulang dengan wajah kusut. Perempuan paruh baya yang baru selesai melipat jemuran kering itu mengerutkan dahi.“Kenapa loe, Al?” tanyanya sesudah sang anak duduk di depannya.“Ratih mutusin Ali, Nyak,” sahutnya lirih.“Hah?!” Mulut Romlah terbuka lebar. “Gimana ceritanya Ratih mutusin loe?” cecar Romlah. “Jangan-jangan loe selingkuh ya?” tudingnya.‘Engga, Nyak,” sanggah Ali.“Terus?”“Ratih mutusin Ali gara-gara ngajakin nikah ke KUA saja. Dia maunya nikah dengan pesta sesuai adatnya.”“Huh, dasar di mana-mana ternyata cewek itu matre,” dengus Romlah kesal. “Dikate gampang nyari uang sebanyak itu?”“Udah, lupain Ratih, nanti juga nemu cewek lagi!” nasihatnya.“Tapi Ali males Nyak pacaran putus mlulu,” keluh cowok pelit itu. &ldqu
Hari bahagia itu datang. Rumah sederhana milik orang tua Sri sesak oleh tetangga. Hiasan janur kuning melengkung, pisang setandan, tempat pelaminan dan tamu-tamu undangan tampak sedap dipandang mata. Para pemuda-pemudi yang tergabung dalam Karang Taruna siap dan semangat melayani sang tamu.Sri tampak cantik dengan balutan pakaian pengantin adat Jawa berwarna hitam. Wajahnya terlihat cantik dan membuat Saka mengulum senyum saat menatapnya.Di hadapan Pak Penghulu berbadan tambun, Saka mengucap ijab qabul untuk menghalalkan Sri menjadi miliknya.“Saya terima nikah dan mas kawinnya Srikandi binti Katimin dengan emas sepuluh gram dan uang sebesar seratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah, dibayar tunai,” ucap Saka dengan lancar meski diliputi rasa gugup.“Para saksi sah?” tanya penghulu kepada yang hadir menyaksikan acara sakral itu.“Sah, sah, sah,” sahut para yang hadir bersahutan.&ld
Sepulang kerja Ali memenuhi janjinya untuk kembali ke warung yang tadi malam sudah menolongnya dari kesusahan hidup. Tampak wanita yang semalam ia temui sedang berbincang pada agen minuman.“Assalamualaikum, Mbak,” sapa Ali setelah sang agen pergi.“Waalaikumsalam,” sahut wanita cantik yang terlihat glamour itu.Ali melihat penampilan itu yang dipenuhi dengan perhiasan yang mencolok di leher, kuping, tamgan dan jemarinya. Dandanannya terlihat sederhana namun sedap dipandang dengan gincu warna merah merona.“Mas, yang tadi malam ya?” tunjuk si wanita.“Iya Mbak,” sahut Ali dengan meringis. “Mau bayar utang, bensin seliter dan Aqua botol.”“O iya,” sahutnya. “Empat belas ribu semuanya.”Ali mengelurkan uang pas lalu mengulurkan kepada pemilik warung. Enggak ding, tepatnya pemilik toko grosir. Bangunan itu terlihat tinggi dan lebar. Tumpukan
Sepulang kerja, Ali sering mampir ke toko grosir milik Munaroh. Menemani gebetan yang sedang asyik memunguti tumpukkan rupiah. Lumayan menggiurkan rupiah yang didapat Munaraoh dari hasil grosir itu.“Yang, kita makan bakso depan itu, yuk!” Munaroh menunjuk bakso di seberang jalan. Tampak rame.“Boleh,” sahut Ali mengiyakan.Mereka beriringan bergandeng tangan menyeberang jalan. Tak berapa lama pesanan bakso buntel dan bakso lobster tersaji dengan dua gelas es teh manis.“Enak kan?” taya Munaroh yang senang Ali makan denga lahap.“Iya, enak,” sahut Ali blepotan mie. “Belum pernah aku makan bakso seenak ini.”“Emang belum pernah kemari?”“Belum.” Ali menggeleng.Munaroh mengelap mulutnya dengan tisu setelah bakso dan minumannya tandas.“Bang, bakso sepuluh mangkok ya!” pesannya yang langsung diiyakan oleh aba
Sungguh makin hari Ali makin dibuat jatuh hati dengan Munaroh. Janda muda itu memenuhi semua kriteria menjadi istri. Cantik, pintar dandan dan merawat diri, royal, perhatian dan yang satu bisa memuaskan kebutuhhan biologisnya.Tak bisa dipungkiri, semenjak sekali diberi peluang untuk melakukan hal maksiat itu, Ali selalu ketagihan. Ditambah Munaroh tak pernah menolak permintaannya.“Yang, mandi dulu!” ucap Munaroh selepas isya.Tampak janda muda itu terlihat cantik dengan rambut basahnya. Membuat Ali makin tak bisa berpaling. Ali meringsut, menyambar haduk yang dipakai Munaroh untuk mengeringkan rambutnya.Selepas mandi, sebungkus kwetiaw goreng lengkap dengan kopi panas tersaji di meja.“Ayo makan, Yang!” ajak Munaroh yang sudah terlebih dulu membuka bungkusan. “Kwetiaw ini enak banget lho. Legend, sudah tiga puluh tahun,” rekomendasi Munaroh.“O, punya Haji Dahlan itu?” te