Sepeninggalan Rohaye dan Malih, Romlah memanggil Atun dan Karyo. Setali dua uang dengan mantunya yang pertama, mantu kedua inipun tak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karyo bukan tak mau menyenangkan mertuanya, tapi hasil jualan cilok hanya cukup untuk makan dan sekolah anak-anaknya saja.
“Tempe lagi, tempe lagi,” gerutu Romlah saat Atun hanya menyajikan tumis kangkung dengan tempe goreng di atas meja makan.
“Ikan kek, daging kek,” imbuh Romlah melirik menantunya yang taku-takut menatapnya.
“Rezekinya ini, Nyak,” sahut Atun bijak.
“Masa tiap hari ini doang makannya!” umpat Romlah. “Bisa-bisa stroke lagi gue makan makanan tak bergizi seperti ini.” Tunjuknya pada menu yang dimasak Atun.
“Ya, udah, Enyak mau makan apa?” tanya Karyo akhirnya.
“Nasi padang,” sahut Romlah.
“Aku ayam goreng, Pak!” pinta kedua anakn
“Ali, Ali!” teriak Romlah di sela isak tangisnya menggegerkan rumah Munaroh yang mulai sepi. Hanya ada Rojali dan beberapa kerabat yang masih membereskan sisa aqiqah.“Ali, Ali!” Romlah terus berteriak saat anaknya belum jua menampakkan batang hidungnya. Suaranya mulai parau karena habis menangis meraung-raung.“Ada apa, Nyak?” Tanya Ali yang tergopoh-gopoh menghampirinya yang disusul oleh Rojali dan Munaroh.“Rumah Enyak, Al,” sahut Romlah dengan isak tangis.“Kenapa dengan rumah Enyak?” Ali mulai panik yang kemudian menatap Atun dan Karyo bergantian.“Rumah Enyak, Al,” kalimat Romlah tertahan. Kalah dengan tangisannya yang kencang.Tiba-tiba Romlah merasakan tubuhnya terasa lemas. Berita duka ini membuat kakinya tak mampu menopang tubuhnya yang mulai kurus semenjak ditinggal Ali. Ali menuntun tubuh ibunya duduk di kursi. Seorang kerabat Munaroh memb
Munaroh memakai jasa pembantu untuk pekerjaan rumah tangga. Ia hanya ingin fokus merawat Billar saja. Hal itu justru memicu kemarahan Romlah. Ia menganggap mantunya itu males dan buang-buang duit saja. Ia mulai cari celah untuk menjatuhkan Munaroh. Sebelum magrib sang pembantu pulang.“Enak banget ya, kerjaannya cuma tiduran dan mainan handpone,” usik Romlah saat mantunya sedang tiduran dengan sang cucu.“Kan semua sudah dikerjain sama Bibi, Nyak,” jawab Munaroh yang kemudian meletakkan hapenya di bantal.“Loe itu malas banget jadi orang!” Romlah mulai meninggi karena ucapannya berani dijawab. “Jadi bnii tuh jangan Cuma tiduran, main hape tapi harus masak, beres-beres rumah.”“Aku kan punya bayi, Nyak,” sanggah Munaroh lagi membuat mata mertuanya melotot.“Bayi jangan dijadikan alasan buat malas-malasan!” sentak Romlah. “Dulu Enyak kalau punya bayi, juga mas
“Kita putus!” pinta Amoy tegas membuat Ali tersentak.Pasalnya tak ada hujan tak ada badai, tiba-tiba ucapan menyakitkan itu meluncur dari bibir indah gadis berdarah Cina itu.“Kamu jangan bercanda, Sayang?” ucap Ali mencoba santai.“Aku ga bercanda,” jawab Amoy masih dengan dingin.“Tapi salahku apa? Perasaan hubungan kita baik-baik saja?” Ali mencoba mengingat kesalahan yang dilakukannya.“Kamu memang ga salah.”“Terus, kenapa kamu minta putus?” Ali menyelidik ,menghadirkan rasa canggung pada gerak tubuh gadis sosialita itu.“Aku dijodohkan oleh orang tua,” jelas Amoy membuat mata Ali membeliak. Tak percaya di zaman modern seperti ini masih ada saja tradisi kolot itu.“Kenapa kamu ga tolak?” tanya cowok cool itu. “Kamu kan pacarku.”“Aku tak bisa menolak karena lelaki yang akan dijodohka
Duka merundung Ali. Pemuda cool itu hanya memandang sayur asem, sambel terasi dan ikan asin yang dimasak hampir tiap hari oleh ibunya. Romlah, merasa sedih dengan keadaan sang anak yang sedang patah hati.“Kok, ga dimakan, Al?” tanya Romlah saat makanan yang ia masak masih utuh.“Ga selera, Nyak,” jawab Ali malas-malasan.“Kamu masih mikirin Amoy ya?” Pertanyaan Romlah hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh anaknya.“Mungkin kamu dan Amoy memang tidak jodoh,” nasihat Romlah menghibur sang anak. “Nanti juga nemu yang lebih baik dari Amoy.”“Tapi, aku tuh cinta mati ma Amoy, Nyak,” kilah Ali. “Udah orangnya cantik, tajir dan wangi lagi.”Romlah tak menyahuti ucapan sang anak. Ia malah mengambil nasi dan menumpukinya dengan sayur asem, sambel dan ikan asin. Lalu menyantapnya dengan lahap sehimgga membuat air liur Ali menetes.Ali yang awa
Namanya Srikandi tapi biasa dipanggil Sri. Jomblo akut penghuni kamar kos tiga belas. Paras cantik, hidung bangir, tinggi semampai dan berambut panjang bergelombang. Jika dilihat-lihat ia cantik menawan tapi entah sampai usia dua puluh empat tahun, ia belum juga punya seorang kekasih. Padahal sang ibu di kampung sudah menanyakan kapan ia menikah. Maklum dua sahabatnya dari kecil, Wahyuni dan Wati, keduanya sudah menikah dan mempunyai anak.“Sri, kamu malam mingguan di rumah saja?” tanya Wulan, teman satu kos-kosan. Dia menempati kamar tepat di depan kamar milik Sri.“Ya, iya, emang mau ke mana?” Sri melongok ke kamar Wulan.Tampak temannya itu sudah cantik dengan dress pink selutut, bibir merona pink dan juga bando pink menghiasi rambutnya. Teman Sri ini penyuka warna pink sekaligus menggambarkan tentang dirinya yang feminim habis.“Aku pergi dulu ya, Sri!” pamitnya berlalu. Semerbak wangi parfum tercium h
Akhirnya Sri bisa melepas status jomblonya. Di usia yang begitu matang, ia merasakan diperhatikan oleh kekasih. Bentar-bentar masuk pesan dari Ali.[Sudah makan belum?][Jangan lupa solat ya!][Met tidur, mimpiin aku!][Love you Honey.][Kangen nih.]Awalnya Sri berbunga-bunga dapat pesan-pesan gombal itu. Namun memasuki usia pacaran mereka yang ketiga bulan, kok ia mulai merasa risih tiap dapat pesan dari Ali.Belum lagi, pacarnya itu selalu menelponnya tengah malam dengan menggunakan paket nelpon murah. Ngobrol ngalor ngidul ga tentu arah hingga dua jam.Jika besoknya shif dua sih ga masalah. Namun jika ia harus kerja pagi, pastinya ia ngantuk dan mengganggu kerjaan.“Matamu kenapa? Kaya mata panda?” tanya leader Sri pagi itu.“Iya, kurang tidur nih, Mbak,” jawab Sri sambil terus merapikan susu.“Tidur jangan malam-malam!” titah sang leader. “B
Hari yang sibuk dan melelahkan. Datang barang dan hari ini sang leader minta hasil penjualan selama sebulan untuk pencairan bonus. Serta merta semua harus selesai hari ini. Belum lagi pengunjung yang ramai di awal bulan.Kesibukan ini membuat Sri tak sempat makan siang meski lapar mendera. Tapi semua tak dirasa karena omset hari ini sungguh luar biasa. Sudah mengisi sepertiga dari target sebulan. Sebelum pulang, ia langsung mengisi form permintaan barang.“Kita makan dulu yuk!” ajaknya saat menemui Ali yang menunggu. “Dari siang belum makan.”“Kok belum makan?” tanya Ali perhatian.“Tadi datang barang dan rame pengunjung. Jadi deh ga sempet makan.”“Ga boleh githu dong, Sayang.” Ali mulai membelai mesra rambut kekasihnya. “Meski sibuk kerja tapi harus disempetin makan. Takut kamu maag.”“Makasih, ya!” ucap Sri langsung bergegas menuju restoran a
Hari yang dinanti tiba. Dari pagi Sri sudah siap berkemas. Membawa bekal untuk dibawa. Tepat jam sepuluh pagi Ali menjemput. Dengan suka cita dua sejoli itu melaju ke tempat wisata ibukota.Meski bukan weekend namun antrian panjang bak ular. Mungkin karena sedang diskon, banyak antusias dari warga untuk berkunjung. Setelah sekian lama menunggu, antrian Ali dan Sri tinggal satu orang.“Yang, mana uangnya?” Ali menadahkan tangan kanan sementara tangan kiri memegang uang seratus ribuan.Wajah Sri langsung cemberut kesal. Dikiranya Ali akan mentraktirnya masuk ke Dufan. Nyatanya seperti biasa, bayar sendiri-sendiri.Tiket sudah dicap di tangan. Sri langsung bahagia memasuki arena bermain. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung mencoba berbagai wahana. Dari yang kalem sampai memacu adrenalin.Karena kesal Sri sengaja naik ini itu sesuka hatinya tanpa minta persetujuan dulu pada Ali. Alhasil Ali mau tak mau ikut dengan kekasihn