Sri merasa nyaman jika sedang berkomunikasi dengan Saka meski hanya lewat ponsel. Menurutnya kakak kelasnya waktu SMP itu begitu dewasa dan tak pernah sekalipun mengeluh tentang hidup. Menjalani hidup dengan optimis dan prasangka baik.
“Kapan mau ke Jakarta?” todong Sri saat Saka menelponnya di malam minggu.
“Kapan-kapan,” jawab Saka berseloroh.
“Kok kapan-kapan?” rajuk Sri. “Temanmu Ardian saja sudah bela-belain dari Bogor ke Jakrta.” Sri sengaja memancing reaksi Saka.
“Ya sudah nanti, kalau ada libur panjang, aku main ke Jakarta.”
“Bukannya ada libur tahun baru ya?” tegas Sri.
"Ga tahu juga.” Saka tak janji. “Soalnya lagi banyak pengiriman.”
“Oke.” Sri bisa memaklumi pekerjaan Saka. “Tapi ditunggu ya!”
*************
Sedang Ardian, ia tak patah semangat menarik simpati Sri. Berkali-kali ia meng
Pacaran dengan anak SMA tentu menguntungkan Ali. Pasalnya ia bebas mengatur hidup sang kekasih. Memanfaatkan kepolosan Nabila untuk bermesra-mesraan. Ngajak malam mingguan sekedar jalan tanpa harus keluar banyak modal.“Nabila pergi dulu ya!” pamit Nabila pada sang ayah di kamar. Sedang Ali menunggunya di teras depan.“Pulangnya, bawain Bapak martabak Bangka ya!” pesan sang ayah yang berkumis tebal khas orang Madura.“Siap.” Nabila melenggang, menemui pacarnya.“Sudah siap?” tanya Ali yang terpukau dengan kecantikan sang pacar dengan balutan kaos ketat warna pink dan celana jeans pencil.“Siap dong,” sahut Nabila dengan manja.“Kemana kita?” Dengan jantan Ali memegang dagu kekasihnya.“Katanya mau nonton?” Nabila mengingatkan.“O iya, ayo!” Dengan mesra Ali merangkul Nabila menuju motor.Dengan pelan motor
Weekend yang cerah. Ardian dengan suka cita mengunjungi Sri ke Jakarta. Jarak tempuh yang beratus kilometer tak menjadi soal demi sang pujaan hati. Di Taman Sruropati Ardian menagih janji setelah sepiring somay dan segelas kopi susu tandas ke perut.“Gimana, Sri, tentang jawaban cintaku?” Ardian memulai obrolan serius.Sri tak langsung menjawab. Ia menghabiskan sisa kopi susunya yang masih panas. Sri adalah penyuka kopi sejati. Berbagai macam kopi semua ia suka. Ia termasuk cewek yang sehari tak bisa lepas dari minuman yang identik dengan kaum adam itu.“Maaf, Di, aku ga bisa menerima cinta kamu,” jawab Sri kemudian menghadirkan kecewa di wajah kakak kelasnya itu.“Aku sudah mencoba membuka hati tapi tetap ga bisa,” imbuhnya.“It’s oke,” sahut Ardian pelan. Cowok itu tak ingin bertanya lebih lanjut, kenapa Sri menolaknya. Tapi yang pasti hatinya saat i
Jomblo lagi jomblo lagi. Apes banget sih nasib yang menimpa Ali. Pinginnya cepat-cepat mengakhiri masa lajang. Eh, ga tahunya malah selalu kandas di tengah jalan.“Kenapa loe, Al? Mukanya ditekuk begitu?” ejek Dadang saat temannya itu termenung di warungnya.“Gue putus lagi,” sahutnya lirih.“Sama bocah SMA itu?”“Iya.” Ali mengangguk. “Padahal pacaran ma dia itu enak banget. Diapa-apain juga ga nolak. Eh tahunya dua bulan doang gue pacaran ma dia.”“Emang kalian putus kenapa?”“Dia ngambek gara-gara gue ga beliin boneka sebagai kado ulang tahunnya.”“Salah loe sendiri,” tegur Dadang. “Pacar cuma minta boneka saja ga dikasih.”“Masalahnya tuh boneka harganya empat ratus ribu,” sahut Ali membuatnya temannya ikut kaget. “Gila aja, empat ratus ribu cuma dikasih ke orang. Mending buat gue sendr
Pucuk dicinta ulampun tiba. Kegigihan Ali mendekati Ratih berbuah manis. Cintanya diterima oleh pegawai bank swasta itu. Kencan pertama dimulai. Sang gadis pujaan mengajak jalan-jalan ke mall.“Yang, kita makan dulu yuk!” pinta Ratih dengan bergelanyut manja di lengan Ali. Segera dua sejoli yang baru pacaran itu masuk ke sebuah restoran Jepang cepat saji yang menjamur di mall seluruh Indonesia.“Kamu mau apa?” tanya Ratih mesra.“Sepertinya paket yang sama udangnya itu enak, Yang!” tunjuk Ali.“Minumnya?”“Es sarang wallet,” sahut Ali.Ratih memesan menu untuk dirinya dan Ali. Tinggal satu antrian ke kasir, Ratih berlalu. Reflek Zuki ingin mencegah. Namun malu dengan orang-orang yang sedang mengantri.“Dua ratus dua puluh ribu rupiah,” ucap sang kasir membuat Ali melongo.Dengan berat hati, ia mengambil dompet dalam saku celana jeans. Me
Merasa boros saat mengajak kencan Ratih ke luar, Ali memutuskan untuk pacaran di rumah kekasihnya saja. Pasti akan ngirit uang dan bebas melakukan apa yang ia suka.“Aku main ke rumahmu ya!” pinta Ali saat menjemput dan diiyakan oleh sang pacar.“Aku saja yang bawa motor!” Dengan cepat Ratih menyambar kunci yang dipegang Ali.Bak Valentino Rossi, Ratih melajukan motor matic sang pacar. Sedikit membuat Ali ketakutan.“Yang, pelan-pelan!” titahnya.“Biar cepat sampai,” sahut Ratih santai.Benar saja, tak butuh waktu setengah jam, mereka sudah sampai di daerah Senin. Ratih memarkir motor di halaman rumahnya yang asri.“Assalamualaikum.” Ali dan Ratih memberi salam pada Umar, ayahnya Ratih.“Yang, aku tinggal mandi dulu ya! Kamu ngobrol dulu sama Bapak,” ucap Ratih hanya diiyakan oleh Ali.Sedikit gugup Ali berhadapan dengan Umar
Minggu yang indah. Sri dijemput oleh Saka dan kakak serta iparnya untuk jalan-jalan ke Monas. Tak butuh lama Innova milik ipar Saka sudah masuk parkiran tempat wisata murah meriah di ibu kota itu.“Akhirnya, aku bisa tahu Monas!” teriak Tara bahagia.“Seneng ga?” tanya Saka lembut kepada ponakannya yang baru berusia enam tahun.“Seneng, Om,” sahutnya girang.Sri menyewa tikar untuk duduk di taman Monas. Obrolan hangat mengalir dari empat orang itu. Sedang Tara, asyik bermain sendiri dengan menyewa ottoped.“Sri, dari mana kalian ketemu?” tanya Surya, sang ipar Saka.“Waktu itu pernah ketemu di Dufan pas pabrik Saka Family Day,” sahut Sri.“Tapi, setelah itu loss contac, ga pernah teleponan. Padahal saling tukeran nomor hape” lanjut Saka.“Terus, bagaimana ceritanya bisa ketemu lagi?” tanya Imaz, kakak kedua Saka.&ldqu
Ali masih kepikiran dengan obrolan di rumah Ratih tentang banyaknya modal untuk menikahi cewek Sunda. Sudah dua kali ia gagal nikah karena terlalu besarnya modal nikah. Sri yang meminta tiga puluh juta. Amoy yang meminta seratus juta. Lalu kini, Ratih meminta lima puluh juta.“Yang, jadi ke rumah kamu, ga?” Ratih yang baru ke luar dari bank membuyarkan lamunan Ali.“Jadi dong,” sahut Ali tersenyum menyambut sang kekasih.“Ya sudah, kita mampir beli oleh-oleh dulu ya!”Ratih membeli donat J-Co. brownies Amanda dan parcel buah sebagai buah tangan untuk calon mertua. Tak perlu heran jika ekspetasi Ratih juga tinggi mengenai ibu, rumah dan kontrakan Ali. Pasalnya dari Ali cerita yang menggembar-gemborkan kontrakan sepuluh pintu kepada keluarga Ratih.“Assalamualaikum.” Ali mengucap salam saat tiba di rumah.Ratih menelan saliva. Pandangannya mengedar ke sekelil
Romlah memandang heran anaknya yang pulang dengan wajah kusut. Perempuan paruh baya yang baru selesai melipat jemuran kering itu mengerutkan dahi.“Kenapa loe, Al?” tanyanya sesudah sang anak duduk di depannya.“Ratih mutusin Ali, Nyak,” sahutnya lirih.“Hah?!” Mulut Romlah terbuka lebar. “Gimana ceritanya Ratih mutusin loe?” cecar Romlah. “Jangan-jangan loe selingkuh ya?” tudingnya.‘Engga, Nyak,” sanggah Ali.“Terus?”“Ratih mutusin Ali gara-gara ngajakin nikah ke KUA saja. Dia maunya nikah dengan pesta sesuai adatnya.”“Huh, dasar di mana-mana ternyata cewek itu matre,” dengus Romlah kesal. “Dikate gampang nyari uang sebanyak itu?”“Udah, lupain Ratih, nanti juga nemu cewek lagi!” nasihatnya.“Tapi Ali males Nyak pacaran putus mlulu,” keluh cowok pelit itu. &ldqu