BAB 1
"Mau ke mana lagi, Dek?" tanyaku pada Yulia--istriku.
Kesal rasanya, setiap aku libur kantor, dirinya selalu tidak ada di rumah. Jangankan melayani segala kebutuhanku, menemani pun tak sempat. Jika sudah pergi, ia bisa pulang menjelang malam.
"Biasa, Mas, aerobik. Kan buat Mas juga." Wanita berusia 36 tahun itu mengedipkan satu matanya ke arahku.
"Khusus hari ini, tolong jangan pergi. Mas ingin mengajakmu jalan-jalan," pintaku. Biasanya dia akan luluh jika sudah diiming-imingi jalan-jalan, belanja apalagi liburan ke luar kota.
"Ke mana?" tanyanya dengan mata berbinar.
"Sini dulu, dong!" Kupanggil dirinya yang sudah berdiri di depan lemari sepatu.
Langkah kakinya menuju ke arahku, meliuk-liuk seperti ikan yang tengah berenang. Benar, bukan, jika sudah diimingi jalan-jalan, ia akan mendekat.
Wanita yang telah kunikahi 9 tahun lamanya itu duduk di pangkuanku. Jemari lentiknya mengusap halus jenggot kasar yang baru saja kucukur.
"Mau jalan-jalan ke mana?" ulangnya.
"Kamu maunya, ke mana?" balasku, mengecup pipinya yang tetap kenyal meski usianya tak lagi muda.
Wanitaku tak pernah kubiarkan kekurangan apa pun. Skincare, perawatan wajah dan seluruh kulitnya selalu kupenuhi. Belum lagi segala macam alat make-up. Katanya, semua itu untukku. Ya, tentu saja. Aku yang membiayainya.
"Sebetulnya, aku sedang ingin pergi ke pegunungan yang ada air terjunnya. Tapi gak mungkin, 'kan, kita bisa ke sana hari ini. Mas saja liburnya cuma sehari dalam seminggu," jawabnya mengerucutkan bibir.
"Mau banget?" tanyaku, menatap mata indah dengan bulu mata lentik yang selalu dirawatnya.
Gemas. Rasanya aku selalu ingin menggigit pipi mulus itu, setiap kali berdekatan dengannya. Tapi entah mengapa, sudah hampir satu bulan ini ia selalu menolak keinginanku. Katanya, datang bulannya tak teratur dan selalu keluar seperti flek.
"Mau," rengeknya dengan manja.
"Kita ke sana sekarang. Menginap di sana. Gimana?" ajakku.
"Serius? Besok Mas kerja, 'kan?" Mata indah itu menatapku keheranan.
"Gak pa-pa, gak usah kerja. Mas 'kan bosnya," ucapku, menaik turunkan alis.
"Tapi, Mas, hari ini aku udah terlanjur buat janji sama teman-teman. Mau sekalian arisan bulanan juga sama teman aerobik," katanya, terlihat sedih.
Apalagi aku. Sangat sedih. Sudah kuturuti kemauannya, malah dia sendiri yang menolak lagi. Selalu itu alasannya. Aerobik lah, arisan lah, acara ulang tahun teman lah. Dan aku selalu dinomor-duakan.
Aku diam saja. Malas menjawabnya. Karena jika sudah begitu, ia tak akan mau mengalah untukku.
"Boleh, ya, Mas. Kita pergi minggu depan saja, gimana?" tanyanya. Kedua belah telapak tangannya membingkai wajahku. Merayu.
"Terserah!" ujarku.
"Ayolah, Mas. Kalau aku bugar, Mas juga yang senang, bukan?" Ia terus saja menggodaku. Dia pikir, kelelakianku tidak akan bangkit dan meminta hak jika diperlakukan seperti ini.
"Boleh, Sayang. Tapi, temani Mas tiga puluh menit saja. Jika tidak, Mas tidak akan mengijinkan dan akan mencabut semua fasilitasmu." Sengaja kuancam dirinya. Kepalaku sudah terasa pusing menahan selama hampir satu bulan ini.
"Nanti aku terlambat, Mas. Pulangnya saja, ya?" Ia masih mengelak dan seperti ingin segera pergi.
"Enggak! Temani Mas, atau Mas cabut semua fasilitasmu?" ulangku, dengan tatapan memicing.
Dia bilang, kecantikan dan kebugarannya hanya untukku. Lalu mengapa selalu menolak keinginanku.
"Huummm!" Ia membuang napas kasar. Tercium aroma wangi, membuatku semakin di puncak keinginanku.
"Oke. Mau, tidak?" tanyaku lagi, menelusupkan tangan ke dalam hoodienya. Selama ini aku tak pernah mengancamnya seperti itu. Ide itu kudapat dari anak buahku, di kantor.
Ya, kami biasa saling bercerita tentang rumah tangga masing-masing. Saling mendukung saat dalam kesulitan, saling memberi pendapat setiap kali dihadapkan dengan suatu pilihan, juga membantu mencarikan solusi dalam setiap masalah.
Sebagai sesama laki-laki, kami bahkan tak jarang menceritakan urusan ranjang pula. Seperti minggu lalu, kuceritakan tentang Yulia yang hampir sebulan ini tak memberiku jatah. Arman--anak buahku sempat mencurigai istriku macam-macam, namun dengan santai aku menepisnya.
Tidak mungkin, bukan, Yulia bermain api di belakangku, sementara diriku nyaris tak ada cacat. Dalam artian, aku hampir punya segalanya. Hanya keturunan saja yang belum Allah titipkan pada kami, hingga di tahun ke sembilan pernikahan kami.
Aku memang punya banyak tabungan. Namun tak sekali pun kami pergi ke dokter untuk periksa. Ibuku yang berasal dari kampung, selalu membantu mengirim ramuan khusus agar kami segera memiliki anak. Kata wanita hebatku, tak perlulah pergi ke dokter segala. Jika sudah waktunya tiba, pasti akan hamil juga. Ya, menurutku itu benar.
Pernah beberapa kali Yulia merengek, memintaku pergi ke dokter kandungan, ingin mengecek kesuburan kami. Seperti saran Ibu, aku menolaknya dengan alasan tidak penting.
Sekali lagi kusentuh punggungnya dengan lembut, mencoba memancingnya. Akhirnya Yulia mengangguk juga, tersenyum menggoda ke arahku.
Benar, bukan. Mana mau dia kehilangan semua fasilitas yang kuberi. Uang belanja di atas rata-rata, sementara dirinya tak pernah memasak. Kami selalu makan makanan restoran langganan kami, kecuali sarapan. Mobil, kartu kredit unlimited, motor matic untuk dirinya jika ingin pergi jarak dekat. Tidak lupa kuberi ia jatah belanja pakaian atau aksesoris lainnya, semaunya. Semua kupenuhi, asalkan ia bahagia.
Aku pun tak pernah mengekangnya. Hampir setiap hari ia pergi bersama teman-temannya, untuk menyenangkan pikirannya. Bagiku itu tak masalah. Asalkan jangan sampai ke luar jalur.
Meski membebaskan, aku tak pernah abai terhadapnya. Tanggungjawabku sebagai suami tidak main-main. Ia hanya boleh keluar rumah dengan menggunakan hijabnya. Jika tidak, maka aku akan murka. Ponselnya pun selalu diam-diam kucek setiap malam. Tidak pernah ada hal yang mencurigakan.
Kini kami berdua saling berbagi keringat di sofa ruang tamu. Tak perlulah pergi ke kamar untuk menuntaskan hasrat. Aku sudah tak tahan.
Rupanya, tak sampai tiga puluh menit aku sudah kalah.
**
"Aku berangkat, Mas," pamitnya, menciumi kedua pipiku.
"Hati-hati, Sayang. Nanti malam, buat Mas ka-o, lagi, ya!" pesanku, mengedipkan sebelah mata.
"Beres!" Ia mengangkat tangan dan menempelkannya di pelipis.
Yulia melesatkan mobil sedan keluaran terbaru yang kubelikan satu tahun lalu, menggantikan mobil lamanya. Sudah bosan, katanya. Tak masalah, asalkan ada untuk membelinya. Aku sendiri masih menggunakan mobil lama yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi kendaraan pribadiku.
Aku duduk seorang diri, menyesap kopi hitam yang Yulia buatkan sebelum berangkat. Kulirik arloji yang jarum pendeknya menunjuk ke angka delapan. Namun pikiranku tak pernah lepas dari sesuatu yang kurasa tidak biasa.
Saat bermain tadi, aku merasa perut Yulia lebih padat dan membulat. Apa itu lemak, seperti yang ia katakan padaku, tadi.
"Sayang, perutmu bulat sekali? Sepertinya agak condong ke depan."
"Iya, Mas. Ini gara-gara aku sering ngemil saat menunggu Mas pulang dari kantor. Melar, deh!"
"Oh, ya? Tapi tubuhmu tetap langsing," kataku, tadi, setelah kami selesai bermain.
"Ini namanya lemak, Mas. Kayaknya baru kelihatan di perut saja," jawabnya dan hanya kuangguki. Aku percaya saja.
Menurutku bisa saja benar. Anak buahku di kantor lebih banyak wanita, bahkan ada yang sudah menjadi seorang ibu. Dan jika diperhatikan, rata-rata di antara mereka memiliki perut yang sedikit maju.
Tapi setelah kuingat-ingat lagi, mengapa perut Yulia berbeda.
Aku yang tengah diam berpikir, terkejut dengan suara ringtone lagu korea yang jarang sekali kudengar. Sudah pasti bukan suara ponselku.
Kucari keberadaan benda yang terus berdering itu. Rupanya terselip di sela sofa. Kubaca nama peneleponnya yang bernama Evani, dengan foto profil artis k-pop.
"Ponselnya tertinggal. Buru-buru banget, sih!" gumamku seraya menekan tombol berwarna hijau.
Panggilan tersambung. Aku tak berbicara sepatah kata pun. Mataku membulat sempurna, ketika mendengar suara di ujung sana.
"Sudah berangkat?" tanya seorang pria di ujung telepon.
BAB 2"Sudah berangkat?" tanya seorang pria di ujung telepon.Mendengarnya, entah mengapa aku merasa tak nyaman. Mengapa tiba-tiba ada seorang pria menelepon istriku dan menanyakan apakah ia sudah berangkat, atau belum."Kamu siapa?" tanyaku, tanpa menjawab pertanyaannya."Oh, maaf. Saya suaminya Evani. Vani sedang di kamar mandi, sudah kebelet. Dia minta aku teleponkan Yulia," jawab pria di ujung sana.Nyes. Seketika hawa dingin kembali menyejukkan hatiku yang sempat memanas. Kukira laki-laki itu sedang janjian dengan istriku."Katakan pada istrimu, Yulia sudah berangkat. Handphone-nya tertinggal di rumah," jelasku dengan ramah.Bukankah teman Yulia, temanku juga. Jadi aku harus bersikap ramah pada mereka."Oh, begitu, ya. Ya, sudah, nanti kusampaikan pada Vani," kata pria itu.Aku pun mematikan sambungan telepon.Oh, iya, semalam aku lupa mengecek ponsel Yulia. Sekarang saja, lah.Kembali ke teras, menikmati angin menjelang siang yang berembus bersamaan dengan hangatnya mentari.Kul
BAB 3Tubuhku bergetar, napasku memburu dan seketika alunan detak jantungku berpacu kuat. Pesan chat dari seseorang bernama Siska itu mampu memudarkan kepercayaanku terhadap istriku.[Maksudmu, apa?] Dengan tangan gemetaran, kubalas pesan itu. Biarlah, tak perlu kukatakan bahwa ponsel ini tertinggal oleh pemiliknya.Tak berapa lama, Siska pun membalas lagi pesanku. [Kumat, deh, pura-pura beg*! Kamu ditanyain, tuh, sama Mbak Tania. Dua bulan lebih gak pernah hadir aerobik. Rugi, lho, kalau ada lomba gak diikut sertakan.]Dadaku kian bergemuruh. Kubanting dengan kasar gelas kopi bekas tadi pagi yang masih teronggok di meja teras."Kurang aj*r! Beraninya Yulia membohongiku." Geligiku gemeretak menahan amarah, namun aku hanya sendirian. Percuma. Yulia tidak akan tahu kemarahanku.[Tadi foto siapa?] Kukirim pesan pertanyaan pada kontak bernama Siska. Penasaran, apa motifnya mengirim foto itu pada Yulia.[Dih, pura-pura gak tau. Hari ini jadwal praktek suamiku. Kebetulan dia melihatmu ke Ob
BAB 4"Apa maksudnya, sih?" tanyaku.Wajah cantik istriku seketika menegang, terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Mengapa ia sekaget itu, pikirku."Kenapa, Sayang?" ulangku, merangkul bahunya, hingga menempel ke dadaku."Eu ... itu, Mas. Ini, tuh ... sebentar," jawabnya terputus-putus. Kulihat ibu jari dan telunjuknya mencubit layar ponsel, hingga foto yang sore tadi kulihat membesar."Apa, Mas curiga padaku?" tanyanya dengan tatapan mengiba."Emm ... sedikit." Aku sengaja bercanda, ingin tahu saja reaksinya."Ya ampun, Mas. Lihat! Aku gak mungkin pergi pakai baju seksi begini," cebiknya, menunjukkan kaki mulus dari foto itu."Iya juga, sih. Tapi lihat, Sayang. Dresnya mirip punyamu," ujarku, menunjuk dres yang dikenakan wanita dalam foto itu.Puk! Ia menjauh dan menepuk lenganku, hingga aku mengaduh dan mengusapnya."Baju kayak gini, tuh, banyak di mal. Mas kira aku ini istri presiden, yang bajunya dipesan dan dijahit khusus."Seketika aku tergelak. Melihat matanya melotot seperti i
BAB 5[Tidak mungkin. Aku melihat sendiri kau lari. Lain kali hati-hati. Jaga kandunganmu,] balas Evani, sontak membuat mataku membulat sempurna.Sebuah teka-teki memenuhi isi kepalaku. Kutautkan alis, berpikir sejenak untuk mencerna kalimat yang baru saja kubaca. Sekilas melirik ke arah Yulia yang tengah terlelap. Tubuhnya terlentang, menonjolkan sebongkah bulat di perutnya."Kandungan?" gumamku. Kulihat kembali perutnya tidak terlalu tampak saat tengah terlentang. Namun tetap berbeda dari biasanya. Jika kuperhatikan, tidak seperti lemak yang biasanya akan menggelambir ke samping, jika posisinya seperti itu.Apa maksud Evani? tanyaku di dalam hati.Jangan-jangan, Yulia hamil?Ah, tidak mungkin. Jika benar, sudah pasti aku adalah orang pertama yang mengetahuinya.Yulia bergerak miring ke arahku. Gegas kuhapus jejak percakapan dengan temannya yang belum kukenal itu."Mas, ngapain?" tanyanya, mengerjapkan mata yang belum terbuka sepenuhnya."Bersih-bersih dulu, sana. Ganti baju, habis i
Mengapa Yulia terlihat ketakutan setelah aku menerima kunci mobilnya. Jelas ada yang ia sembunyikan. Kuamati terus gerak-geriknya, sambil menghampiri mobil di sebelahnya."Mas. Maksud aku ... itu, di dalam ada barang-barang punya Evani, Siska dan Audy. Ya, rencananya siang ini mau aku antar ke mereka." Tanpa kuminta, Yulia menjelaskannya."Oh. Barang apa?" tanyaku, menatapnya serius."Biasalah. Barang-barang wanita. Kamu inget, 'kan kemarin kita habis belanja-belanja," ucapnya seraya tersenyum kaku.Kali ini jelas terlihat raut wajahnya yang berbeda. Ada ketakutan mendalam dari sorot mata indahnya. Sepertinya benar dugaanku."Barang apa, Yulia? Jangan muter-muter!" tukasku sinis. Aku sangat jarang memanggil namanya. Hanya saat emosi saja."Dal*man, Mas. Lingerie, yang suka aku pakai kalo malam," jawabnya sedikit berbisik."Oh. Kirain barang apaan. Mas udah ngira ke obat-obatan terlarang," ungkapku sedikit terkekeh. Kulihat dari ekor mataku, Yulia tersenyum tenang. Tapi aku tidak perca
Sebuah benda kecil memanjang, bertuliskan nama merek di atasnya, lantas terdapat pula dua buah garis berwarna merah di bawahnya.Aku ingat. Ini test pack yang pernah Yulia gunakan beberapa tahun lalu, saat kami mengira dirinya hamil karena terlambat datang bulan. Hanya saja, test pack yang ia gunakan saat itu hanya muncul satu garis merah. Itu artinya, test pack yang saat ini kupegang menunjukkan penggunanya positif hamil."Kamu hamil?" tanyaku lirih, menatapnya penuh haru."Bukan milikku, Mas," jawab Yulia, tertunduk lesu."Oh, ya? Tapi Mas merasa, kamu memang hamil." Tetesan embun sedikit membasahi wajahku, namun aku terus tersenyum ke arahnya."Enggak, Mas." Yulia menggeleng pasti "Kita periksa sekarang, untuk membuktikanya. Ya?" ajakku, sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi."Enggak. Aku memang gak hamil," tukasnya sambil memegangi perutnya yang terbungkus sebuah midi dres yang panjangnya hanya sampai betis."Tapi Mas yakin, di dalam sini ada malaikat kecil." Aku be
PoV Author"Mengapa Ibu tidak periksa, sejak awal ketahuan hamil?" tegur dokter pada Yulia."Saya masih ragu, Dok. Kebetulan, sudah beberapa kali kecewa oleh alat tes kehamilan sebelum-sebelumnya. Jadi, ketika mendapat garis dua, saya memilih untuk tidak terlalu peduli." Yulia menjawab bohong. Ia sengaja memilih rumah sakit yang belum pernah didatanginya.Sejak dua bulan lebih yang lalu, dirinya melakukan tes kehamilan. Dan seketika itu pula, ia memberitahukan pada kekasih gelapnya dan rutin memeriksakan kandungannya setiap bulan. Terhitung sudah tiga kali dirinya periksa bersama pria itu. Dan yang terakhir adalah ketika suami Siska menangkap gambarnya dari belakang."Setidaknya, beritahu aku, suamimu." Wajah Raffa tampak tak baik-baik saja. Bukannya bahagia, ia malah berpikir ke segala arah tentang kehamilan istrinya yang ia anggap janggal."Mas, kamu marah padaku?" tanya Yulia dengan wajah sendu."Apa bayinya sehat, Dok?" tanya Raffa, tak mempedulikan rengekan istrinya."Alhamdulill
PoV Author"Apa, suamimu yang balas chatku?" tebak Evano."Ya Allah. Bagaimana ini?" Wajah cantik Yulia berbias ketakutan. Ia telihat sangat panik, takut suaminya sudah mengetahui semuanya.Wanita itu lantas mengatakan pada Evano, tentang chat dari Siska yang mengirim foto mereka saat di rumah sakit pagi itu."Ceroboh! Aku sudah bilang, bercerai dengan cara yang anggun, agar kamu mendapat banyak bagian dari suamimu!" omel Evano.~~Sementara di tempat lain, Raffa tengah memantau incarannya. Ia sudah menyuruh orang untuk memata-matai istrinya, serta mencari info tentang alamat studio aerobik yang biasa Yulia datangi.Tak hanya itu, Raffa juga telah melacak nomor telepon dua kontak yang ia dapat dari ponsel Yulia. Siska dan Evani.Meski terus berpikir positif, bayangan hal buruk yang diperbuat istrinya tetap saja menghantui pikirannya. Ia tak akan tenang, sebelum membuktikan semua yang pernah diucapkan istrinya.Sebuah pesan masuk ke ponselnya.[Target berada tak jauh dari rumah sakit B