Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu terus menatap kosong ke arah jalanan. Ia merasa tak berguna sebagai laki-laki muda di keluarganya. Untuk makan saja, ia tak punya. Satya sedikit menyesal karena selama ini terlalu manja mengandalkan uang kiriman kakak iparnya.Satya yang sudah sedewasa itu, tak sekalipun memanfaatkan waktu luangnya untuk mencoba bekerja. Ia hanya menikmati pendidikan yang diraihnya dengan uang Raffa.Ia bahkan beberapa kali mengulang skripsi karena tidak begitu serius. Teman-teman seangkatannya sudah mulai sukses dalam berkarir, sementara ia masih betah di semester akhir S2-nya."Beli, Pak.""Beli apa, Bang?""Roti yang ini harganya berapa?" tanya Satya, mengacungkan sebungkus roti ke udara."Tiga ribuan, Bang.""Air minumnya?""Tiga ribu lima ratus."Satya pun akhirnya mengambil tiga bungkus roti dan sebotol air mineral ukuran sedang, lalu membayarnya.Kini hanya tersisa uang dua ribu lima ratus di tangannya. Satya berjalan gontai, tak tahu apa yang harus mere
PoV AuthorSeorang lelaki dewasa yang seharusnya sudah bisa mencari uang sendiri dan bahkan sudah di usia menikah itu terus menatap sang kakak tanpa berkedip. Jauh di dalam pikirannya ia sangat menyesali apa yang barusan didengarnya. 'Mengapa Mbak Yulia bisa berubah sedrastis ini?' batinnya."Ayolah, Sat. Gak ada cara lain. Setidaknya ada ongkos buat kamu pulang dan ambil barang-barang Mbak," mohon Yulia lagi."Satya tidak akan sudi menginjakkan kaki di rumah laki-laki itu lagi, apalagi memohon bantuan padanya. Mbak sadar diri, dong! Laki-laki itu sudah mencuci otak Mbak jadi selicik ini."Dengan tegas Satya menolak permintaan Yulia yang baru saja ia utarakan. Yulia berbisik pada Satya, agar adiknya mau mendatangi apartement Evano dan memintanya memberi sedikit uang pada Satya, karena kebetulan jarak rumah sakit itu tidak jauh dari apartement Evano."Cuma dia yang paling dekat, Sat!" bentak Yulia, kesal."Enggak! Lebih baik aku jalan kaki pulang ke rumah, jika memang di rumah ada uang
"Raffa!" balasnya, berdiri dan mendekat ke arah mobil sedan berwarna putih tersebut."Ya Allah, alhamdulillah aku bisa ketemu Mas Raffa di sini." Pria dewasa itu lantas memeluk tubuh kakak iparnya yang baru saja keluar dari dalam mobil."Kamu ngapain, di sini?" tanya Raffa dengan sorot keheranan."Aku mau pulang ke rumah Mas Raffa. Disuruh sama Mbak Yulia, Mas.""Terus, ngapain duduk di sini?" tanya Raffa lagi.Satya mulai menghela napas, ingin mengatakan apa yang telah terjadi seharian ini."Ceritakan nanti saja. Sekarang kamu masuk ke mobil," suruh Raffa, marangkul bahu adik iparnya.Hari kian malam, Raffa dan ibunya baru saja memulai perjalanan pulang ke kampung dan kebetulan melihat Satya terduduk di tepi jalan di bawah lampu jalan.Kini mereka membawa Satya ke sebuah kafe terdekat."Bu, tunggu sebentar, ya. Raffa mau bicara sebentar sama Satya," izin Raffa pada Bu Ajeng."Iya. Selesaikan dulu masalah kalian. Kasihan juga Ibu lihatnya," bisik Bu Ajeng setelah Satya mendahului kelu
Nurul ternganga sejenak menatap pria di hadapannya, kemudian ia memeluk pria itu merasakan lega di dalam hatinya."Mas Raffa!" pekiknya. "Akhirnya Mas datang juga. Mbak Yul, Mas," lapornya, dengan binar kelegaan di wajahnya."Mas sudah tau." Raffa menarik tangan kedua adik iparnya, duduk di kursi stenlis berjajar di depan ruangan Yulia."Maaf, ya, Mas baru datang.""Iya, Mas, gak apa-apa," balas Nurul."Bapak tidur, ya?" tanya Raffa, melirik pria yang tengah terlelap di atas selimut rumah sakit."Iya, Mas. Mas, Nurul minta maaf, ya. Nurul sempat kesal sama Mas Raffa dan sekarang Nurul sadar, seperti apa sikap Mbak Yulia."Raffa hanya mengangguk dengan senyuman tipis di wajahnya. "Mas gak bisa lama. Salam buat Bapak, ya.""Lho? Mas gak nengokin Mbak Yul dulu?" tanya Nurul lagi, sementara Satya sudah tahu ke mana Raffa akan pergi.Setelah memberi makan Satya, Raffa ingin mengantarkan Satya ke rumah sakit lagi sekaligus ingin menemui ayah mertuanya. Raffa sudah menitipkan sejumlah uang p
Lelaki bertubuh tinggi itu hanya mengelus dada seraya berucap, "Astaghfirullahal 'adziim."Bagaimana pun juga, ia sedang dan akan melakukan perjalanan yang cukup jauh. Rasa khawatir setelah melihat korban kecelakaan, seketika menyeruak di dalam hatinya. Namun dengan mengucap basmallah, ia mencoba menepis rasa takut itu."Bismillah.""Ada apa, Nak?" tanya Bu Ajeng, ketika Raffa telah duduk di sampingnya."Ada korban kecelakaan, Bu.""Ya Allah. Masih selamat, atau ..." pertanyaan Bu Ajeng menggantung begitu saja."Kurang tau. Tapi, semoga saja masih bisa diselamatkan," jawab Raffa dengan seulas senyuman tipis.Rasa khawatir itu kini menular pada Bu Ajeng. Ia mengelus lengan sang anak yang telah memegang setir. "Hati-hati, ya, Nak.""Iya. Ibu tenang saja," balas Raffa.Biar bagaimana pun, Bu Ajeng tahu seperti apa kondisi hati sang anak saat ini. Beliau takut jika perasaan dan pikiran sang anak akan mengganggu fokusnya saat berkendara, apalagi di malam hari. Namun apa boleh buat, Raffa y
"Tidak usah lah, Raf. Ibu takut!" tahan Bu Ajeng, tak ingin sang anak semakin syok melihat korban kecelakaan tersebut, karena khawatir akan mempengaruhi fokusnya nanti."Gak apa-apa, Bu.""Boleh, Pak. Kebetulan kami belum menemukan identitas para korban. Siapa tahu Bapak mengenal salah satu di antara mereka," ujar perawat laki-laki itu, lalu membantu membukakan penutup di bagian wajah korban kecelakaan itu."Jangan, Raffa!" tahan Bu Ajeng lagi, menarik lengan anaknya hingga sedikit menjauh dari brankar itu. Padahal kain putih itu sudah tersingkap oleh perawat yang membawanya."Ibu tenang, ya. Inshaa Allah Raffa tidak akan kenapa-kenapa. Takutnya, wanita itu adalah salah satu karyawan di kantor. Soalnya Raffa merasa tidak asing dengan wajah itu," jelas Raffa, mencoba memberi pengertian pada ibunya."Nanti kamu jadi tidak tenang saat menyetir, Nak. Atau kita batalkan saja perjalanan malam ini?" usul Bu Ajeng, dengan raut khawatir yang mendalam.Raffa hanya menggeleng dengan seulas senyu
Raffa berpikir beberapa saat, namun hatinya tetap meragu. 'Ini pasti gara-gara aku gak patuh sama ibu,' batinnya."Silakan, Pak."Raffa terpaksa mengangguk dan mengikuti langkah perawat itu. Ia mencoba lebih fokus ketika tirai dibuka.Seorang pria tengah diperiksa oleh dokter dengan selang terpasang di mulut dan hidungnya. Sementara wajah laki-laki tersebut sebagian membengkak dan sulit untuk dikenali. Raffa terfokus pada tangan sebelah kanan pria itu, seperti terkulai tanpa tulang sementara memar terlihat jelas di bagian bahunya.Pria yang bertelanjang dada dengan tato berbentuk ular di dadanya itu tak sadarkan diri. Bagian dada putih bersihnya dipasang alat-alat medis oleh dokter."Evano?" gumam Raffa.**Di ruangan rawatnya Yulia tengah menangis tersedu. Selain merasakan pilu karena sang suami sudah tak lagi peduli, ia juga baru saja dimaki habis-habisan oleh ayah dan adik-adiknya. Ia bahkan kini dibiarkan sendirian di dalam ruanganya, sebab keluarganya benar-benar sudah kecewa. Uc
"Turun, Yulia," pinta Raffa dengan dada bergetar ketakutan."Gak mau, Mas. Aku mau main di sana. Lihatlah, kunang-kunangnya banyak sekali," ucap Yulia seperti anak kecil. Telunjuknya mengarah pada kelap-kelip lampu dari rumah-rumah yang ada di kota tersebut, memang tampak indah jika dilihat dari atas.Raffa masuk dan mendekati sisi jendela tersebut. Lagi-lagi dirinya merasa punya kewajiban untuk menyelamatkan Yulia."Jangan ke sini, Mas! Di sini dingin. Mas Raffa tidak akan sanggup," larang wanita hamil yang tengah dikuasai oleh halusinasinya."Karena di situ dingin, makanya kamu turun. Di sini saja, ya," bujuk Raffa."Apa Mas Raffa masih mau main denganku?" tanya Yulia, layaknya seorang anak yang ingin memiliki teman bermain."Iya. Aku akan main denganmu," jawab Raffa dengan gemetar di sekujur tubuhnya.Belum habis rasa terkejutnya akan kecelakaan yang menimpa Evano, sudah dikejutkan kembali dengan kelakuan Yulia yang di luar nalar."Mas Raffa bohong! Mas sudah gak mau main denganku.