"Hati-hati, ya, Mas. Nanti siang, kuantar makan siang ke kantor." Yulia mengatakan itu di samping kaca mobilnya. Wanita itu memohon dengan sangat, agar sang suami mau memakai mobilnya, sampai mobil suaminya itu selesai diperbaiki. Pikir Yulia, sebagai permintaa maaf.Ia bertekad tak akan lagi keluar rumah selain dengan suaminya. Sudah dibiarkan tetap tinggal saja, ia sudah bersyukur, meski dinginnya sikap Raffa nyaris membuatnya beku tak bisa berkutik.Tentu saja hal itu menguntungkan bagi Raffa. Ada banyak rencana mencuat di kepalanya. Mobilnya sudah selesai diperbaiki sejak kemarin. Hanya saja, ia belum sempat mengambil. Bila perlu, tak usah diambil saja, pikirnya."Terserah," jawab Raffa, seolah tak peduli. Ia melesatkan mobil sedan keluaran terbaru itu dengan kecepatan sedang.Pria itu memposisikan kembali dirinya sebagai atasan di kantor tersebut. Sejenak mengesampingkan semua masalah yang tengah menerpa hidup dan rumah tangganya. Ia harus selalu menjadi panutan di kantor itu, ag
"Maafkan Mama, Nak. Karena kebodohan Mama, nasabmu masih tak jelas," ucap Yulia, seraya menitikkan air mata dan jatuh ke atas hijab warna maroonnya.Raffa memilih pergi ke kafe terdekat untuk menenangkan diri, serta menyantap beberapa suap asupan gizi yang dibutuhkannya.Ia teringat kembali pada berkas itu. Bukan hal sulit untuk mendapatkan kembali berkas yang kemarin dibawa oleh Embun. Ia hanya perlu meminta salinannya lewat email, lalu mengeprintnya. Namun kemarahannya bukan hanya karena alasan berkas itu saja. Melainkan atas pengkhianatan Yulia.Raffa pun mengirim pesan pada Embun, meminta salinan berkas permohonan kerjasama itu lagi. Ia mendapatkan nomor telepon Embun dari kartu nama yang diberikan.[Siang, Embun. Maaf, aku bisa minta salinan berkas kemarin?] [Siang, Mas. Boleh. Sebentar, ya, aku kirim.]Tak berapa lama, berkas itu masuk melalui emailnya.[Terima kasih.][Sama-sama. Oh, iya, berkas yang kemarin, kenapa?] tanya Embun.[Basah, kena tumpahan air.] Raffa berbohong. T
PoV AuthorTiga hari menjelang pengajian empat bulanan kehamilan Yulia, semua sudah ia persiapkan dengan sukacita. Raffa sangat mendukung rencana itu, dengan cara memodalinya."Coba dicek, ada lagi yang kurang, enggak?" tanya Raffa dengan nada datar. Hingga hari ini, ia masih belum berkata manis sedikitpun pada Yulia."Sudah cukup, Mas. Tinggal nunggu harinya saja. Aku jadi gak sabar, ingin segera mengirim do'a untuk bayi kita." Yulia tersenyum bahagia, membayangkan wajah gembira suaminya ketika nanti sang bayi lahir."Kirim do'a tidak perlu menunggu empat bulan," tukas Raffa dengan malas."Iya, Mas. Setiap habis shalat, aku selalu melantunkan do'a untukmu, untuk kita dan bayi kita."Yulia bersyukur, di balik semua kebohongannya, Raffa tak sedikitpun membuangnya. Meski sikap Raffa sedingin es, namun perhatiannya tetap bisa ia rasakan lewat materi yang tak terhingga. Sampai hari ini, Raffa dan Yulia tidur terpisah di kamar yang berbeda.Yulia pikir, 'Tak masalah. Seiring berjalannya wa
"Hanya hadiah kecil. Tandatangan saja, nanti juga kamu akan tahu sendiri.""Aku baca dulu, ya, Mas." Yulia ingin meraih berkas di tangan Raffa, namun segera Raffa merebutnya."Kamu tidak percaya padaku? Baiklah. Tidak usah!" Raffa menarik dan memeluk berkas itu."Mas ... sini, biar aku tandatangai," bujuk Yulia, lagi-lagi ia tidak ingin membuat Raffa kecewa.Yulia juga ingat pada permintaannya beberapa tahun lalu."Mas, kita belum punya rumah, lho.""Ini rumah kita, Sayang.""Beda, Mas. Rumah ini hadiah dari Ibumu.""Sama saja.""Tapi aku ingin punya rumah lagi, dari hasil keringatmu. Setidaknya, kalau kita sedang ada masalah, bisa kabur ke rumah itu. He he he ... tidak perlu kabur ke rumah orang tua masing-masing.""Tidak akan, jika tujuannya itu. Cukup satu rumah, agar tidak ada di antara kita yang lari dari masalah. Gak usah kabur-kabur."'Mungkin saja Mas Raffa ingin membelikan rumah untuk kami. Bisa saja, 'kan rumah itunia hadiahkan untukku atas kehamilanku. Tapi, aku takut ia ak
"Hai, Yulia!"Yulia terperanjat melihat motor yang amat ia kenali, lantas mematikan keran air dan berjalan mendekat ke arah pagar rumahnya."Mau apa kamu ke sini?" tanyanya panik. Ia sampai beberapa kali menoleh ke sekitar, khawatir ada yang melihat."Mau memastikan, apakah dirimu masih aman di sini?""Tentu saja aman. Kehadiranmu yang membuatku tidak aman!" tegasnya, penuh penekanan di akhir kalimat."Oh, ya? Bukankah aku ini bagaikan dewa yang hadir mengusir kesepianmu?" sindir pria yang masih duduk di atas jok motornya."Cih!" Yulia berdecih. "Pergilah, sebelum ada yang melihat. Jangan buat posisiku semakin sulit," pintanya."Aku akan pergi, setelah kamu menyepakati sebuah perjanjian," pungkas pria berhelm fullface warna hitam itu."Gak akan. Sedikitpun, aku tidak akan lagi percaya padamu. Aku akan berbakti pada suamiku.""Ha ha ha ...! Yakin?" tanya pria yang tak lain adalah Evano. Ia menyalakan layar ponselnya, lalu menekan tombol segitiga, memutar sebuah rekaman video panas anta
Ayah Yulia datang bersama kedua adiknya. Besok adalah acara pengajian empat bulanan kehamilan Yulia. Sementara ibunya Raffa akan datang besok pagi."Nurul ...!" Yulia memekik gembira, menyambut adik bungsunya yang baru saja turun dari taksi online."Mbak!" Gadis berusia tujuh belas tahun itu pun membalas pelukan sang kakak dengan erat."Ayo, Pak, Dek." Yulia pun menyambut adik pertama dan ayahnya, mengajak serta untuk masuk ke dalam rumah."Sehat, Nak?" tanya Pak Sujita--ayah Yulia, saat sang anak sulung menyalaminya."Alhamdulillah sehat, Pak. Bapak dan adik-adik juga sehat, 'kan? Maaf, ya, Yulia merepotkan." Tangannya terus menggenggam tangan keriput laki-laki yang merupakan cinta pertamanya, hingga ke depan pintu."Nurul seneng, deh, kalo nginap di sini. Rumahnya luas, adem, kasurnya juga nyamaaan ... gak kayak di rumah kita," ungkap Nurul, ketika menginjakkan kaki di rumah kakaknya."Harus disyukuri, Rul. Sudah bagus Mas Raffa yang bantu kita buat biaya sekolah dan makan sehari-ha
"Iya, kayaknya. Mbak lupa naruh kuncinya," tutur Yulia semakin berdebar kuat. Ia takut keluarganya mencium keretakan dalam rumah tangganya."Yah! Aneh, nih Mbak Yulia. Masa, di rumah sendiri gak ingat naruh kunci. Harusnya, biarkan tetap menempel di sana." Nurul mencebik."Kita ke atas aja, ya." Yulia menarik tangan adik bungsunya, sebelum sang ayah mempertanyakan hal itu."Nanti sudah sampai atas, jangan-jangan dikunci juga dan Mbak gak tau kuncinya di mana," tukas Nurul."Enggak. Udah, ayo!"**Tanpa Yulia undang, beberapa orang berseragam putih khas juru masak datang membawa makanan yang sudah siap dihidangkan. Juga ada beberapa orang lainnya yang akan memasang hiasan minimalis untuk menyambut tamu."Ini, sih, bukan kecil-kecilan, Mbak."Yulia tersenyum, hatinya dipenuhi bunga-bunga. Ia merasa suaminya benar-benar perhatian meski sikapnya tengah membeku.Selesai mendekor, mereka pun pulang."Permisi, Mbak," ucap dua orang di depan pagarnya. Satu wanita dan satu laki-laki."Iya. Ada
"Kenapa, Nak?" Ayahnya tampak panik, menggeser anak lelakinya dan duduk di samping Yulia."Pak, perut Yulia sakit. Sepertinya harus istirahat," keluh Yulia, memanfaatkan momen keram perutnya."Iya, iya. Kamu sabar, ya. Sudah, bersandar di sini saja." Pak Sujita yang sudah terlanjur penasaran dengan isi video tersebut, seolah tak mengijinkan Yulia pergi."Yulia ke kamar saja, Pak. Tolong suruh mereka pulang," mohonnya dengan wajah memelas.Pak Sujita mulai dilema, antara tetap menyaksikan pertunjukkan yang entah isinya apa, atau mengantar sang anak ke kamarnya. Ia menoleh lagi pada televisi yang kembali menyala.Yulia kian menegang. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Bu Ajeng tiba-tiba saja berucap, "Keram perut ketika hamil sudah biasa terjadi, apalagi ketika ibu hamil sedang dalam kepanikan. Duduklah, biar kamu gak panik."Video pun kembali berputar dan kali ini mempertontonkan percakapan Raffa dengan dokter kandungan Yulia yang dengan jelas mengatakan tentang kedatangan Yulia dan E