"Ma, Papa! Papa!"
Keenan berlari-lari masuk rumah sambil menyebut-nyebut papanya. Aku yang sedang ngobrol dengan Mbok Jum di ruang tamu segera menoleh. Benar saja, mobil Mas Reyfan memasuki halaman. Aku bangkit dan menggandeng bocah kecil itu untuk menyambut kedatangan ayahnya di pintu. "Assalamu'alaikum. Hai, Sayang," sapanya sambil mencium pipiku, lalu meraih Keenan ke dalam gendongan dan langsung menciumi putra kami dengan gemas. Begitulah kehidupan kami dua minggu setelah percakapan di dapur malam itu. Aku berusaha bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa dan dia pun lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sepulang dari kantor. Aku tak tahu apakah dia benar-benar sudah insyaf atau hanya berpura-pura.. “Lagi ngapain, Sayang?" tanyanya padaku setelah menurunkan Keenan dari gendongannya. "Nggak ngapa-ngapain Mas, cuma ngobrol aja sama Mbok Jum." Dia segera menggandeng tangan mengajakku duduk. Sikap Mas Reyfan semakin lembut dari hari ke hari. Namun perasaanku sendiri tak bisa dibohongi. Sepertinya rasa cinta yang pernah ku punya terhadapnya sudah semakin pudar akibat apa yang telah dia lakukan. Meski begitu, aku masih tetap bertahan, karena aku tak ingin rencana yang telah kususun rapi gagal berantakan. Uang 50 juta yang pernah kuminta sudah ada di tabungan. Tinggal mencari cara untuk memutar menjadi sebuah usaha yang bisa menjadi pegangan hidup mandiri nantinya. Sertifikat rumah masih dalam proses balik atas namaku. Sepanjang menunggu waktu itu, aku akan terus bersikap baik padanya. "Oh iya, Sayang. Aku lupa. Aku bawa mainan buat Keenan. Ada di jok belakang mobil. Tolong ambilin ya?" pintanya sembari melepas sepatu. Aku mengangguk dan menyambar kunci yang tergeletak di meja, bersebelahan dengan ponsel Mas Reyfan. Aku segera bergegas menuju garasi. Sesuai perintah, aku langsung membuka pintu kursi belakang mobil. Dan benar saja, ada kardus mainan lumayan besar yang teronggok di sana. Tanganku segera meraihnya. Dengan susah payah berusaha mengeluarkan kardus itu. Namun sebelum berhasil mengeluarkan benda yang lumayan besar itu, tiba-tiba terdengar bunyi tak asing di dalam mobil. Aku kaget, sepertinya bunyi dering ponsel. Refleks kurogoh saku dasterku. Oh tidak, itu bukan ponselku, karena aku tidak mengantongi ponsel saat itu. Lalu milik siapa? Aku ingat bahwa ponsel Mas Reyfan ada di atas meja di ruang tamu. Mendadak perasaanku jadi tidak enak. Kuletakkan kembali kardus mainan Keenan di tempatnya semula. Lalu aku mulai mencari-cari sumber suara deringan lirih itu. Dimana? Sepertinya tidak di sekitar jok depan atau belakang. Suara itu terdengar sangat kecil seperti teredam olah sesuatu. Ponsel siapa yang berdering itu? Mungkinkah Mas Reyfan menyimpan ponsel di dalam mobilnya? Tapi untuk apa? "Ada kan, Sayang?!" Suara teriakan Mas Reyfan terdengar dari dalam rumah. "I-ya Mas, ada. Sebentar. Susah keluarnya," sahutku. Rasa penasaranku belum hilang, tapi suara ponsel itu sudah tak lagi terdengar. Karena tak ingin Mas Reyfan curiga, aku pun segera mengeluarkan kardus mainan Keenan dan membawanya masuk. Tapi dalam hati, aku bertekad akan menemukan ponsel itu nanti. Aku begitu yakin bahwa aku tidak salah dengar. Itu suara ponsel yang sepertinya sengaja disembunyikan di dalam mobil. Walaupun aku belum tahu di sebelah mana. ***** Saat malam harinya Mas Reyfan terlelap, aku menggeledah isi mobilnya. Masih sangat yakin ada sesuatu di dalam sana yang tidak aku ketahui. Mengendap-endap, aku keluar dari kamar usai meraih kunci mobil di atas nakas. Kali ini aku harus menemukan benda itu. Saat sampai di bawah, kubuka pintu mobil dengan sangat pelan. Memulai pencarianku dari jok depan, laci dashboard, sampai tempat-tempat tersembunyi yang kemungkinan bisa digunakan untuk menyembunyikan sebuah ponsel. Kugunakan lampu ponsel untuk membantu penerangan. Berdoa semoga saja tidak ada satpam kompleks yang sedang lewat, karena akan celaka kalau sampai disangka maling. Sampai ke jok belakang pun, tetap tak juga kutemukan benda yang sedang kucari itu. Ya Tuhan, dimana kamu sembunyikan benda itu, Mas? Wajahku mulai panik. Sudah terlalu lama aku mengobrak-abrik mobilnya. Aku takut dia terbangun dan menyadari aku dan kunci mobil tak ada di dekatnya. Di tengah keputusasaan, aku baru teringat belum memeriksa bagasi belakang mobil. Segera aku membuka pintu bagasi pelan-pelan. Hanya ada sandal, sepatu yang biasa Mas Reyfan taruh di sana serta beberapa benda lain yang sudah ku hafal. Tak ada yang mencurigakan. Namun aku masih saja penasaran. Ku obrak-abrik benda-benda di bagasi itu sampai akhirnya ku lihat sebuah slingbag yang tersembunyi di bawah karpet mobil. Sling Bag kecil tanpa isi, sangat tipis. Siapa sangka akan berada di tempat seperti itu? Tanpa menunda lagi, kuambil sling bag itu. Ternyata tak sia-sia, aku menemukan sebuah ponsel disana. Aku sangat yakin itu adalah ponsel yang bunyinya terdengar sebelumnya saat mengambil kardus mainan Keenan. Beruntunglah karena ternyata ponsel itu tak dikunci. Aku yakin Mas Reyfan sengaja menyembunyikan ponsel di mobil untuk tujuan tertentu. Mungkinkah dia masih berhubungan dengan perempuan kampus itu? Tak mau terus-terusan penasaran, aku segera meluncur ke aplikasi chat di ponsel itu. Alangkah terkejutnya aku. Bukan hanya chat dari nama Shasha banyak terdapat di sana, tapi juga Mbak Ratri dan Irwan. Selain juga nama-nama lainnya yang tak kukenal. Chat dengan nama Shasha yang paling membuatku penasaran. Mataku begitu perih saat akhirnya tahu isinya. Chat-chat mesum dengan gadis bernama Shasha membuatku bergidik, jijik. Kulanjutkan membaca chat Mas Reyfan dengan Mbak Ratri. Aku sangat penasaran apa yang selama ini sering mereka bicarakan. Aku mengira pasti namaku disebut-sebut dalam pembicaraan mereka. Namun ternyata aku salah besar. Apa yang kutemukan ternyata sungguh di luar dugaan. Bagian terakhir chat suamiku dengannya begitu mencengangkan. [Hari minggu Si Cindy sudah ada yang pesan? Kalau belum, ada temanku yang mau pakai dia, Mbak.] Bersambung …Satu bulan setelah pertemuannya kembali dengan Santi, hari ini keduanya nampak sedang duduk di sebuah ruang pertemuan di salah satu sudut kantor Adam.Di hadapan keduanya ada 4 orang karyawan inti di perusahaan Adam yang sedang menghadap ke arah mereka. Nampak di depan mereka tumpukan berkas yang baru saja selesai dibahas."Jadi rencanaku bisnis kosmetik ini nantinya akan seperti itu. Bagaimana menurut kalian?" tanya Adam pada keempat anak buahnya."Bagus, Pak. Saya rasa ide ini sangat cemerlang mengingat pasar kosmetik yang saya lihat saat ini sedang lesu-lesunya. Hampir tak ada brand baru yang muncul akhir-akhir ini," ujar salah satu karyawan itu."Iya itu maksudku. Ya sudah kalau gitu kita cukup
Malam itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Adam. Kedatangan mantan karyawannya dengan penampilan yang sedikit berbeda namun masih sama malu-malunya itu membuatnya justru susah untuk lupa.Dari sejak lelaki itu menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, Adam hanya terlihat mondar mandir dari kamar menuju balkon. Secangkir kopi dibawanya ke sana kemari dengan perasaan kacau yang sulit dia mengerti sendiri."Lagi ngapain kamu, Dam? Mama perhatikan dari pintu tadi kayak orang lagi bingung gitu?"Ibunya yang sedari tadi mengamati tingkah aneh putranya menghentikan langkahnya di pintu balkon."Mama ngagetin aja." Muka Adam langsung memerah karenanya.
Beberapa minggu setelah pertemuannya dengan mantan bosnya, gadis itu melakukan treatment di sebuah klinik kecantikan. Hani juga telah membekalinya uang yang cukup untuk dia belanjakan beberapa potong baju yang akan lebih membuatnya percaya diri saat bertemu dengan Adam nanti.Dan siang itu adalah hari yang telah direncanakannya untuk menemui Adam. Santi melangkah dengan penuh kayakinan menuju ke kantor Adam usai turun dari taksi online yang ditumpanginya."Bisa saya bertemu dengan pak Adam?" tanyanya pada resepsionis."Maaf, apa ada sudah janji sebelumnya, Bu?" tanya balik sang gadis dengan seragam warna violet itu."Mmmm."Santi mulai men
Rapatnya Hani menyimpan rasa shock atas pertemuannya dengan Adam, bahkan membuat Daniel pun tak menyadari bahwa istrinya memang sedang sedikit tak enak badan hari itu. Sampai-sampai lelaki itu setengah memaksa mengajak sang istri untuk mau ikut bersamanya keluar larut malam.Hanya untuk membuat Daniel tak cemas dengan kondisi dirinya yang memang sedang kurang baik setelah kejadian yang menimpa siang harinya, Hani pun terpaksa menuruti ajakan suaminya.Daniel membawa istrinya ke sebuah Kafe bernuansa outdoor di daerah pinggiran kota malam itu. Mereka tiba di tujuan saat hari telah lewat. Meski begitu, suasana masih terlihat lumayan ramai. Tempatnya yang didesain sangat romantis ternyata sedikit membawa suasana hati Hani menjadi lebih membaik."Kamu suka temp
Tubuh Hani masih gemetar, bahkan ketika mobilnya sudah memasuki halaman rumah. Usai Adam membiarkannya pergi dari parkiran mall, wanita itu mengendarai dengan sangat pelan sembari berusaha menenangkan kembali gejolak di dalam dadanya. Kalimat demi kalimat Adam terngiang-ngiang di kepalanya seolah tak mau pergi."Lho, Bu Hani kenapa?" Bik Marni yang saat itu sedang bermain bersama dengan Tasya dan Keenan di serambi rumah sedikit kaget melihat Hani nampak seperti orang linglung saat keluar dari mobilnya di garasi.Sesaat Hani baru menyadari ada yang memperhatikannya. Buru-buru wanita itu menggeleng."Enggak kok, Bi'. Cuma agak pusing sedikit," jawabnya.Lalu dengan sigap, Bi' Marni pun segera m
"Sudah dibayar sama mas yang di sana, Bu."Hani dan 3 orang teman wanitanya saling pandang. Lalu bersamaan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh kasir restoran."Yang mana? Yang di dalam ruangan itu?" tanya salah seorang teman Hani."Iya, yang sedang memimpin rapat itu, Bu."Hani tak mungkin tak mengenalnya. Di dalam ruang meeting dengan dinding kaca itu memang ada Adam dan beberapa orang yang mengenakan seragam yang dia kenali sebagai karyawan kantor Adam."Kamu kenal, Han?" tanya salah seorang temannya lagi, melihat Hani seolah sedang menunggu orang itu membalikkan badan untuk melihat ke arah mereka.