Kami duduk berhadapan di meja dapur. Saat itu, sudah lewat dari tengah malam, tapi demi mendengar tawarannya menuruti semua keinginanku, mendadak jadi semangat untuk segera membahasnya.
Setelah menyeduh dua cangkir kopi beberapa menit yang lalu, kini kami menikmati aroma yang merebak di hadapan kami. "Katakan, apa yang kamu inginkan agar kamu maafin aku, Han?" Mas Reyfan memulai pembicaraan. "Kamu masih ingat kan pembicaraan kita tempo hari soal aku ingin buka usaha?" tanyaku mengingatkan. "Iya, ingat." Dia mengangguk. "Tolong siapkan modal buat aku, Mas." Kulihat dia mengerutkan dahi sebentar, tapi kemudian bertanya, "berapa yang kamu butuhkan?" "Seratus lima puluh juta saja." "Apa? tapi itu besar sekali, Han. Tabunganku nggak cukup kalau segitu. Kamu tahu sendiri kan kemarin habis beliin kamu mobil." "Oke, kalau gitu berapa yang bisa kamu kasih ke aku, Mas?" "Gimana kalau sepertiganya saja?" "Boleh aku liat?" Aku mengulurkan tangan, meminta ponselnya. Dengan ragu, dia pun memberikannya. Yang aku tahu Mas Reyfan memang hanya memiliki satu rekening bank saja yang aktif. Entah kalau ada lainnya yang dia sembunyikan. Segera kubuka aplikasi mobile banking yang dia punya. "PIN?" tanyaku. Dia pun mengucapkan perpaduan beberapa huruf dan angka. Mataku sedikit membulat saat tahu bahwa ternyata dia menggunakan tanggal pernikahan kami untuk PIN akun banking-nya. Saat kubuka isi saldonya, ternyata memang hanya ada beberapa puluh juta saja. "Oke, kasih aku 50 juta tunai dan aku juga mau sertifikat rumah ini kamu balik namakan atas namaku, Mas." "Sertifikat? Tapi buat apa, Han?" "Buat jaga-jaga aja. Nggak ada jaminan kan kalau kamu besok-besok nggak akan ngulangin kesalahan yang sama, Mas? Jangan khawatir, semua itu untuk anakmu, Keenan. Bukan buat aku." "Tapi kan walaupun rumah ini atas namaku, tetap rumah ini milik kamu juga, Sayang. Kenapa harus dibalik nama sih? Toh kita selamanya akan tinggal di sini 'kan?" "Ini cuma buat jaga-jaga, Mas. Ngerti kan maksudku?" Aku mulai memasang tampang kesal. "Jadi menurut kamu aku nggak mikirin kalian?" "Buktinya kamu selingkuh 'kan?” "Ya ampun, Hani. Aku cuma iseng, sumpah. Dan aku nyesel sekarang." "Iseng, tapi sampai dibela-belain bohongin istri mau pergi ke Bali? Itu yang namanya iseng, Mas?" Mataku nyalang menatapnya, hingga kurasa nyalinya sedikit menciut melihat murka di wajahku. "Tenang saja, Mas, kita akan baik-baik saja meskipun rumah ini sudah kamu serahkan padaku. Asalkan kamu tidak macam-macam lagi," ujarku meyakinkan. "Apa harus seperti itu, Han?" "Aku jadi curiga deh, Mas, sepertinya kamu memang tidak tulus meminta maaf. Buktinya, kamu masih saja perhitungan kayak gini sama aku dan Keenan. Kamu bilang kami berdua ini segalanya buat kamu. Kenapa hanya masalah kecil seperti rumah saja belibet banget?" "Oke, oke. Ya sudah, aku akan segera urus balik namanya." "Nah gitu dong, kan sama-sama enak, Mas." "Tapi kamu nggak akan usir aku keluar dari rumah ini kan kalau rumah ini sudah jadi milik kamu, Sayang? "Kamu pikir aku istri yang sekejam itu?" "Jangan galak-galak kenapa sih, Han? Kita lagi ngobrol baik-baik kan ini?" "Lagian siapa yang mulai duluan? Kamu kan, Mas? Ingat ya baik-baik. Kalau sampai sekali lagi itu terjadi, kamu nggak akan pernah lagi bisa ketemu Keenan." "Ngomongnya yang baik-baik saja, Hani!" Dia sedikit menghardik. Jelas dia tidak suka aku mengungkit-ungkit tentang berpisah dari Keenan kepadanya. "Ngomong-ngomong, besok kita adakan pertemuan keluarga dengan orang tua kita, Mas." Entah kenapa tiba-tiba keisenganku muncul. "Mau apa?" Dia mengernyit heran. "Ya biar mereka tau, kelakuan anak lelakinya seperti apa." Aku mencoba menakutinya. Dan rupanya berhasil. Wajahnya jadi pucat. "Hani, jangan macam-macam ah. Aku kan sudah nurutin semua permintaan kamu lho." "Yaudah, kalau gitu cepetan urus apa yang aku minta tadi." "Iya iyaaa, besok aku urus. Sekarang sudah bisa tidur kan? Aku capek, Han." Wajahnya nampak sangat memelas. Aku tersenyum puas. Salah siapa bikin masalah? ***** "Jadi kamu memutuskan untuk memaafkan Reyfan, Han?" Ibu mengelus rambutku saat aku meletakkan kepala di pangkuannya. Sebenarnya ingin sekali aku katakan pada ibu, bahwa ini hanya trik saja untuk memindahkan harta Mas Reyfan, berjaga-jaga jika suatu saat dia berbuat curang lagi. Tapi tidak, orang tuaku tak mungkin ku libatkan dengan hal-hal semacam ini. "Iya, Bu." "Bagus, Nduk. Kamu memang harus berlapang dada karena masih ada Keenan di antara kalian. Jangan korbankan kehidupan anakmu jika memang hubungan kalian masih bisa diperbaiki.” Ibu tak akan mengerti, bagaimana sakitnya melihat suami sendiri bersama dengan wanita lain. Ibu memang jauh lebih beruntung dibandingkan aku. Bapak adalah lelaki yang taat dan seorang pengabdi keluarga. Dari aku kecil, ibu tak pernah mendapatkan perlakuan tidak baik dari bapak. Dan seperti itulah sebenarnya rumah tangga yang selalu aku impikan selama ini. Aku menyunggingkan senyum getir. Aku paham betul apa yang dimaksud ibu. Bukannya dia ingin membela menantunya itu, tapi lebih karena tidak ingin rumah tanggaku berantakan. "Oh iya, tadi pagi ibu ketemu Adam lho waktu pulang dari minimarket," kata ibu antusias. "Oh ya? Ngobrol apa sama Adam?" "Biasa aja sih. Apa kalian masih sering ketemu?" "Nggak lah, Bu. Cuma kadang aja telponan." "Ibu kok curiga ya, kalau sebenarnya Adam itu suka sama kamu, Han." "Ibu ini ngomong apa sih?" Aku terkekeh pelan. "Lho iya, ibu baru kepikiran. Jadi kita sempat ngobrol sebentar tadi. Ternyata dia itu katanya belum mau menikah. Padahal kan usianya sepantaran kamu to, Han?" "Iya memang sepantaran Hani. Terus, hubungannya apa sama Hani?" Mataku memicing menatap ibu. "Tadi dia banyak nanya soal kamu lho." "Banyak nanya kan bukan berarti suka, Buu." Aku tergelak. Ibuku ini terkadang memang lucu. "Tapi, dulu mamanya Adam juga pernah bilang gitu sih sama ibu. Ibu pikir cuma bercanda waktu ibu tanya kapan Adam nikah, mamanya Adam malah jawab, Adam kecewa karena kamu udah nikah." "Ih, ibu ini ngomong apa sih?" Kembali aku tergelak. Adam pernah menyukaiku? Aku mengerutkan dahi. Masa' sih? Bersambung …Satu bulan setelah pertemuannya kembali dengan Santi, hari ini keduanya nampak sedang duduk di sebuah ruang pertemuan di salah satu sudut kantor Adam.Di hadapan keduanya ada 4 orang karyawan inti di perusahaan Adam yang sedang menghadap ke arah mereka. Nampak di depan mereka tumpukan berkas yang baru saja selesai dibahas."Jadi rencanaku bisnis kosmetik ini nantinya akan seperti itu. Bagaimana menurut kalian?" tanya Adam pada keempat anak buahnya."Bagus, Pak. Saya rasa ide ini sangat cemerlang mengingat pasar kosmetik yang saya lihat saat ini sedang lesu-lesunya. Hampir tak ada brand baru yang muncul akhir-akhir ini," ujar salah satu karyawan itu."Iya itu maksudku. Ya sudah kalau gitu kita cukup
Malam itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Adam. Kedatangan mantan karyawannya dengan penampilan yang sedikit berbeda namun masih sama malu-malunya itu membuatnya justru susah untuk lupa.Dari sejak lelaki itu menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, Adam hanya terlihat mondar mandir dari kamar menuju balkon. Secangkir kopi dibawanya ke sana kemari dengan perasaan kacau yang sulit dia mengerti sendiri."Lagi ngapain kamu, Dam? Mama perhatikan dari pintu tadi kayak orang lagi bingung gitu?"Ibunya yang sedari tadi mengamati tingkah aneh putranya menghentikan langkahnya di pintu balkon."Mama ngagetin aja." Muka Adam langsung memerah karenanya.
Beberapa minggu setelah pertemuannya dengan mantan bosnya, gadis itu melakukan treatment di sebuah klinik kecantikan. Hani juga telah membekalinya uang yang cukup untuk dia belanjakan beberapa potong baju yang akan lebih membuatnya percaya diri saat bertemu dengan Adam nanti.Dan siang itu adalah hari yang telah direncanakannya untuk menemui Adam. Santi melangkah dengan penuh kayakinan menuju ke kantor Adam usai turun dari taksi online yang ditumpanginya."Bisa saya bertemu dengan pak Adam?" tanyanya pada resepsionis."Maaf, apa ada sudah janji sebelumnya, Bu?" tanya balik sang gadis dengan seragam warna violet itu."Mmmm."Santi mulai men
Rapatnya Hani menyimpan rasa shock atas pertemuannya dengan Adam, bahkan membuat Daniel pun tak menyadari bahwa istrinya memang sedang sedikit tak enak badan hari itu. Sampai-sampai lelaki itu setengah memaksa mengajak sang istri untuk mau ikut bersamanya keluar larut malam.Hanya untuk membuat Daniel tak cemas dengan kondisi dirinya yang memang sedang kurang baik setelah kejadian yang menimpa siang harinya, Hani pun terpaksa menuruti ajakan suaminya.Daniel membawa istrinya ke sebuah Kafe bernuansa outdoor di daerah pinggiran kota malam itu. Mereka tiba di tujuan saat hari telah lewat. Meski begitu, suasana masih terlihat lumayan ramai. Tempatnya yang didesain sangat romantis ternyata sedikit membawa suasana hati Hani menjadi lebih membaik."Kamu suka temp
Tubuh Hani masih gemetar, bahkan ketika mobilnya sudah memasuki halaman rumah. Usai Adam membiarkannya pergi dari parkiran mall, wanita itu mengendarai dengan sangat pelan sembari berusaha menenangkan kembali gejolak di dalam dadanya. Kalimat demi kalimat Adam terngiang-ngiang di kepalanya seolah tak mau pergi."Lho, Bu Hani kenapa?" Bik Marni yang saat itu sedang bermain bersama dengan Tasya dan Keenan di serambi rumah sedikit kaget melihat Hani nampak seperti orang linglung saat keluar dari mobilnya di garasi.Sesaat Hani baru menyadari ada yang memperhatikannya. Buru-buru wanita itu menggeleng."Enggak kok, Bi'. Cuma agak pusing sedikit," jawabnya.Lalu dengan sigap, Bi' Marni pun segera m
"Sudah dibayar sama mas yang di sana, Bu."Hani dan 3 orang teman wanitanya saling pandang. Lalu bersamaan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh kasir restoran."Yang mana? Yang di dalam ruangan itu?" tanya salah seorang teman Hani."Iya, yang sedang memimpin rapat itu, Bu."Hani tak mungkin tak mengenalnya. Di dalam ruang meeting dengan dinding kaca itu memang ada Adam dan beberapa orang yang mengenakan seragam yang dia kenali sebagai karyawan kantor Adam."Kamu kenal, Han?" tanya salah seorang temannya lagi, melihat Hani seolah sedang menunggu orang itu membalikkan badan untuk melihat ke arah mereka.