"Mbok Juuum ... !" teriak Mas Reyfan sambil menuruni tangga ke lantai bawah. Dia bergerak cepat menuruni tangga sambil sebelah tangannya membenarkan letak dasinya.
"Ya, Pak?" Mbok Jum yang sedang membantuku menyiapkan sarapan tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Mbok liat kunci mobil nggak?" tanyanya panik.
Astaga!!! Jantungku rasanya mau copot mendengar itu. Bagaimana aku bisa salah taruh kunci? Harusnya kutaruh kembali di atas nakas tadi malam. Duuuh, bagaimana ini? Jantungku sontak berdegup kencang sementara keringat dingin sepertinya sudah mulai membasahi tengkukku.
"Nggak liat tuh Pak. Apa biasanya ndak di kamar Bapak?" Mbok Jum balik tanya.
Untuk menghindari kecurigaan, aku segera berjalan menghampiri Mas Reyfan.
"Nyari apa sih Mas? Kok teriak-teriak gitu?"
"Itu ... kunci mobil. Dimana ya kok ngga ada?"
"Kan biasanya di kamar. Di atas nakas," kataku meyakinkan.
"Iyaa, seingatku juga kemarin aku taruh di sana, tapi nggak ada."
"Yakin? Dicari dulu lah, Mas."
"Udah, Sayang. Udah kucari dimana-mana nggak ketemu."
"Masa' sih?" tanyaku pura-pura. Lalu dengan cepat ku bergegas naik ke lantai atas, berpura pura ikut sibuk mencari kunci mobil yang sedang dihebohkan Mas Reyfan. Tentu saja dia tak menemukannya, karena aku lupa mengembalikannya ke atas nakas. Bodohnya aku karena justru mengembalikannya di laci meja kerjanya. Menyadari hal itu, aku jadi teringat betapa gugupnya aku tadi malam.
Sampai di kamar buru-buru kuambil kunci di laci meja kerja dan segera kembali ke lantai bawah.
"Mas ini gimana sih, orang kunci ada gitu kok dibilang nggak ada?" selorohku tetap dengan sandiwara yang kubuat.
"Ketemu dimana, Han?" Dahinya berkerut keheranan.
"Jatuh di lantai, deket nakas. Masa' nggak liat sih?"
"Kok bisa sih? Padahal tadi aku udah cari di situ juga lho," protesnya.
"Ya nggak tau. Buktinya. Nih ada kan?" Aku melemparkan kunci ke arahnya dan berhasil ditangkapnya dengan sempurnya.
"Makanya kalau cari apa-apa yang bener, Mas. Kebiasaan naruh barang sembarangan sih. Giliran nyari heboh sendiri." ujarku pura-pura menyindir. Padahal jantungku dag dig dug tak karuan saat berakting seperti itu. Semoga saja Mas Reyfan tidak memeriksa isi bagasi mobilnya sebelum berangkat kerja, karena ponselnya sudah kusembunyikan di tempat yang aman.
"Sarapan yuk!" ajakku sambil menggandengnya ke meja makan.
"Keenan mana? Kok sepi?" tanyanya tiba-tiba di sela-sela makan.
"Masih tidur. Tadi kata Mbok Jum, subuh ikutan bangun shalat, trus ketiduran lagi," jelasku.
Aku menemaninya sarapan dengan dada masih berdebar. Andai saja suamiku ini pakar psikologi, barangkali dia sudah bisa merasakan ada sesuatu yang lain pada raut mukaku atau tingkahku saat ini. Entahlah. Tapi sepertinya dia tidak menyadari apapun.
Hingga saat kuantar dia ke depan, jantungku masih tetap tak bisa diajak kompromi. Ada perasaan takut dan tegang yang mengalahkan rasa jijikku pada lelaki yang sudah hampir 5 tahun kunikahi ini.
Saat mobilnya meninggalkan rumah kami, barulah aku bisa bernafas lega. Dari subuh tadi aku memang sudah mandi. Semuanya sudah kurencanakan. Saat suamiku berangkat kerja, aku akan menemui Adam di tempat yang telah kami sepakati.
Tak mau menyiakan waktu, aku segera melesat ke kamar untuk mengganti baju. Karena ketakutanku semalam, aku hanya sempat berpikiran untuk menghubungi Adam.
Entah kenapa justru dia yang kukirimi pesan. Mungkin karena aku tak punya teman dekat lainnya yang bisa kupercaya untuk mengungkapkan masalah rumah tanggaku.
[Dam, tolong aku. Aku dalam masalah.]
Jam menunjukkan pukul 1 dini hari semalam, namun chat yang kukirim padanya langsung saja dia baca tanpa menunggu lama. Beberapa kali dia merespon, mencoba menghubungiku dengan panggilan tapi segera ku reject karena takut akan ketahuan Mas Reyfan.
[Jangan telpon, Dam. Bisa kita ketemu besok pagi? Aku butuh bantuanmu.]
Tanpa menunggu lama, Adam pun langsung menjawab oke.
.
.
.
Kami berdua sudah berjanji bertemu di Morning Cafe pukul 9 pagi. Dan Adam ternyata sudah ada disana sebelum aku. Dia segera berdiri menyambutku saat aku datang, terlihat raut khawatir di wajahnya.
"Ada masalah apa, Han?" tanyanya penasaran.
"Sebentar aku duduk dulu, Dam." Aku mengatur nafas sejenak sebelum akhirnya Adam menyodorkan minuman yang sudah dia pesankan untukku.
"Minum dulu!" perintahnya.
"Dam, gimana caranya kalau mau melaporkan kasus prostitusi?" tanyaku setengah berbisik. Takut ada yang mendengar pembicaraan kami.
"Prostitusi?" Dahi Adam mengernyit. Jelas sekali wajahnya kebingungan. "Kamu sedang membicarakan apa sih, Han?" lanjutnya.
"Suamiku, Dam. Mas Reyfan sama kakaknya. Mereka terlibat itu ... duh gimana ya?" Jujur aku bingung bagaimana cara menjelaskannya pada lelaki di depanku ini. Tapi nampaknya Adam cukup mampu mencerna maksudku.
"Suamimu terlibat prostitusi?"
"Iya. Tolong jangan keras-keras!" pintaku berbisik padanya, sambil menempelkan jari tanganku ke mulut agar dia merendahkan suaranya.
"Kamu yakin?" Dia memicingkan matanya ke arahku, sepertinya kurang yakin.
Tanpa banyak bicara aku segera mengeluarkan ponsel yang semalam kutemukan di bagasi mobil mas Reyfan dari dalam tasku. Aku sudah mematikan kuota data dan kartu sim di ponsel itu semalam sebelum menyimpannya, karena aku takut Mas Reyfan akan menghubungi nomer ini saat menyadari ponselnya tak ada di tempatnya."Lihat ini!" Aku menunjukkan chat-chat di dalam ponsel Mas Reyfan pada Adam. Adam nampak serius membacanya, aku menunggunya menekuri layar ponsel dengan jantung berdegup.
"Wah, ini bisa pidana, Han." Adam nampak menggaruk kepala. "Kamu nemu dimana ini? Ini ponsel suami kamu?" tanyanya meyakinkan.
"Sepertinya iya, aku temukan di bagasi mobilnya. Disembunyikan disana."
Agak lama Adam terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku yang bingung tak berani bertanya apapun padanya, hingga akhirnya dia mulai bicara lagi.
"Han..." panggilnya. Aku mendongak. Rupanya sejak tadi aku hanya menunduk gugup memandangi meja cafe. "Kamu yakin mau melaporkan suami kamu?" tanyanya. Wajahnya menatapku seolah mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri karena aku tak segera menjawab.
Sebenarnya aku pun takut. Bukan takut pada mas Reyfan, tapi takut akan apa yang akan terjadi setelah aku melaporkan kasus itu.
"Resikonya, dia dan kakaknya akan dipenjara. Karena ini sudah masuk pidana, Han. Kamu siap?" tanyanya lagi.
"Lalu aku harus bagaimana, Dam? Aku bingung."
Lama kami saling terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing.
"Ponsel ini boleh aku bawa?" Tiba-tiba dia bicara lagi.
"Mau kau apakan?"
"Aku simpankan dulu. Kamu pikirkan matang-matang soal pelaporan itu. Jika sudah siap, kamu hubungi aku. Aku ada teman yang bisa membantu membongkar kasus ini tanpa melibatkanmu terlalu jauh. Bagaimanapun juga ini pasti akan berdampak pada rumah tanggamu, Han. Jadi, kamu harus siap," jelasnya. Mendadak aku lemas. Apakah memang harus berakhir seperti ini rumah tanggaku dengan Mas Reyfan?
Belum juga sempat kutata lagi hatiku, tiba-tiba ponselku berdering. Aku dan Adam menoleh serentak ke arah benda pipih yang sejak tadi kuletakkan di atas meja cafe itu. Aku bergidik saat di layar itu terpampang nama suamiku sedang memanggil.
"Angkat saja!" kata Adam tenang, seperti sedang memberiku keberanian. Lalu perlahan kuraih ponsel itu dan kutekan tombol hijaunya.
"Halo, Mas?"
"Han, kamu dimana?"
"Aku di rumah teman. Ada apa?"
"Teman siapa? Dimana?" Nada bicaranya seperti sedang panik. Dan itu membuatku takut. Tanganku sampai berkeringat mendengar suara mas Reyfan.
"Ini sama Lisa, temen kuliahku. Ada apa sih, Mas?" Aku mencoba bersikap senormal mungkin.
"Bisa pulang sekarang nggak?"
Ada apa ini? Kenapa mas Reyfan tiba-tiba menyuruhku pulang? Apakah dia sudah tau kalau ponsel rahasianya aku ambil?
Aku tahu, saat ini wajahku pasti pucat saat mataku menatap ke arah Adam.
Aku kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu. Kembali kuingat-ingat lagi pesan Adam sebelum aku meninggalkan cafe tadi. Dia bilang, aku tidak boleh gugup, bersikap tenang seolah tak tau apa-apa. Jangan sampai membicarakan masalah ponsel itu. karena jika mas Reyfan tahu ponsel itu aku yang bawa, maka rencana untuk melaporkan kasus itu bisa jadi berantakan. Sebelum aku memarkirkan mobilku di garasi, sempat kulihat mobil mas Reyfan terparkir di jalan depan rumah kami. Dengan tenang, kuayunkan langkah menuju ke dalam. Di ruang tengah, Mas Reyfan sedang berdiri mondar-mandir dengan gelisah di depan mbok Jum yang sedang duduk di sofa memangku Keenan. "Ada apa, Mas?" tanyaku saat akhirnya aku mencapai tempatnya berdiri. Mimik mukaku kubuat senatural mungkin. "Han, kamu nggak buka mobilku semalam kan?" Mas Reyfan menatapku tajam.Sudah kuduga, sepertinya dia sudah tahu bahwa ponselnya hilang. Dan sekarang dia sedang kebingungan mencarinya. "Buka mobil? Memangnya
"Han, kenalin ini Kompol Daniel Devanno. Beliau dari Satuan Reskrim," kata Adam padaku saat memperkenalkan seseorang yang katanya sahabatnya itu. Dan dia, si Daniel itu, ternyata adalah lelaki yang aku jumpai diparkiran tadi. Jadi, lelaki tadi adalah seorang polisi? Aku bangkit dari dudukku saat lelaki itu mengulurkan tangannya hendak menyalamiku. Rasanya aku seperti kehilangan muka saat dia menatapku sangat lekat dengan kedua matanya. Ternyata mata yang tadi sempat membuatku penasaran, yang ditutupinya dengan kacamata itu, memiliki sorot yang begitu tajam hingga seolah jantungku berhenti berdetak seketika saat telapak tangannya berhasil mendarat di telapak tanganku. Pemandangan yang terjadi selanjutnya adalah bahwa tangan kokoh itu kini seperti tangan raksasa yang akan meremukkan tulang-tulang tanganku yang kecil. Mendadak aku bergidik ngeri saat dalam beberapa detik tangan itu tak jua dilepaskannya dariku. Kurasa sepertinya dia memang berniat ingin meremukkan tulangku karen
"Di luar ada polisi yang mencari Bapak," kata Mbok Jum memberi tahu. Mas Reyfan dan aku saling berpandangan, dan aku yakin aku tak salah lihat kalau wajah suamiku saat ini berubah pucat. Tak berapa lama kemudian kami bertiga menuruni tangga menuju lantai bawah berurutan dengan saling membisu. Kami seperti larut dalam pikiran masing-masing. Dan saat sampai di ruang tamu, aku melihatnya. Daniel, si manusia tanpa senyum itu, sedang berdiri di sana berbicara dengan tiga orang berseragam polisi lengkap. Sementara dia sendiri, masih mengenakan blue jeans dan atasan kaosnya yang sore tadi dia kenakan, hanya saja telah terbungkus rapat dengan jaket warna hitam. "Selamat Malam, Pak Reyfan. Saya Daniel Devanno dari Polresta. Kakak Anda, ibu Tantri Kusuma, beberapa saat yang lalu telah tertangkap tangan tengah melakukan kagiatan prostitusi. Dan anda diduga terlibat dalam kasus ini. Untuk itu, Anda harus ikut dengan kami untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di kantor."
"Mami? Mami kapan datang? Maaf Mi, aku nggak tau," kataku penuh penyesalan, lalu bermaksud mencium tangannya. Tapi perempuan paruh baya itu menolak mengulurkan tangannya padaku. Wajahnya mencelos, membuatku menelan ludah. "Udah jangan basa basi, Han. Mami sudah tau, kamu kan yang melaporkan Ratri sama Reyfan ke polisi?" Pertanyaannya yang tiba-tiba, membuatku sangat terkejut. Bagaimana mungkin mereka mengetahui hal itu? "Kamu benar-benar istri nggak tau diri, Han. Lihat apa yang Reyfan sudah berikan sama kamu. Bukannya berterima kasih kamu malah nusuk dia dari belakang," lanjut wanita itu mulai mengumpatiku. Walaupun selama ini aku tahu bahwa ibu mertuaku itu tak pernah bisa menyukaiku dengan tulus, tapi aku tidak menyangka dia akan datang dengan marah-marah tidak jelas seperti sekarang. "Mami, apa yang sedang Mami bicarakan ini sih?" Aku mencoba mencari tahu. "Halah jangan pura-pura kamu, Hani. Kita semua sudah tau apa yang kamu lakukan di rumah Ratri. Kamu
"Maaf Pak Randi, tapi kenapa ya rumah saya harus diamankan? Apa Bapak juga polisi?" "Oh bukan, Bu. Saya bukan polisi. Saya hanya salah satu kenalan Pak Daniel. Lebih tepatnya, anak buah Pak Daniel. Tapi untuk pertanyaan ibu itu, mohon maaf saya tidak bisa menjawab, karena saya hanya diberi amanat saja sama beliau untuk berjaga di sini," kata pria bertubuh kekar itu. Aku mendesah, pria itu semakin aneh saja. Tadinya kupikir Pak Randi juga anggota kepolisian, tapi ternyata bukan. Jadi penjagaan atasku dan keluargaku ini berarti bukan resmi dari kepolisian dong. Apa sebenarnya tujuan pria bernama Daniel itu? "Ya sudah Pak, kalau begitu saya permisi dulu. Saya harus ke rumah orang tua saya. Permisi," pamitku dengan sopan pada pria yang kutaksir berusia lebih dari 30 tahunan itu. "Silahkan, Bu," sahut Pak Randi. Kemudian pria itu membantuku membukakan pintu pagar dan menutupnya kembali. "Terima kasih, Pak," kataku sebelum akhirnya melajukan mobilnya pelan. . .
Pria gagah bertubuh tinggi besar dengan seragam kepolisian lengkap itu turun dari mobil SUV hitam yang diparkirnya di depan rumah yang sudah nampak lengang. Jarum jam di arloji yang melingkar di pergelangan tangan kokohnya sudah menunjuk angka 10 saat ia tiba di rumah itu. Mendengar deru mobil di halaman rumah, bergegas seorang wanita paruh baya membukakan pintu depan rumah dan menyambut sang tuan yang pulang dengan rasa lelahnya seperti biasa. "Tasya sudah tidur, Bi'?" tanyanya pada wanita paruh baya saat si pembantu rumah tangganya itu mengulurkan tangan ke tas kerjanya seperti biasa. "Sudah Pak, dari habis isya' tadi," jawabnya. Daniel melepas sepatunya di kamar tamu. Kebetulan hari ini dia hanya berdiam diri di kantor, jadi tentu saja sepatu itu tak terlalu kotor untuk dibawanya masuk rumah. Masih dengan seragamnya, pria berusia 35 tahun itu bergegas ke kamar mandi membersihkan diri. Guyuran air dingin malam itu membuat wajah lelahnya segar kembal
Baik aku maupun Mas Reyfan sama sekali tak ada yang berbicara mulai dari kami bertemu di kantor polisi. Bahkan saat kami berdua memasuki halaman rumah dan turun dari mobil, Mas Reyfan meninggalkanku melangkah duluan tanpa kata. Aku merasa dia sangat marah padaku. Tapi entahlah, dia belum mengatakan apapun setelah pertemuan hari ini. "Makan malam sudah saya hangatkan, Bu." Mbok Jum menyambutku di pintu rumah. "Ya Mbok, sebentar saya bersihkan diri dulu." Aku bergegas naik ke lantai atas. Dan saat berada di kamar, kulihat Mas Reyfan sedang menyiapkan pakaiannya untuk mandi. Kalau biasanya aku pasti akan dengan sigap melakukannya untuknya, meladeni segala keperluannya, namun tatapan tidak bersahabatnya malam ini membuatku tak ingin mendekatinya. Setelah siap dengan pakaian gantinya, dia berjalan melewatiku begitu saja menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar kami. Sekitar lima menit kemudian, dia keluar lagi dengan balutan handuknya. Tak seperti biasa dia se
Kalimat yang hanya tiga kata, tapi mampu memporak-porandakan hati dan perasaanku. Sejak kapan sebenarnya mereka berhubungan hingga sekarang perempuan ini mengaku bahwa dirinya hamil? Mas Reyfan pun sepertinya sama denganku. Shock dengan ucapan gund*knya sendiri. "Ma-maksud kamu apa, Sha?" "Aku hamil. Dan ini anak Mas Reyfan." Perempuan itu terlihat mulai menangis lagi. Sepertinya badanku rasanya ingin limbung jika saja Mbok Jum tidak berada di dekatku dan memegang lenganku. "Kita masuk saja, Bu," ajaknya. "Nggak Mbok, biarkan aku disini." "Sha, itu nggak benar kan?" Kudengar Mas Reyfan bersuara lagi. "Benar Mas, ini anak Mas Reyfan." Perempuan itu lalu merogoh ke dalam tasnya mengambil benda putih pipih dan menyerahkannya pada Mas Reyfan. Itu sebuah testpack yang sedang dia berikan pada suamiku. "Tapi ini belum tentu benar 'kan?" Dia masih menyangkal. "Belum tentu benar gimana Mas? Kita sudah melakukannya." "Iya aku tahu. Tapi .