Share

BAB-6  EYANG PUTRI

Suara serak namun begitu berwibawa terdengar dari mulut seorang wanita tua yang disebut Eyang Putri.

Masih dengan tampilan yang begitu apik. Baju kebaya Kupu Tarung warna hijau tua, dengan jarik batik motif isi mentimun warna coklat keemasan.

Wajah bertabur bedak dan make up tipis- tipis. Membuat wajah sepuhnya selalu terlihat segar.

Rambut disanggul, dan tertancap tusuk konde emas yang berkilau saat kepala si empunya bergerak. Tak lupa sepasang giwang yang begitu cocok dengan kalung juga bros yang bertengger di bajunya. Sungguh wanita ningrat dengan aura begitu besar dan mengagumkan.

Nastiti alias Amanda yang jiwanya kosong hanya diam dengan ekspresi datar. Arjuna yang melihat sang istri menjadi sedikit khawatir. Takut jika Eyang Putri tersinggung karena tak ada jawaban dari Nastiti alias Amanda.

“Diajeng Nastiti, tersenyumlah. Sapa Eyang Putri.” Arjuna bersisik.

Amanda kemudian menganggukkan kepalanya perlahan, memberikan senyum kaku ke arah Eyang Putri. Senyum yang bagai senyuman sebuah patung. Senyuman yang manis namun tak tulus.

“Nggih Eyang Putri, matur suwun.” Suara lirih akhirnya keluar dari mulut Nastiti alias Amanda.

“Cepat kalian berdua sungkem dengan Eyang Putri!” Suara berat Pak Baskoro terdengar.

Bergegas Arjuna melangkahkan kakinya ke arah Eyang Putri. Namun anehnya, Amanda hanya diam di tempatnya. Ia tak bergerak sedikitpun, seolah menunggu perintah. Benar saja, Arjuna menghentikan langkahnya lalu memutar tubuhnya dan berbicara pelan kepada istrinya.

“Diajeng Nastiti, ayo!” Suara Arjuna terdengar memerintah.

Baru saat itulah Nastiti melangkah perlahan, mengikuti langkah sang suami. 

Sesampainya di hadapan Eyang Putri. Arjuna dan Amanda kemudian berjongkok di depan beliau yang telah menunggu mereka di kursinya. Senyum hangat tak pernah hilang dari wajahnya yang telah menua namun penuh kewibawaan tersebut.

“Selamat datang, selamat juga atas pernikahan kalian berdua cucuku, Arjuna dan Nastiti. Bergegaslah kalian menciptakan ruh baru penerus trah ningrat Nitis Sukma. Aku sangat berharap pada kalian berdua!” Suara Eyang Putri terdengar.

Kedua tangannya sibuk membelai kepala cucunya. Tangan kanan membelai kepala Arjuna dan tangan kiri membelai kepala Nastiti alias Amanda. Nampak ketara sekali jika Eyang Putri begitu menaruh harapan besar kepada sepasang suami istri tersebut.

“Arjuna, cucuku.”

“Nggih Eyang Putri.” Arjuna menjawab dengan tenang.

“Esok lusa, bulan purnama akan muncul cucuku. Kau harus segera melaksanakan tugasmu. Kau paham kan maksud perkataan Eyang!”

Arjuna terdiam, jakunnya naik turun karena gusar. Sejujurnya dirinya bingung. Hauskah dirinya melakukan hal tersebut kepada Nastiti. Padahal hati wanita muda itu bukan untuknya. Apa dirinya tega memaksa Nastiti demi ambisi keluarganya. 

Eyang Putri yang merasakan kegusaran cucunya pun tersenyum, lalu kembali mengusap kepala Arjuna dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya yang sudah lepas dari kepala Amanda menepuknepuk bahu kekar lelaki tersebut. 

Kepalanya menunduk perlahan mendekati pendengaran Arjuna, lalu membisikkan kata-kata yang membuat rona wajah cucu lelakinya itu pucat Pasi.

“Kau paham cucuku?” Suara serak Eyang Putri terdengar penuh dengan penekanan, pertanda perintahnya tak bisa ditolak. 

Dengan lemah dan pelan Arjuna pun menjawab perkataan sang nenek yang telah membuatnya pucat pasi.

“Nggih Eyang, saya paham.”

“Bagus! Kau memang cucu sulung keluarga Nitis Sukma, Arjuna.” Eyang putri tersenyum puas.

“Sudah, kalian berdua boleh duduk. Ada yang ingin Eyang bicarakan. Terlebih Nastiti, kamu juga harus berkenalan dengan anggota keluarga Nitis Sukma, Cah Ayu.”

“Nggih, Eyang Putri!” Arjuna menjawab.

Perlahan lelaki muda tersebut mengangkat tubuhnya agar berdiri.

“Ayo Diajeng,Nastiti!” Melihat Amanda yang masih terduduk akhirnya Arjuna bersuara lembut.

“Nggih, Kang Mas Arjuna.” Nastiti alias Amanda berucap, detik kemudian mengangkat tubuhnya, sama seperti sang suami, Arjuna.

Sepasang suami istri itu duduk di kursi yang telah disediakan. Kursi yang memang sengaja dikosongkan. Kursi yang menjadi tempat duduk khusus keluarga inti Nitis Sukma. 

Dalam ruang keluarga yang sangat lebar itu terdapat begitu banyak ukiran dan pernak-perniknya. Di dindingnya terpasang sebuah hiasan dinding yang terbuat dari ukiran kayu jati berbentuk pahatan burung merak. Ekornya yang begitu banyak terlihat begitu menawan bagai kipas Sang Dewi. Warnanya mengkilat dengan bola mata yang terbuat dari batu ruby warna merah.

Juga nampak sebuah lukisan yang terdapat wajah para keluarga inti Nitis Sukma yang kini juga duduk bertemu dengan Nastiti alias Amanda. Dalam lukisan tersebut terlihat Eyang Putri berada di tengah diapit oleh dua wanita yang cantik dan kiri-kanannya diapit oleh Pak Baskoro dan Arjuna.

Itu adalah  lukisan yang begitu menawan. Lukisan yang begitu apik dan indah, bahkan melebihi indahnya sebuah potret. Sebuah lukisan yang nampak begitu nyata. 

Ada pula susunan nama-nama yang di pajang di dinding, pajangan yang terbuat dari bulu sapi dan di bingkai dengan kayu jati yang terukir aksara Jawa. Aksara itu adalah aksara yang menuliskan tentang nama-nama keturunan trah Nitis Sukma.

Terdapat pula di ruangan tersebut 3 buah kursi yang terdiri dari 1 kursi tunggal dan dua kursi yang dapat ditempati masing-masing oleh tiga orang.

Kursi tunggal adalah tempat duduk bagi pemimpin atau tertua keluarga Nitis Sukma, yaitu Eyang Putri. Kursi lainnya diduduki oleh Pak Baskoro beserta dua wanita cantik di samping kanan kirinya. Sisanya menjadi tempat duduk Amanda dan Arjuna.

Di antara mereka terdapat meja persegi panjang yang terbuat dari kayu jati. Begitu pula dengan kursi yang mereka duduki. Kayu jati yang dibentuk sedemikian rupa hingga menjadi meja dan kursi yang begitu menawan. Pahatan serta ukiran dalam meja kursi tersebut dapat mencerminkan dan membuktikan betapa hebat dan berbakatnya sang pencipta perabot rumah tangga tersebut. Perabot yang terlihat begitu cantik dan megah, yang tak mungkin dimiliki oleh masyarakat biasa.

“Nastiti cucuku, kau lihat lelaki yang agak gendut namun gagah itu, Cah Ayu?” Eyang putri menunjuk Pak Baskoro. Amanda hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

“Dia adalah anak lelakiku satu-satunya. Bapak mertuamu. Kau paham Nastiti?” 

Lagi, Amanda hanya menjawab dengan anggukan kepala pelan serta masih dengan tatapan mata kosong.

“Lalu, yang di sebelah kanan. Dia adalah menantuku, istri dari Baskoro, Ibu mertuamu Nastiti. Dia adalah Sulastri. Ibu dari suamimu, Arjuna!” 

Wanita yang ditunjuk Eyang putri pun tersenyum kearah Amanda alias Nastiti. 

“Nggih Eyang Putri.” Kini terdengar suara pelan keluar dari mulut Amanda.

“Lalu yang terakhir, gadis ayu yang rambutnya dikepang itu. Dia adalah adik dari Arjuna. Gadis ayu itu bernama Sekar Ayu Nitis Sukma. Calon pemimpin keluarga Nitis Sukma setelah kematian ku.”

Amanda kali ini menatap perempuan muda yang diperkenalkan kepadanya, tepat di mata wanita ayu tersebut. Wanita ayu yang tersenyum manis namun mengeluarkan aura begitu mistis.

“Sekar Ayu Nitis Sukma...” Amanda bergumam pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status