Share

BAB 2

Author: Danker
last update Last Updated: 2025-10-05 23:32:28

(6 BULAN KEMUDIAN) ...

​Pagi bagi Ezra tidak pernah datang dengan terburu-buru. Alarm di ponselnya tidak pernah berbunyi nyaring, melainkan alunan musik instrumental yang pelan-pelan menuntunnya dari dunia mimpi. Di apartemennya yang hening dan tertata rapi, setiap pagi adalah sebuah ritual yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri, sebuah benteng ketenangan sebelum menghadapi dunia luar yang sering kali kacau.

​Ritual itu selalu dimulai di dapur. Hari ini, seperti ratusan hari sebelumnya, ia mengeluarkan timbangan digital kecil dari laci. Di atasnya, ia menimbang dengan saksama: tujuh belas gram biji kopi Arabika Gayo. Tidak kurang, tidak lebih. Sementara ketel elektrik memanaskan air, matanya terus mengawasi termometer digital hingga angkanya berhenti tepat di 92 derajat Celsius.

Baginya, ini bukan sekadar rewel atau perfeksionis. Ini adalah tentang menghargai proses. Proses yang benar akan menghasilkan hasil yang benar. Tiga menit kemudian, setelah air dituang dengan gerakan memutar yang sabar, secangkir kopi hitam sempurna tanpa ampas tersaji di hadapannya. Aroma pekatnya adalah hadiah pertama hari itu.

​Sambil membawa cangkir berharganya ke meja makan, tatapannya jatuh pada objek utama pagi ini. Bukan lagi secarik kertas, melainkan sebuah spreadsheet yang dicetak rapi, lengkap dengan kolom dan baris yang terorganisir. Judulnya tertulis tebal di bagian atas: “MISI CURUG SENTOSA – RENCANA OPERASIONAL.”

​Orang lain mungkin akan tertawa melihatnya. Pergi ke air terjun saja pakai rencana operasional? Tapi bagi Ezra, ini bukan sekadar liburan. Ini adalah sebuah misi melawan segala bentuk ketidakpastian. Di dunia yang penuh dengan hal-hal di luar kendali—macet mendadak, cuaca yang berubah, atau warung yang tutup—rencana ini adalah caranya memegang kendali.

​“Oke, kita cek dari atas,” gumamnya, seolah sedang memimpin rapat dengan dirinya sendiri.

​Jarinya menelusuri baris pertama di kategori Logistik Perjalanan. Dia sudah membandingkan tiga rute berbeda di aplikasi peta, bahkan sampai mengecek citra satelit untuk melihat kondisi lahan parkir di dekat lokasi. Estimasi bensin sudah dihitung dengan asumsi ada kemacetan 20% lebih lama dari perkiraan normal. Saldo e-toll sudah dipastikan cukup untuk perjalanan pulang-pergi, ditambah dana darurat.

​Lalu ke bagian Perlengkapan Pribadi. Setiap item punya alasan kuat untuk berada di dalam ranselnya. "Kaos ganti (2 buah, bahan dry-fit)"—karena bahan itu cepat kering jika hanya terkena percikan air dan tetap nyaman jika basah oleh keringat. "Dua power bank dengan kapasitas total 30.000 mAh"—satu untuk ponselnya, satu lagi sebagai cadangan absolut, atau lebih mungkin, untuk teman perjalanannya yang sering lupa mengisi daya ponselnya sendiri. Dia tersenyum kecil saat memikirkannya.

​Di kolom Konsumsi, Ezra sudah menyiapkan roti isi gandum dengan isian daging asap dan keju—kombinasi protein dan karbohidrat yang seimbang. Empat botol air mineral ukuran sedang, sengaja dipilih agar distribusi berat di dalam ransel lebih merata. Dia juga menyelipkan sebungkus cokelat kesukaan... yah, kesukaan teman seperjalanannya nanti. Sebuah konsesi kecil dalam rencananya yang kaku, sebuah variabel yang ia izinkan masuk.

​Terakhir, dan yang paling penting, adalah P3K & Darurat. Kotak kecil itu adalah bukti pengalamannya. Dia ingat betul saat perjalanan mendaki beberapa tahun lalu, teman yang paling meremehkan persiapan justru yang paling panik saat kakinya tergores batu.

Sejak saat itu, kotak P3K Ezra tak pernah absen. Isinya lebih dari sekadar plester dan antiseptik; ada perban elastis, gunting kecil, pinset, obat anti-alergi, bahkan tablet pemurni air untuk skenario terburuk yang hampir mustahil terjadi. Mungkin berlebihan, tapi Ezra lebih suka dicap berlebihan daripada tidak siap.

​Ezra mengambil pulpen dari tempatnya. Dengan khidmat, ia mulai memberi tanda centang di setiap kotak kecil di samping daftar item. Suara goresan pulpen di atas kertas memberinya sensasi kepuasan yang aneh. Setiap centang adalah konfirmasi bahwa satu potensi masalah telah dieliminasi.

​Dia menatap sekeliling apartemennya yang bersih dan minimalis. Setiap benda punya tempatnya sendiri. Tidak ada kekacauan, tidak ada kejutan. Ransel yang sudah terisi penuh dan tertata rapi di sudut ruangan adalah perpanjangan dari filosofi hidupnya. Dia tidak sedang berusaha menaklukkan alam; dia hanya berusaha agar alam—dengan segala keindahannya yang liar dan tak terduga—tidak menaklukkannya secara tiba-tiba.

​Setelah tanda centang terakhir dibubuhkan, Ezra menyandarkan punggungnya di kursi. Ia mengangkat cangkirnya, menghabiskan sisa kopi yang kini sudah menjadi hangat. Semuanya siap. Terkendali. Aman.

​Setidaknya, untuk saat ini, semuanya terasa sempurna.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 19

    Keheningan yang menyusul setelah ledakan itu terasa berbeda. Bukan keheningan yang canggung atau tegang. Itu adalah keheningan yang hampa, keheningan dari kekalahan total. Mereka duduk di sana selama hampir satu jam, masing-masing tenggelam dalam reruntuhan argumen mereka sendiri.​Anya terus menangis dalam diam, air matanya mengalir tanpa suara. Ezra hanya menatap ke depan, ke lampu-lampu rest area yang kabur, pikirannya kosong. Argumen itu tidak menyelesaikan apa-apa. Itu hanya membuka luka yang lebih dalam.​Perlahan-lahan, bagian analitis dari otak Ezra mulai kembali online. Bukan lagi bagian yang panik atau marah, tetapi bagian yang tenang dan metodis. Bagian yang selalu ia andalkan dalam krisis. Ia mulai memecah masalah ini menjadi komponen-komponen yang lebih kecil, seperti yang selalu ia lakukan.​Masalah: Validitas tujuan perjalanan diragukan.​Sumber Data 1: Ibu Anya (Kredibilitas: Tinggi. Hubungan: Keluarga dekat. Pernyataan: Vila tidak ada).​Sumber Data 2: Surat Wasiat (K

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 18

    Kata-kata itu menggantung di udara yang pengap di dalam mobil, lebih berat dan lebih mematikan daripada keheningan manapun yang pernah mereka alami.​"Nenekku tidak pernah punya vila."​Untuk sesaat, otak Ezra menolak untuk memprosesnya. Rasanya seperti sebuah kesalahan data, sebuah syntax error dalam program realitas. Seluruh spreadsheet yang telah ia bangun dengan susah payah—tujuh tab yang diberi kode warna, ratusan baris data, puluhan rencana kontingensi—semuanya berlandaskan pada satu asumsi fundamental: bahwa tujuan mereka itu nyata. Dan kini, asumsi itu baru saja dihancurkan.​Ia melihat wajah Anya. Pucat pasi, matanya membelalak dengan campuran antara kengerian dan kebingungan. Ini bukan lagi kekecewaan karena goa yang tutup atau kepanikan karena ban bocor. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih dalam. Ini adalah keruntuhan sebuah narasi, sebuah pencabutan jangkar dari masa lalunya yang baru saja mulai ia temukan.​Suara klakson dari truk di belakang mereka menyentak Ezra kembali

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 17

    Gema di Ruang HampaPagi hari keempat dimulai bukan dengan keajaiban, melainkan dengan kecanggungan.Keheningan yang semalam terasa seperti pemahaman bersama kini telah bermetamorfosis menjadi sebuah jarak yang canggung. Saat Ezra dan Anya bertemu di lobi hotel, mereka saling melempar senyum yang terlalu sopan, terlalu hati-hati, seolah-olah mereka adalah dua orang asing yang baru bertemu, bukan dua sahabat yang telah berbagi segalanya. Pengakuan kerapuhan mereka di kedai kopi kemarin telah membuka sebuah pintu, tetapi di saat yang sama, juga telah membangun sebuah dinding tipis yang tak terlihat di antara mereka. Dinding yang terbuat dari ketakutan yang tak terucap dan realitas yang tak terhindarkan."Sudah siap?" tanya Ezra, suaranya terdengar lebih formal dari biasanya. Ranselnya tersandang rapi di punggung, dan di tangannya ia memegang kunci mobil dan selembar tanda terima dari bengkel."Siap, Kapten," jawab Anya, mencoba memanggil kembali keceriaan lamanya, tetapi nadanya terdeng

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 16

    Pertemuan Kembali: Kopi, Kenyataan, dan Ketakutan.​Mereka bertemu pukul empat sore di sebuah kedai kopi yang tersembunyi di salah satu gang, tidak jauh dari tempat Anya belajar membatik. Tempat itu nyaman dan artistik, sebuah perpaduan sempurna antara dunia mereka berdua.​Ezra sudah duduk di sebuah meja di sudut saat Anya tiba, membawa sebuah gulungan kain kecil hasil karyanya.​"Lihat!" kata Anya bangga, membentangkan kain itu di atas meja. Kain itu menampilkan coretan-coretan lilin yang tidak beraturan, tapi di tengahnya ada beberapa garis dan titik yang mulai terlihat percaya diri. "Ini adalah bukti bahwa aku bisa menjadi sedikit lebih teratur!"​Ezra tersenyum tulus. "Dan aku mengunjungi Keraton," katanya. "Dan menyadari bahwa keteraturan yang sebenarnya jauh lebih dalam dari sekadar spreadsheet."​Mereka memesan kopi dan menghabiskan satu jam berikutnya bertukar cerita tentang pengalaman mereka masing-masing. Anya menceritakan tentang filosofi batik Ibu Puji. Ezra menceritakan

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 15

    Dunia Ezra: Keteraturan dalam Sejarah.​Setelah mengantar mobilnya ke bengkel terdekat, Ezra memutuskan untuk berjalan kaki menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia memesan tiket dan melangkah melewati gerbangnya, dan seketika ia merasa seperti melangkah ke dunia lain. Di luar, kota Yogyakarta adalah sebuah entitas yang sibuk dan modern. Tapi di dalam tembok keraton, waktu seolah-olah berjalan lebih lambat.​Aroma dupa yang dibakar samar-samar tercium di udara, bercampur dengan wangi bunga kenanga. Suara gamelan yang dimainkan secara langsung oleh para niyaga mengalun lembut dari sebuah pendopo, menciptakan suasana yang meditatif dan agung.​Semua terasa tenang, terhormat, dan yang terpenting bagi Ezra: teratur.​Ia berjalan melewati halaman-halaman yang luas dan pendopo-pendopo dengan pilar-pilar berukir indah. Ia mengamati arsitekturnya, setiap detailnya memiliki makna filosofis, setiap bangunan ditempatkan sesuai dengan kosmologi Jawa. Ini adalah sebuah sistem yang telah diranc

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 14

    Pagi hari ketiga dimulai dengan sebuah keajaiban kecil: keheningan.​Bukan keheningan canggung seperti di dalam mobil setelah insiden Goa Pelangi, atau keheningan tegang setelah ban bocor. Ini adalah keheningan yang damai, yang terasa diperoleh dengan susah payah. Di kamar hotel mereka di Yogyakarta yang sederhana namun bersih, satu-satunya suara adalah dengkuran pelan dari Anya dan desis lembut AC.​Ezra sudah bangun sejak subuh, seperti biasa. Tapi untuk pertama kalinya dalam perjalanan ini—atau mungkin dalam hidupnya—ia tidak langsung meraih laptopnya untuk meninjau spreadsheet. Sebaliknya, ia hanya duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar ke arah jalanan kota yang perlahan-lahan terbangun.​Sinar fajar yang pucat mulai mewarnai langit, mengubahnya dari hitam menjadi ungu, lalu menjadi oranye lembut di ufuk timur. Itu adalah pemandangan yang indah, sebuah lukisan fajar yang Anya pasti akan suka.​Kejadian semalam telah meninggalkan jejak yang dalam pada dirinya. Kemenangan kec

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status