Masuk(6 BULAN KEMUDIAN) ...
Pagi bagi Ezra tidak pernah datang dengan terburu-buru. Alarm di ponselnya tidak pernah berbunyi nyaring, melainkan alunan musik instrumental yang pelan-pelan menuntunnya dari dunia mimpi. Di apartemennya yang hening dan tertata rapi, setiap pagi adalah sebuah ritual yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri, sebuah benteng ketenangan sebelum menghadapi dunia luar yang sering kali kacau. Ritual itu selalu dimulai di dapur. Hari ini, seperti ratusan hari sebelumnya, ia mengeluarkan timbangan digital kecil dari laci. Di atasnya, ia menimbang dengan saksama: tujuh belas gram biji kopi Arabika Gayo. Tidak kurang, tidak lebih. Sementara ketel elektrik memanaskan air, matanya terus mengawasi termometer digital hingga angkanya berhenti tepat di 92 derajat Celsius. Baginya, ini bukan sekadar rewel atau perfeksionis. Ini adalah tentang menghargai proses. Proses yang benar akan menghasilkan hasil yang benar. Tiga menit kemudian, setelah air dituang dengan gerakan memutar yang sabar, secangkir kopi hitam sempurna tanpa ampas tersaji di hadapannya. Aroma pekatnya adalah hadiah pertama hari itu. Sambil membawa cangkir berharganya ke meja makan, tatapannya jatuh pada objek utama pagi ini. Bukan lagi secarik kertas, melainkan sebuah spreadsheet yang dicetak rapi, lengkap dengan kolom dan baris yang terorganisir. Judulnya tertulis tebal di bagian atas: “MISI CURUG SENTOSA – RENCANA OPERASIONAL.” Orang lain mungkin akan tertawa melihatnya. Pergi ke air terjun saja pakai rencana operasional? Tapi bagi Ezra, ini bukan sekadar liburan. Ini adalah sebuah misi melawan segala bentuk ketidakpastian. Di dunia yang penuh dengan hal-hal di luar kendali—macet mendadak, cuaca yang berubah, atau warung yang tutup—rencana ini adalah caranya memegang kendali. “Oke, kita cek dari atas,” gumamnya, seolah sedang memimpin rapat dengan dirinya sendiri. Jarinya menelusuri baris pertama di kategori Logistik Perjalanan. Dia sudah membandingkan tiga rute berbeda di aplikasi peta, bahkan sampai mengecek citra satelit untuk melihat kondisi lahan parkir di dekat lokasi. Estimasi bensin sudah dihitung dengan asumsi ada kemacetan 20% lebih lama dari perkiraan normal. Saldo e-toll sudah dipastikan cukup untuk perjalanan pulang-pergi, ditambah dana darurat. Lalu ke bagian Perlengkapan Pribadi. Setiap item punya alasan kuat untuk berada di dalam ranselnya. "Kaos ganti (2 buah, bahan dry-fit)"—karena bahan itu cepat kering jika hanya terkena percikan air dan tetap nyaman jika basah oleh keringat. "Dua power bank dengan kapasitas total 30.000 mAh"—satu untuk ponselnya, satu lagi sebagai cadangan absolut, atau lebih mungkin, untuk teman perjalanannya yang sering lupa mengisi daya ponselnya sendiri. Dia tersenyum kecil saat memikirkannya. Di kolom Konsumsi, Ezra sudah menyiapkan roti isi gandum dengan isian daging asap dan keju—kombinasi protein dan karbohidrat yang seimbang. Empat botol air mineral ukuran sedang, sengaja dipilih agar distribusi berat di dalam ransel lebih merata. Dia juga menyelipkan sebungkus cokelat kesukaan... yah, kesukaan teman seperjalanannya nanti. Sebuah konsesi kecil dalam rencananya yang kaku, sebuah variabel yang ia izinkan masuk. Terakhir, dan yang paling penting, adalah P3K & Darurat. Kotak kecil itu adalah bukti pengalamannya. Dia ingat betul saat perjalanan mendaki beberapa tahun lalu, teman yang paling meremehkan persiapan justru yang paling panik saat kakinya tergores batu. Sejak saat itu, kotak P3K Ezra tak pernah absen. Isinya lebih dari sekadar plester dan antiseptik; ada perban elastis, gunting kecil, pinset, obat anti-alergi, bahkan tablet pemurni air untuk skenario terburuk yang hampir mustahil terjadi. Mungkin berlebihan, tapi Ezra lebih suka dicap berlebihan daripada tidak siap. Ezra mengambil pulpen dari tempatnya. Dengan khidmat, ia mulai memberi tanda centang di setiap kotak kecil di samping daftar item. Suara goresan pulpen di atas kertas memberinya sensasi kepuasan yang aneh. Setiap centang adalah konfirmasi bahwa satu potensi masalah telah dieliminasi. Dia menatap sekeliling apartemennya yang bersih dan minimalis. Setiap benda punya tempatnya sendiri. Tidak ada kekacauan, tidak ada kejutan. Ransel yang sudah terisi penuh dan tertata rapi di sudut ruangan adalah perpanjangan dari filosofi hidupnya. Dia tidak sedang berusaha menaklukkan alam; dia hanya berusaha agar alam—dengan segala keindahannya yang liar dan tak terduga—tidak menaklukkannya secara tiba-tiba. Setelah tanda centang terakhir dibubuhkan, Ezra menyandarkan punggungnya di kursi. Ia mengangkat cangkirnya, menghabiskan sisa kopi yang kini sudah menjadi hangat. Semuanya siap. Terkendali. Aman. Setidaknya, untuk saat ini, semuanya terasa sempurna.Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra. "Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol." Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'." "Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis." "Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?" "Sejak seorang investor pote
Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan
Keheningan yang ditinggalkan oleh Pak Wira terasa lebih nyaring daripada kebisingan jalanan Jakarta.Anya dan Ezra berdiri mematung di tengah kamar kos yang kini terasa seperti pusat alam semesta. Udara dipenuhi oleh gema dari proposal yang luar biasa itu: Pameran tunggal. Warisan Ombak. Lelang donasi. Dua bulan.Anya adalah yang pertama bergerak. Ia mengeluarkan suara aneh, campuran antara pekikan dan isak tangis yang tertahan, lalu ia melompat dan memeluk Ezra dengan kekuatan seorang badai kecil."Ra! Apa ini nyata?" serunya, suaranya teredam di bahu Ezra. "Cubit aku! Atau jangan, kalau ini mimpi aku tidak mau bangun!"Ezra, yang masih sedikit syok, tertawa—tawa yang dalam dan lega. Ia balas memeluk Anya, mengangkatnya dari lantai dan memutarnya sedikit, sebuah gerakan spontan yang sangat bukan dirinya. Untuk sesaat, semua logika dan perencanaannya lenyap, digantikan oleh kegembiraan murni yang meluap-luap."Ini nyata, Nya," katanya, menurunkannya kembali. Tangannya masih memegang l
Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan semuanya, matanya
Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra."Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol."Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'.""Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis.""Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?""Sejak seorang investor potensial memutuskan untuk datang ke kantor pusat kita,"
Ezra mengambil ponsel itu darinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka email itu. Ia membacanya dalam diam, matanya bergerak cepat dari baris ke baris. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini menunjukkan sebuah emosi yang jarang terlihat: keterkejutan yang tulus."Apa?" desak Anya, tidak tahan lagi dengan ketegangan itu. "Apa isinya? Apa dia menolaknya?"Ezra tidak menjawab. Ia hanya memulai ulang dari awal dan membacakan email itu dengan suara keras, suaranya mantap meskipun ada sedikit getaran di dalamnya."Untuk Anya Larasati,Terima kasih atas email Anda yang tidak biasa dan sangat menyegarkan. Di tengah lautan proposal pameran yang terasa seperti ditulis oleh robot, cerita Anda terasa seperti sebuah hembusan angin laut yang sesungguhnya.Saya sudah melihat portofolio digital yang Anda lampirkan. Lukisan Anda memiliki kekuatan yang mentah, sebuah kejujuran emosional yang langka. Terutama 'Lampu Jalanan Pukul 3 Pagi'. Saya bisa merasakan keheningan dan harapan di dalamnya







