Share

GARIS PATAH LOGIKA
GARIS PATAH LOGIKA
Author: Danker

BAB 1

Author: Danker
last update Last Updated: 2025-10-05 23:17:52

​Hari itu, udara di auditorium utama Universitas Pembangunan Bangsa terasa padat oleh campuran aneh antara kelegaan dan kecemasan. Gema tepuk tangan, blitz kamera ponsel, dan tawa yang sedikit terlalu keras menciptakan sebuah simfoni yang menandai akhir dari sebuah era. Wisuda. Garis finis yang telah mereka kejar selama empat tahun.

​Di tengah kerumunan toga hitam, Ezra Adhitama berdiri tegak, senyumnya terkendali dan simetris. Toga dan topinya terpasang sempurna, seolah diukur dengan busur derajat. Di tangannya, ia memegang map ijazah dengan predikat cum laude. Semuanya berjalan sesuai rencana. Tentu saja.

​"Woi, Manusia Presisi! Senyum sedikit, dong! Ini wisuda, bukan rapat dewan direksi!"

​Sebuah lengan tiba-tiba merangkul bahunya dengan heboh, nyaris membuat topi toganya miring.

Anya Larasati, dengan senyum selebar mentari dan toga yang sedikit kusut, menyeringai di sebelahnya. Lipstik merah terangnya sedikit menempel di giginya, dan rambut ikalnya yang tak bisa diatur menyembul keluar dari bawah topi, seolah menolak untuk tunduk pada formalitas.

​"Togaku," desis Ezra, mencoba memperbaiki posisinya tanpa terlihat panik.

​"Togamu aman, Kapten," kata Anya sambil melepaskan rangkulannya.

"Lihat kita, Ra. Kita berhasil! Kita selamat dari begadang, revisi dosen, dan maket yang ambruk di H-1. Kita resmi menjadi pengangguran terdidik!"

​"Kamu yang pengangguran," koreksi Ezra, meskipun ada sedikit geli di sudut bibirnya. "Aku mulai bekerja di Citra Cipta Graha hari Senin dalam dua minggu. Sesuai jadwal."

​Anya memutar bola matanya. "Tentu saja kamu punya jadwal. Aku yakin kamu bahkan sudah menjadwalkan kapan kamu akan mengalami krisis paruh baya. Aku? Aku punya rencana yang jauh lebih baik."

​"Oh ya? Apa itu?" tanya Ezra, sudah hafal betul ke mana arah pembicaraan ini.

​"Rencanaku adalah... tidak punya rencana!" seru Anya penuh kemenangan. "Aku akan menjadi seniman! Aku akan menjadi sejarawan lepas! Aku akan melukis, menulis, dan mungkin sesekali makan mi instan di akhir bulan. Jiwaku bebas, Ra! Bebas!"

​Ezra menatap sahabatnya itu. Empat tahun lalu, di hari pertama ospek, ia menganggap gadis ini sebagai sebuah anomali—variabel kacau yang harus dihindari. Sekarang, kekacauannya terasa seperti bagian yang tak terpisahkan dari dunianya. Merekalah bukti hidup bahwa dua kutub yang berlawanan bisa terikat dalam persahabatan yang aneh dan kokoh.

Mereka adalah tim di balik "Proyek Wisma Ganesha", tugas akhir legendaris yang memenangkan penghargaan universitas dan membuktikan bahwa logika Ezra dan "jiwa" Anya adalah kombinasi yang tak terkalahkan.

​"Kebebasan tidak membayar tagihan, Nya," kata Ezra, nadanya lebih terdengar khawatir daripada menggurui.

​"Dan tagihan tidak bisa membeli inspirasi," balas Anya cepat. "Sudahlah, jangan cemaskan aku. Hari ini adalah hari kita. Ayo kita kabur dari sini sebelum orang tua kita menyuruh kita foto dengan setiap paman dan bibi yang bahkan kita tidak kenal."

​Tanpa menunggu jawaban, Anya menarik tangan Ezra, menyelinap melewati kerumunan dan keluar dari auditorium. Mereka berjalan dalam diam,

meninggalkan hiruk pikuk di belakang, menuju sudut favorit mereka di kampus: sebuah bangku tua di bawah pohon kersen raksasa di belakang Wisma Ganesha. Bangunan itu sendiri masih sama seperti dulu, tua dan anggun, saksi bisu dari proyek yang merekatkan persahabatan mereka.

​Mereka melepas topi toga mereka, membiarkan angin sore menerbangkan sisa-sisa ketegangan.

​"Jadi... ini akhirnya, ya?" kata Anya pelan, nadanya kini lebih tenang. "Tidak ada lagi studio arsitektur sampai pagi. Tidak ada lagi berburu buku langka di perpustakaan."

​"Akhir dari Fase Satu," kata Ezra. "Sekarang kita masuk Fase Dua: Kehidupan Nyata."

​Anya terkekeh. "Kamu benar-benar tidak bisa berhenti, ya? Hidup ini bukan spreadsheet, Ra." Ia menyandarkan kepalanya di bahu Ezra, sebuah gestur nyaman yang sudah biasa mereka lakukan. "Aku akan merindukan ini."

​"Aku juga," aku Ezra, suaranya nyaris tak terdengar. Ia akan merindukan keseimbangan aneh yang mereka miliki. Di kampus, kekacauan Anya terkendali dalam lingkup tugas dan tenggat waktu. Di dunia nyata, tidak ada jaring pengaman.

​"Janji satu hal," kata Anya, menatap lurus ke depan, ke arah wisma yang bermandikan cahaya senja. "Tidak peduli sesibuk apa kamu nanti merancang gedung-gedung pencakar langit yang membosankan, jangan pernah lupakan aku, si seniman miskin ini."

​"Aku tidak akan pernah bisa melupakanmu, Nya," jawab Ezra tulus. "Kamu terlalu berisik untuk dilupakan."

​Anya tertawa dan memukul lengannya pelan. Mereka duduk di sana sampai langit berubah menjadi ungu, berbicara tentang masa lalu dan masa depan yang membentang seperti halaman kosong. Ezra dengan rencananya yang terstruktur rapi, dan Anya dengan kanvasnya yang masih putih bersih. Dua sahabat, berdiri di garis finis sekaligus di garis start yang baru, tidak menyadari bahwa drama mereka yang sesungguhnya baru akan dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 43

    Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra. "Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol." Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'." "Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis." "Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?" "Sejak seorang investor pote

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 44

    Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 42

    Keheningan yang ditinggalkan oleh Pak Wira terasa lebih nyaring daripada kebisingan jalanan Jakarta.Anya dan Ezra berdiri mematung di tengah kamar kos yang kini terasa seperti pusat alam semesta. Udara dipenuhi oleh gema dari proposal yang luar biasa itu: Pameran tunggal. Warisan Ombak. Lelang donasi. Dua bulan.Anya adalah yang pertama bergerak. Ia mengeluarkan suara aneh, campuran antara pekikan dan isak tangis yang tertahan, lalu ia melompat dan memeluk Ezra dengan kekuatan seorang badai kecil."Ra! Apa ini nyata?" serunya, suaranya teredam di bahu Ezra. "Cubit aku! Atau jangan, kalau ini mimpi aku tidak mau bangun!"Ezra, yang masih sedikit syok, tertawa—tawa yang dalam dan lega. Ia balas memeluk Anya, mengangkatnya dari lantai dan memutarnya sedikit, sebuah gerakan spontan yang sangat bukan dirinya. Untuk sesaat, semua logika dan perencanaannya lenyap, digantikan oleh kegembiraan murni yang meluap-luap."Ini nyata, Nya," katanya, menurunkannya kembali. Tangannya masih memegang l

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 41

    Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan semuanya, matanya

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 40

    Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra."Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol."Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'.""Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis.""Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?""Sejak seorang investor potensial memutuskan untuk datang ke kantor pusat kita,"

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 39

    Ezra mengambil ponsel itu darinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka email itu. Ia membacanya dalam diam, matanya bergerak cepat dari baris ke baris. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini menunjukkan sebuah emosi yang jarang terlihat: keterkejutan yang tulus."Apa?" desak Anya, tidak tahan lagi dengan ketegangan itu. "Apa isinya? Apa dia menolaknya?"Ezra tidak menjawab. Ia hanya memulai ulang dari awal dan membacakan email itu dengan suara keras, suaranya mantap meskipun ada sedikit getaran di dalamnya."Untuk Anya Larasati,Terima kasih atas email Anda yang tidak biasa dan sangat menyegarkan. Di tengah lautan proposal pameran yang terasa seperti ditulis oleh robot, cerita Anda terasa seperti sebuah hembusan angin laut yang sesungguhnya.Saya sudah melihat portofolio digital yang Anda lampirkan. Lukisan Anda memiliki kekuatan yang mentah, sebuah kejujuran emosional yang langka. Terutama 'Lampu Jalanan Pukul 3 Pagi'. Saya bisa merasakan keheningan dan harapan di dalamnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status