Bukan 06:59 atau 07:01. Tepat saat digit di dasbor mobilnya berganti menjadi angka tujuh yang sempurna, Ezra mematikan mesin. Ia telah tiba. Sesuai jadwal. Sesuai rencana. Mobilnya yang berwarna perak metalik terparkir rapi di depan sebuah kompleks rumah kos yang tampak asri, dengan barisan tanaman dalam pot aneka warna yang berjejer tak beraturan di teras setiap unit. Itu adalah tanda pertama, sebuah petunjuk visual, bahwa ia akan memasuki zona yang sangat berbeda dari dunianya.
Apartemen Ezra adalah tentang garis lurus, warna monokrom, dan keheningan yang terkendali. Kosan Anya, bahkan dari luar, sudah terasa seperti sebuah ledakan kreativitas yang riang. Ezra menarik napas dalam-dalam, sebuah kebiasaan yang ia lakukan sebelum menghadapi situasi yang berpotensi menguji kesabarannya. Ia memeriksa kembali ponselnya. Pesan yang ia kirim tiga puluh menit lalu—"Aku berangkat. Estimasi tiba pukul 7:00"—hanya dibalas dengan emoji jempol. Lima belas menit lalu, pesannya—"Hampir sampai, semoga sudah siap"—belum dibaca sama sekali. Ini adalah bagian dari ritual mereka. Ezra merencanakan, Ezra memberi kabar, dan Anya... Anya akan muncul pada waktunya sendiri. Dia memberikan kelonggaran waktu lima belas menit dalam jadwalnya untuk "Variabel Anya". Biasanya, itu cukup. Hari ini, ia punya firasat buruk. Setelah menunggu selama sepuluh menit yang terasa seperti satu jam, di mana ia mengisi waktu dengan merapikan kembali posisi kotak P3K di laci dasbor, ia akhirnya memutuskan untuk turun. Udara pagi masih terasa sejuk, membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam dan wangi bunga melati dari pekarangan tetangga. Kontras dengan interior mobilnya yang beraroma netral dan steril. Pintu unit kosan Anya sedikit terbuka. Ezra mengetuk pelan. "Anya?" Tidak ada jawaban. Hanya terdengar sayup-sayup alunan musik jazz fusion dari dalam, musik yang menurut Ezra terlalu rumit untuk didengarkan di pagi hari. Ia mendorong pintu lebih jauh. "Nya? Ini aku." Pemandangan yang menyambutnya adalah definisi dari apa yang Ezra sebut sebagai "kekacauan artistik". Dindingnya dipenuhi lukisan cat air dan sketsa arang, beberapa dibingkai, sebagian besar hanya ditempel dengan selotip warna-warni. Di sudut ruangan, sebuah kanvas besar yang masih setengah jadi berdiri di atas kuda-kuda, menampilkan sapuan warna biru dan emas yang abstrak. Meja kopinya dipenuhi buku-buku seni, cangkir teh yang sudah kosong, dan beberapa batu kali dengan bentuk unik. Pakaian berserakan di atas sofa—bukan pakaian kotor, melainkan tumpukan opsi pakaian yang tampaknya sedang diseleksi untuk perjalanan hari ini. Dan di tengah-tengah semua itu, Anya berdiri membelakanginya, menghadap lemari yang terbuka lebar. Ia hanya mengenakan kaus kebesaran dan celana pendek, rambut ikalnya yang panjang diikat asal-asalan, dan ia sedang bergumam pada dirinya sendiri sambil mengacung-acungkan dua buah topi yang berbeda. "Topi rajut oranye ini estetik, tapi topi rimba ini lebih fungsional," katanya pada sepasang sepatu kets di lantai. "Menurutmu gimana, Kiri?" Ezra berdeham. Anya berbalik, dan wajahnya langsung cerah melihat Ezra. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada permintaan maaf karena belum siap. Hanya senyum lebar yang tulus. "Ezra! Kamu datang! Tepat waktu seperti biasa, sang presisi berjalan." "Pukul tujuh lewat dua belas menit, sebenarnya," koreksi Ezra, nadanya datar, meskipun ada sedikit geli di sudut bibirnya yang coba ia sembunyikan. "Dan aku berasumsi kamu sedang berbicara dengan sepatumu?" "Tentu saja. Kiri dan Kanan selalu memberiku perspektif yang berbeda," jawab Anya santai, melempar kedua topi itu ke atas kasur. "Bentar ya, aku mandi kilat. Cuma lima menit, janji!" Ezra tahu "lima menit Anya" adalah satuan waktu yang relatif, bisa berarti apa saja antara lima belas hingga tiga puluh menit waktu normal. Ia menghela napas pasrah dan duduk di satu-satunya kursi yang bebas dari barang. "Aku sudah membuatkanmu roti isi. Ada di mobil." "Kamu memang yang terbaik!" seru Anya sambil menghilang ke kamar mandi. Pintu ditutup dan sedetik kemudian suara pancuran air terdengar, bersamaan dengan nyanyiannya yang sumbang namun penuh semangat. Ditinggal sendirian di dalam sarang kekacauan Anya, Ezra merasakan sedikit kegelisahan. Pandangannya berhenti pada sebuah foto yang tertempel di kulkas mini. Foto lama dari zaman kuliah. Di foto itu, Ezra tampak kaku dengan kemeja flanelnya yang terkancing rapi, sementara Anya di sebelahnya merangkulnya dengan ekspresi konyol, rambutnya dicat ungu terang. Mereka berdiri di depan sebuah maket arsitektur yang tampak rumit—proyek tugas akhir mereka. Ezra ingat betul bagaimana paniknya dia saat H-3 presentasi dan Anya tiba-tiba memutuskan untuk mengubah total konsep pencahayaan pada maket mereka. Ezra, yang sudah menyusun jadwal kerja hingga ke hitungan jam, merasa dunianya runtuh. Terjadi perdebatan sengit yang penuh dengan kata-kata seperti "tidak logis", "tidak efisien", dan "mengabaikan rencana". Anya hanya balas berteriak, "Seni itu butuh jiwa, Ra! Bukan cuma presisi!" Pada akhirnya, Ezra menyerah. Dengan sisa waktu yang ada, mereka bekerja tanpa henti mengikuti intuisi gila Anya. Dan hasilnya? Maket mereka menjadi yang terbaik di angkatan. Konsep pencahayaan spontan dari Anya itulah yang membuat para dosen terkesan, memberikannya "jiwa" yang tidak dimiliki maket lain yang hanya sempurna secara teknis. Sejak saat itu, Ezra belajar—meski dengan berat hati—bahwa terkadang, ada keajaiban dalam kekacauan. Dan Anya, entah bagaimana, adalah agen dari kekacauan yang ajaib itu. "Oke, aku siap!" Suara Anya membuyarkan lamunannya.Keheningan yang menyusul setelah ledakan itu terasa berbeda. Bukan keheningan yang canggung atau tegang. Itu adalah keheningan yang hampa, keheningan dari kekalahan total. Mereka duduk di sana selama hampir satu jam, masing-masing tenggelam dalam reruntuhan argumen mereka sendiri.Anya terus menangis dalam diam, air matanya mengalir tanpa suara. Ezra hanya menatap ke depan, ke lampu-lampu rest area yang kabur, pikirannya kosong. Argumen itu tidak menyelesaikan apa-apa. Itu hanya membuka luka yang lebih dalam.Perlahan-lahan, bagian analitis dari otak Ezra mulai kembali online. Bukan lagi bagian yang panik atau marah, tetapi bagian yang tenang dan metodis. Bagian yang selalu ia andalkan dalam krisis. Ia mulai memecah masalah ini menjadi komponen-komponen yang lebih kecil, seperti yang selalu ia lakukan.Masalah: Validitas tujuan perjalanan diragukan.Sumber Data 1: Ibu Anya (Kredibilitas: Tinggi. Hubungan: Keluarga dekat. Pernyataan: Vila tidak ada).Sumber Data 2: Surat Wasiat (K
Kata-kata itu menggantung di udara yang pengap di dalam mobil, lebih berat dan lebih mematikan daripada keheningan manapun yang pernah mereka alami."Nenekku tidak pernah punya vila."Untuk sesaat, otak Ezra menolak untuk memprosesnya. Rasanya seperti sebuah kesalahan data, sebuah syntax error dalam program realitas. Seluruh spreadsheet yang telah ia bangun dengan susah payah—tujuh tab yang diberi kode warna, ratusan baris data, puluhan rencana kontingensi—semuanya berlandaskan pada satu asumsi fundamental: bahwa tujuan mereka itu nyata. Dan kini, asumsi itu baru saja dihancurkan.Ia melihat wajah Anya. Pucat pasi, matanya membelalak dengan campuran antara kengerian dan kebingungan. Ini bukan lagi kekecewaan karena goa yang tutup atau kepanikan karena ban bocor. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih dalam. Ini adalah keruntuhan sebuah narasi, sebuah pencabutan jangkar dari masa lalunya yang baru saja mulai ia temukan.Suara klakson dari truk di belakang mereka menyentak Ezra kembali
Gema di Ruang HampaPagi hari keempat dimulai bukan dengan keajaiban, melainkan dengan kecanggungan.Keheningan yang semalam terasa seperti pemahaman bersama kini telah bermetamorfosis menjadi sebuah jarak yang canggung. Saat Ezra dan Anya bertemu di lobi hotel, mereka saling melempar senyum yang terlalu sopan, terlalu hati-hati, seolah-olah mereka adalah dua orang asing yang baru bertemu, bukan dua sahabat yang telah berbagi segalanya. Pengakuan kerapuhan mereka di kedai kopi kemarin telah membuka sebuah pintu, tetapi di saat yang sama, juga telah membangun sebuah dinding tipis yang tak terlihat di antara mereka. Dinding yang terbuat dari ketakutan yang tak terucap dan realitas yang tak terhindarkan."Sudah siap?" tanya Ezra, suaranya terdengar lebih formal dari biasanya. Ranselnya tersandang rapi di punggung, dan di tangannya ia memegang kunci mobil dan selembar tanda terima dari bengkel."Siap, Kapten," jawab Anya, mencoba memanggil kembali keceriaan lamanya, tetapi nadanya terdeng
Pertemuan Kembali: Kopi, Kenyataan, dan Ketakutan.Mereka bertemu pukul empat sore di sebuah kedai kopi yang tersembunyi di salah satu gang, tidak jauh dari tempat Anya belajar membatik. Tempat itu nyaman dan artistik, sebuah perpaduan sempurna antara dunia mereka berdua.Ezra sudah duduk di sebuah meja di sudut saat Anya tiba, membawa sebuah gulungan kain kecil hasil karyanya."Lihat!" kata Anya bangga, membentangkan kain itu di atas meja. Kain itu menampilkan coretan-coretan lilin yang tidak beraturan, tapi di tengahnya ada beberapa garis dan titik yang mulai terlihat percaya diri. "Ini adalah bukti bahwa aku bisa menjadi sedikit lebih teratur!"Ezra tersenyum tulus. "Dan aku mengunjungi Keraton," katanya. "Dan menyadari bahwa keteraturan yang sebenarnya jauh lebih dalam dari sekadar spreadsheet."Mereka memesan kopi dan menghabiskan satu jam berikutnya bertukar cerita tentang pengalaman mereka masing-masing. Anya menceritakan tentang filosofi batik Ibu Puji. Ezra menceritakan
Dunia Ezra: Keteraturan dalam Sejarah.Setelah mengantar mobilnya ke bengkel terdekat, Ezra memutuskan untuk berjalan kaki menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia memesan tiket dan melangkah melewati gerbangnya, dan seketika ia merasa seperti melangkah ke dunia lain. Di luar, kota Yogyakarta adalah sebuah entitas yang sibuk dan modern. Tapi di dalam tembok keraton, waktu seolah-olah berjalan lebih lambat.Aroma dupa yang dibakar samar-samar tercium di udara, bercampur dengan wangi bunga kenanga. Suara gamelan yang dimainkan secara langsung oleh para niyaga mengalun lembut dari sebuah pendopo, menciptakan suasana yang meditatif dan agung.Semua terasa tenang, terhormat, dan yang terpenting bagi Ezra: teratur.Ia berjalan melewati halaman-halaman yang luas dan pendopo-pendopo dengan pilar-pilar berukir indah. Ia mengamati arsitekturnya, setiap detailnya memiliki makna filosofis, setiap bangunan ditempatkan sesuai dengan kosmologi Jawa. Ini adalah sebuah sistem yang telah diranc
Pagi hari ketiga dimulai dengan sebuah keajaiban kecil: keheningan.Bukan keheningan canggung seperti di dalam mobil setelah insiden Goa Pelangi, atau keheningan tegang setelah ban bocor. Ini adalah keheningan yang damai, yang terasa diperoleh dengan susah payah. Di kamar hotel mereka di Yogyakarta yang sederhana namun bersih, satu-satunya suara adalah dengkuran pelan dari Anya dan desis lembut AC.Ezra sudah bangun sejak subuh, seperti biasa. Tapi untuk pertama kalinya dalam perjalanan ini—atau mungkin dalam hidupnya—ia tidak langsung meraih laptopnya untuk meninjau spreadsheet. Sebaliknya, ia hanya duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar ke arah jalanan kota yang perlahan-lahan terbangun.Sinar fajar yang pucat mulai mewarnai langit, mengubahnya dari hitam menjadi ungu, lalu menjadi oranye lembut di ufuk timur. Itu adalah pemandangan yang indah, sebuah lukisan fajar yang Anya pasti akan suka.Kejadian semalam telah meninggalkan jejak yang dalam pada dirinya. Kemenangan kec