MasukOke, aku siap!" Suara Anya membuyarkan lamunannya.
Ezra menoleh. "Lima menit" Anya ternyata berlangsung selama dua puluh dua menit. Anya muncul dari kamar mandi, sudah segar dan berganti pakaian. Ia mengenakan celana kargo longgar, kaus polos, dan kemeja flanel tipis sebagai luaran—yang ironisnya, mirip dengan yang dipakai Ezra di foto itu. Rambutnya yang masih setengah basah ia biarkan tergerai. Di punggungnya, ia menyandang sebuah ransel berwarna-warni yang tampak menggembung tak beraturan. "Ranselmu..." Ezra memulai, matanya sedikit menyipit. "Kamu yakin sudah membawa semua yang perlu?" "Tentu saja!" kata Anya sambil menepuk ranselnya. "Baju ganti, handuk, kamera, buku sketsa, cat air mini, headphone..." "Botol minum?" potong Ezra. Anya berhenti sejenak, matanya mengerjap. "...Astaga." "Tabir surya?" Wajahnya sedikit meringis. "Hmm..." "Obat-obatan pribadi?" "Ah... itu..." Anya nyengir kuda. "Aku tahu kamu pasti bawa lebih, kan? Kamu kan apotek berjalan, Bapak Perencana Nasional." Ezra memejamkan matanya sejenak, menghitung sampai sepuluh dalam hati. Ia sudah mengantisipasi ini. Di dalam ranselnya yang terorganisir, sudah ada sebotol air ekstra, satu tabung tabir surya SPF 50, dan beberapa obat umum. "Ayo berangkat," kata Ezra, suaranya terdengar lebih lelah dari yang ia inginkan. "Kita sudah terlambat dua puluh delapan menit dari jadwal." "Santai saja, Ra," balas Anya sambil mengunci pintu kosnya. "Perjalanan itu bukan tentang tiba tepat waktu, tapi tentang menikmati setiap detiknya." Di dalam mobil, begitu duduk, Anya langsung menyambungkan ponselnya ke sistem audio. Alunan musik jazz fusion berganti menjadi playlist indie-pop yang riang. Ia kemudian membuka kantong kertas berisi roti goreng dan donat kentang, menebarkan aroma dan remah-remah di kabin mobil Ezra yang steril. "Aku bawakan sarapan kedua," kata Anya, menyodorkan sepotong roti goreng. "Aku tahu roti isimu pasti sehat. Kita butuh sesuatu yang berdosa untuk menyeimbangkannya." Ezra menolak dengan sopan, fokus menyetir dengan kedua tangan di posisi jam sepuluh dan jam dua. Di sebelahnya, Anya adalah antitesis dari ketenangannya, memotret gedung-gedung yang mereka lewati. Setelah beberapa saat, musik berganti menjadi lagu yang lebih pelan. Anya menyandarkan kepalanya di jendela. "Kadang aku berpikir," ia memulai dengan nada serius, "apa kamu tidak pernah lelah, Ra? Dengan semua rencanamu? Apa kamu tidak pernah ingin sekali saja, melakukan sesuatu tanpa berpikir?" "Rencanaku adalah jaring pengaman," jawab Ezra pelan. "Dengan adanya rencana, aku justru bisa lebih rileks. Tanpa rencana, yang ada hanya kecemasan." "Tapi bukankah itu berarti kamu tidak pernah memberi ruang untuk kejutan? Untuk keajaiban?" balas Anya. "Hal-hal terbaik dalam hidup sering kali datang dari hal-hal yang tidak direncanakan." "Hal-hal terburuk juga," tukas Ezra cepat. Mereka terdiam sejenak. Ezra melirik Anya yang kini tertidur pulas, kepalanya bersandar di jendela. Mungkin, pikir Ezra, ketenangan bukan hanya datang dari rencana yang sempurna. Mungkin ketenangan juga bisa datang dari kepercayaan. Saat mobil akhirnya memasuki area parkir berlumpur di kaki bukit, Anya terbangun. "Sudah sampai?" "Selamat datang di Curug Sentosa," jawab Ezra. "Terlambat satu jam tujuh belas menit dari rencana awal, tapi masih dalam batas toleransi waktu darurat." Anya hanya terkekeh dan langsung melompat keluar, menghampiri penjual topi anyaman. Setelah drama tawar-menawar singkat, mereka akhirnya memulai pendakian. Ezra mengeluarkan peta berlaminasi, yang langsung dilipat Anya menjadi pesawat kertas. "Aku lebih suka mengikuti suara air dan tanda panah di pohon," katanya riang. Mereka pun berjalan. Ezra dengan langkah yang stabil dan efisien, Anya seperti sedang menari, berhenti di setiap hal menarik yang ia temukan—jamur ungu, kupu-kupu biru, lumut yang berkilauan. Bagi Ezra, tujuan pendakian ini adalah tiba di air terjun. Tapi bagi Anya, jalur inilah tujuannya. Setelah sekitar tiga puluh menit, jalur mulai menyempit dan menanjak, lebih licin dari yang diperkirakan. "Bagus!" sahut Anya. "Artinya debit air curugnya pasti lagi besar-besarnya!" Di sebuah tanjakan yang cukup curam, Anya yang hanya memakai sepatu kets biasa mulai kehilangan pijakan. Kakinya tergelincir di atas akar pohon yang basah. "Aduh!" pekiknya, tubuhnya sedikit oleng.Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra. "Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol." Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'." "Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis." "Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?" "Sejak seorang investor pote
Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan
Keheningan yang ditinggalkan oleh Pak Wira terasa lebih nyaring daripada kebisingan jalanan Jakarta.Anya dan Ezra berdiri mematung di tengah kamar kos yang kini terasa seperti pusat alam semesta. Udara dipenuhi oleh gema dari proposal yang luar biasa itu: Pameran tunggal. Warisan Ombak. Lelang donasi. Dua bulan.Anya adalah yang pertama bergerak. Ia mengeluarkan suara aneh, campuran antara pekikan dan isak tangis yang tertahan, lalu ia melompat dan memeluk Ezra dengan kekuatan seorang badai kecil."Ra! Apa ini nyata?" serunya, suaranya teredam di bahu Ezra. "Cubit aku! Atau jangan, kalau ini mimpi aku tidak mau bangun!"Ezra, yang masih sedikit syok, tertawa—tawa yang dalam dan lega. Ia balas memeluk Anya, mengangkatnya dari lantai dan memutarnya sedikit, sebuah gerakan spontan yang sangat bukan dirinya. Untuk sesaat, semua logika dan perencanaannya lenyap, digantikan oleh kegembiraan murni yang meluap-luap."Ini nyata, Nya," katanya, menurunkannya kembali. Tangannya masih memegang l
Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan semuanya, matanya
Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra."Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol."Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'.""Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis.""Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?""Sejak seorang investor potensial memutuskan untuk datang ke kantor pusat kita,"
Ezra mengambil ponsel itu darinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka email itu. Ia membacanya dalam diam, matanya bergerak cepat dari baris ke baris. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini menunjukkan sebuah emosi yang jarang terlihat: keterkejutan yang tulus."Apa?" desak Anya, tidak tahan lagi dengan ketegangan itu. "Apa isinya? Apa dia menolaknya?"Ezra tidak menjawab. Ia hanya memulai ulang dari awal dan membacakan email itu dengan suara keras, suaranya mantap meskipun ada sedikit getaran di dalamnya."Untuk Anya Larasati,Terima kasih atas email Anda yang tidak biasa dan sangat menyegarkan. Di tengah lautan proposal pameran yang terasa seperti ditulis oleh robot, cerita Anda terasa seperti sebuah hembusan angin laut yang sesungguhnya.Saya sudah melihat portofolio digital yang Anda lampirkan. Lukisan Anda memiliki kekuatan yang mentah, sebuah kejujuran emosional yang langka. Terutama 'Lampu Jalanan Pukul 3 Pagi'. Saya bisa merasakan keheningan dan harapan di dalamnya







