Share

BAB 4

Penulis: Danker
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-06 06:32:13

Oke, aku siap!" Suara Anya membuyarkan lamunannya.

Ezra menoleh. "Lima menit" Anya ternyata berlangsung selama dua puluh dua menit. Anya muncul dari kamar mandi, sudah segar dan berganti pakaian. Ia mengenakan celana kargo longgar, kaus polos, dan kemeja flanel tipis sebagai luaran—yang ironisnya, mirip dengan yang dipakai Ezra di foto itu. Rambutnya yang masih setengah basah ia biarkan tergerai. Di punggungnya, ia menyandang sebuah ransel berwarna-warni yang tampak menggembung tak beraturan.

​"Ranselmu..." Ezra memulai, matanya sedikit menyipit. "Kamu yakin sudah membawa semua yang perlu?"

​"Tentu saja!" kata Anya sambil menepuk ranselnya. "Baju ganti, handuk, kamera, buku sketsa, cat air mini, headphone..."

​"Botol minum?" potong Ezra.

​Anya berhenti sejenak, matanya mengerjap. "...Astaga."

​"Tabir surya?"

​Wajahnya sedikit meringis. "Hmm..."

​"Obat-obatan pribadi?"

​"Ah... itu..." Anya nyengir kuda. "Aku tahu kamu pasti bawa lebih, kan? Kamu kan apotek berjalan, Bapak Perencana Nasional."

​Ezra memejamkan matanya sejenak, menghitung sampai sepuluh dalam hati. Ia sudah mengantisipasi ini. Di dalam ranselnya yang terorganisir, sudah ada sebotol air ekstra, satu tabung tabir surya SPF 50, dan beberapa obat umum.

​"Ayo berangkat," kata Ezra, suaranya terdengar lebih lelah dari yang ia inginkan. "Kita sudah terlambat dua puluh delapan menit dari jadwal."

​"Santai saja, Ra," balas Anya sambil mengunci pintu kosnya. "Perjalanan itu bukan tentang tiba tepat waktu, tapi tentang menikmati setiap detiknya."

​Di dalam mobil, begitu duduk, Anya langsung menyambungkan ponselnya ke sistem audio. Alunan musik jazz fusion berganti menjadi playlist indie-pop yang riang. Ia kemudian membuka kantong kertas berisi roti goreng dan donat kentang, menebarkan aroma dan remah-remah di kabin mobil Ezra yang steril.

​"Aku bawakan sarapan kedua," kata Anya, menyodorkan sepotong roti goreng. "Aku tahu roti isimu pasti sehat. Kita butuh sesuatu yang berdosa untuk menyeimbangkannya."

​Ezra menolak dengan sopan, fokus menyetir dengan kedua tangan di posisi jam sepuluh dan jam dua. Di sebelahnya, Anya adalah antitesis dari ketenangannya, memotret gedung-gedung yang mereka lewati.

​Setelah beberapa saat, musik berganti menjadi lagu yang lebih pelan. Anya menyandarkan kepalanya di jendela. "Kadang aku berpikir," ia memulai dengan nada serius, "apa kamu tidak pernah lelah, Ra? Dengan semua rencanamu? Apa kamu tidak pernah ingin sekali saja, melakukan sesuatu tanpa berpikir?"

​"Rencanaku adalah jaring pengaman," jawab Ezra pelan. "Dengan adanya rencana, aku justru bisa lebih rileks. Tanpa rencana, yang ada hanya kecemasan."

​"Tapi bukankah itu berarti kamu tidak pernah memberi ruang untuk kejutan? Untuk keajaiban?" balas Anya. "Hal-hal terbaik dalam hidup sering kali datang dari hal-hal yang tidak direncanakan."

​"Hal-hal terburuk juga," tukas Ezra cepat.

​Mereka terdiam sejenak. Ezra melirik Anya yang kini tertidur pulas, kepalanya bersandar di jendela. Mungkin, pikir Ezra, ketenangan bukan hanya datang dari rencana yang sempurna. Mungkin ketenangan juga bisa datang dari kepercayaan.

​Saat mobil akhirnya memasuki area parkir berlumpur di kaki bukit, Anya terbangun. "Sudah sampai?"

​"Selamat datang di Curug Sentosa," jawab Ezra. "Terlambat satu jam tujuh belas menit dari rencana awal, tapi masih dalam batas toleransi waktu darurat."

​Anya hanya terkekeh dan langsung melompat keluar, menghampiri penjual topi anyaman. Setelah drama tawar-menawar singkat, mereka akhirnya memulai pendakian. Ezra mengeluarkan peta berlaminasi, yang langsung dilipat Anya menjadi pesawat kertas.

​"Aku lebih suka mengikuti suara air dan tanda panah di pohon," katanya riang.

​Mereka pun berjalan. Ezra dengan langkah yang stabil dan efisien, Anya seperti sedang menari, berhenti di setiap hal menarik yang ia temukan—jamur ungu, kupu-kupu biru, lumut yang berkilauan. Bagi Ezra, tujuan pendakian ini adalah tiba di air terjun. Tapi bagi Anya, jalur inilah tujuannya.

​Setelah sekitar tiga puluh menit, jalur mulai menyempit dan menanjak, lebih licin dari yang diperkirakan. "Bagus!" sahut Anya. "Artinya debit air curugnya pasti lagi besar-besarnya!"

​Di sebuah tanjakan yang cukup curam, Anya yang hanya memakai sepatu kets biasa mulai kehilangan pijakan. Kakinya tergelincir di atas akar pohon yang basah.

​"Aduh!" pekiknya, tubuhnya sedikit oleng.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 19

    Keheningan yang menyusul setelah ledakan itu terasa berbeda. Bukan keheningan yang canggung atau tegang. Itu adalah keheningan yang hampa, keheningan dari kekalahan total. Mereka duduk di sana selama hampir satu jam, masing-masing tenggelam dalam reruntuhan argumen mereka sendiri.​Anya terus menangis dalam diam, air matanya mengalir tanpa suara. Ezra hanya menatap ke depan, ke lampu-lampu rest area yang kabur, pikirannya kosong. Argumen itu tidak menyelesaikan apa-apa. Itu hanya membuka luka yang lebih dalam.​Perlahan-lahan, bagian analitis dari otak Ezra mulai kembali online. Bukan lagi bagian yang panik atau marah, tetapi bagian yang tenang dan metodis. Bagian yang selalu ia andalkan dalam krisis. Ia mulai memecah masalah ini menjadi komponen-komponen yang lebih kecil, seperti yang selalu ia lakukan.​Masalah: Validitas tujuan perjalanan diragukan.​Sumber Data 1: Ibu Anya (Kredibilitas: Tinggi. Hubungan: Keluarga dekat. Pernyataan: Vila tidak ada).​Sumber Data 2: Surat Wasiat (K

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 18

    Kata-kata itu menggantung di udara yang pengap di dalam mobil, lebih berat dan lebih mematikan daripada keheningan manapun yang pernah mereka alami.​"Nenekku tidak pernah punya vila."​Untuk sesaat, otak Ezra menolak untuk memprosesnya. Rasanya seperti sebuah kesalahan data, sebuah syntax error dalam program realitas. Seluruh spreadsheet yang telah ia bangun dengan susah payah—tujuh tab yang diberi kode warna, ratusan baris data, puluhan rencana kontingensi—semuanya berlandaskan pada satu asumsi fundamental: bahwa tujuan mereka itu nyata. Dan kini, asumsi itu baru saja dihancurkan.​Ia melihat wajah Anya. Pucat pasi, matanya membelalak dengan campuran antara kengerian dan kebingungan. Ini bukan lagi kekecewaan karena goa yang tutup atau kepanikan karena ban bocor. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih dalam. Ini adalah keruntuhan sebuah narasi, sebuah pencabutan jangkar dari masa lalunya yang baru saja mulai ia temukan.​Suara klakson dari truk di belakang mereka menyentak Ezra kembali

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 17

    Gema di Ruang HampaPagi hari keempat dimulai bukan dengan keajaiban, melainkan dengan kecanggungan.Keheningan yang semalam terasa seperti pemahaman bersama kini telah bermetamorfosis menjadi sebuah jarak yang canggung. Saat Ezra dan Anya bertemu di lobi hotel, mereka saling melempar senyum yang terlalu sopan, terlalu hati-hati, seolah-olah mereka adalah dua orang asing yang baru bertemu, bukan dua sahabat yang telah berbagi segalanya. Pengakuan kerapuhan mereka di kedai kopi kemarin telah membuka sebuah pintu, tetapi di saat yang sama, juga telah membangun sebuah dinding tipis yang tak terlihat di antara mereka. Dinding yang terbuat dari ketakutan yang tak terucap dan realitas yang tak terhindarkan."Sudah siap?" tanya Ezra, suaranya terdengar lebih formal dari biasanya. Ranselnya tersandang rapi di punggung, dan di tangannya ia memegang kunci mobil dan selembar tanda terima dari bengkel."Siap, Kapten," jawab Anya, mencoba memanggil kembali keceriaan lamanya, tetapi nadanya terdeng

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 16

    Pertemuan Kembali: Kopi, Kenyataan, dan Ketakutan.​Mereka bertemu pukul empat sore di sebuah kedai kopi yang tersembunyi di salah satu gang, tidak jauh dari tempat Anya belajar membatik. Tempat itu nyaman dan artistik, sebuah perpaduan sempurna antara dunia mereka berdua.​Ezra sudah duduk di sebuah meja di sudut saat Anya tiba, membawa sebuah gulungan kain kecil hasil karyanya.​"Lihat!" kata Anya bangga, membentangkan kain itu di atas meja. Kain itu menampilkan coretan-coretan lilin yang tidak beraturan, tapi di tengahnya ada beberapa garis dan titik yang mulai terlihat percaya diri. "Ini adalah bukti bahwa aku bisa menjadi sedikit lebih teratur!"​Ezra tersenyum tulus. "Dan aku mengunjungi Keraton," katanya. "Dan menyadari bahwa keteraturan yang sebenarnya jauh lebih dalam dari sekadar spreadsheet."​Mereka memesan kopi dan menghabiskan satu jam berikutnya bertukar cerita tentang pengalaman mereka masing-masing. Anya menceritakan tentang filosofi batik Ibu Puji. Ezra menceritakan

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 15

    Dunia Ezra: Keteraturan dalam Sejarah.​Setelah mengantar mobilnya ke bengkel terdekat, Ezra memutuskan untuk berjalan kaki menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia memesan tiket dan melangkah melewati gerbangnya, dan seketika ia merasa seperti melangkah ke dunia lain. Di luar, kota Yogyakarta adalah sebuah entitas yang sibuk dan modern. Tapi di dalam tembok keraton, waktu seolah-olah berjalan lebih lambat.​Aroma dupa yang dibakar samar-samar tercium di udara, bercampur dengan wangi bunga kenanga. Suara gamelan yang dimainkan secara langsung oleh para niyaga mengalun lembut dari sebuah pendopo, menciptakan suasana yang meditatif dan agung.​Semua terasa tenang, terhormat, dan yang terpenting bagi Ezra: teratur.​Ia berjalan melewati halaman-halaman yang luas dan pendopo-pendopo dengan pilar-pilar berukir indah. Ia mengamati arsitekturnya, setiap detailnya memiliki makna filosofis, setiap bangunan ditempatkan sesuai dengan kosmologi Jawa. Ini adalah sebuah sistem yang telah diranc

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 14

    Pagi hari ketiga dimulai dengan sebuah keajaiban kecil: keheningan.​Bukan keheningan canggung seperti di dalam mobil setelah insiden Goa Pelangi, atau keheningan tegang setelah ban bocor. Ini adalah keheningan yang damai, yang terasa diperoleh dengan susah payah. Di kamar hotel mereka di Yogyakarta yang sederhana namun bersih, satu-satunya suara adalah dengkuran pelan dari Anya dan desis lembut AC.​Ezra sudah bangun sejak subuh, seperti biasa. Tapi untuk pertama kalinya dalam perjalanan ini—atau mungkin dalam hidupnya—ia tidak langsung meraih laptopnya untuk meninjau spreadsheet. Sebaliknya, ia hanya duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar ke arah jalanan kota yang perlahan-lahan terbangun.​Sinar fajar yang pucat mulai mewarnai langit, mengubahnya dari hitam menjadi ungu, lalu menjadi oranye lembut di ufuk timur. Itu adalah pemandangan yang indah, sebuah lukisan fajar yang Anya pasti akan suka.​Kejadian semalam telah meninggalkan jejak yang dalam pada dirinya. Kemenangan kec

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status