Mag-log inAduh!" pekiknya, tubuhnya sedikit oleng dan untuk sesaat, Ezra merasakan jantungnya berhenti berdetak.
Dengan refleks secepat kilat, Ezra menerjang maju dan meraih lengan Anya, menariknya kembali ke pijakan yang aman dan menstabilkan posisinya. "Sudah kubilang hati-hati." Hembusan napasnya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan. "Iya, iya, Bapak Keselamatan," gerutu Anya, menepuk-nepuk tanah dari celananya seolah mengusir bahaya yang baru saja lewat. Tapi Ezra melihat getar singkat di tangannya sebelum ia tersenyum. "Terima kasih." "Lain kali, pakai sepatu yang benar," omel Ezra, nadanya kini melunak, lebih didominasi oleh kekhawatiran yang tersisa daripada amarah. "Tapi sepatu ini lebih ringan dan warnanya cocok dengan bajuku," balas Anya, sebuah argumen yang begitu khas Anya, sama sekali tidak bisa dipahami oleh logika Ezra yang pragmatis. Mereka melanjutkan perjalanan. Gemuruh air terjun kini bukan lagi sekadar suara latar, melainkan entitas yang hidup. Awalnya seperti gumanan rendah, kini ia tumbuh menjadi auman konstan yang merambat melalui sol sepatu mereka, menggetarkan tanah dan udara di sekitar. Semakin dekat, semakin kuat, seolah menarik mereka dengan janji keagungan. Anya tampak semakin bersemangat, seolah menyerap energi dari suara itu. Ia mempercepat langkahnya, melompati bebatuan dengan kelincahan seekor rusa, senyumnya merekah. Ezra mengikutinya dari belakang, menerima perannya yang sudah jelas terbentuk sejak dulu: Anya adalah sang penjelajah yang memimpin dengan antusiasme buta, dan Ezra adalah sang penjaga yang mengikuti dari belakang, siap dengan jaring pengamannya. Mereka tiba di sebuah tikungan terakhir, dan suara gemuruh itu meledak menjadi begitu kuat, begitu dekat. Dan di sana, melalui celah pepohonan yang rimbun, mereka melihatnya untuk pertama kali. Air terjun itu. Bukan, itu bukan sekadar air terjun. Itu adalah sebuah dinding air kolosal yang hidup, jatuh dari tebing batu vulkanik setinggi puluhan meter. Air itu menghantam kolam di bawahnya dengan kekuatan purba yang dahsyat, menciptakan kabut air yang membumbung tinggi, menari-nari di udara dan membiaskan cahaya matahari menjadi serpihan pelangi yang samar. Pemandangannya begitu megah, begitu agung, hingga membuat semua rencana, keterlambatan, dan perdebatan kecil di sepanjang perjalanan terasa kerdil dan tidak berarti. Anya berhenti melangkah. Mulutnya sedikit terbuka, matanya terpaku, mencoba merekam setiap detail keajaiban di depannya. Ia tidak berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya sejak pagi tadi, sang agen kekacauan itu terdiam, takluk oleh keindahan yang melampaui kata-kata. Ezra juga berhenti di sebelahnya. Otaknya yang analitis secara otomatis mencoba memproses data: perkiraan tinggi tebing, estimasi volume air per detik, jenis batuan sedimen. Tapi semua itu gagal. Angka dan logika terasa tidak relevan di hadapan mahakarya alam ini. Untuk pertama kalinya, ia tidak sedang menganalisis. Ia hanya merasakan. Ia merasakan getaran dahsyat di dadanya, merasakan sejuknya butiran air di wajahnya, dan merasakan kekaguman yang begitu murni dan melumpuhkan. Di momen itu, di hadapan kekuatan alam yang luar biasa, tidak ada lagi Sang Perencana dan Sang Agen Kekacauan. Hanya ada dua orang sahabat yang berdiri berdampingan, berbagi napas dalam pengalaman yang sama. Anya perlahan menoleh ke arah Ezra, senyum terukir di wajahnya. Bukan senyum riang atau senyum jahil seperti biasanya. Ini adalah senyum yang lembut, penuh pengertian yang dalam. "Lihat, Ra," bisiknya, suaranya hampir hilang ditelan gemuruh air. "Perasaan ini... tidak ada di daftarmu, kan?" Ezra menatap pemandangan di depannya, lalu kembali menatap wajah Anya yang berbinar. Ia mengerti apa yang dimaksud Anya. Bukan air terjunnya. Tapi perasaan ini. Perasaan takjub, perasaan kecil di hadapan sesuatu yang begitu besar. Perasaan yang tidak bisa diukur, tidak bisa dijadwalkan, dan tidak bisa direncanakan. Sebuah variabel tak terduga yang indah. Dan untuk menjawab pertanyaan Anya, Ezra hanya bisa tersenyum tipis, sebuah senyuman tulus yang akhirnya mencapai matanya, dan menggelengkan kepalanya. "Tidak," akunya pelan, suaranya terdengar serak oleh emosi yang tak terduga. "Ini... sama sekali tidak ada."Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra. "Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol." Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'." "Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis." "Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?" "Sejak seorang investor pote
Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan
Keheningan yang ditinggalkan oleh Pak Wira terasa lebih nyaring daripada kebisingan jalanan Jakarta.Anya dan Ezra berdiri mematung di tengah kamar kos yang kini terasa seperti pusat alam semesta. Udara dipenuhi oleh gema dari proposal yang luar biasa itu: Pameran tunggal. Warisan Ombak. Lelang donasi. Dua bulan.Anya adalah yang pertama bergerak. Ia mengeluarkan suara aneh, campuran antara pekikan dan isak tangis yang tertahan, lalu ia melompat dan memeluk Ezra dengan kekuatan seorang badai kecil."Ra! Apa ini nyata?" serunya, suaranya teredam di bahu Ezra. "Cubit aku! Atau jangan, kalau ini mimpi aku tidak mau bangun!"Ezra, yang masih sedikit syok, tertawa—tawa yang dalam dan lega. Ia balas memeluk Anya, mengangkatnya dari lantai dan memutarnya sedikit, sebuah gerakan spontan yang sangat bukan dirinya. Untuk sesaat, semua logika dan perencanaannya lenyap, digantikan oleh kegembiraan murni yang meluap-luap."Ini nyata, Nya," katanya, menurunkannya kembali. Tangannya masih memegang l
Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan semuanya, matanya
Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra."Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol."Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'.""Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis.""Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?""Sejak seorang investor potensial memutuskan untuk datang ke kantor pusat kita,"
Ezra mengambil ponsel itu darinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka email itu. Ia membacanya dalam diam, matanya bergerak cepat dari baris ke baris. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini menunjukkan sebuah emosi yang jarang terlihat: keterkejutan yang tulus."Apa?" desak Anya, tidak tahan lagi dengan ketegangan itu. "Apa isinya? Apa dia menolaknya?"Ezra tidak menjawab. Ia hanya memulai ulang dari awal dan membacakan email itu dengan suara keras, suaranya mantap meskipun ada sedikit getaran di dalamnya."Untuk Anya Larasati,Terima kasih atas email Anda yang tidak biasa dan sangat menyegarkan. Di tengah lautan proposal pameran yang terasa seperti ditulis oleh robot, cerita Anda terasa seperti sebuah hembusan angin laut yang sesungguhnya.Saya sudah melihat portofolio digital yang Anda lampirkan. Lukisan Anda memiliki kekuatan yang mentah, sebuah kejujuran emosional yang langka. Terutama 'Lampu Jalanan Pukul 3 Pagi'. Saya bisa merasakan keheningan dan harapan di dalamnya







