Share

BAB 9

Penulis: Danker
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-07 12:29:52

Ia berjalan ke pintu dan membukanya. Di sana, berdiri Anya. Wajahnya memerah, napasnya sedikit terengah-engah. Di tangannya, ia memegang sebuah kantong kertas dari toko roti dan amplop resmi yang tadi ia ceritakan. Ia tidak tersenyum. Matanya menatap Ezra dengan tajam, sebuah campuran antara kekhawatiran dan kekesalan.

"Kamu mematikan teleponku," kata Anya, nadanya datar. Itu bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan fakta.

"Aku sedang tidak ingin bicara," jawab Ezra, bersandar di kusen pintu, secara tidak sadar mencoba menghalangi Anya masuk ke dalam dunianya.

"Sayang sekali," balas Anya, "karena aku datang ke sini untuk bicara."

Dengan gerakan cepat yang tak terduga, ia menyelinap melewati Ezra dan masuk ke dalam apartemen. Ia meletakkan kantong kertas dan amplop itu di atas meja kopi, tepat di sebelah amplop cokelat milik Ezra. Kekacauan telah berhasil menembus pertahanan.

Apartemen Ezra yang biasanya berbau pembersih lemon yang samar kini dipenuhi aroma manis dari roti kayu manis yang dibawa Anya. Kehadirannya sendiri terasa memenuhi ruangan yang senyap itu. 

Ia mengenakan celana jeans sobek dengan noda cat, kaus band yang sudah pudar, dan rambutnya diikat dengan sebuah sumpit. Ia adalah sebuah ledakan warna dan kehidupan di tengah palet monokrom Ezra.

"Oke," kata Anya sambil berbalik menghadapnya, menyilangkan tangan di dada.

 "Ada apa sebenarnya, Ra? Kamu tidak pernah seperti ini. Kamu boleh saja sinis, sarkastis, dan kadang-kadang menyebalkan seperti robot, tapi kamu tidak pernah... kasar. Kamu mematikan telepon saat aku bilang aku butuh bantuanmu."

"Sudah kubilang, aku sedang sibuk," ulang Ezra, suaranya lebih tajam kali ini.

"Sibuk apa?" tantang Anya, matanya menyapu seluruh apartemen yang rapi tapi terasa tak berpenghuni itu. "Menyusun ulang kaus kakimu berdasarkan gradasi warna? Atau melakukan analisis statistik tentang berapa banyak debu yang mengendap per jam? Ayolah, Ra! Aku ini sahabatmu. Aku tahu kapan kamu berbohong."

"Kamu tidak tahu apa-apa!" bentak Ezra, suaranya akhirnya pecah. Emosi yang sejak pagi ia tekan kini mulai merembes keluar. "Kamu datang ke sini dengan duniamu yang penuh fantasi—vila warisan, petualangan dadakan—seolah-olah hidup ini hanya permainan! Kamu tidak tahu apa artinya realitas!"

Anya tampak terkejut dengan ledakan emosi Ezra, tapi ia tidak mundur. Sebaliknya, matanya menyipit.

 "Realitas? Apa kamu bilang aku tidak tahu realitas? Aku mungkin tidak punya pekerjaan kantoran yang keren atau apartemen yang lebih mirip laboratorium daripada rumah, tapi aku bekerja setiap hari untuk membayar sewa tempat tinggalku dengan menjual karyaku! Aku tahu apa artinya berjuang! Jangan ceramahi aku tentang realitas!"

"Oh, ya? Lalu apa ini?" Ezra menunjuk amplop yang dibawa Anya. "Sebuah vila jatuh dari langit! Sebuah solusi ajaib untuk semua masalahmu! Sementara orang lain di dunia nyata harus bekerja keras, merencanakan setiap langkah, menabung setiap sen..."

Napasnya tercekat. Ia menyadari ia sedang memproyeksikan semua kepahitan dan ketidakadilannya pada Anya.

Anya mengikuti arah pandangannya, lalu matanya tertuju pada amplop cokelat satunya yang tergeletak di meja. Amplop yang berbeda, dengan logo perusahaan yang ia kenali sebagai tempat kerja Ezra. Tiba-tiba, semua kemarahan di wajahnya lenyap, digantikan oleh ekspresi yang sama sekali berbeda. Pemahaman.

"Ra," katanya pelan, suaranya kini lembut. "Apa yang ada di dalam amplop itu?"

Ezra tidak menjawab. Ia hanya membuang muka, menatap ke luar jendela. Rasanya seperti semua kekuatannya telah terkuras habis. Tembok pertahanannya telah runtuh.

Anya berjalan perlahan mendekatinya. Ia tidak mencoba menyentuhnya. Ia hanya berdiri di dekatnya, memberinya ruang. "Kamu dipecat, ya?" tanyanya, lebih seperti bisikan.

Ezra menelan ludah, rasa panas menjalar di tenggorokannya. Ia hanya bisa mengangguk pelan, sebuah gerakan kecil yang terasa seperti sebuah pengakuan kekalahan total.

Selama beberapa saat, ruangan itu kembali hening. Tapi kali ini bukan keheningan yang kosong. Keheningan itu kini diisi oleh pemahaman yang tak terucap. Anya akhirnya mengerti. Ini bukan tentang dirinya atau tentang vila. Ini tentang dunia Ezra yang baru saja hancur.

Ia menghela napas. "Kenapa kamu tidak bilang dari tadi?"

"Karena aku..." Ezra memulai, lalu berhenti. Karena apa? Karena ia malu? Karena ia tidak mau dikasihani? Karena seorang perencana yang baik seharusnya tidak pernah membiarkan hal seperti ini terjadi? "...tidak tahu harus berkata apa," lanjutnya, memilih jawaban yang paling sederhana.

Anya mengangguk, seolah itu adalah jawaban yang paling masuk akal di dunia.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan ke dapur Ezra. Ezra mendengarnya membuka lemari, menyalakan ketel listrik, dan menyeduh sesuatu. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan dua cangkir teh chamomile hangat. Ia memberikan satu pada Ezra dan duduk di sofa, tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh.

"Minumlah," katanya pelan.

Ezra menerima cangkir itu. Kehangatannya menjalar ke tangannya yang terasa dingin. Sebuah tindakan yang sederhana, tapi terasa begitu membumi. 

Di tengah badai di kepalanya, secangkir teh hangat yang dibuatkan oleh sahabatnya adalah sebuah jangkar.

Mereka duduk dalam diam selama hampir lima belas menit, hanya ditemani oleh suara pelan mereka menyesap teh. Anya tidak bertanya apa-apa lagi. 

Ia tidak mencoba menghibur atau memberikan nasihat. Ia hanya ada di sana. Menemaninya dalam keheningan. Kehadirannya yang biasanya terasa seperti badai kini terasa seperti selimut yang menenangkan. Untuk pertama kalinya, Ezra menyadari bahwa di balik semua kekacauan Anya, ada sebuah inti kekuatan yang tenang dan penuh empati.

"Maaf," kata Ezra akhirnya, memecah keheningan. "Aku tidak seharusnya membentakmu."

Anya tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf. Seharusnya aku sadar ada yang tidak beres." Ia menunjuk ke arah cangkir tehnya. "Lihat, kan? Bahkan aku bisa membuat sesuatu yang menenangkan jika situasinya menuntut."

Ezra meliriknya dan ada sedikit senyum yang tulus—senyum pertamanya hari itu—terbentuk di bibirnya. "Tehnya enak."

"Tentu saja. Aku hanya meniru gerakanmu saat membuat kopi, tapi dengan versi yang lebih malas," candanya, dan suasana di ruangan itu terasa sedikit lebih ringan.

Setelah hening sejenak, Anya kembali menatapnya dengan serius. "Jadi," katanya, "sekarang apa rencanamu?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 43

    Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra. "Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol." Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'." "Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis." "Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?" "Sejak seorang investor pote

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 44

    Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 42

    Keheningan yang ditinggalkan oleh Pak Wira terasa lebih nyaring daripada kebisingan jalanan Jakarta.Anya dan Ezra berdiri mematung di tengah kamar kos yang kini terasa seperti pusat alam semesta. Udara dipenuhi oleh gema dari proposal yang luar biasa itu: Pameran tunggal. Warisan Ombak. Lelang donasi. Dua bulan.Anya adalah yang pertama bergerak. Ia mengeluarkan suara aneh, campuran antara pekikan dan isak tangis yang tertahan, lalu ia melompat dan memeluk Ezra dengan kekuatan seorang badai kecil."Ra! Apa ini nyata?" serunya, suaranya teredam di bahu Ezra. "Cubit aku! Atau jangan, kalau ini mimpi aku tidak mau bangun!"Ezra, yang masih sedikit syok, tertawa—tawa yang dalam dan lega. Ia balas memeluk Anya, mengangkatnya dari lantai dan memutarnya sedikit, sebuah gerakan spontan yang sangat bukan dirinya. Untuk sesaat, semua logika dan perencanaannya lenyap, digantikan oleh kegembiraan murni yang meluap-luap."Ini nyata, Nya," katanya, menurunkannya kembali. Tangannya masih memegang l

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 41

    Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan semuanya, matanya

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 40

    Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra."Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol."Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'.""Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis.""Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?""Sejak seorang investor potensial memutuskan untuk datang ke kantor pusat kita,"

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 39

    Ezra mengambil ponsel itu darinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka email itu. Ia membacanya dalam diam, matanya bergerak cepat dari baris ke baris. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini menunjukkan sebuah emosi yang jarang terlihat: keterkejutan yang tulus."Apa?" desak Anya, tidak tahan lagi dengan ketegangan itu. "Apa isinya? Apa dia menolaknya?"Ezra tidak menjawab. Ia hanya memulai ulang dari awal dan membacakan email itu dengan suara keras, suaranya mantap meskipun ada sedikit getaran di dalamnya."Untuk Anya Larasati,Terima kasih atas email Anda yang tidak biasa dan sangat menyegarkan. Di tengah lautan proposal pameran yang terasa seperti ditulis oleh robot, cerita Anda terasa seperti sebuah hembusan angin laut yang sesungguhnya.Saya sudah melihat portofolio digital yang Anda lampirkan. Lukisan Anda memiliki kekuatan yang mentah, sebuah kejujuran emosional yang langka. Terutama 'Lampu Jalanan Pukul 3 Pagi'. Saya bisa merasakan keheningan dan harapan di dalamnya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status