MasukTelepon itu berdering di keheningan apartemen Ezra seperti sirene serangan udara.
Suaranya yang nyaring dan digital terasa merobek selaput ketenangan palsu yang coba ia bangun di sekelilingnya. Selama satu jam terakhir sejak ia kembali, Ezra hanya duduk di sofanya yang kaku, menatap kosong ke dinding putih di seberangnya. Amplop cokelat itu tergeletak di atas meja kopi, sebuah artefak dari dunia yang baru saja menolaknya. Pikirannya, yang biasanya merupakan jaringan super sibuk yang memproses data dan menyusun rencana, kini menjadi hamparan statis yang kosong. Putih. Sunyi. Deringan kedua memaksanya bergerak. Dengan gerakan lambat seperti robot, ia meraih ponselnya. Nama yang tertera di layar—"Anya si Biang Rusuh"—adalah nama kontak yang ia buat bertahun-tahun lalu sebagai lelucon. Hari ini, kata-kata itu terasa seperti sebuah ramalan yang ironis. Kekacauan sedang memanggilnya. Ia menekan tombol hijau, tidak yakin suara apa yang akan keluar dari tenggorokannya. "Halo," katanya. Suaranya serak, asing di telinganya sendiri. "EZRA! AKHIRNYA!" Suara di seberang telepon adalah ledakan energi murni, 180 derajat berlawanan dengan keadaan Ezra. Terdengar suara gemerisik dan dentuman pelan, seolah Anya sedang mondar-mandir sambil menabrak perabotannya sendiri. "Kamu di mana? Aku telepon dari tadi nggak diangkat! Aku punya berita paling gila, paling aneh, paling... yah, paling Anya yang pernah ada!" Ezra memejamkan mata. Ia tidak punya kapasitas untuk energi Anya saat ini. Rasanya seperti mencoba menampung badai di dalam gelas teh. "Aku di rumah, Nya. Ada apa?" "Ada apa? ADA APA?! Ini bukan sekadar 'ada apa', Ra! Ini adalah sebuah titik balik kosmik! Sebuah panggilan dari alam semesta! Sebuah plot twist dalam novel kehidupan kita!" Ezra bisa membayangkan Anya di seberang sana, matanya berbinar, tangannya bergerak-gerak liar saat berbicara. Biasanya, ia akan membalas dengan komentar sarkastis yang kering. Tapi hari ini, ia tidak punya tenaga. "Bisakah kamu langsung ke intinya?" "Oke, oke, sabar, Bapak Efisiensi," kata Anya, nadanya sedikit melunak, mungkin merasakan ada yang aneh dengan respons Ezra yang lebih datar dari biasanya. "Intinya adalah: aku dapat warisan." Ezra diam. Warisan. Sebuah konsep yang begitu jauh dari realitasnya saat ini. "Halo? Ra? Kamu masih di sana?" tanya Anya. "Warisan! Sebuah VILA! Di pinggir pantai! Dari nenek yang bahkan aku lupa kalau aku punya nenek itu! Keren, kan?" "Vila," ulang Ezra, kata itu terasa aneh di lidahnya. "IYA! Tapi ada masalahnya," lanjut Anya cepat, nadanya kembali panik. "Aku harus ke sana untuk mengklaimnya. Langsung. Ada batas waktunya, Ra. Tiga minggu! Tiga minggu untuk pergi ke sebuah desa yang bahkan nggak ada di G****e Maps! Dan ada urusan surat-surat, notaris, legalitas, dan semua kata-kata menakutkan itu. Aku melihat dokumennya dan otakku langsung meleleh." Ezra menghela napas. Ia sudah bisa melihat ke mana arah pembicaraan ini. "Dan di situlah kamu masuk!" seru Anya penuh kemenangan. "Aku butuh manajer proyek. Aku butuh otakmu. Aku butuh... dirimu." Ada sedikit jeda, sebelum ia menambahkan dengan nada yang lebih formal dan dibuat-buat, "Dengan ini, saya, Anya Larasati, secara resmi menawarkan Anda posisi sebagai Manajer Ekspedisi untuk Misi Klaim Warisan Vila Senja. Gaji bisa dinegosiasikan, tunjangan berupa pemandangan indah dan petualangan tak terduga." Keheningan menyelimuti percakapan mereka sekali lagi. Di hari lain, Ezra mungkin akan tertawa kecil mendengar absurditas tawaran itu. Tapi hari ini, setiap kata terasa seperti garam yang ditaburkan di atas luka. Petualangan. Proyek. Manajer. Kata-kata dari kehidupannya yang dulu, yang baru saja direnggut darinya beberapa jam yang lalu. "Aku tidak bisa, Nya," jawab Ezra pelan. "Hah? Apa maksudmu tidak bisa? Tentu saja bisa! Kamu kan jagonya hal-hal seperti ini. Kita akan buat rencana, kita akan buat jadwal, kita akan taklukkan birokrasi bersama!" "Aku sedang sibuk," dusta Ezra. Sebuah kebohongan yang terasa pahit. Ia tidak pernah sesenggang ini seumur hidupnya. "Sibuk apa?" desak Anya, tidak mudah menyerah. "Ini hari Senin, jam makan siang. Kamu pasti sedang menganalisis data atau membuat diagram alur yang membosankan. Ayolah, Ra. Aku benar-benar butuh bantuanmu. Aku tidak bisa melakukan ini sendirian." Suaranya terdengar lebih pelan, lebih tulus. "Aku takut mengacaukannya." Rasa bersalah menusuk Ezra, menembus kabut mati rasanya. Tapi rasa putus asanya sendiri jauh lebih besar. "Maaf, Nya. Aku benar-benar tidak bisa. Cari saja orang lain." Sebelum Anya bisa memprotes lebih jauh, ia mematikan teleponnya. Ia melempar ponsel itu ke ujung sofa seolah benda itu panas. Keheningan kembali menyelimuti apartemennya, tetapi kali ini terasa lebih berat, lebih menyesakkan, dibebani oleh rasa bersalah dan keputusasaan. Selama dua jam berikutnya, Ezra mencoba untuk menjadi dirinya yang lama. Ia mencoba untuk mengambil kembali kendali. Ia bangkit dan berjalan ke dapur. Piring sarapannya sudah bersih di rak pengering. Meja dapurnya berkilau. Tidak ada yang perlu dibersihkan. Ia pergi ke ruang kerja kecilnya. Ia menyalakan laptopnya, niatnya untuk memperbarui CV-nya dan mulai mencari pekerjaan baru. Halaman LinkedIn terbuka di hadapannya, menampilkan foto profilnya yang profesional dengan latar belakang logo perusahaannya yang lama. Rasanya seperti melihat foto hantu. Ia melihat daftar lowongan pekerjaan: "Manajer Proyek", "Analis Senior", "Kepala Departemen Strategi". Kata-kata itu terasa asing, seolah ditulis dalam bahasa lain. Bagaimana ia bisa melamar pekerjaan yang membutuhkan perencanaan masa depan ketika masa depannya sendiri terasa seperti halaman kosong? Ia menutup laptopnya dengan keras. Keteraturan tidak lagi memberinya ketenangan. Itu hanya menyoroti betapa kosongnya hidupnya sekarang. Apartemennya yang rapi tidak terasa damai; terasa steril, seperti kamar rumah sakit. Jadwalnya yang biasanya penuh kini kosong melompong. Ia adalah seorang kapten di sebuah kapal yang super canggih dan terorganisir, tetapi mesinnya mati dan kapalnya terombang-ambing tanpa arah di tengah samudra yang luas. Ia kembali ke sofa dan duduk dalam diam, membiarkan waktu berlalu tanpa arti. Setiap menit yang lewat adalah pengingat akan kegagalannya. Ia telah merencanakan segalanya dalam hidupnya, kecuali kemungkinan bahwa rencananya bisa gagal total. Tepat saat ia merasa akan tenggelam dalam lautan keputusasaannya, bel pintunya berbunyi. Bukan bunyi bel digital yang sopan, melainkan gedoran yang keras dan tidak sabaran. Ezra tahu siapa itu. Hanya ada satu orang yang akan mengabaikan interkom dan langsung menggedor pintunya seolah-olah ada kebakaran.Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra. "Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol." Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'." "Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis." "Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?" "Sejak seorang investor pote
Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan
Keheningan yang ditinggalkan oleh Pak Wira terasa lebih nyaring daripada kebisingan jalanan Jakarta.Anya dan Ezra berdiri mematung di tengah kamar kos yang kini terasa seperti pusat alam semesta. Udara dipenuhi oleh gema dari proposal yang luar biasa itu: Pameran tunggal. Warisan Ombak. Lelang donasi. Dua bulan.Anya adalah yang pertama bergerak. Ia mengeluarkan suara aneh, campuran antara pekikan dan isak tangis yang tertahan, lalu ia melompat dan memeluk Ezra dengan kekuatan seorang badai kecil."Ra! Apa ini nyata?" serunya, suaranya teredam di bahu Ezra. "Cubit aku! Atau jangan, kalau ini mimpi aku tidak mau bangun!"Ezra, yang masih sedikit syok, tertawa—tawa yang dalam dan lega. Ia balas memeluk Anya, mengangkatnya dari lantai dan memutarnya sedikit, sebuah gerakan spontan yang sangat bukan dirinya. Untuk sesaat, semua logika dan perencanaannya lenyap, digantikan oleh kegembiraan murni yang meluap-luap."Ini nyata, Nya," katanya, menurunkannya kembali. Tangannya masih memegang l
Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan semuanya, matanya
Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra."Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol."Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'.""Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis.""Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?""Sejak seorang investor potensial memutuskan untuk datang ke kantor pusat kita,"
Ezra mengambil ponsel itu darinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka email itu. Ia membacanya dalam diam, matanya bergerak cepat dari baris ke baris. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini menunjukkan sebuah emosi yang jarang terlihat: keterkejutan yang tulus."Apa?" desak Anya, tidak tahan lagi dengan ketegangan itu. "Apa isinya? Apa dia menolaknya?"Ezra tidak menjawab. Ia hanya memulai ulang dari awal dan membacakan email itu dengan suara keras, suaranya mantap meskipun ada sedikit getaran di dalamnya."Untuk Anya Larasati,Terima kasih atas email Anda yang tidak biasa dan sangat menyegarkan. Di tengah lautan proposal pameran yang terasa seperti ditulis oleh robot, cerita Anda terasa seperti sebuah hembusan angin laut yang sesungguhnya.Saya sudah melihat portofolio digital yang Anda lampirkan. Lukisan Anda memiliki kekuatan yang mentah, sebuah kejujuran emosional yang langka. Terutama 'Lampu Jalanan Pukul 3 Pagi'. Saya bisa merasakan keheningan dan harapan di dalamnya







