Ranu mencari data tentang penerbit Pustaka Hirawan 71 di internet. Berita yang muncul hanya beberapa, itu pun terkait penggusuran dan pergantian nama menjadi HBook. Website dengan kata kunci tersebut tidak menampilkan buku apa saja yang diterbitkan sejak awal berdiri. "Semuanya bersih. Gak ada apa pun," ucap Ranu menunjukkan layar ponselnya ke Kiran juga. "Kok gak ada sih?" "Mana saya tahu." "Yakin gak ada yang penting artikelnya?" "Kamu bisa baca sepuasnya setelah saya pulang. Kamu punya handphone sekarang," ucap Ranu mengakhiri sesi pertemuan mereka. "Itu di atas pintu tulisan apa?" "Penangkal." "Saya juga tahu. Maksud saya artinya." "Saya pikir Mas Ranu bisa baca aksara." Kiran menerjemahkan kalimat dengan bahasanya. ꦩꦤꦸꦱꦶꦲꦱꦔꦠ꧀ꦱꦺꦩ꧀ꦥꦸꦂꦤꦢꦶꦕꦶꦥ꧀ꦠꦏꦤ꧀ꦱꦺꦲꦶꦁꦒꦩꦸꦢꦃꦠꦺꦂꦭꦺꦤꦢꦤ꧀ꦫꦥꦸꦃ꧉ꦩꦺꦱ꧀ꦏꦶꦧꦺꦒꦶꦠꦸꦩꦤꦸꦱꦶꦲꦠꦺꦠꦥ꧀ꦩꦏ꦳꧀ꦭꦸꦏ꧀ꦲꦶꦢꦸꦥ꧀ꦪꦁꦢꦶꦕꦶꦥ꧀ꦠꦏꦤ꧀ꦡꦸꦲꦤ꧀ꦱꦺꦢꦺꦩꦶꦏꦶꦲꦤ꧀ꦫꦸꦥꦗꦲꦸꦃꦢꦶꦧꦤ꧀ꦢꦶꦁꦏꦤ꧀ꦥꦺꦤ꧀ꦕꦶꦥ꧀ꦠꦲꦤ꧀ꦲꦶꦧ꧀ꦭꦶꦱ꧀꧈ꦭꦶꦤ꧀ꦢꦸꦔꦶꦠꦺꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦲꦶꦤꦶꦲꦒꦂꦠꦶꦢꦏ꧀ꦲꦤ꧀ꦕꦸꦂ "Manusia sangat sempurna diciptakan sehingga mudah terlena dan rapuh.
Sesuai saran Ranu alangkah baiknya Kiran menyempatkan diri pergi ke klinik untuk mengecek apakah lukanya mengalami infeksi atau mulai membaik. Meskipun Kiran hafal luka ringan macam ini akan hilang membekas dalam waktu seminggu. Kiran menarik pintu menggunakan tangan satunya. "Permisi." Ia masuk mengamati ada dua orang menunggu di ruang apotik. Mengetahui tidak sendirian cukup membuat perasaan Kiran tenang. Setelah menulis daftar kunjungan di meja resepsionis, ia memasuki ruangan dokter umum bertemu langsung dengan Dokter Fandi. Dokter Fandi yang semula fokus ke handphone mengangkat wajah dan mengenali pasien berikutnya. "Kita ketemu pagi tadi!" Kiran tersenyum lalu duduk curi pandang ke lantai, mereka sama tanpa bayangan sebab berada di lampu dalam ruangan tertutup. "Kamu sakit? Maaf saya cek sebentar ya." Dokter Fandi menggunakan stetoskopnya kemudian lanjut memeriksa tensi darah Kiran. "Tensi kamu nor
'Saya punya firasat buruk tentang Dokter Fandi. Mas bisa datang ke klinik jam 12.35 ? Untuk jaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Kalau gak bisa datang, sebisa mungkin aku jaga diri' Isi pesan Kiran yang Ranu dapat berbunyi demikian. Hanya orang gila yang tidak cemas dapat pesan mirip pesan terakhir sebelum meninggalkan dunia. Padahal sekitar pukul 12.25 Ranu lagi menikmati makan siang bersama teman-temannya. "Aduh, apa lagi ini?" Serius sekali dari tulisannya. "Maaf saya duluan, Pak." Ranu menjauh dari perkumpulan teman kerjanya dan menghubungi Kiran. Anak kecil itu tidak menjawab satu pun panggilannya meski berkali-kali ditelepon. Jarak dari kantin ke klinik memakan waktu 10—15 menit. Jika berlari mungkin memotong waktu 5 menit. Tanpa peduli citranya di lihat seantero pabrik, Ranu berlari sekencang-kencangnya walau panas terik menerpa. Firasat buruk apa yang Kiran rasakan? Jika benar harusnya dia tidak perlu pergi. Kenapa? Ken
Ria berlarian masuk ke klinik sesudah diminta Ranu. "Kiran?" Ria tanya keberadaan Kiran. Ranu memberikan tisu basah dan P3K lain dalam satu box berukuran sedang. "Kiran cuma dengerin kamu. Dia di toilet." Seberapa parah kejadian menimpa mereka sampai leher Ranu berwarna merah. "Bersihin leher kamu juga. Itu masih kotor," ucap Ria. "Susul teman kamu sekarang," sahut Ranu. Ria pergi ke belakang tempat toilet perempuan. Diketuklah pintu penuh hati-hati. "Kiran ini aku, Ria. Aku masuk ya." Kiran membukakan pintu berlinang air mata. Hati Ria teriris melihat sahabatnya selalu ditempatkan posisi sulit. Dia menariknya ke dalam dekapan hangat. "Kamu gak salah apa-apa." "Aku takut Dokter Fandi gak selamat, Mbak. Kalau sampai dia mati, artinya aku yang bunuh dia. Aku takut ..." "Enggak ..." Ria coba tenangkan hati meskipun tahu tidak mengubah pola pikirnya. Anak ini diguncang ketakutan, siapa Ri
"Hoammm." Ria barusan menguap sehabis bangun dari tidur lama, hitung-hitung mengambil kesempatan langka. Kapan lagi bisa tidur di waktu orang-orang bekerja. Satu perempuan lain yang sedang merapikan selimut adalah Kiran. "Aku mampir ke rumah kamu ya," kata Ria bersemangat. Pegal-pegal di badannya hilang usai tidur dari siang sampai sore. "Ngapain?" "Main. Mas Ranu nunggu kita." "Ngapain Mas Ranu nunggu kita?" "Aku sudah bilang Mas Ranu punya kepedulian tinggi. Memangnya dia gak akan ke sini lagi cek kondisi kamu? Pasti iya ..." "Kayaknya enggak deh." Kiran rasa tingkat kepercayaan diri Ria melebihi analisisnya. Ria membelalak gembira sosok pria yang tengah dibicarakan muncul dari lorong sebelah kiri mencangking dua cup es kopi. Ria memekik, "Mas Ranu!" Telinga Ranu berdenging. "Kita harus menjauh. Kamu bisa merusak pendengaran saya." Kiran berlari menghampiri mereka dan bertanya kepada Ranu. "Gimana keadaan Dokter Fandi?" Ranu menyerahkan minuman yang dibawa kepada Ria. "D
Keesokan harinya sepulang kerja Ranu menginfokan pada mereka berdua bahwa Dokter Fandi sudah sadar dan bisa dijenguk. Sayang sekali Ria tidak bisa ikut karena diarenya belum membaik. Jadi hanya Kiran dan Ranu yang pergi. Kiran disuruh tunggu di depan tempat parkir. Sebuah mobil berhenti di sebelahnya, ia pikir orang lain. Begitu mengejutkan Kiran melihat kaca mobil diturunkan dan Ranu di dalam membunyikan klakson. "Masuk," ucapnya dari dalam. Kiran membuka pintu mobil belakang. "Kamu pikir saya sopir taksi? Duduk di depan!" protes Ranu.Kiran tutup lagi kemudian duduk di bangku depan. Setelah memakai sabuk pengaman ia mengamati interior mobil mewah pertama kali. "Ini mobil yang sering muncul di iklan. Mas Ranu beli?" "Nyewa," celetuk Ranu. "Ohh, tapi bukannya sama mahalnya ya. Kalau lecet ganti ruginya pasti banyak. Bawa mobilnya hati-hati. Mas punya SIM, kan?" Ranu menjalankan mobil pelan sebelum ke luar wilayah pabrik. "Punya, astaga." Kiran tidak bisa berhenti kagum. Memang
Huruf besar bertuliskan Hirawan's Hospital nampak jelas dari bawah. Kiran melihat-lihat sekitar, semua orang beraktivitas normal pada umumnya. "Astaga ... Di mana-mana tulisan Hirawan," desis Kiran. Tangan kiri Ranu yang hendak membuka pintu di sebelah langsung tertahan. Lehernya mendongak ke atas di mana marga kebanggaan dipajang berwarna biru tua. "Ke depannya bakal lebih sering. Siap-siap muak," kata Ranu. Mereka ke luar bersama. Tanpa bertanya ke meja administrasi di mana kamar Dokter Fandi dirawat, Ranu mengarahkan Kiran bak telah riset sebelum datang. Rumah sakit adalah tempat menyeramkan kedua setelah pemakaman. Ada banyak roh berkeliaran meminta bantuan dan memusatkan perhatian bagi manusia yang bisa melihat mereka. Mereka tidak bisa mendatangi Kiran dalam radius satu meter. Sebab dia terhubung dengan Gataka. Apabila hantu lain berusaha mendekat, mereka akan kehabisan energi dan lenyap. Di depan kamar VIP
Kiran dan Ranu harus berhenti menepi sebab lobi rumah sakit kedatangan seorang tamu hingga di mana-mana ada bodyguard. Mobil hitam mengkilap berjejer di halaman depan lobi. Dari mobil tengah dijaga super ketat. Salah satu dari mereka membukakan pintu dan keluar satu pria berusia sekitar 50-an tahun berpakaian formal. "Sampai segitunya jaga satu orang." Kiran geleng-geleng kepala. "Kita lewat pintu timur saja, Mas." Ranu menarik tudung jaket Kiran supaya kembali. "Itu orang yang kita cari." Kiran sontak memerhatikan Vilas berjalan dikawal bodyguard-nya sampai masuk lift. Vilas Sanjaya Hirawan, Direktur PT SH, dicurigai terlibat kasus Dokter Fandi dan Gita. Di matanya, seorang Vilas sering dilihat. "Aku pernah lihat dia ..." "Di mana?" Sahut Ranu. Vilas Hirawan adalah anak tunggal pemilik Grup Hirawan, Sanjaya Hirawan. Tepat dua puluh tahun silam Sanjaya menunjuknya sebagai pimpinan PT SH yang merupakan perusahaan k