"Kalau begitu jangan nolak kalau saya mau kenalan sama kamu,” jawab Ranu tak kalah cepat.
Kiran mengamati Ranu dengan seksama, mencoba membaca pikiran di balik kunjungan ini. “Kamu enggak ingat kejadian semalam, kan?” Ranu menyeringai, matanya berbinar senang. Udara di antara mereka menegang. Kiran tak menyangka pria di depannya mengetahui rahasia itu. “Dia dirasuki roh jahat,” bisik Ranu kepada Ria, membocorkan rahasia yang selama ini Kiran sembunyikan. Ria mengarahkan pandangan ke mana telunjuk Ranu menunjuk Kiran yang tidak menjawab maupun menyangkal ucapannya. Mata Kiran membelalak terkejut, bingung, bagaimana pria itu bisa tahu. Ria sudah berusaha semaksimal mungkin menahan tawa, tapi Ranu sungguh konyol. “HAHAHA! Apa kamu bilang??” Perutnya sampai kram tertawa terlalu kencang. Kiran mengerjap ketika Ranu ikut tertawa mengimbangi Ria hingga ia bertanya-tanya siapa yang waras dan siapa yang gila. Ranu menepuk bahu Ria dan lanjut bicara. “Kamu ketawa karena merasa semalam tingkah dia aneh juga, kan?” Tawa riangnya terputus. Ria menghela napas, mengiyakan dalam hati. Kiran melemparkan peringatan, “Siapa pun yang tahu rahasiaku harus siap menghadapi konsekuensinya.” Kini percakapan mereka lebih dalam karena Kiran tidak menganggap main-main. Ria mengulang kata terakhir, “Konsekuensi?” Dia tidak tahu apa-apa. Kenapa harus kena dampaknya. Ranu bertanya, “Apa konsekuensinya?” Kiran melayangkan tatapan ke mereka berdua sembari menarik napas dalam-dalam. “Kesengsaraan berujung kematian.” Itulah konsekuensi yang akan mereka terima. Ria tercenung dengan konsekuensi yang disebutkan, sedangkan Ranu tersenyum singkat tidak takut bahaya sedang mendekat. “Temani teman kamu. Saya mau lanjut jogging,” ucap Ranu sambil menepuk bahu kiri Ria dua kali. Ketika hendak kembali masuk rumah, Kiran tersentak mendapat tatapan setajam mata pisau dari Ria. “Jadi, itu benar?” tanyanya, butuh kepastian dari orang yang disebut kerasukan roh jahat oleh Ranu. Kiran menghela napas panjang. “Kamu berdiri dari tadi, pasti dengar semua.” Mengetahui dampak yang terjadi sangat parah, artinya Ria harus meningkatkan kewaspadaan. Dahi Kiran mengerut, ia tersenyum simpul saat Ria mundur dua langkah menjaga jarak darinya. “Kamu takut?” Jari telunjuk dan jempol Ria menakar secuil. “Dikit.” Secara tiba-tiba dia membahas Ranu lagi meskipun orangnya sudah pergi. “Ranu pasti memperhatikan kamu lumayan lama. Dia tahu banyak tentang kamu.” Kiran tidak bisa masuk ke dalam pikiran pria itu. Intinya, tatapan tajam dan senyum Ranu bagai topeng yang menutupi emosi sebenarnya. Kiran pun bertanya-tanya apa yang tengah dia pikirkan. “Kira-kira Ranu tahu rumah aku dari siapa ya?” celetuk Kiran, bercanda melayangkan sorot curiga. Ria menyangkal secepat kilat. “Aku baru kenal dia semalam. Jangan curigain aku ya!” “Aku gak bilang apa-apa,” dalih Kiran. “Gak bilang apa-apa tapi arah matanya ke aku. Sudah ah, mau pulang! Nanti malam masuk kerja, mau tidur!” Kiran mengejek, “Tidur lama juga bukannya kamu selalu ngantuk?” “Malam kan memang waktu tubuh istirahat. Salah jam kerjanya, bukan orangnya.” Kiran mengangguk paham kemudian menyuruhnya pulang. Kalau dibalas terus justru berkelanjutan lupa waktu. Setelah Ria pulang, Kiran masuk rumah dan berhenti di ruang tamu, mendekati cermin di sudut jendela dengan hati-hati, matanya tidak berkedip. Semakin dekat ia, semakin jelas perubahan yang terjadi pada pantulannya. Senyum itu, seringai itu... itu bukan senyumnya. Dengan napas terengah-engah, Kiran mundur selangkah, jantungnya berdebar kencang. Kiran terjengkang ke belakang, jantungnya berdebar kencang. Ia merangkak menjauh dari cermin, tubuhnya gemetar hebat. Dengan sisa tenaga yang ada, ia berlari ke kamar dan mengunci pintu sekuat tenaga, nafasnya tersengal-sengal. Gataka meniru Kiran hingga ke detail terkecil, seolah ingin menanamkan rasa takut mendalam di hati Kiran. Aksi semalam semakin mengukuhkan dominasinya. *~* 19 tahun silam .... Bersambung...“Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.” Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang. Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap. Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka. Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bek
Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir. Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian
Perjanjian awal, tahun 2000... “Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban. Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya. Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga. Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan. “Mengapa tidak me
Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb
Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem
Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.