Share

Ranu Berdusta sementara Ria Curiga

Ria dibuat gila mencari keberadaan Kiran. Dari bagian depan hingga belakang gedung sama sekali tak ditemukan tanda-tanda batang hidungnya.

Notifikasi pesan dari grup tiap bagian muncul serentak berisi informasi karyawan dipulangkan selagi olah TKP pihak kepolisian.

"Sudah ada polisi?"

Lampu sirine yang berasal dari mobil polisi terlihat dari pintu yang terbuka lebar. Usai dibubarkan, rombongan karyawan pulang sambil menahan rasa penasaran siapa identitas mayat dalam tanah.

Dari kumpulan polisi dan satpam yang sedang mengobrol Ria melihat Kiran dari posisinya sekarang. "Ngapain dia di sana?" Tanpa babibu dia berlari menghampiri Kiran.

Plak!

Ria memukul punggung orang yang dia cari satu gedung sampai ngos-ngosan.

"Mbak?" Punggungnya terasa panas tiba-tiba dipukul.

"Kamu dari mana saja?!" Setengah teriakan Ria mengejutkan semua pihak, termasuk Kiran.

Pak Imron menunjuk Ria saat sedang memberi keterangan. "Itu saksi pertama, Pak."

"Aku cari kamu dari ujung ke ujung!" Ria mengusap rambut ke belakang sambil menarik Kiran ke belakangnya tatkala satu polisi dan Pak Imron mendekat. "Jangan bilang apa-apa. Biar aku yang hadapi mereka," timpalnya serius.

Pertama, Kiran tidak tahu alasan Ria mengamuk. Kedua, ia tambah heran dilarang bicara di saat tidak tahu apa pun dan baru tiba di TKP karena keramaian tidak biasa.

"Kenapa, Mbak?"

"Ssut! Diam aja!"

Akhirnya Kiran menurut saja dengan tetap diam namun memperhatikan situasi sekitar, mengapa tiba-tiba ditemukan mayat di pabrik yang notabenya tempat umum dan ramai kunjungan.

"Selamat pagi, Bu. Bisa sebutkan nama dan nomor KTP-nya?"

Kiran melirik papan nama petugas polisi muda di depan Ria. Sementara itu Ria tampak gugup ditanya.

"Tenang saja, jangan gugup. Saya cuma mau meminta keterangan dari ibu selaku saksi pertama penemuan jasad. Bagaimana kronologi awal ibu menemukan mayat di sana?" ucap Iptu Cakra.

Pikiran Ria mudah dibaca Kiran. Sekarang berhadapan dengan lelaki tampan nan gagah pasti jantungnya berdegup dua kali lebih cepat bagaikan jatuh cinta lagi.

"Jadi ..."

"Ya, bagaimana, Bu?"

"Nama saya, Ria. Nomor KTP 3304xxxx. Ceritanya gini, Mas. Saya mau buang sampah di sana tapi biar cepat naik ke tanah sini." Ria menyuruh Kiran tetap diam di tempat selagi dia meragakan posisinya. "Bapak buncit itu—maksud saya, Pak Satpam itu negur katanya gak boleh nginjak tanah. Tapi sudah tanggung ya sekalian saya lempar sampahnya. Terus saya nengok ke situ- " Ria urung mencontohkan tindakan selanjutnya karena garis polisi terpasang. "Saya kira sampah plastik atau kain makanya saya pungut. Gak tahunya ada tangan yang muncul dari dalam tanah."

Ipti Cakra mencatat sesuai ucapan Ria. "Sekitar waktu tersebut apa ibu lihat seseorang di sekitar yang mencurigakan?"

Ria menggeleng. "Saya gak tahu."

"Terima kasih untuk waktunya. Kebetulan sebelumnya saya wawancara beberapa pimpinan untuk mengkonfirmasi keberadaan karyawan. Alibi mereka sudah dikonfirmasi tapi kalau boleh bertanya, Ibu Ria kenal dengan Kiran Nawasena? Bu Hilda bilang kalian dekat dan Mbak Kiran sedang ke toilet tapi kami butuh alibinya."

Kiran yang sedang menatap ke atas langit menoleh kala nama lengkapnya disebut. "Itu saya."

Iptu Cakra tak ada pilihan lagi selain mempertanyakan Kiran. "Apa ada orang yang bisa mengkonfirmasi alibi kamu?"

Otak Ria berdenyut kemungkinan alibi Kiran tidak dikonfirmasi. Dia sendiri mencari ke toilet namun tak ada. Ria menunduk mencari alasan apa yang bisa membuktikan alibinya.

"Saya ..." Ucapan Kiran menggantung.

"Kebetulan kalian di sini. Alibi saya harus dikonfirmasi juga, bukan?"

Entah kebetulan apa lagi kali ini Ranu muncul menyela percakapan mereka. Ria melotot, Kiran ciut bahunya dirangkul Ranu.

"Ada urusan pribadi antara saya dengan Kiran. Jadi setelah Kiran dari toilet, kita mengobrol di pintu belakang gedung mengarah kantin."

Iptu Cakra tersenyum paham. "Begitu? Baik. Tapi, di sana gak ada cctv. Bagaimana kalian mengkonfirmasi keberadaan kalian di sana?"

"Saya gak tau persis letak cctv. Pertemuan kami pun mendadak." Ranu tersenyum pada Kiran dan Iptu Ridwan.

"Kenapa Mas Ranu bohong?" batin Kiran. Mereka tidak bertemu sama sekali hari ini di pabrik, baru sekarang.

Wajah datar Ranu kembali. Ia menyuruh mereka pulang. "Kalian gak baca interkom? Pulang sekarang."

"Ayo." Ria mendahului Kiran.

"Kelihatannya bapak atasan yang supel ke karyawan perempuan," pujian Iptu Cakra mengandung unsur kecurigaan terhadap pembelaan Ranu.

Supel apanya. "Saya hanya melindungi mereka dari tuduhan aparat yang 'katanya' mengayomi dan melindungi masyarakat."

"Apa?" Iptu Cakra meninggikan suara dapat sindiran.

"Silakan lanjut penyelidikan. Saya permisi," pamit Ranu.

*

Kiran dan Ria berjalan dalam jarak. Sesudah merasa ke luar dari lingkaran pabrik dan masuk gang tempat tinggal Ria lebih dulu bertanya.

"Kamu ke mana tadi?"

Kalian pasti tahu jika dengar helaan napas berat Kiran. "Toilet, Mbak." Ia masih menjawab dengan lembut.

"Bohong." Kaki Ria berhenti kemudian menghadap kiri bertatapan dengan mata Kiran. "Sekitar waktu itu, habis aku lihat tangan mayat ... Aku cari kamu di toilet. Gak ada siapa-siapa."

Mereka berdiri di tepi jalan tak memedulikan angin dingin meniup rambut. Kiran tahu apa yang Ria pikirkan, ia memang harus menjelaskan.

"Aku ke toilet assembling karena toilet biasa kerannya mati."

"Mas Ranu kasih tahu aku sesuatu, karena itu aku takut terjadi sesuatu sama kamu."

"Mbak lebih takut sesuatu terjadi karena aku, kan?"

"Kiran—" Dadanya rada sesak karena sangat panik tadi.

"Mas Ranu bilang apa ke mbak?" tanya Kiran bersabar.

"Dia bilang, fase terparah Gataka bisa membunuh orang secara acak. Apa itu benar?"

Alis Kiran bertaut mendengar dari Ria jika Ranu berkata demikian. Apa pria itu pernah dirasuki Gataka hingga mengklaim sesuatu? Tidak.

"Mbak curiga aku yang bunuh orangnya? Hari ini aku sepenuhnya sadar. Aku memang ke toilet gak ke mana-mana apalagi sempat kubur manusia."

"Aku gak curigain kamu. Aku takut terjadi hal buruk karena belakangan ini Gataka sering merasuki kamu. Kamu gak baik-baik saja dan melihat kamu setenang ini ada mayat, aku—" Ria buru-buru menutup mulutnya sendiri telah banyak bicara. "Aku khawatir."

"Mungkin karena lihat ayah aku meninggal tergantung di depan mata, aku setenang ini."

Jalur pernapasan Ria berhenti sejenak. Dia sudah terlampau jauh sampai Kiran mengungkit kematian orang tuanya yang disebabkan oleh Gataka.

Ranu berhasil menyusul mereka merasakan getaran menegangkan. Setelah menguping sebentar pria itu segera mendekat melerai perdebatan mereka.

"Jangan dianggap serius. Ria cuma khawatir kamu menghilang sebentar."

Kiran terkekeh miris. Hidungnya merah menahan dingin. Air matanya penuh di pelupuk setiap mengingat momen mengenaskan dalam hidupnya.

"Dari mana mas tahu Gataka membunuh orang secara acak? Sedangkan Mas Ranu gak dirasuki Gataka."

Tujuan Ranu datang menunggu di depan rumah hari itu belum jelas. Pria itu masih bungkam meski Gataka mempermainkannya. Gataka pun enggan memberi alasan mengapa pertemuan dengan Ranu tampak bukan pertama kali bagi mereka.

Ranu berkacak pinggang menyembunyikan kesan misterius dengan menundukkan kepala.

Kiran bertanya lagi, "Kalian pernah bertemu sebelumnya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status