Bab 6. Mengancam Papa
"Tidak-tidak, ini tidak seperti yang Papa pikirkan," sanggah Bram saat ia bisa mengartikan bagaimana cara papanya menatap. "Semuanya terjadi begitu saja jadi kumohon Papa tidak berpikir yang macam-macam soal pernikahanku," tegas Bram dengan pandangan serius. "Kenapa? Kau salah meniduri anak orang?" tanya Satrio mencuramkan alis. "Bukan, bukan begitu Pa." Bram menggeleng, ia lalu memegangi pelipisnya lalu memijitnya pelan. "Lalu apa? Kau ... One Night Stand dengan perempuan nakal?" "Duh, bukan." "Lalu apa?" "Aku ... aku dibeli dua puluh lima juta sama wanita itu," ujar Bram bingung untuk menjelaskan. "Apa? Dibeli?" Satrio terkaget-kaget, "kamu dibeli? Kamu ... kamu jual diri?" "Bukan, maksudku ... wanita itu meminta pertolonganku untuk menikahinya dan dia membayar jasaku sebanyak dua puluh lima juta." Satrio mengerutkan kening, mencerna penjelasan Bram yang terdengar grasak-grusuk. "Jadi dia hamil dan membelimu untuk pertanggungjawaban, begitu? Bram, mana harga dirimu?!" Bram terdiam, ia menipiskan bibir sambil menepuk jidat. Entah harus bagaimana ia menjelaskan, ia pun menoleh ke arah Alex. "Lex, bantu aku untuk menjelaskan." Alex menarik napas, ia menatap majikannya sejenak lalu mengalihkan pandangan ke arah bos besar. "Maksud Tuan muda adalah dia dibeli untuk menjadi suami pura-pura, Tuan." Alex menjelaskan dengan mimik tenang. "Sejenis nikah kontrak, hanya terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun saja." Satrio yang semula mengerutkan keningnya dan bersiap untuk marah, kali ini menarik napas lega. Setidaknya anaknya ini tidak gegabah dalam memilih pasangan. "Lalu apa hubungannya dengan modal, hah?" Satrio menghardik Bram, merasa kesal dengan anak semata wayangnya tersebut. "Papa, aku butuh pekerjaan untuk menghidupinya. Meskipun kami hanya nikah kontrak selama setahun, setidaknya biarkan anakmu ini merasakan kerasnya bekerja di luaran sana. Dengan uang modal darimu, aku bisa bekerja dan pura-pura menghidupinya." Bram menjelaskan, ia menatap papanya dengan pandangan penuh harap. "Kenapa? Kau ingin memikat hati mertuamu?" "Nah, betul." Bram menjentikkan jari di depan Satrio membuat pria paruh baya itu sedikit terlonjak karena kaget. "Kurang lebih seperti itu Pa, kumohon. Bantulah anakmu yang tampan ini, apa Papa tega melihat anakmu ini menjadi gelandangan di pulau orang lain?" Bram memelas, wajahnya dibuat melow dan sedikit drama. Satrio berdecap, ia menggelengkan kepala. Diam beberapa saat untuk mempertimbangkan, pria itu menatap wajah putranya lekat-lekat. "Baiklah, akan kuberi modal. Tapi ingat, setelah nikah pura-puramu selesai, kamu harus kembali ke sini dan siap memegang tampu perusahaan," ucap Satrio dengan serius. "Baik Pa, aku siap." "Satu lagi," sambung Satrio tanpa melepaskan pandangannya pada Bram. "Satu lagi?" "Kamu juga harus siap menerima perjodohan yang Papa rancang setelah ini," ucap Satrio. "Apa?" "Ya," angguk Satrio. "Kau kira hanya aku saja yang boleh menerima permainanmu, hah?! Kau juga. Kau harus menerima permainanku kali ini. Bagaimana? Kamu sanggup 'kan dengan perjanjian ini?" *** Mau tak mau Bram harus menerima perjanjian itu. Ia pulang dari tanah orangtuanya dengan mengantongi sejumlah uang. Dari uang itulah Bram akan menggunakannya untuk hidup dan mulai menanam modal untuk bekerja. "Kira-kira aku harus bekerja apa Lex? Kantoran? Berdagang atau apa?" tanya Bram setibanya di tanah Jawa dan baru saja turun dari udara. Alex yang berdiri di sebelahnya menoleh, ia menatap pria itu dalam-dalam. "Terasa lucu jika Anda langsung bekerja di kantoran Tuan, bukankah Anda mengaku hanya lulusan SMP," ucap Alex mengingatkan. "Oh, iya ya. Aku sering lupa," ucap Bram sambil menggeleng. Ia pun menoleh lagi ke arah Alex. "Lalu aku harus pura-pura bekerja apa?" "Sopir mungkin, atau ... ojek." "Apa?" "Ya, hanya dua profesi itu yang cocok untuk Anda dan lingkungan Anda," jawab Alex dengan mantap. Bram tercenung, sungguh tidak terlintas dipikirannya kalo dia akan cosplay jadi ojol atau sopir taksi di kemudian hari. "Anda harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sekarang Tuan. Kalo tiba-tiba bekerja di kantoran maka identitas Anda sebagai cucu dari sultan perkebunan cengkeh akan segera terbongkar." Alex menambahkan. Bram manggut-manggut, ia memahami apa yang dikatakan Alex barusan. Memang benar, ia memang harus berpura-pura terlebih dahulu sebelum benar-benar bisa menyumpal mulut julid nenek dan keluarga besar Nisa—istrinya. "Tapi biarkan aku memilih motorku sendiri, Lex. Aku ingin punya Ducati atau ... paling tidak ninja-lah. Bagaimana?" Bram menoleh lagi, ia meminta pertimbangan. "Tuan—" "Kumohon, aku malu kalo pakai Supra. Tolong," ucap Bram dengan serius. Alex diam beberapa saat, ia mencari cara dan akhirnya menganggukkan kepala. "Baik Tuan, silakan pilih motor Anda. Tapi ingat, jangan sampai ketahuan niat terselubung Anda terhadap keluarga istri Anda." "Siap!" Bram tampak senang, akhirnya ia pergi ke showroom motor dan memilih motornya sendiri. Sore itu ia memilih Ducati merah untuk dijadikan kendaraan. Ia akan berdalih bahwa ia diterima sebagai ojol dan meminjam motor pada rekan baiknya. Dengan hati gembira Bram membawa motor mewah itu pulang ke kediaman Nisa dan keluarga besarnya yang julid. Suara knalpot yang cukup garang dan berisik membuat Eyang Harun dan seisi rumah mengumpat kesal. Mereka pun berbondong-bondong keluar dari rumah dan menemui Bram yang tengah menggeber-geber motornya di pekarangan rumah. "Hai orang sin ting, jangan berisik ya!" hardik Eyang Harun berteriak sambil menutup telinga. Bram tersenyum dibalik helm merahnya. Ia pun mematikan mesin lalu melepas benda yang melekat di kepalanya itu dan menatap seluruh mata keluarga Nisa. "Bram ... kamu—" Eyang Harun tampak kaget, ia menunjuk ke arah motor Bram. "Motor siapa itu? Kamu ... kamu tidak nyuri motor kan?!" ______Suasana di ruangan itu terasa berat, namun seiring dengan kata-kata Nisa, beban itu perlahan menguap. Setelah beberapa saat, mereka pun pamit, meninggalkan penjara dan orang-orang yang pernah mencelakakannya.*Dalam perjalanan pulang, Nisa meminta Bram untuk berhenti sebentar di bendungan yang tak jauh dari sana. Bendungan itu memiliki tempat khusus di hatinya. Dulu, sewaktu kecil, ia sering bermain di sini bersama teman-temannya, menikmati masa-masa yang penuh kebebasan dan tawa. Kini, setelah semua yang ia lewati, tempat ini memberinya ketenangan.Mereka duduk di tepi bendungan, melihat air yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Suara gemericik air yang mengalir membawa damai, seolah membersihkan sisa-sisa ketegangan yang tadi masih menggantung."Aku senang semuanya udah selesai," kata Nisa sambil menatap pemandangan di depannya.Bram tersenyum, melingkarkan lengannya di bahu Nisa. "Sekarang kita bisa fokus ke masa depan, tanpa ada beban."Nisa mengangguk, merasakan kedamaia
Setelah seminggu berada di Kalimantan, Nisa dan Bram bersiap kembali ke Jawa. Mereka baru saja melewati minggu pertama sebagai pengantin baru, penuh kebahagiaan dan keintiman. Namun, di balik senyum Nisa, ada perasaan tak sabar yang menggelayut di hatinya.Ia merindukan rumah, lebih tepatnya, merindukan bertemu dengan orang tuanya, ayah dan ibunya yang sudah menanti kepulangannya. Baginya, tidak ada tempat yang lebih nyaman selain berada di dekat mereka, terutama setelah semua yang terjadi pada dirinya. Namun, perasaan lain yang tak kalah kuat adalah keinginan Nisa untuk segera bertemu dengan mereka—musuh-musuh dalam keluarganya. Eyang Harun, Ranti, Sari, dan yang paling dia ingat dengan tajam, Tante Melani.Mereka semua kini berada di penjara, setelah kasus besar yang menimpa keluarga mereka terbongkar. Nisa tak pernah membayangkan dirinya akan menghadapi mereka dalam situasi seperti ini.Dulu, ia selalu menjadi objek ejekan, terutama dari Melani yang tak henti-hentinya menghina Nis
Malu rasanya saat harus keluar dari kamar dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ya, sudah bangun kesiangan, keduanya justru membuat satu keluarga harus menunda makan pagi demi menunggu mereka keluar.Nisa menahan rasa sungkan, ia keluar setelah berhasil melepaskan diri dari Bram lewat jendela kamar. Tentu saja adegan itu direkam bersama-sama seluruh keluarga mengingat kamar pengantin terlihat jelas dari ruang makan."Kau ... baik-baik saja, Nis?" tanya Harun saat melihat Nisa keluar dari jendela dengan mengendap-endap. "Ada apa dengan pintunya? Kenapa tidak lewat pintu saja?"Nisa menoleh ke arah ruang makan, wajahnya langsung memerah padam mengingat mata seluruh keluarga tertuju ke arahnya."Ehm, anu Pak, pintunya—""Sebaiknya kau segera membersihkan diri di kamar tamu. Di sana ada kamar mandi di dalam," potong Satrio tak kalah merasa malu. Ya, sudah jelas jika Nisa berbuat demikian karena ulah anaknya."Mari kita makan terlebih dahulu, biarkan mereka mengurusi kebutuhan mereka sendiri
"Sah!" seru beberapa orang laki-laki di tempat itu dengan lantang. Seruan mereka menandakan bahwa hubungan yang saat ini terjalin sudah sah di mata hukum maupun agama.Kendati mereka sudah pernah ijab kabul, perasaan berdebar masih saja terasa di dalam dada. Saling berpandangan, Bram melempar senyum ke arah Nisa lalu mengikuti arahan sang penghulu untuk bertukar cincin bersama-sama.Setelah menyematkan cincin emas dua puluh empat karat seberat tiga gram di jari manis masing-masing, keduanya lantas berdoa untuk kesejahteraan bersama."Malam ini kau takkan bisa lolos lagi," bisik Bram setelah mereka berdoa dan berpindah tempat ke kursi pelaminan.Nisa hanya diam, pura-pura tak mendengar dengan wajah bersemu merah. Alih-alih menanggapi bisikan Bram yang terdengar mengerikan, ia sengaja mengabaikan dan justru tersenyum pada para tamu yang menyapa dirinya di depan kursi pelaminan."Selamat untuk kalian berdua ya. Semoga hubungan kalian sakinah mawadah warahmah hingga kakek-nenek," ucap seo
"Maaf, Ayah terlalu terharu." Harun melepas pelukan putrinya lalu menyeka airmata yang jatuh di pipi. Ia mencoba tersenyum lalu menyapa Bram dan juga Alex yang berdiri tak jauh dari sisi putrinya."Hai, jumpa lagi dengan kamu," sapa Harun seraya mendekat ke arah Bram lalu menepuk bahunya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis, "tak disangka kita jumpa lagi di tempat ini.""Iya Pak," angguk Bram sedikit enggan untuk berbasa-basi.Suasana sore menjelang malam itu terasa begitu syahdu. Warung gorengan yang ia buka pun lebih ramai daripada biasanya."Bu, saya beli gorengannya dong Bu. Udah habis nih di nampan," protes salah satu pelanggan pada Ratih yang sibuk menyongsong kebahagiaan di dalam keluarganya."Oh, iya, Pak. Tunggu sebentar ya," ucap Ratih menyadari perbuatannya. Wanita itu tersenyum lalu menatap Harun, Nisa, Bram, dan juga Alex secara bergantian."Kalian lanjut ngobrol di teras rumah ya, Ibu mau bikin gorengan dulu buat pelanggan." Ratih berpamitan, ia tersenyum tipis lalu mene
Nisa tak menjawab, meski hatinya cukup berdesir saat Bram mengatakan demikian, ia tidak akan goyah dengan keputusan awal."Oh, ya, Pah, aku akan balik ke pulau Jawa untuk menuntaskan misi yang sudah Nisa beri. Misal nanti sudah complete dan tercapai, Papa bersedia ya menghadiri ijab kabul kami," ucap Bram mengalihkan pandangan ke arah Satrio yang masih sibuk dengan menu makan siangnya."Ijab kabul?" ulang Satrio mengerutkan kening. "Bukankah kalian ini sudah sah nikah?"Bram tersenyum, ia menoleh sekilas ke arah Nisa lalu kembali melabuhkan pandangan ke arah papanya."Nisa minta ijab kabul-nya diulang Pa. Katanya kalo aku berhasil menemukan ayahnya maka ia bersedia menjalankan tugasnya sebagai seorang istri," cerita Bram dengan riang membuat Nisa mendadak salah tingkah. "Tolong Pa, iyakan saja. Papa tahu 'kan rasanya jadi pria dewasa yang merindukan lautan asmara sekian lamanya."Satrio manggut-manggut, ia menunduk lagi sambil menikmati makanannya. "Lakukan saja, aku akan mendukungmu