Bab 7. Tak Sesuai Harapan
"Enak aja nyuri," tandas Bram mendadak kesal. Pria berkemeja putih itu lantas turun dari motor lalu berkacak pinggang. "Walau aku miskin, aku tidak mungkin mencuri motor," tambahnya lagi dengan mencuramkan alis. Eyang Harun terdiam, ia mengamati motor yang dibawa suami Nisa tersebut. Dari pengamatannya, mana mungkin Bram yang mereka kenal pengangguran bisa memiliki motor mahal lagi mewah seperti itu. Ratih—ibunda Nisa yang terkenal lebih banyak pendiam kini maju ke depan. Ia menatap anggota keluarganya sekilas lalu kembali memandang Bram. "Nak, dari mana kau dapatkan motor itu? Di mata kami, motor yang kau bawa itu bernilai ratusan juta." Ratih tampak cemas, ia takut jika apa yang diomongkan ibu kandungnya adalah benar. "Jadi Ibu juga mengira aku mencuri, begitu?" Bram menyipitkan mata, mendadak kesal dengan wanita yang sudah melahirkan istrinya tersebut. "Bukan, bukan begitu. Tapi ...." "Aku mendapat pekerjaan Bu, aku melamar jadi ojol. Karena aku nggak punya kendaraan sendiri makanya aku join dengan sahabatku dan meminjam motornya," jelas Bram dengan serius. Tiba-tiba eyang Harun tertawa keras, tawanya yang mirip nenek lampir itu membuat seluruh anggota keluarga bingung. "Kamu kira kami percaya, hah?!" Eyang Harun lalu menatap Bram. "Mana ada orang kaya yang dengan sukarela meminjamkan motornya sama kamu. Kamu tuh gembel, pengangguran, miskin juga, mana mungkin ada orang kaya yang begitu percaya sama kamu." "Lah, ini buktinya." Bram menepuk motor Ducati tersebut dengan cukup keras. "Buktinya motornya kupakai nih. Dia juga nggak pa-pa kok motornya aku pakai." "Kurasa dia melakukannya karena kasihan sama kamu Bram," tepis Melani turut menyambung ucapan. "Orang miskin mau nabung seratus tahun pun mana mungkin motor keren seperti itu kebeli. Kamu cuma beruntung mendapatkan teman sebaik dia," ucapnya lagi. "Terserah kalian aja, yang jelas aku sudah mendapatkan pekerjaan dan itu halal. H-A-L-A-L, halal." Bram lantas masuk ke dalam rumah, tidak mempedulikan seluruh anggota rumah yang terdiam dan tampak terheran-heran dengan motor yang ia bawa. Semenjak saat itu, keluarga yang julid semakin julid. Mereka menertawakan Bram dan menganggap bahwa Bram hanya berhalusinasi saja. Ia dianggap cuma membual, si tukang ojek yang mimpi jadi orang kaya. "Pak ojek bisa antar saya ke pasar nggak? Tapi bayarannya berapa ya, kan motor Bapak mahal. Saya takut nanti uang saya nggak cukup buat ngojek Bapak. Hihihi ...." Sari memparodikan dirinya seolah-olah jadi penumpang. Tentu saja sambil tertawa cekikikan karena geli. "Oh, nggak pa-pa Mbak. Motor saya mahal loh, kaki Mbak udah bersih belum? Awas ya kalo abis injek kotoran kucing." Melani ikut menyambung, membuat keduanya tergelak bahagia. Pagi itu, bukannya bersiap untuk bekerja keduanya malah asyik merumpi dan membicarakan tentang Bram. Mereka anggap Bram adalah badut konyol yang senang sekali membual. Bram yang sudah siap dengan seragam ojolnya dan Nisa yang siap pergi bekerja sebagai kasir di salah satu swalayan di kota itu hanya bisa menggelengkan kepala. Mereka terus-menerus mendengarkan percakapan penuh kejulidan dari anggota rumahnya sendiri. "Nggak baik bicarain orang pagi-pagi begini," ucap Nisa menegur. Meski kesal ia harus mengelus dada berulang kali karena perbuatan mereka. "Eh, ada Bu ojol." Sari menatap Nisa, kembali cekikikan dengan Melani. "Tante, mau naik Ducati nggak? Awas cekernya ada ta* kucingnya loh nanti ducatinya bau." "Eh, mana-mana? Nggak ada kok," ucap Melani ikut tertawa dan pura-pura melihat-lihat sandal yang ia pakai. Keduanya terus-terusan tertawa, hal yang paling bahagia yang mereka lakukan pagi ini. "Berhenti membuat aku kesal ya," tandas Bram akhirnya buka suara. Setelah berhari-hari memilih diam dan mendengarkan banyolan mereka, kali ini ia tidak bisa menahan lagi. "Memangnya apa salah jika aku jadi ojol? Itu pekerjaan halal 'kan?! Terus apa salahnya kalau motorku Ducati? Emang Ducati hanya boleh dipakai orang-orang kaya aja?!" Mendengar hal itu tawa Sari dan Melani kembali terdengar. Eyang Harun yang baru saja selesai mandi dan anggota rumah lainnya pun perlahan berkumpul di ruang tengah. "Kalian ini memang pasangan lucu ya, yang satu beli laki-laki pengangguran, yang satu sukanya berkhayal. Aduh ... benar-benar komplit deh," ucap Melani sambil geleng-geleng kepala. Bram mencuramkan alis, ia menatap Nisa lalu menggandeng tangannya dengan erat. "Sepertinya sudah waktunya bagi kita untuk keluar dari rumah ini dan mencari rumah lain Nis," ucap Bram dengan serius. "Apa? Apa tadi? Aku nggak salah denger 'kan?!" Sari menimpali, ia bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Bram. "Mau keluar dari rumah ini? Dasar pembual. Emangnya kamu bisa sewa rumah? Kamu bisa makan, hah?!" "Jangan meremehkan kami ya," tegas Bram dengan mata nyaris melotot. "Meskipun miskin, kami bisa kok hidup di luaran sana." "Jadi pengemis maksudnya?" Melani menyambung, ia terkekeh mengejek. "Silakan sana kalau mau jadi pengemis. Nggak ada yang melarang kalian pergi dari sini." Bram menggeram pelan, ia menatap marah pada keluarga Nisa tersebut. Alih-alih memberi semangat dan dorongan, mereka justru bahu membahu menjatuhkan satu sama lain. Berbalik badan, Bram lantas masuk lagi ke kamar. Melihat hal tersebut, Sari dan Melani kembali tertawa terbahak-bahak. Tak lama kemudian Bram datang, ia membawa tas ransel lalu menjatuhkannya di depan seluruh anggota keluarga. "Ambil, anggap saja sedekah dari kami." Sari dan Melani saling berpandangan, begitu pun dengan anggota yang lainnya. Dengan ragu-ragu, Sari berjongkok dan memeriksa isi ransel tersebut. "Uang?" desis Sari dengan mata terbelalak, begitu pun dengan yang lainnya. "Dari mana kau mendapatkan uang sebanyak ini? Kamu—kamu mencuri, ya?" Nisa ikut terheran-heran, dari mana suaminya mendapatkan uang sebanyak itu. Ia menoleh pada Bram, meminta kepastian. "Mas, kamu—" _______ Jangan lupa follow ya kak, agar selalu dapat notifikasi dari aku. Terima kasih.Suasana di ruangan itu terasa berat, namun seiring dengan kata-kata Nisa, beban itu perlahan menguap. Setelah beberapa saat, mereka pun pamit, meninggalkan penjara dan orang-orang yang pernah mencelakakannya.*Dalam perjalanan pulang, Nisa meminta Bram untuk berhenti sebentar di bendungan yang tak jauh dari sana. Bendungan itu memiliki tempat khusus di hatinya. Dulu, sewaktu kecil, ia sering bermain di sini bersama teman-temannya, menikmati masa-masa yang penuh kebebasan dan tawa. Kini, setelah semua yang ia lewati, tempat ini memberinya ketenangan.Mereka duduk di tepi bendungan, melihat air yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Suara gemericik air yang mengalir membawa damai, seolah membersihkan sisa-sisa ketegangan yang tadi masih menggantung."Aku senang semuanya udah selesai," kata Nisa sambil menatap pemandangan di depannya.Bram tersenyum, melingkarkan lengannya di bahu Nisa. "Sekarang kita bisa fokus ke masa depan, tanpa ada beban."Nisa mengangguk, merasakan kedamaia
Setelah seminggu berada di Kalimantan, Nisa dan Bram bersiap kembali ke Jawa. Mereka baru saja melewati minggu pertama sebagai pengantin baru, penuh kebahagiaan dan keintiman. Namun, di balik senyum Nisa, ada perasaan tak sabar yang menggelayut di hatinya.Ia merindukan rumah, lebih tepatnya, merindukan bertemu dengan orang tuanya, ayah dan ibunya yang sudah menanti kepulangannya. Baginya, tidak ada tempat yang lebih nyaman selain berada di dekat mereka, terutama setelah semua yang terjadi pada dirinya. Namun, perasaan lain yang tak kalah kuat adalah keinginan Nisa untuk segera bertemu dengan mereka—musuh-musuh dalam keluarganya. Eyang Harun, Ranti, Sari, dan yang paling dia ingat dengan tajam, Tante Melani.Mereka semua kini berada di penjara, setelah kasus besar yang menimpa keluarga mereka terbongkar. Nisa tak pernah membayangkan dirinya akan menghadapi mereka dalam situasi seperti ini.Dulu, ia selalu menjadi objek ejekan, terutama dari Melani yang tak henti-hentinya menghina Nis
Malu rasanya saat harus keluar dari kamar dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ya, sudah bangun kesiangan, keduanya justru membuat satu keluarga harus menunda makan pagi demi menunggu mereka keluar.Nisa menahan rasa sungkan, ia keluar setelah berhasil melepaskan diri dari Bram lewat jendela kamar. Tentu saja adegan itu direkam bersama-sama seluruh keluarga mengingat kamar pengantin terlihat jelas dari ruang makan."Kau ... baik-baik saja, Nis?" tanya Harun saat melihat Nisa keluar dari jendela dengan mengendap-endap. "Ada apa dengan pintunya? Kenapa tidak lewat pintu saja?"Nisa menoleh ke arah ruang makan, wajahnya langsung memerah padam mengingat mata seluruh keluarga tertuju ke arahnya."Ehm, anu Pak, pintunya—""Sebaiknya kau segera membersihkan diri di kamar tamu. Di sana ada kamar mandi di dalam," potong Satrio tak kalah merasa malu. Ya, sudah jelas jika Nisa berbuat demikian karena ulah anaknya."Mari kita makan terlebih dahulu, biarkan mereka mengurusi kebutuhan mereka sendiri
"Sah!" seru beberapa orang laki-laki di tempat itu dengan lantang. Seruan mereka menandakan bahwa hubungan yang saat ini terjalin sudah sah di mata hukum maupun agama.Kendati mereka sudah pernah ijab kabul, perasaan berdebar masih saja terasa di dalam dada. Saling berpandangan, Bram melempar senyum ke arah Nisa lalu mengikuti arahan sang penghulu untuk bertukar cincin bersama-sama.Setelah menyematkan cincin emas dua puluh empat karat seberat tiga gram di jari manis masing-masing, keduanya lantas berdoa untuk kesejahteraan bersama."Malam ini kau takkan bisa lolos lagi," bisik Bram setelah mereka berdoa dan berpindah tempat ke kursi pelaminan.Nisa hanya diam, pura-pura tak mendengar dengan wajah bersemu merah. Alih-alih menanggapi bisikan Bram yang terdengar mengerikan, ia sengaja mengabaikan dan justru tersenyum pada para tamu yang menyapa dirinya di depan kursi pelaminan."Selamat untuk kalian berdua ya. Semoga hubungan kalian sakinah mawadah warahmah hingga kakek-nenek," ucap seo
"Maaf, Ayah terlalu terharu." Harun melepas pelukan putrinya lalu menyeka airmata yang jatuh di pipi. Ia mencoba tersenyum lalu menyapa Bram dan juga Alex yang berdiri tak jauh dari sisi putrinya."Hai, jumpa lagi dengan kamu," sapa Harun seraya mendekat ke arah Bram lalu menepuk bahunya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis, "tak disangka kita jumpa lagi di tempat ini.""Iya Pak," angguk Bram sedikit enggan untuk berbasa-basi.Suasana sore menjelang malam itu terasa begitu syahdu. Warung gorengan yang ia buka pun lebih ramai daripada biasanya."Bu, saya beli gorengannya dong Bu. Udah habis nih di nampan," protes salah satu pelanggan pada Ratih yang sibuk menyongsong kebahagiaan di dalam keluarganya."Oh, iya, Pak. Tunggu sebentar ya," ucap Ratih menyadari perbuatannya. Wanita itu tersenyum lalu menatap Harun, Nisa, Bram, dan juga Alex secara bergantian."Kalian lanjut ngobrol di teras rumah ya, Ibu mau bikin gorengan dulu buat pelanggan." Ratih berpamitan, ia tersenyum tipis lalu mene
Nisa tak menjawab, meski hatinya cukup berdesir saat Bram mengatakan demikian, ia tidak akan goyah dengan keputusan awal."Oh, ya, Pah, aku akan balik ke pulau Jawa untuk menuntaskan misi yang sudah Nisa beri. Misal nanti sudah complete dan tercapai, Papa bersedia ya menghadiri ijab kabul kami," ucap Bram mengalihkan pandangan ke arah Satrio yang masih sibuk dengan menu makan siangnya."Ijab kabul?" ulang Satrio mengerutkan kening. "Bukankah kalian ini sudah sah nikah?"Bram tersenyum, ia menoleh sekilas ke arah Nisa lalu kembali melabuhkan pandangan ke arah papanya."Nisa minta ijab kabul-nya diulang Pa. Katanya kalo aku berhasil menemukan ayahnya maka ia bersedia menjalankan tugasnya sebagai seorang istri," cerita Bram dengan riang membuat Nisa mendadak salah tingkah. "Tolong Pa, iyakan saja. Papa tahu 'kan rasanya jadi pria dewasa yang merindukan lautan asmara sekian lamanya."Satrio manggut-manggut, ia menunduk lagi sambil menikmati makanannya. "Lakukan saja, aku akan mendukungmu