Bab 5. Menerima Kemarahan Papa
Alex adalah kaki tangan Bram selama berada di dunia luar. Ya selama ini ia memilih hidup lontang-lantung di jalanan bukan karena tanpa sebab. Satrio Wiryoningrat—papanya yang tinggal di Kalimantan menjadi mafia perkebunan cengkeh di sana. Bram sendiri memilih pergi ke pulau Jawa lantaran kesal pada sang papa yang terus mendesaknya untuk menggantikan posisinya di perusahaan sekaligus memintanya untuk mencari pendamping. Bramantyo, pria bertubuh tinggi dan memiliki berat badan ideal tersebut memiliki azas bebas tak mau dikekang, memilih pergi meninggalkan tanah kelahirannya dan mengejar kebebasannya. "Baik Tuan, saya akan pesankan Anda tiket penerbangan hari ini." Alex menjawab dengan sigap siaga. Bram mengangguk, ia menatap keadaan sekitar dengan penuh waspada. "Aku tunggu di hotel. Jangan lama-lama karena ini darurat." "Baik Tuan." Setelah Alex menyatakan kesanggupannya untuk menyediakan tiket pagi ini, Bram lantas mematikan panggilan telepon. Ia menatap berkas yang sedari tadi ia bawa dengan tatapan aneh. Perlahan ia menggeleng sambil tersenyum. "Ternyata sudah sejauh ini aku bercanda dengan hidupku. Ckckck ... ayo kita mulai serius dari sekarang." *** Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, Bram berhenti di depan hotel yang selama ini menjadi tempat ia bernaung di pulau Jawa. Membayar dengan uang lembaran merah, ia membuat sang sopir terpukau karena kedermaan hatinya yang luar biasa. Memasuki hotel, penampilannya yang biasa tidak menyurutkan rasa hormat dari staff hotel yang bekerja. Rupanya Bram menjadi pelanggan VVIP hotel tersebut sejak dua tahun silam. Naik ke kamarnya di lantai sembilan menggunakan lift, Bram lantas menuju ke kamar yang selama ini ia huni sesekali. "Mana tiketnya?" tanya Bram saat melihat Alex sudah berjaga di depan kamar pribadinya. Pria muda seumuran dengan Bram tersebut membungkuk, ia mengeluarkan tiket pesawat lalu menyodorkannya pada Bram. "Pesawat berangkat satu jam lagi," ucap Alex dengan mimik serius. Bram hanya diam, ia mengecek tiket penerbangan dengan sangat hati-hati. Ya, seperti biasa ia akan pergi menggunakan pesawat Garuda dengan kelas VIP untuk menemui papanya di Kalimantan. "Kamu juga pesan tiket untuk dirimu sendiri bukan?" tanya Bram seraya menatap ke arah Alex. Pria itu mengangguk, membungkuk sejenak tanpa berkata apa-apa. "Bagus, kita berkemas sesaat lantas melanjutkan perjalanan." Bram berkata datar, ia lantas mengeluarkan kunci berupa kartu tipis dan menempelkannya di depan pintu. Beberapa saat kemudian, pintu secara otomatis terbuka dan menampilkan kamar mewah milik sang anak orang kaya. Pagi menjelang siang itu Bram disibukkan dengan rencananya untuk bertemu sang papa. Tujuannya hanya satu, ia meminta modal lebih untuk ia usaha di pulau Jawa. Setelah melakukan penerbangan hampir selama dua jam, Bram dan Alex dijemput mobil pribadi milik sang papa. Mereka akan langsung menuju ke kantor dimana sang papa bekerja dan membangun kerajaan bisnis atas usaha mereka di perkebunan cengkeh. "Ehm, jujur, aku sedikit grogi bertemu dengan papa." Bram mengakui perasaannya. Pria itu hanya diam, sesekali terlihat resah lalu berdeham untuk menggugurkan rasa tidak nyaman dalam hatinya. "Santai saja Tuan, Bos besar tidak akan marah pada Anda." Alex menenangkan, wajah tegang juga terlihat di wajahnya. Bram melirik Alex sejenak, ia menarik napas lalu mendengkus pelan. "Ya, tidak sekarang tapi nanti. Aku tidak yakin, papa pasti akan marah besar padaku." Alex tak menanggapi, ia sendiri turut merasa cemas dengan pertemuan perdana tersebut. Dulu ia pergi karena turut menemani Bram, sekarang ia harus kembali dan mungkin ia juga akan kena marah bos besarnya tersebut. Masuk ke dalam area kantor, semua karyawan menghormat. Mereka tidak melupakan bagaimana wajah tampan Bram kendati sudah dua tahun ini ia tidak pernah nampak di kantor tersebut. Melanjutkan langkah, pada akhirnya ruangan dimana Satrio Wiryoningrat kini berada tepat di depan bola matanya. Menarik napas panjang, Bram lantas masuk ke dalam ruangan dan bersitatap langsung dengan papanya yang sudah beruban putih di beberapa sisi. "Papa—" desis Bram melangkah masuk diikuti Alex di belakangnya. Pria paruh baya itu mendongak, menatap sosok yang selama ini pergi dari hadapannya selama dua tahun. Sedikit terkejut, Satrio segera menguasai keadaan dan menyandarkan punggungnya di kursi putar kebesarannya. "Bram ..." desisnya pelan. ia menatap putra semata wayangnya dengan perasaan kesal. "Sudah puaskah kau pergi bermain di luaran sana, hah?!" Bram hanya diam, ia duduk di kursi yang tersedia di hadapan meja kerja papanya tersebut. Sebagai anak tunggal, tentu saja Bram sangat dielu-elukan di dalam keluarganya yang begitu perfeksionis. "Katakan padaku, apa maumu sekarang. Aku yakin kau pasti memiliki niat hingga kau berani datang kemari dan muncul di hadapanku." Satrio memicingkan mata, menelisik setiap sisi wajah putranya tersebut. "Aku ... aku butuh modal uang Pa. Aku ingin bekerja," jawab Bram tanpa tedeng aling-aling. "Apa?" Satrio terkejut, ia tampak bingung. Sesekali ia melirik ke arah Alex yang berdiri di samping pintu lalu kembali memandang putranya. "Kamu bisa bekerja di sini jika kamu mau, kenapa harus minta modal seperti sama siapa aja, hah?!" Satrio terheran-heran. "Lagian untuk apa modal, selama ini bukankah kau tidak berminat untuk bekerja hah?! Angin mana yang sudah meniup keangkuhanmu itu hingga tiba-tiba datang kemari meminta modal." Bram menarik napas, ia yang semula tertunduk kini perlahan mendongakkan kepala. "Ayolah Pa, jangan membahasnya terlalu dalam," Bram tampak kurang suka. "Aku sudah memiliki istri sekarang, aku harus bertanggung jawab atas hidupnya." "Apa?" desis Satrio tak paham. "Istri?" Diam beberapa saat, Satrio mencoba memahami keadaan. Ditatapnya putranya tersebut dengan tatapan penuh selidik. "Sejak kapan kau punya istri? Kau menyembunyikan pernikahanmu dari Papa?" ____________Suasana di ruangan itu terasa berat, namun seiring dengan kata-kata Nisa, beban itu perlahan menguap. Setelah beberapa saat, mereka pun pamit, meninggalkan penjara dan orang-orang yang pernah mencelakakannya.*Dalam perjalanan pulang, Nisa meminta Bram untuk berhenti sebentar di bendungan yang tak jauh dari sana. Bendungan itu memiliki tempat khusus di hatinya. Dulu, sewaktu kecil, ia sering bermain di sini bersama teman-temannya, menikmati masa-masa yang penuh kebebasan dan tawa. Kini, setelah semua yang ia lewati, tempat ini memberinya ketenangan.Mereka duduk di tepi bendungan, melihat air yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Suara gemericik air yang mengalir membawa damai, seolah membersihkan sisa-sisa ketegangan yang tadi masih menggantung."Aku senang semuanya udah selesai," kata Nisa sambil menatap pemandangan di depannya.Bram tersenyum, melingkarkan lengannya di bahu Nisa. "Sekarang kita bisa fokus ke masa depan, tanpa ada beban."Nisa mengangguk, merasakan kedamaia
Setelah seminggu berada di Kalimantan, Nisa dan Bram bersiap kembali ke Jawa. Mereka baru saja melewati minggu pertama sebagai pengantin baru, penuh kebahagiaan dan keintiman. Namun, di balik senyum Nisa, ada perasaan tak sabar yang menggelayut di hatinya.Ia merindukan rumah, lebih tepatnya, merindukan bertemu dengan orang tuanya, ayah dan ibunya yang sudah menanti kepulangannya. Baginya, tidak ada tempat yang lebih nyaman selain berada di dekat mereka, terutama setelah semua yang terjadi pada dirinya. Namun, perasaan lain yang tak kalah kuat adalah keinginan Nisa untuk segera bertemu dengan mereka—musuh-musuh dalam keluarganya. Eyang Harun, Ranti, Sari, dan yang paling dia ingat dengan tajam, Tante Melani.Mereka semua kini berada di penjara, setelah kasus besar yang menimpa keluarga mereka terbongkar. Nisa tak pernah membayangkan dirinya akan menghadapi mereka dalam situasi seperti ini.Dulu, ia selalu menjadi objek ejekan, terutama dari Melani yang tak henti-hentinya menghina Nis
Malu rasanya saat harus keluar dari kamar dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ya, sudah bangun kesiangan, keduanya justru membuat satu keluarga harus menunda makan pagi demi menunggu mereka keluar.Nisa menahan rasa sungkan, ia keluar setelah berhasil melepaskan diri dari Bram lewat jendela kamar. Tentu saja adegan itu direkam bersama-sama seluruh keluarga mengingat kamar pengantin terlihat jelas dari ruang makan."Kau ... baik-baik saja, Nis?" tanya Harun saat melihat Nisa keluar dari jendela dengan mengendap-endap. "Ada apa dengan pintunya? Kenapa tidak lewat pintu saja?"Nisa menoleh ke arah ruang makan, wajahnya langsung memerah padam mengingat mata seluruh keluarga tertuju ke arahnya."Ehm, anu Pak, pintunya—""Sebaiknya kau segera membersihkan diri di kamar tamu. Di sana ada kamar mandi di dalam," potong Satrio tak kalah merasa malu. Ya, sudah jelas jika Nisa berbuat demikian karena ulah anaknya."Mari kita makan terlebih dahulu, biarkan mereka mengurusi kebutuhan mereka sendiri
"Sah!" seru beberapa orang laki-laki di tempat itu dengan lantang. Seruan mereka menandakan bahwa hubungan yang saat ini terjalin sudah sah di mata hukum maupun agama.Kendati mereka sudah pernah ijab kabul, perasaan berdebar masih saja terasa di dalam dada. Saling berpandangan, Bram melempar senyum ke arah Nisa lalu mengikuti arahan sang penghulu untuk bertukar cincin bersama-sama.Setelah menyematkan cincin emas dua puluh empat karat seberat tiga gram di jari manis masing-masing, keduanya lantas berdoa untuk kesejahteraan bersama."Malam ini kau takkan bisa lolos lagi," bisik Bram setelah mereka berdoa dan berpindah tempat ke kursi pelaminan.Nisa hanya diam, pura-pura tak mendengar dengan wajah bersemu merah. Alih-alih menanggapi bisikan Bram yang terdengar mengerikan, ia sengaja mengabaikan dan justru tersenyum pada para tamu yang menyapa dirinya di depan kursi pelaminan."Selamat untuk kalian berdua ya. Semoga hubungan kalian sakinah mawadah warahmah hingga kakek-nenek," ucap seo
"Maaf, Ayah terlalu terharu." Harun melepas pelukan putrinya lalu menyeka airmata yang jatuh di pipi. Ia mencoba tersenyum lalu menyapa Bram dan juga Alex yang berdiri tak jauh dari sisi putrinya."Hai, jumpa lagi dengan kamu," sapa Harun seraya mendekat ke arah Bram lalu menepuk bahunya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis, "tak disangka kita jumpa lagi di tempat ini.""Iya Pak," angguk Bram sedikit enggan untuk berbasa-basi.Suasana sore menjelang malam itu terasa begitu syahdu. Warung gorengan yang ia buka pun lebih ramai daripada biasanya."Bu, saya beli gorengannya dong Bu. Udah habis nih di nampan," protes salah satu pelanggan pada Ratih yang sibuk menyongsong kebahagiaan di dalam keluarganya."Oh, iya, Pak. Tunggu sebentar ya," ucap Ratih menyadari perbuatannya. Wanita itu tersenyum lalu menatap Harun, Nisa, Bram, dan juga Alex secara bergantian."Kalian lanjut ngobrol di teras rumah ya, Ibu mau bikin gorengan dulu buat pelanggan." Ratih berpamitan, ia tersenyum tipis lalu mene
Nisa tak menjawab, meski hatinya cukup berdesir saat Bram mengatakan demikian, ia tidak akan goyah dengan keputusan awal."Oh, ya, Pah, aku akan balik ke pulau Jawa untuk menuntaskan misi yang sudah Nisa beri. Misal nanti sudah complete dan tercapai, Papa bersedia ya menghadiri ijab kabul kami," ucap Bram mengalihkan pandangan ke arah Satrio yang masih sibuk dengan menu makan siangnya."Ijab kabul?" ulang Satrio mengerutkan kening. "Bukankah kalian ini sudah sah nikah?"Bram tersenyum, ia menoleh sekilas ke arah Nisa lalu kembali melabuhkan pandangan ke arah papanya."Nisa minta ijab kabul-nya diulang Pa. Katanya kalo aku berhasil menemukan ayahnya maka ia bersedia menjalankan tugasnya sebagai seorang istri," cerita Bram dengan riang membuat Nisa mendadak salah tingkah. "Tolong Pa, iyakan saja. Papa tahu 'kan rasanya jadi pria dewasa yang merindukan lautan asmara sekian lamanya."Satrio manggut-manggut, ia menunduk lagi sambil menikmati makanannya. "Lakukan saja, aku akan mendukungmu