“Aku tak akan peduli soal ketakutanmu atau pun keberanianmu padanya,” Sunny berusaha meyakinkan Marco bahwa dirinya tidak tertekan oleh ancaman apapun. “Aku hanya peduli dengan bagaimana kau jatuh.”
“Kau ... ”Marco hampir memukul wajah Sunny, namun Ryuse cekatan menangkap tangan Marco dan menghempaskannya.“Pria sejati tidak memukul wanita,” Ryuse berkata dengan nada tenang nan menghanyutkan, lalu menyembunyikan Sunny ke balik punggungnya.“Sial! Kau selalu ikut campur,” Marco mengeluh, lalu melangkah mendekati salah satu pengawal dan meninju perutnya keras. “Kalian tidak berguna!”Marco menjadi frustrasi. Dia tidak bisa melakukan apapun, melawan atau bahkan menyerang balik Ryuse. Dia menyadari kemampuan bertarung Ryuse bukan tandingannya. Bahkan dia menyesal telah memiliki banyak pengawal, namun tidak seorang pun yang sebanding dengan Ryuse. Marco berteriak, kesal bercampur marah yang berujung mengacak-acak rambutnya dengan kasar.“Kau menyebalkan ...” Marco menunjuk Ryuse sembari terkekeh murka.Ryuse menanggapi komentar itu dengan seringai licik. “Aku memang ditakdirkan untuk membuatmu kesal.”Ryuse sudah muak dengan perselisihan ini, dia berharap Marvin segera datang. Mengantar Sunny ke tempat aman dan pulang dengan tenang setelahnya. Ryuse tidak sanggup lagi jika harus melihat drama memuakkan Marco, ditambah dia juga memikirkan Camila yang masih tinggal di lantai satu.Ryuse menerka-nerka mungkin Camila sudah pergi dan itu membuatnya sedikit lega, namun pikirannya yang lain mengatakan Camila masih menunggunya dan itu mengusik Ryuse. Perasaan Ryuse pada Camila tidak lebih dari perhatian kakak kepada adiknya. Dia merasa bertanggung jawab pada Camila karena Luigi, ayah Camila, telah menolongnya ketika dia berusia 13 tahun.Masa dimana dia kehilangan kedua orang tuanya, diusir oleh bibi jahat dan hidup di jalanan sebagai anak liar dan bebas. Beruntung, Luigi mengambil Ryuse, memeliharanya dan menempatkanya sebagai salah satu kepercayaannya. Namun hubungan baik Ryuse dan Luigi tidak berlangsung lama, Ryuse memilih jalannya sendiri sebab Ryuse risih dengan sikap posesif dan cemburu Camila yang berlebihan padanya.“Kakak.” Marvin datang membawa koper hitam, berlari menghampiri Ryuse. “Aku membawa pesananmu. Sebenarnya untuk apa uang sebanyak ini?” tanya Marvin penasaran.“Berikan saja padanya.” Ryuse menunjuk Marco dengan gerakan kepala.Marvin tidak punya pilihan selain menuruti permintaan Ryuse. Dia menyerahkan koper itu pada Marco masih dengan segudang rasa penasaran. Ryuse tidak pernah meminta uang tunai dalam jumlah sebanyak ini, kecuali dalam hal mendesak seperti transaksi bisnis dengan kliennya. Itu pun Ryuse yang menerima uangnya, bukan memberikan uang seperti saat ini.Marco menerima koper itu dengan senyum puas dan membukanya. Dia mengambil beberapa lembar dan mencium aroma uang itu, lalu tertawa bahagia.“Aku suka aroma uang dan aku cinta uang.” Marco menutup kembali kopernya dan menyerahkan koper itu kepada pengawalnya. “Senang berbisnis dengan anda. Aku jadi penasaran, kau tidak mungkin menyia-nyiakan uang hanya untuk kebebasannya, kan? Ayolah, jujur saja, aku juga pria. Kau pasti sama dengan mereka yang ingin menikmati kepolosan gadis itu, bukan? Ah, dasar brengsek ... ”“Itu bukan urusanmu,” timpal Ryuse.Ryuse melirik Sunny dan berujar lembut, “kau sudah bebas.”Oh, seandainya Sunny tidak berpura-pura tangguh, dia mungkin akan menangis dalam pelukan lelaki itu. Namun, Sunny hanya memberikan tatapan tulus dan ungkapan terima kasih kepada Ryuse.“Aku berutang padamu, tapi terima kasih telah menolongku.”Ryuse mengangguk. Dia menarik tangan Sunny dan menggenggamnya erat. Sunny terkesiap dengan tindakan tiba-tiba Ryuse, namun dia memilih membiarkan Ryuse memegang tangannya kala mereka keluar dari tempat itu.Tangannya terasa hangat di kulit Sunny dan jantungnya mendadak berdebar. Itu hanyalah sentuhan kecil, tetapi segenap jiwa Sunny merasakannya.Ini hanya sebuah genggaman, bukan apa-apa. Sunny kau tidak boleh berdebar olehnya. Sunny berusaha menenangkan jantungnya yang nyaris meledak.Ini hal baru baginya. Sunny tidak pernah bertemu dengan pria manapun selama di desa. Kehidupannya yang miskin telah membuatnya sibuk mencari uang ke sana kemari untuk kebutuhan mereka. Apa itu berkencan? Apa itu cinta? Sunny selalu mengesampingkan itu.Namun, Sunny tidak pernah menduga bahwa bergandengan tangan dengan lawan jenis bisa memberikan rasa nyaman yang aneh dan juga memabukkan. Sunny membuat pandangannya tetap terkunci pada Ryuse. Dia menatap pria itu dengan segala pertanyaan dan juga kekaguman yang mendadak timbul dari debaran jantungnya.“Jadi, semua uang itu hanya untuk membawa gadis ini?” ujar Marvin pada akhirnya, dia berjalan di belakang Ryuse. Bagi Marvin, Ryuse sekarang terlihat tidak seperti dirinya lagi dan itu mengusik Marvin.“Kakak kau sekarang sudah besar ya,” goda Marvin. “Akhirnya kau tahu bahwa hidup tanpa wanita itu sulit.”Marvin terkekeh nakal ketika membayangkan Ryuse akan berkencan dengan Sunny.“Pikiranmu terlalu jorok,” timpal Ryuse datar.Ketika mereka melewati kerumunan orang yang berdansa, Ryuse melirik sekilas ke meja bar, mencari sosok Camila. Ryuse mendesah lega, Camila tidak lagi di sana. Dia sudah pulang dengan kemarahan yang telah memuncak setelah menghabiskan banyak sampanye.Ryuse melepas genggamannya saat mereka sudah di luar dan berujar, “pergilah. Kau sudah bebas sekarang. Jangan pernah berurusan dengan Marco lagi.”Sunny bergeming.Ryuse memutar langkah dan berjalan mendekati mobilnya. Ketika dia baru saja membuka pintu, Sunny memanggilnya.“Tunggu.” Sunny mendekati Ryuse. “Aku tidak mengerti, mengapa kau membuang uang sebanyak itu untukku? Dan sekarang kau pergi tanpa meminta apa pun dariku? Itu terasa aneh dan juga sangat menggangu. Aku tahu ini tidak mungkin, tapi aku ingin membayarmu kembali. Mungkin aku tidak punya uang saat ini, tapi aku bisa mencicilnya.”Ryuse menoleh, menatap lurus mata coklat Sunny yang kelabu. “Kau tidak perlu membayar kembali dan—aku tidak punya niat lain terhadapmu. Aku benar-benar hanya ingin menolongmu. Pulanglah, di luar dingin.‘’“Tetap saja itu tidak masuk akal. Kita baru saja bertemu dan kau mengeluarkan uang tanpa berpikir untuk orang yang tidak kau kenal. Biarkan aku membalas kebaikanmu, setidaknya aku bisa melakukan apapun yang setimpal dengan uang itu.”Ryuse tersenyum tipis. “Sudah kukatakan kau tidak perlu melakukan apa pun. Aku tulus dan tidak meminta imbalan. Ah, aku masih ada urusan. Jadi jaga dirimu.”Ryuse masuk ke dalam mobil tanpa melihat Sunny. Dia melajukan mobilnya dan Marvin mengikuti dengan mobil lainnya di belakang Ryuse.Sunny berusaha untuk tidak menghiraukan hal itu, dia mungkin masih bisa pulang dengan menumpang pada orang lain atau dia bisa minta tolong pada Gani.Namun, Sunny sadar bahwa dirinya terlihat kecil di kota besar. Jika saja ini adalah desanya, Sunny tidak perlu pusing mencari jalan pulang, sebab dia hapal setiap jalan di desanya. Hanya saja ini adalah tempat yang tidak pernah Sunny kunjungi. Sunny tidak tahu jalan pulang.Sunny terduduk di undakan Fantagio, menyesal dan menatap kosong kakinya yang pegal oleh sepatu heels. Sunny menyingkirkan sepatu itu dan melemparkannya ke jalan. Orang-orang yang berlalu memperhatikan penampilannya yang menarik, menggodanya dan berusaha menyentuhnya.Ditengah keputusasaanya, cahaya menyilaukan mengusik penglihatan Sunny. Sunny mendongak ke sumber cahaya, dia menemukan sosok yang dia kenali berjalan mendekatinya.Sunny terkesiap dan dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kau kembali?”Sunny menatap Ryuse dengan mata terbelalak ketika tangan lelaki itu mendekapnya erat. Raut wajah Sunny menggambarkan kebingungan dan ketidakpercayaan. Detak jantungnya berdegup kencang dan Sunny bersumpah bahwa napasnya seolah berhenti—memikirkan apakah yang terjadi benar-benar nyata. “Ryu, apa yang kau lakukan?” Sunny berusaha menyusun kata-kata, namun suaranya terdengar seperti bisikan lembut. “Tetaplah seperti ini sebentar,” sahut Ryuse berbisik. Tangan Ryuse mengusap lembut punggung Sunny. Ryuse tidak tahu mengapa dia harus melakukan hal konyol dan tidak tahu malu seperti ini. Tindakannya yang tiba-tiba ini bukan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Perbuatan romansa dan hubungan intim antara lelaki dan wanita, Ryuse tidak peduli dengan semua itu sebelumnya. Namun kehadiran Sunny merubah segalanya. Ryuse pun tidak menyadari perasaan itu. Dia hanya tahu itu adalah perasaan empatinya terhadap kisah Sunny. “Jangan salah paham,” imbuh Ryuse. “Aku melakukan ini sebagai ucapan perp
“Namun, itu hanyalah sebuah benda,” ujar Ryuse. “Aku masih bisa membelinya. Melihatmu yang bertanggung jawab, aku akan membiarkanmu.” “Maafkan aku, Paman. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ryuse memijat keningnya dan mendengus. “Jangan panggil aku paman. Aku tidak setua itu. Panggil saja aku sesukamu asal jangan sebutan yang tua.” Rury mengangguk dan tersenyum ceria. “Baik, Kakak keren.” “Kakak keren?” Ryuse menaikkan satu alis. “Tentu saja. Aku melihatmu bertarung waktu itu dan itu sangat keren,” ungkap Rury gembira. Ryuse tersenyum tipis dan menimpali dengan wajah tenang, “Itu tidak buruk. Aku suka.” Sementara Marvin tersenyum puas melihat sikap Ryuse terhadap Rury. Dia menang taruhan. Makan malam sepuasnya di Cozy resto akan menjadi hal yang paling menyenangkan untuk Marvin. Setidaknya dia terbebas dari makan roti lapis setiap harinya. Pekerjaannya yang sering menghabiskan waktu di malam hari, membuat Marvin sering mengabaikan makan malam. “Hei, aku menang. Jangan lupakan
Ketika Rury pertama kali memasuki rumah mewah milik Ryuse, matanya terbuka lebar. Dia terdiam sejenak di pintu masuk, menelan ludah dengan pemandangan yang begitu mewah di hadapannya. Langit-langit tinggi, lukisan-lukisan mahal, perabotan klasik, dan hiasan-hiasan yang tersebar di seluruh ruangan. Rury bisa merasakan jawaban di ujung lidahnya, bibirnya bergerak tanpa suara saat dia mencoba untuk menggambarkan betapa takjubnya dia pada kekayaan dan keindahan rumah Ryuse. "Wow, ini... ini luar biasa," gumamnya gemetar. Rumah ini jauh lebih baik dari rumah mereka, jauh lebih nyaman. Tidak ada nyamuk yang akan mengganggu tidur mereka, atau angin laut yang merebak masuk melalui lubang dari jendela mereka. Tatapan Rury berkeliling dengan takjub, membenamkan diri dalam keelokan dan berharap dalam hatinya bahwa dia ingin mempunyai rumah sebesar ini. Itu adalah Rury di hari pertama. Namun yang terjadi sekarang di hadapannya bukanlah hal baik. Setelah tiga hari terlewati dengan bersenang-b
Ryuse terkekeh dan memberikan tatapan pengertian. “Sansan, setiap hal yang kuberikan padamu adalah tulus. Kau jangan berpikir yang aneh-aneh,” ujar Ryuse dengan santai tanpa menyadari bahwa Sunny mungkin saja menyukainya. Sunny bergumam dalam hati saat menatap Ryuse, “Aku hanya takut berharap terlalu banyak dan aku takut melakukan kesalahan dalam membaca perasaan ini.” Dalam momen itu, dokter tiba-tiba datang dan membuat Sunny melompat dari kasur dengan tergesa-gesa. Dokter tersebut, dengan sorot penuh perhatian menilik wadah infus yang hampir habis dan berbicara dengan senyum lebar. “Selamat pagi, pak Ryuse. Bagaimana perasaanmu hari ini?” “Halo dokter. Rasanya lebih baik dari kemarin.” Dokter melakukan beberapa pemeriksaan dan melihat catatan medis, kemudian dia mengangguk puas. “Hasil pemeriksaan menunjukkan peningkatan yang baik. Saya pikir anda sudah cukup pulih untuk pulang ke rumah. Tapi tetaplah menjaga kesehatan dan lakukan kontrol rutin di rum
Sunny merasa malu dengan kecerobohannya sendiri yang dengan tidak sengaja mengungkapkan bahwa dia menyukai seseorang. Matanya yang bercahaya dan senyumnya yang manis kini terasa begitu berat, dihiasi oleh rasa gugup dan keraguan. Dia berlari ke kamar mandi, berdiri lama menatap wajahnya di depan cermin. Tangan Sunny menyentuh pipinya yang telah memerah, seketika dia menjadi malu dan Sunny membasuh wajahnya untuk menghilangkan rona itu dari wajahnya. Ryuse merasakan ada sesuatu tidak biasa yang terjadi pada Sunny dan pertanyaan-pertanyaan pun mulai mendominasi pikirannya. “Mengapa dia terlihat begitu tergesa? Apa aku salah bicara?” pikirnya sambil mencoba mencari jawaban. Hatinya berdebar, tak bisa menolak rasa ingin tahu yang muncul begitu saja. Tanpa dia sadari, Ryuse pun mulai penasaran dengan pria yang dikagumi oleh Sunny. Pikirannya mencoba membayangkan siapa sosok pria yang dapat membuat Sunny begitu terpana dan membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang siapa pria itu, apa y
Luigi Kasto, seorang pimpinan dari Red Dragon, sebuah organisasi kriminal yang menyelundupkan senjata dan mengoperasikan rumah perjudian. Dia lelaki yang paling ditakuti di seluruh Rosentown. Tindakannya selalu lebih sulit dipahami, liar, dan keji. Tak seorang pun berani menentangnya. Namun, pria yang di hadapannya itu tidak pernah menunjukkan rasa takut padanya. Pria yang dulu pernah dia 'pelihara' dan dia besarkan untuk menjadi sama dengannya. Ya, pria itu selalu membangkang terhadap perkataan Luigi. Satu-satunya orang yang berani melawan Luigi, Ryuse Adam. Ryuse bukan tidak ingin membalas kebaikan Luigi terhadapnya, apa pun akan dia lakukan—tapi tidak untuk Camila. Hanya Camila. Ryuse tidak pernah memiliki perasaan romantis terhadap Camila. Dia selalu memandang Camila seperti saudara perempuan. Ryuse pernah mencoba memaksa dirinya untuk mencintai Camila, namun dia tidak berhasil melakukan itu. Demi membalas jasa Luigi, Ryuse berkali-kali mencoba membuat dirinya jatuh cinta pa