“Tuan-tuan, silakan duduk dengan tenang dan bersabar. Kalian bisa memiliki gadis ini asal kesepakatan harga kita cocok. Lihatlah, betapa wajah ini begitu lugu.” Marco menyentuh wajah Sunny. “Dan—dia masih polos, sangat polos seperti kertas yang belum dicoret.”
Ryuse merasakan tekanan darah di dalam tubuhnya meningkat drastis. Dia sangat marah kepada Marco, marah pada situasi Sunny yang menyedihkan, dan dia marah karena tidak bisa melakukan apapun pada gadis itu.Ryuse sadar, Sunny bukan urusannya dan juga bukan tanggung jawabnya. Namun, sesuatu yang disebut empati masih ada dalam hatinya. Dia memang tidak lebih baik, tapi soal nurani—Ryuse lebih baik dibandingkan Marco.Marco kembali berujar, “bayangkan saja dia tidur di samping kalian, menatap matanya yang indah, senyumnya yang menawan dan dia sedikit galak. Oh, betapa itu kombinasi yang menggiurkan.”Ryuse tidak tahan lagi. Kali ini saja dia akan membiarkan dirinya ikut campur, melanggar aturan yang dibuat, dan menerima konsekuensinya nanti.“Marco!” teriak Ryuse penuh amarah. Ryuse berjalan mendekati panggung, kedua tangan masuk ke dalam saku.Marco terbahak-bahak ketika melihat Ryuse. Dia merasa kehadiran Ryuse di tempat itu tidak diharapkan. Di satu sisi, Marco juga merasa Ryuse terlalu ikut campur.“Ah, lihat siapa yang datang? Apa itu kau tuan Ryu?” Marco berbicara dengan nada mengejek. “Kelihatannya kau salah tempat, kau tidak diundang di sini. Jadi silakan pergi dan menjauh dariku!”“Lepaskan dia,” nada bicara Ryuse berubah lebih lembut, namun tetap terdengar seperti ancaman.Ryuse melirik sekilas ke arah Sunny, mencoba melihat ekspresi Sunny terhadapnya.Dan benar, kata-kata Ryuse membuat Sunny terkejut. Bahkan Sunny berpikir keras bagaimana bisa lelaki itu berusaha menolongnya. Hubungan mereka sama seperti hubungannya dengan Marco. Namun, setelah dia menolak untuk menolong Sunny dengan kata-kata tanpa perasaan waktu itu, kini dia tiba-tiba muncul dan ingin membantu Sunny.Tindakan mendadak Ryuse tersebut tidak masuk akal menurut Sunny. Tetapi di satu sisi, dia merasa bersyukur, dari semua orang, Ryuse satu-satunya pria yang tidak berkata 'dia milikku', seolah dia jauh lebih dihargai sebagai wanita oleh Ryuse.Marco menyeringai. “Dia milikku. Sumber uangku. Kau tidak punya hak untuk memerintahkan aku. Sebaiknya kau pergi saja.”“Biarkan dia pergi. Aku akan berbicara baik sekali ini, tapi jika kau tidak melakukannya, wajahmu yang menerima akibatnya.” Ryuse menatap tajam Marco seolah menunjukkan dirinya yang sudah meledak oleh amarah.“Kalau kau mau, tebus saja dia.”“Dia bukan barang!”“Ya, dia sumber uangku,” pungkas Marco.“Kau!” rahang Ryuse mengeras. Di sudah kehilangan kesabarannya.Ryuse melompat ke atas panggung dan segera melayangkan tinju di wajah Marco.Marco tersungkur, wajahnya lebam tetapi dia malah tertawa. “Sekalipun kau memukuli aku sampai babak belur, aku tidak akan melepaskannya.”Ryuse lepas kendali. Dia mencengkram kerah kemeja Marco. “Berapa? Katakan berapa harganya?”Dua orang pengawal Marco segera berlari mendekati Ryuse dan berusaha menarik tubuhnya. Situasi menyebalkan ini membuat Ryuse terpaksa melepas Marco sementara. Dia memilih untuk menyingkirkan dua pengawal itu dengan pukulan.Satu pukulan di wajah, satu pukulan di perut dan satu tendangan putar menghantam keduanya. “Kalian bukan tandinganku,” cemooh Ryuse.Marco tiba-tiba berujar, “kau bukan tipe pria hidung belang, tapi demi gadis ini kau seperti orang gila. Atau ada hal lain yang tidak kuketahui?”Marco merasa tindakan frustasi Ryuse tidak beralasan. Sepengetahuannya, Ryuse tidak pernah tertarik berhubungan dengan wanita. Bukan dia tidak normal, hanya saja Ryuse tidak suka membebani pekerjaannya dengan wanita.Ryuse berseru, “sebut saja jumlahnya! Kau membuatku muak.”Ryuse menarik kembali kerah Marco. Kali ini dia akan menghabisinya jika Marco tidak mau melepaskan Sunny.“Singkirkan dulu tanganmu dariku. Baru kita bicara baik-baik,” seringai Marco.Ryuse menghempas Marco dan dia menyingkir ke sisi yang berlawanan sembari menyugar rambut hitamnya.Para pengunjung terdiam, tetapi dipenuhi penasaran dengan akhir perseteruan Ryuse dan Marco. Mereka juga kecewa oleh Ryuse yang mendadak muncul dan ingin merebut gadis idaman mereka.Sunny menarik napas lega karena Ryuse berjuang demi kebebasannya, walau Sunny sempat merasa kecewa karena Ryuse menyebut harga atas dirinya. Seolah dia sesuatu yang bernilai sama dengan barang. Dia berperasaan, dia memiliki harga diri, dan dia juga bukan barang ataupun mesin penghasil uang seperti yang Marco katakan.“Dia bernilai 500 juta, ditambah biaya rumah sakit atas pukulan yang kudapat dan utang bibinya jadi total 2 Milyar.” Marco sengaja melebihkan angkanya agar Ryuse membatalkan niat untuk membawa Sunny.Dua milyar. Ryuse memikirkan hal ini dan itu mengganggu pikirannya. Lantas dia menyeringai sembari menatap Marco dengan penuh ancaman. “Kau gila!”“Sudah kuduga kau tidak punya uang. Batalkan saja. Aku akan memberikannya kepada mereka. Aih, kau sangat merepotkan. Pergi saja jika sudah selesai!”Ryuse membuang pandangan ke arah para pelanggan Marco. Wajah-wajah mereka terlihat menjijikkan dengan mata liar yang menatap Sunny seperti hidangan yang menggugah. Ryuse tidak menginginkan itu terjadi, sekali ini saja dia harus membantu Sunny sebagai sesama manusia berempati dan mengambil keputusan gegabah dalam hidupnya.“Kau benar-benar licik seperti rumor yang beredar,” ujar Ryuse datar. “Selalu mencari celah sempit demi keuntungan diri sendiri. Aku akan mengirimkan cek, biarkan saja dia pergi.”Marco buru-buru menimpali, “cash. Tidak terima cek.”“Tssk ... kau sengaja melakukan itu, bukan?” geram Ryuse.“Bung, aku bukan orang yang mudah. Siapkan uangnya atau dia milik mereka.”Ryuse mendengus kesal. Pada akhirnya dia mengambil ponsel dari dalam saku dan menghubungi Marvin.“Siapkan uang 2 milyar dan antar ke Fantagio sekarang,” perintah Ryuse dan mematikan ponselnya tanpa membiarkan Marvin bertanya.“Ini tidak adil,” teriak salah seorang pelanggan.“Kami berjuang menawarkan harga di sini, tapi mengapa dia yang mendapatkan gadis itu,” imbuh yang lainnya dengan ekspresi marah.“Iya, itu benar.” Mereka serempak setuju dengan pendapat itu.“Ah, tuan-tuan semua. Mohon maaf atas keributan yang terjadi. Ini tidak terduga dan mendesak. Aku berjanji akan memberikan kalian gadis yang terbaik. Tetapi yang ini...” Marco mendekati Sunny, menarik sehelai rambut dan mengendusnya. “Sudah habis.”Sunny menghempas tangan Marco. “Kau menjijikkan.” Suaranya terdengar kesal dan itu membuat Marco semakin bersemangat untuk menyakiti Sunny.“Kau hanya beruntung kali ini,” ancam Marco, dia menarik dagu Sunny dan berbisik di telinganya. “Seharusnya kau tahu tidak boleh melakukan itu di depanku atau bisa saja wajahmu dipenuhi darah. Aku tidak takut pada Ryuse.”“Aku tak akan peduli soal ketakutanmu atau pun keberanianmu padanya,” Sunny berusaha meyakinkan Marco bahwa dirinya tidak tertekan oleh ancaman apapun. “Aku hanya peduli dengan bagaimana kau jatuh.”“Kau ... ”Marco hampir memukul wajah Sunny, namun Ryuse cekatan menangkap tangan Marco dan menghempaskannya.“Pria sejati tidak memukul wanita,” Ryuse berkata dengan nada tenang nan menghanyutkan, lalu menyembunyikan Sunny ke balik punggungnya.“Sial! Kau selalu ikut campur,” Marco mengeluh, lalu melangkah mendekati salah satu pengawal dan meninju perutnya keras. “Kalian tidak berguna!”Marco menjadi frustrasi. Dia tidak bisa melakukan apapun, melawan atau bahkan menyerang balik Ryuse. Dia menyadari kemampuan bertarung Ryuse bukan tandingannya. Bahkan dia menyesal telah memiliki banyak pengawal, namun tidak seorang pun yang sebanding dengan Ryuse. Marco berteriak, kesal bercampur marah yang berujung mengacak-acak rambutnya dengan kasar.“Kau menyebalkan ...” Marco menunjuk Ryuse sembari t
Ryuse mendekati Sunny dan berjongkok di depannya. “Kau tidak tahu jalan pulang, bukan?” Sunny menatap mata Ryuse yang tengah melihat wajahnya. Tatapan Ryuse terasa menenangkan dan itu membuat Sunny mendadak merona. Sunny berusaha menyembunyikan kegembiraannya karena kehadiran Ryuse, namun itu mustahil. Sebab Ryuse berhasil memergokinya. Alih-alih bertanya lebih jauh, Ryuse melepaskan jasnya dan menutupi pundak terbuka Sunny. “Bajumu terlalu terbuka.” “Tapi ... kau lebih terbuka,” Sunny merona lagi saat melihat tubuh Ryuse yang tidak memakai apa pun di badannya, yang tersisa hanya celana burgundinya. “Sebaiknya kau saja yang pakai ini.” Ryuse berdiri dan mengulurkan tangan pada Sunny. “Aku sudah terbiasa seperti ini.” Sunny menerima uluran Ryuse. Dia meletakkan tangannya di dalam genggaman pria itu. Sekali lagi jantungnya bergulung oleh debaran yang aneh. Sampai-sampai dia khawatir Ryuse akan mendengar suara dadanya yang berdentam-dentam. Ryuse berusaha keras untuk mengabaikan S
“kurasa itu cocok untukmu,” pungkas Ryuse. Ryuse tidak memiliki alasan kuat, dia hanya mengucapkan apa yang terlintas dalam benaknya ketika melihat mata Sunny bersinar polos. Yang seharusnya hanyalah sebuah ucapan sopan berubah menjadi nama panggilan yang lebih terdengar seperti ajakan tersirat untuk lebih dekat. Sunny tidak berniat untuk terpesona dengan panggilan itu, namun dia tidak bisa menolak untuk jatuh pada suara maskulin Ryuse ketika menyebut namanya. Sunny berhasil menenangkan jantungnya yang berdebar lagi lalu tersenyum kepada Ryuse. “Aku ... akan beristirahat,” ungkap Sunny gugup. Lalu dia buru-buru menutup pintu kamar, bersandar di balik pintu sembari menyentuh jantungnya yang berdentam-dentam. Debaran aneh dari jantungnya semakin tidak terkendali. Sunny berusaha mengingat debaran itu sama ketika dia memikirkan ibunya, namun perasaan yang bergejolak di balik paru-parunya itu terasa jauh lebih dahsyat seolah dia telah mendambakan itu sejak lama. Sunny mengintip dari ce
Ryuse melirik Sunny. “Kau sudah sarapan?”Sunny mengangguk gugup. “Ya. Aku tidak tahu kau ada di sini.”“Aku baru saja datang, jangan sungkan. Selesai ini aku akan mengantarmu pulang.” Ryuse melirik pakaian Sunny. “Sebaiknya kau mengganti pakaianmu. Akan kuberikan baju gantinya.”Sunny lupa kalau dia masih memakai gaun emas manik-manik itu, dan dia mendadak malu telah dilihat oleh Ryuse.“Ayo,” ajak Ryuse. Dia menyimpan kembali botol air ke dalam kulkas.“Hah, kemana?”“Ikut saja.”Sunny tidak bertanya lagi. Dia berjalan kikuk di belakang Ryuse, menerka-nerka kemana Ryuse membawanya. Mereka menaiki tangga, melewati kamar Sunny dan mendapati diri mereka berhenti di depan kamar Ryuse.“Tunggu sebentar,” ujar Ryuse lembut.Ryuse masuk ke dalam kamar, dan kembali sesaat kemudian sambil membawa kaus dan celana panjang denim miliknya. Dia memberikan itu pada Sunny. Awalnya Sunny ragu-ragu, tetapi Ryuse meyakinkan Sunny bahwa hanya ini pakaian yang cocok dengan badan Sunny.“Aku tidak punya p
Sunny tidak sadar, tubuhnya syok menerima hantaman yang tiba-tiba itu dan Ryuse—kepalanya terbentur kemudi dan melukai pelipisnya. Untungnya, pohon itu hanya menimpa bagian kap mesin. Asap mengepul dari dalam mesin, kapnya ringsek, dan perjalanan mereka terhenti. Ryuse melirik Sunny dengan cemas. Dia menggeser wajah Sunny dan menepuk-nepuk pipinya. “Sansan ... hei, bangunlah. Sansan ... Sunny!” Sunny terbangun dan dia terperanjat. “Apa aku masih hidup?” tanyanya frustasi. “Syukurlah,” Ryuse mendesah lega. “Apa ada yang terluka? Atau tubuhmu terasa sakit?” Ryuse memeriksa tangan dan kaki Sunny. “Aku baik-baik saja. Hanya saja benturan itu membuatku lemas.” “Kau yakin?” sekali lagi Ryuse mamastikan kondisi Sunny. Sunny hanya memberikan anggukan. Ryuse mendesah lagi, menyandarkan tubuhnya ke jok dan memejamkan mata. “Kau berdarah,” ujar Sunny cemas. Ryuse menyentuh pelipisnya dan berkomentar, “ini bukan apa-apa.” Sunny buru-buru mengambil beberapa lembar tisu dan menyeka darah
Ryuse mendekati Sunny dengan tatapan memburu. Sunny merasa terintimidasi dan mundur perlahan sampai tubuhnya menabrak dinding. Melihat wajah Sunny yang memerah, Ryuse menjadi terhibur. Dia terbahak-bahak dan beringsut ke sofa, lantas membuka sepatu hitam kesayangannya yang sudah basah. “Wajahmu semerah tomat,” celoteh Ryuse tanpa rasa bersalah telah membuat Sunny berdebar. Sunny mengambil bantal dan melemparkannya kepada Ryuse. “Kau menyebalkan!” “Hei, ada apa? Kau marah dengan perkataanku?” Ryuse setengah berteriak. “Apakah menyenangkan mempermainkan perasaan orang lain?” Sunny duduk di ranjang sambil bersidekap tangan. Ryuse menyeringai. “Jangan bilang kau merona karena aku.” “Anda terlalu percaya diri, tuan Ryu,” sangkal Sunny, memalingkan muka dari Ryuse. “Tssk ... kau mendadak berbicara formal. Kelihatan sekali sedang melakukan penyangkalan.” Sunny tidak berniat membiarkan Ryuse mengetahui hatinya. Dia perlu berpikir cepat mencari alasan lain agar Ryuse tidak menggoda diri
Sunny membeku. Pikirannya seolah tidak berkordinasi baik dengan tubuhnya. Dia ingin menghindar, tapi bagian dirinya yang lain seolah tidak ingin menjauh. Dalam jarak sedekat ini, Sunny bisa melihat fitur menawan wajah Ryuse dalam kegelapan. Mata Ryuse berkelebat dengan cahaya yang aneh ketika menatap Sunny. Entah itu pengaruh alkohol, entah itu karena cuaca yang dingin, atau mungkin sentuhan terlarang Sunny padanya berhasil membuat Ryuse mendambakan sensasi terbakar itu lagi. Sebagaimana pria normal, pasti akan terangsang oleh gairah yang ditimbulkan dari sentuhan itu. “Tetaplah seperti ini sebentar,” ujar Ryuse lembut di telinga Sunny. Napas Ryuse terasa hangat saat menerpa telinganya dan itu membuat tubuh Sunny bergetar dalam sensasi sensual yang belum pernah dia rasakan. Sunny menginginkan lagi suara itu bergaung di telinganya. Sunny tanpa malu-malu menyentuh wajah Ryuse, menelusuri setiap lekuk wajahnya yang tegas. Sunny sadar, ini tidak benar. Dia melepaskan tangannya dan mem
Pagi berikutnya ketika matahari telah bersinar kembali, badai hujan telah berhenti. Sunny buru-buru mengintip keluar jendela, melihat situasi di luar. Beberapa ranting pohon berserakan di jalan, daun-daun berhamburan di tanah, dan plang papan nama penginapan tergeletak menyedihkan di atas tanah. Sunny bergegas memakai kembali pakaiannya yang sudah kering. Dia bersyukur tidak harus memakai selimut itu lagi yang lebih terlihat seperti buntalan pada tubuhnya. “Kau sudah selesai?” tanya Ryuse setelah berhasil bangun dari tidurnya. Dia meregangkan tangan, dan otot-otot di lengannya menyembul seolah menggoda Sunny. Sunny segera menurunkan pandangan ke lantai. Menatap sepatu kets putih pemberian Ryuse. Sepatunya kebesaran di kaki Sunny, dan modelnya juga terlihat macho, namun dia tidak punya pilihan selain memakai itu dengan sukarela. Ryuse memberikan itu pada Sunny ketika mereka bertolak dari Rosentown kemarin. Sunny menyahut, “Ya. Bisakah kita berangkat sekarang?” “Kau tidak sarapan du