Kancing terakhir long coat Jessica pakai, menjadi sebuah perjuangan hebat saat dengan hati yang kacau menyadarkannya.
Pada akhirnya, menyerahkan keperawanan pun tidak lantas dapat membuat semuanya baik-baik saja. Pernikahannya sudah terlanjur rusak, semua yang dibangun dengan pondasi kesalahan maka selamanya tidak akan bisa diperbaiki. Dengan langkah lebar, Jessica menarik dua koper besarnya. Ia turuni anak tangga rumah mantan suaminya dan dengan perjuangan ia mengangkat koper besar itu untuk masuk ke dalam mobil rongsok yang selama ini menjadi kamuflase untuknya melindungi diri. Jessica segera menyalakan mesin mobil tersebut dan segera keluar dari pekarangan rumah tersebut. “Nyonya, ini masih subuh, anda mau ke mana?” tanya tukang kebun yang tampak sudah semakin menua. “Selamat tinggal, Bono. Hanya kau satu-satunya orang yang paling baik selama aku tinggal di sini.” “Jika suatu saat kau ingin resign dan mencari pekerjaan baru yang lebih ringan dengan bayaran yang lebih tinggi, jangan ragu untuk menghubungi aku,” ucap Jessi tersenyum ramah, seraya memberikan kartu namanya. “Ba-baik, Nyonya,” jawab tukang kebun tersebut sambil menunduk hormat pada Jessica sambil menatap prihatin saat mobil itu meninggalkan jejak asap hitamnya. Air mata menjadi bagian terakhir dari dirinya saat meninggalkan rumah tersebut. Sampailah Jessi di depan sebuah mansion yang tampak sangat megah dengan pagar menjulang tinggi. Jessica menatap camera dan dengan jengah ia meminta kakaknya untuk membukakan pagar yang baru saja diganti kodenya. “Xairuz, ini aku. Tolong buka pagar,” pinta Jessica dan tidak lama kemudian pintu pagar tersebut terbuka secara otomatis. Ia memasuki pekarangan mansionnya dan memarkir mobilnya. Kakinya melangkah tidak seperti biasanya, menahan rasa nyeri saat menaiki tangga membuatnya tampak meringis dan menarik perhatian kakaknya. “Apa yang terjadi sampai kau meringis seperti itu.” Suara bariton Xairuz membuat Jessica menghentikan langkah. “Aku, baik-baik saja, Kak. Aku ingin membersihkan diri dan segera bersiap menuju ke kantor,” jawab Jessica, tersenyum kecut dan kembali berjalan melewati Xai yang menatapnya dingin. “Apa suamimu tau, kalau pagi ini kau pulang ke rumahmu?” tanya Xairuz penuh selidik. “Aku sudah bercerai dengannya, Kak.” Jessica kembali melangkah lebar dan tanpa ragu untuk masuk ke dalam mansion mewahnya. “Benarkah? Kalau begitu, kau harus merayakannya denganku malam ini.” Xairuz langsung memeluk adiknya dari belakang. Jessica tidak kuasa menahan diri untuk tidak tersenyum menatap kakaknya. Saat pelukan hangat saudaranya itu melingkar di tubuhnya, saat itu juga rasa sesak di dada Jessica menyeruak hebat dan terlampiaskan dalam bentuk sebuah tangisan pilu. Luka tak berdarah dirasakan oleh Xairuz. “Tenangkan dirimu, berhentilah menangis dan siapkan dirimu. Sudah tiga tahun kau mengabaikan tugasmu sebagai CEO Perusahaan keluarga kita.” Jessica segera mengangguk. “Baiklah, aku akan segera bersiap,” jawabnya. “Dan, aku akan tetap menjemputmu nanti di Perusahaan. Kalau kau menolak, ini adalah perintah dari komisaris perusahaanmu.” Xairuz lantas segera mengacak rambut adiknya. Sementara Jessica dengan berendam sambil mengingat kembali, apa yang telah ia lakukan bersama Juan. Pria yang kini sudah menjadi mantan suaminya itu terbangun dengan ranjang kosong di sisi kirinya. Perlahan ia buka matanya, dengusan serta senyuman tipis menghiasi wajahnya sejenak. Sampai pada akhirnya ia sadar kalau dirinya hanya seorang diri di kamarnya. Kedua koper besar yang semalam berisi penuh dan tampak berat itu sudah tidak terlihat. Ia langsung mengusap wajahnya dan segera bangun dari ranjang. Tubuhnya bahkan masih polos tanpa sehelai benang pun, kamar mandi adalah tujuan pertama mencari keberadaannya Jessica. Tapi, wanita itu tidak ada di sana. Mungkinkah dia ada di bawah, menyiapkan sarapan seperti biasanya? Sungguh Juan tidak sabar untuk turun dan segera bertemu dengan wanita yang meninggalkan jejak bercak darah kesuciannya di atas ranjang beralaskan kain berwarna putih tersebut. “Mama, di mana Jessica?” tanya Juan sambil mengedarkan seluruh pandangannya di seisi rumahnya. “Bukankah, harusnya mama yang bertanya di mana perempuan mandul itu padamu? Dia tidak turun membantuku hari ini.” Wajah wanita paruh baya itu tampak gusar. “Dan, mobil rongsoknya juga tidak ada. Pak Bono bilang istrimu sudah pergi meninggalkan rumah kita, Juan. Bukankah itu berita yang sangat bagus?” Cherris menaikkan sudut bibirnya, menunjukkan jeri payahnya selama tiga tahun akhirnya terbayarkan sudah, dengan perginya adik iparnya itu. Kedua tangan Juan mengepal keras hingga seluruh buku-buku pada jarinya tampak memutih. Terlihat rahang tegasnya semakin mengeras dan suara gemelutuk membuat kedua wanita yang sedang berdiri di hadapannya bungkam seketika. “Juan, baiknya … kau sarapan dulu. Jangan terlalu memikirkan wanita sialan itu, hem? Nanti malam, pergilah makan malam bersama Amber. Dia menanyakanmu tadi pagi, katanya dia tidak tidur semalaman karena menunggumu datang ke apartemennya,” tutur mamanya. “Aku, tidak lapar,” balas Juan dan segera pergi dari rumahnya dengan hati yang panas. Selama di dalam mobil, ia menahan rasa marahnya dan keinginannya untuk menghubungi Jessica. Begitu dirinya sampai di kantornya, ia langsung mengabaikan asisten pribadinya dan segera melempar tas kerjanya ke sembarang tempat seraya mengambil ponsel dari saku celananya. Tujuan pertama adalah menghubungi Jessica. Dan, saat itu juga dengan emosi yang memenuhi isi kepalanya ia mencoba menghubungi Jessica. Sayang, justru suara operator yang didengarnya. “Tommy, bisakah kau cari keberadaan Jessica?” titahnya pada asistennya saat ia masuk ke dalam ruang kerjanya. “Tuan? Hari ini saya harus mengatur persiapan rapat penting anda dengan Menteri Pembangunan. Rapat tersebut akan diadakan tepat pukul tiga sore nanti, Tuan.” Tommy menolak secara halus tugas baru dari CEO-nya itu. “For your information, Tuan. Akan ada perusahaan Xairuz Company yang bergabung. Kalau anda tidak datang sore nanti, maka proyek senilai seratus lima puluh juta dollar itu akan jatuh ke perusahaan yang menjadi musuh bebuyutan Mhyron Company sejak lima tahun yang lalu,” desah Tommy menyadarkan Juan yang langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. “Sialan!” amuk Juan yang tidak punya pilihan selain mempersiapkan diri untuk menghadiri rapat penting tersebut. “Pergilah Tommy, aku tidak menerima tamu hari ini.” Juan segera kembali ke meja kerjanya dan menunggu kapan jarum jam pendek menunjukkan pukul dua siang. “Tuan, saatnya kita untuk rapat.” Ini adalah panggilan yang ditunggunya sejak tadi. “Hem,” jawab Juan dengan dingin dan ia segera berjalan menuju ke ruang rapatnya. Tampak, staf khusus Menteri sudah menunggu. “Apa kita bisa memulai rapatnya sekarang?” Juan bertanya seraya bersalaman. “Kita tunggu lima menit lagi,” jawab pria berkaca mata tersebut pada Juan. Tepat di menit ke empat, saat itu juga pintu terbuka. Wajah pria berambut coklat gelap dengan tulang pipi yang tinggi dan rahang kokohnya serta bibirnya yang tidak begitu tipis masuk ke dalam ruangan tersebut. Wajahnya juga tampak dingin, tapi ramah. Ia menyapa Juan begitu juga dengan staf Menteri yang hadir. Namun, bukan pria itu yang mengusik Juan dan membuat jantungnya hendak meledak saat itu. Melainkan wanita dengan pakaian semi formal, beralaskan make up natural yang telah tiga tahun tidak melekat dikulitnya. Kini tampak sangat memancarkan aura kecantikan yang luar biasa. Ia menatap Juan, seperti orang asing dan Juan benci dengan sikap serta tatapan dingin wanita tersebut. “Jessica?! Kenapa kau mematikan ponselmu, hem?!” desis Juan sambil berbisik saat mereka bersalaman. “Tuan Myer, duduklah di kursi anda. Rapat akan segera dimulai,”"Juan, aku percaya ... waktu yang kita lalui beberapa saat yang lalu adalah waktu yang paling indah dan berharga dalam hubungan kita. Namun, aku tau ... dan kini menyadarinya, bahwa ... seberharga apapun waktu yang kita lewati bersama. Tidak akan lebih berharga dari keberadaan Amber bagimu.Untuk itu, aku memutuskan untuk mengalah. Bahagialah bersama wanita yang sudah memiliki hatimu. Sayang, wanita itu bukanlah diriku. Jangan cari aku ke mana pun, karna kau tidak akan menemukan aku, Xairus dan Maxton, pun tidak tau aku ke mana. Selamat Tinggal, Juan."Jantung Juan mencelos saat membaca surat yang ditinggalkan oleh Jessica untuknya. Hatinya sakit, kali ini dia tau, jika dirinya benar-benar kehilangan Jessica. Jika wanita yang selama ini memujanya telah muak dengan sikapnya."Jessica, di mana kau berada?" Juan bahkan tidak mengindahkan peringatan Jessica, ia segera mengambil kunci mobil dan malam itu juga bertolak menuju ke mansionnya Xairus.Ia kejar keberadaan Jessica, sampai sepert
"Amber, apa yang kau lakukan?" Juan segera berdiri dari kursi taman tersebut. Melihat reaksi Juan, air mata Amber berderai tak tertahankan. "Jawab pertanyaanku, bukan justru balik bertanya! Bukankah, kau berkata bahwa kau hanya mencintaiku?! Lantas ini apa?!" Amarah Amber meledak, dia terisak menyaksikan kemesraan keduanya. Bukan hanya Amber yang melihat kemesraan Juan dan Jessica. Ada kakak dan ibunya, yang juga turut berada tidak jauh dari lokasi Amber dan Juan berdebat. "Juan! Apa yang kau lakukan malam ini sudah keterlaluan!" amuk ibunya yang turut menyudutkan Juan tanpa perduli akan situasi dan tempat saat ini mereka berada. "Pulang sekarang, Juan!" tegas kakaknya kembali menimpali. Wajah Juan semakin mengetat, kedua tangannya bahkan tampak mengepal erat. Dia menoleh menatap tajam wajah Cherris. "Lebih baik saat ini, kau dan mama pulang, Cherris. Aku, tidak sedang ingin berdebat denganmu. Melihat rekaman video kalian yang terekam dengan cctv saja sudah membuat aku muak!" d
"Menghamilimu, mungkin akan merubah segalanya," batin Juan yang menatap Jessica dengan rasa lapar. "Aku, akan berusaha untuk mengubah keadaan ini," jawab Juan, lalu membungkam bibir Jessica dengan bibirnya. Setelahnya, mereka melakukannya lagi. Meneguk kembali manisnya percintaan di atas ranjang. Tubuh Jessica sudah menjadi sentral pikirannya Juan. Dia, merasa candu. Sejak pagi itu, baik Juan maupun Jessica, sama-sama berusaha menahan diri untuk tidak terjebak dalam perdebatan yang tidak perlu. Sore itu, Juan teringat akan sesuatu yang paling disukai oleh Jessica. "Apa kau mau, jalan-jalan ke pasar malam?" tanya Juan, membuat Jessica terkejut. "Pasar malam?" ulangnya sambil menelan ludahnya. "Tiga kali kau mengajakku ke pasar malam. Tapi, aku selalu sibuk dengan urusan pekerjaanku. Bagaimana kalau malam ini?" usul Juan membuat wajah Jessica sumringah. "Aku mau," jawabnya sambil tersenyum lebar. "Apa yang kau inginkan saat ke pasar malam, Jess?" Juan bertanya dengan lembut,
"Jessica," panggil Juan yang terbangun dan tidak mendapati tubuh istri di sisinya. Sontak saja dia langsung terjingkat dari ranjang. Melangkah dengan lebar ke kamar mandi, tapi tidak didapatinya Jessica. Dibukanya pintu walk in closet, sama nihilnya. Dia segera membuka pintu kamar dan betapa leganya Juan melihat Jessica sedang memakai apron dan tampak sedang memasak. Wanita itu tampak sangat memikat saat wajahnya serius seperti ini. Seketika Juan merasa bersalah. "Seperti inilah dia selama tiga tahun, dan aku tidak pernah menyentuh apapun yang dibuatnya. selain, jus jeruk sebelum prahara terjadi diantara kami," gumam Juan. Tidak, bukan sebelum prahara terjadi. Prahara rumah tangganya sudah terjadi sejak pertama kali dia menikahi wanita ini. Dengan merasa bersalah, Juan menghampiri dan melingkarkan kedua tangan di perut ratanya Jessica. Ia cium mesra tengkuk Jessi dengan lembut. Sebuah senyuman merekah dj wajah Jessica bercampur haru. "Good Morning, bersihkan dulu dirimu, baru
Juan langsung menoleh, melihat panggilan masuk dari Amber. Ponsel yang sudah di mode silent itu terus saja berkedap-kedip. Ia mendesah sesaat. Dirinya berjalan, mengambil ponsel dengan gerakan yang sangat terukur. Membuat mata Jessica mulai mengembun. Sudah menduga jika apa yang dia pikirkan selalu akan terjadi. Namun, untuk pertama kalinya. Juan justru menonaktifkan ponselnya. Malam itu, Jessica terkejut melihat apa yang bisa Juan lakukan untuknya. "Sudah aku katakan. Waktu kita hanya dua hari, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu singkat ini," tutur Juan dengan tenang dan segera masuk menggandeng tangan Jessica untuk masuk ke dalam kamar mereka. Walau masih ragu karena terlalu dini dan demi harga dirinya. Jessica tidak mau terlalu terbawa suasana sana. Bahagia sesaat itu, menyakitkan. Dia tidak mau sakit lagi. Juan segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Sedangkan Jessica yang sudah lebih dulu mandi memilih untuk tidur lebih dulu. Dia memilih bagian ranjang yang bersan
Juan terdiam sejenak, ia tatap kedua manik tegas Jessica. Wanita di hadapannya ini tidak pernah menuntut apapun darinya. "Juan, Apa kau mendengarku? Aku sedang bertanya padamu," tuntut Jessica padanya, untuk pertama kali. Selama ini yang ia lihat dari kepribadian Jessica hanyalah kerapuhan. Tapi malam itu, yang melihat sebuah ketegasan pada sorot mata wanita yang tidak pernah dianggapnya selama ini. "Untuk apa aku harus bertanya kepadanya. Itu hanya akan memperpanjang masalah. Aku cukup tahu apa yang sudah dia lakukan." Juan menghindar dari pertanyaan istrinya. Bukan karena dia tidak ingin memuaskan Jessica. Tapi Juan mengatakan yang sebenarnya, sikapnya bahkan sudah berubah pada Amber. Sudah tidak ada lagi kehangatan seperti sedia kala, hanya satu yang masih mengganjal di hati Juan. Amber selama ini hidup dalam keadaan yang tidak sehat. Juan hanya merasa kasihan dan ada rasa bersalah yang menghantuinya. Wanita itu, sampai sekarang masih menunggu Juan dengan setia. "Ah, begit