Share

Anak Jalanan 3

“Kau bertanya apa untungnya bagi kalian jika aku adalah orang terkaya di Indonesia?” tanya Geovane dengan mulut yang terbuka setelahnya, terperangah meligat reaksi William si anak jalanan yang bisa-bisanya bertingkah biasa saja ketika mengetahui bahwa ada pria terkaya di Indonesia yang tengah berdiri di hadapannya.

“Ya, memangnya apa keuntungan bagi kami jika kau adalah pria terkaya di negara ini? Bahkan jika kau adalah pria terkaya di planet bumi sekalipun, apa untungnya bagi kami?” timpal seorang anak jalanan lainnya yang bernama Derek. Anak muda tersebut memiliki penampilan yang lebih rapi dari kawanannya.

Pakaian yang dikenakan oleh Derek cukup terbilang bagus jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Kemeja biru muda polos yang cocok ketika dipasangkan pada tubuhnya yang berlapis kulit putih. Celananya pun tidak banyak robek di sana-sini. Penampilannya cukup kontras jika dibandingkan dengan teman-temannya yang memakai kaus yang sudah kusut, lusuh, dan tidak layak pakai—dalam pandangan Geovane.

Apalagi celana yang mereka kenakan sudah robek di banyak bagian, khususnya di darah lutut. Geovane tidak tahu apakah robekan tersebut sengaja dibuat atau karena celana itu sudah lapuk.

Kini Geovane memandang ironis pada anak-anak jalanan tersebut. “Kalian bertanya apakah yang menguntungkan setelah kalian mengetahui jika aku adalah orang terkaya di Indonesia?” ujarnya seraya menggelengkan kepalanya beberapa kali.

“Tidakkah kalian berpikir bahwa kalian bisa mengambil keuntungan dariku? Sebagai orang paling kaya di Indonesia, aku bisa memberikan apa yang kalian maui. Kalian mau pendidikan? Aku bisa menyekolahkan kalian di sekolah mana pun yang kalian inginkan.”

“Kami sama sekali tidak membutuhkan itu,” timpal Derek.

Geovane memicingkan matanya. “Kalian mau makan enak? Aku bisa membuat kalian makan dengan gratis di restoran bintang lima yang berbeda setai jam makannya.”

“Kami juga tidak membutuhkan itu.”

Dengusan kasar terdengar dari Geovane. Ia tidak menyerah untuk kembali berkata, “Kalian ingin pakaian yang bagus? Aku bisa meminta Reynan Wiraatmadja, dia seorang desainer terkenal. Aku akan memintanya untuk membuatkan pakaian khusus untuk kalian yang tidak dijual di tempat lain. Dan pakaiannya hanya akan dibuat dalam jumlah khusus, yang artinya kalian tidak akan menemui orang lain yang memiliki pakaian yang sama dengan yang dibuat khusus untuk kalian.”

William benar-benar merasa jengah pada sosok Geovane. Ia meniup wajahnya sendiri hingga poninya bergoyang.

Menurutnya, dunia seorang pria terkaya dan anak jalanan seperti mereka berbeda. Geovane yang katanya merupakan pria terkaya di Bumi Ibu Pertiwi tersebut tidak akan paham bagaimana kehidupan anak jalanan dan apa yang diinginkan oleh mereka.

Karena, jalan hidup mereka berbeda. Fasilitas yang mereka dapat selama ini berbeda. Dan yang jelas, pola pikir mereka pun sangat berbeda yang mana perbedaannya pasti terbentang jauh bagaikan dua pulau yang terpisah oleh bentangan lautan biru yang menyimpan banyak keindahan di dalam airnya.

Jika diibaratkan, Geovane adalah sebuah pulau pribadi yang harganya sangat mahal. Banyak orang berlomba-lomba untuk menabung uang hanya untuk dapat mengunjunginya. Setiap jengkalnya sangat terawat dengan berbagai fasilitas yang memadai. Sedangkan mereka hanya sebuah pulau kecil yang letak keberadaannya saja tidak diketahui banyak orang kecuali kamera yang terbang mengitari udara. Tidak ada perawatan atau fasilitas khusus di dalamnya, yang ada hanya apa yang disajikan oleh alam.

Dan begitu pula dengan anak-anak jalanan, hanya hidup dari apa yang disajikan oleh jalanan.

William berkata, “Kau tidak akan bisa memberikan apa yang kami mau walau seberapa besar kekayaan yang punya. Bahkan, kau tidak akan mengerti apa yang kami inginkan.”

“Mengapa aku tidak bisa mengerti apa yang kalian inginkan? Apa kalian berpikir aku memiliki kesulitan dalam memahami sesuatu? Asal kalian tahu saja, aku bisa menjadi pengusaha yang sukses mendunia seperti sekarang itu karena aku memiliki otak yang sangat cerdas. Kemampuan berpikirku tidak kalah saing jika dibandingkan dengan para ilmuan yang sering menghabiskan waktu mereka untuk meneliti sesuatu atau pun menemukan sesuatu yang baru.”

Lagi, Geovane membanggakan dirinya. Jika ada kontes manusia paling percaya diri di dunia, maka Geovane pasti akan menjadi pemenangnya.

Kepercayaan diri yang melekat pada dirinya sudah melebihi kapasitas, jika dibiarkan bertambah lagi maka pria tersebut akan over dosis kepercayaan diri. William, Derek, dan teman-teman mereka kompak memijat kepala mereka yang terasa pening.

Selain pening karena sudah sempat meneguk minuman haram—walau dalam jumlah sedikit, mereka juga pening mendengar penuturan-penuturan yang diucapkan oleh Geovane yang hanya berputar soal kelebihan yang pria kaya tersebut miliki.

Padahal, tidak ada gunanya bagi Geovane menyombongkan diri dan kekayaannya kepada anak jalanan seperti mereka karena jelas mereka bukanlah kompetitor yang setara dengan Geovane.

Jika diibaratkan sebuah tubuh, maka Geovane adalah tubuhnya dan merela hanyalah ujung kukku yang akan dipotong setiap minggunya.

Kini Derek angkat bicara, “Bisakah kau berhenti membicarakan kelebihan yang Tuhan anugerahkan untukmu? Bagaimana dan siapa pun dirimu, kau tidak tahu dan mengerti bagaimana jalan pikir kami. Apa yang kau anggap keinginan dan apa yang kami anggap sebagai keinginan jelas mempunyai isi yang berbeda!”

“Jelas dia tidak akan bisa hanya untuk membayangkan bagaimana jalan pikir kita, Derek. Dia adalah pria kaya raya yang tidak tahu bagaimana kerasnya kehidupan. Karena aku yakin hidupnya sudah terlalu mudah dengan uang-uang yang ia miliki, bahkan ia bisa membayar seseorang untuk menggantikan tugas tangan dan kakinya,” timpal salah seorang anak jalanan lainnya.

Mendengar hal tersebut, Geovane tersenyum tipis dengan mata yang redup. Tidak tahu bagaimana kerasnya kehidupan?

Jelas Geovane sangat tahu semua itu. Ia tahu bagaimana rasanya mempunyai seorang ayah pemabuk yang gemar marah dan memukulinya dan juga ibunya. Ia juga tahu bagaimana sedihnya ketika datang ke sekolah hanya bisa memakai seragam yang lusuh dan sepatu yang sudah tidak utuh alasnya. Dan Geovane juga tahu bagaimana rasanya menahan lapar, bagaimana rasanya mengharapkan uang-uang koin di jalan raya, dan bagaimana ketika ia dicaci dan dimaki karena menjadi anak jalanan yang identik dengan imej negatif.

Geovane mengangkat wajahnya. “Kalian salah jika berpikir demikian. Dulu, hidupku tidak lebih baik dari kalian. Aku turun ke jalan raya untuk mengamen, mengharapkan ada orang-orang yang mau menghargai suaraku yang pas-pasan. Tapi, aku tidak menjerumuskan diri pada pergaulan hitam di dalamnya.”

Kedua mata Geovane beralih pada pecahan botol hijau yang tadi sempat dilemparnya. “Tidak seperti kalian semua, walau dulu aku hidup di jalanan aku tidak pernah mencicipi minuman haram itu. Kalian tahu mengapa? Karena aku mempunyai mimpi yang besar. Aku ingin menjadi orang hebat dan kaya raya, aku juga ingin ... bahagia.”

Geovane menjeda sejenak kalimatnya untuk menarik napas, ia juga sempat melirik ke arah Justin yang setia berdiri di belakang tubuhnya. “Dan aku tahu kebahagiaan tidak akan aku dapatkan jika aku merusak diriku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status