Langkah Dion terhenti di bawah halte kosong. Ia duduk di bangku besi dingin, tubuhnya basah kuyup. Ia menunduk, menatap tangannya yang gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena amarah dan kecewa yang menumpuk jadi satu.
Ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal.
“Jenderal Dion, identitasmu telah diketahui. Waktunya kembali. Negara memanggil.”
Dion mematung. Matanya menyipit, membaca pesan itu berkali-kali. Ini... bukan pesan biasa. Ini kode. Kode rahasia militer yang hanya digunakan saat keadaan darurat tingkat tinggi. Hanya segelintir orang yang tahu.
Pesan itu hanya satu baris, tapi menghantam Dion seperti petir. Ia menghapus air hujan di wajahnya, entah itu tetesan hujan... atau air mata.
“Negara memanggil…”
Lama ia termenung. Tapi ia belum menjawab. Ia tahu, sekali ia kembali, semua akan berubah. Takkan ada lagi gerobak, tak ada lagi kehidupan sunyi. Hanya darah, strategi, dan medan perang baru—baik yang terlihat maupun yang tak kasatmata.
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini, panggilan masuk. Nama pengirim: Sekretaris Aryasatya Senior.
Dion ragu sejenak, lalu menekan tombol hijau.
“Dion... kamu harus datang ke rumah sakit sekarang. Ayahmu... kritis. Keadaannya sangat buruk.”
Napas Dion tercekat.
Ayah. Sosok yang dulu terpaksamelepasnyake barak militer karena sudah tak sanggup menghadapi kenakalannya. Tapi juga pria yang diam-diam selalu mengiriminya buku strategi militer saat ia sedang digembleng di tengah padang pasir.
“Dia... mencarimu. Terus menyebut namamu. Cepatlah... sebelum terlambat.”
Klik.
Telepon terputus.
Dion diam. Dalam satu malam, semuanya seperti berkonspirasi memanggilnya kembali ke dunia yang dulu ia tinggalkan: keluarga dan negara. Luka batinnya masih hangat, tapi sekarang ia tak bisa menolak dua panggilan terbesar dalam hidupnya.
Ia menatap langit malam, lalu berdiri.
“Kalau ini takdirku… maka aku akan hadapi. Tanpa topeng. Tanpa gerobak.”
Ia mendorong gerobaknya ke gang kecil, meninggalkannya di samping toko kelontong tua. Lalu berjalan pergi, hanya membawa dompet, ponsel, dan tekad yang mulai bangkit dari reruntuhan harga diri.
**
Beberapa jam kemudian, Dion berdiri di depan ruang ICU. Matanya merah, bukan karena menangis—tapi karena menyimpan ribuan emosi yang tak sempat keluar. Ia melihat ke dalam, ke ranjang tempat ayahnya terbaring lemah dengan berbagai selang menempel di tubuhnya.
Sekretaris keluarga, Pak Damar, berdiri di sampingnya. Pria tua itu menyentuh bahunya dengan lembut.
“Dia menunggu kamu. Beliau tak tenang sebelum kamu datang.”
Dion melangkah pelan ke dalam. Ia duduk di sisi ranjang. Ayahnya tampak jauh lebih tua dari yang ia ingat. Rambutnya memutih semua, kulitnya keriput, tapi matanya—matanya masih menyala, meski lemah.
“Dion…” suara itu keluar seperti bisikan.
“Ayah…” Dion menggenggam tangan ayahnya.
“Aku… tahu kamu kuat. Aku salah… dulu. Tapi sekarang… waktumu kembali. Jangan… sembunyi lagi…”
“Kenapa memanggilku sekarang?” tanya Dion, suaranya dalam.
“Karena hanya kamu… yang bisa menyelamatkan apa yang kubangun…”
Dion terdiam. Ia tahu maksud ayahnya. Grup Aryasatya sedang diguncang krisis. Para paman dan sepupu sudah mencakar warisan sebelum jenazah turun ke tanah. Perusahaan raksasa itu di ambang kehancuran karena perebutan kekuasaan.
“Dion… kamu bukan hanya jenderal. Kamu adalah pemimpin. Pemimpin keluarga ini. Jangan biarkan mereka menghancurkannya…”
Mata Aryasatya Senior mulai tertutup perlahan. Nafasnya semakin berat.
Dion menatap wajah ayahnya. Wajah orang yang dulu mengusirnya, tapi sekarang… hanya mempercayai dia.
“Ayah… aku akan jaga semuanya. Tapi kali ini, dengan caraku.”
Beep… beep… beep.
Alarm mesin medis berbunyi pelan, lalu… garis lurus.
Aryasatya Senior mengembuskan napas terakhir malam itu. Tangannya masih dalam genggaman Dion.
**
Dion keluar dari ruang ICU dengan langkah mantap. Pak Damar menghampirinya.
“Semua mata akan tertuju padamu besok. besok kita adakan Rapat keluarga. Mereka tidak tahu… bahwa kamu bukan hanya seorang mantan nakal. Bukan sekedar pedagang bakso kelilingTapi jenderal perang. Dan pewaris sah kekaisaran bisnis ini.kKau adalah pewaris sah ARYASATYA GRUP”
Dion tidak menjawab. Ia hanya menatap ke luar jendela rumah sakit. Hujan telah reda.
Langit mulai terang. Tapi badai baru akan segera dimulai.
Pagi itu, Dion kembali mendorong gerobak baksonya meski showroom Reno kini telah resmi menjadi miliknya. Baginya, gerobak itu bukan simbol kemiskinan, tapi simbol kesederhanaan yang menenangkan. Ia belum ingin menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya ke dunia luar. Masih banyak yang perlu ia urai dan rencanakan.Di jalanan, beberapa pelanggan setia menyapanya."Baksonya yang pedas, Bang Dion!" seru seorang tukang parkir."Pagi, Pak Dion! Satu mangkok biasa, ya?" ujar ibu penjaga warung sembako.Dion tersenyum ramah, seperti biasa. Tak ada yang tahu bahwa pria itu kini pemilik baru showroom mewah di seberang jalan, atau bahwa ia adalah jenderal perang legendaris yang pernah ditakuti di medan tempur.Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari kejauhan, sebuah mobil sport berhenti. Seorang wanita cantik keluar—Vania. Dengan sepatu hak tinggi dan kacamata hitam, ia berjalan mendekat. Beberapa orang yang makan bakso terdiam."Kita perlu bicara," kata Vania dingin."Kalau soal bakso,
Malam masih pekat ketika Dion terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi buruk kembali mengusiknya—tentang suara dentuman meriam, jeritan prajurit, dan wajah-wajah yang gugur dalam komandonya. Ia duduk di ranjang sambil menatap dinding, hening. Di kamar sempit itu, hanya suara detik jam yang terdengar.Namun bukan mimpi buruk itu yang paling menghantuinya. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Vania—istrinya, wanita yang dulu ia pertaruhkan hidup dan mati—kini membencinya, menjauhinya, bahkan berselingkuh dengan lelaki lain. Dan yang lebih ironis, lelaki itu adalah Reno, orang yang pernah ia bantu bangkit secara finansial bertahun lalu.Saat mentari mulai naik, Dion bersiap mendorong gerobaknya seperti biasa. Namun langkahnya terhenti saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:"Showroom Reno. Sekarang. Kamu harus lihat ini. -V"Dion terdiam. Nama pengirim hanya huruf "V". Ia tak yakin. Tapi hatinya bergetar. Nalurinya berkata:
Pagi itu, matahari menyembul malu-malu dari balik gedung-gedung tinggi Jakarta. Langit mendung, seolah menyatu dengan suasana hati Dion yang masih kelabu. Meski showroom mobil mewah milik Reno sudah resmi menjadi bagian dari Aryasatya Grup—dan secara hukum sah menjadi miliknya—Dion belum merasa puas.Harga diri yang terinjak selama bertahun-tahun tidak bisa ditebus hanya dengan satu pembalasan. Luka batin, pengkhianatan Vania, dan segala hinaan dari masyarakat belum sepenuhnya terhapus.Maka pagi itu, Dion tetap mendorong gerobaknya. Bukan karena ia terpaksa. Tapi karena ini adalah pilihannya. Ia ingin menyelesaikan luka itu dengan caranya sendiri—bukan dengan kemewahan, tapi dengan kerja keras dan ketulusan.Di sebuah sudut sekolah dasar di daerah Tebet, Dion berhenti. Ia biasa mangkal di sana setiap Senin pagi, menyambut anak-anak sekolah yang suka dengan baksonya. Ia membuka tutup panci, membiarkan uap kaldu yang harum itu menguar ke udara."Bang Dion! Baksonya lima ya, kayak biasa
Hari-hari setelah kejadian di showroom Reno Auto Prestige membawa perubahan besar dalam hidup Dion. Seolah-olah dunia mulai berputar ke arah yang benar setelah sekian lama membiarkannya terpuruk.Namun, kemenangan kecil itu bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang yang jauh lebih besar.Dion kini berdiri di atas pusaran kekuatan yang telah diwariskan oleh ayahnya. Aryasatya Group bukan hanya sebuah kerajaan bisnis, melainkan sebuah raksasa ekonomi yang menggenggam berbagai lini usaha: properti, otomotif, perbankan, farmasi, hingga teknologi. Dan Dion, sang pewaris tunggal yang selama ini disangka mati suri, kini mulai membuka mata dan menggenggam kendali.Pagi itu, Dion melangkah masuk ke kantor pusat Aryasatya Group yang menjulang di jantung kota Jakarta. Bangunan 88 lantai itu berdiri seperti simbol keabadian, dilapisi kaca hitam dengan desain arsitektur modern yang anggun. Para karyawan yang melihat Dion hanya bisa saling bertukar bisik, belum percaya bahwa pria berpa
Malam itu sunyi. Kota sudah lelah dengan hiruk-pikuk siang hari, lampu-lampu jalan bersinar seperti kunang-kunang di tengah aspal basah sisa hujan. Dion mengendarai motor tuanya melintasi pusat kota, sekadar melepas penat setelah rapat yang menguras energi dan emosi. Ia mengenakan helm lusuh, jaket kulit yang mulai pudar warnanya, dan raut wajah penuh pikiran.Dion memilih menunda pulang ke rumah besarnya dan memilih berjalan-jalan dengan motor tuanya sekedar untuk menenangkan pikiran dan hatinya.Namun sebuah pemandangan membuatnya berhenti mendadak di pinggir jalan.Di seberang jalan, berdiri sebuah showroom mobil mewah berlampu terang. Logo "Reno Auto Prestige" terpampang besar di atas bangunan kaca modern itu. Tapi yang menarik perhatian Dion bukanlah mobil-mobil mewah yang dipajang... melainkan sosok seorang wanita.Vania.Istrinya.Ia berdiri di dekat salah satu mobil sport, mengenakan gaun elegan berwarna merah marun dan sepatu hak tinggi. Di sampingnya, Reno—pria muda berpenam
Ruang rapat itu dingin dan mencekam. Dinding marmer putih memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang menggantung angkuh di tengah langit-langit. Di bawahnya, meja bundar kayu jati tua berdiri megah, dikelilingi oleh orang-orang yang mengenakan setelan mahal dan wajah dingin tanpa senyum. Mereka adalah keluarga Aryasatya—kerabat darah dan pengurus kerajaan bisnis yang kini sedang menunggu satu sosok yang selama ini hilang dari peta keluarga: Dion Aryasatya.Pintu terbuka perlahan. Semua mata menoleh serempak.Dion melangkah masuk. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana dan celana panjang abu-abu. Tak ada jas, tak ada dasi, bahkan sepatunya bukan kulit mahal. Tapi sorot matanya... tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. Ia berjalan mantap menuju kursi di tengah ruangan, lalu duduk tanpa banyak bicara.Beberapa orang langsung terlihat tidak senang."Jadi ini dia? Si tukang bakso yang katanya pewaris?" gumam seorang pria paruh baya, paman dari pihak ayahnya."Jangan bercanda! Kita b