Sudah tiga hari kepergian Tiara, dan kelelahanku sudah pada puncaknya. Aku lelah mencari keberadaan mas Deni, semua rumah kerabat sudah kutemui berharap ada mas Deni disana. Bahkan ibuku harus menginap dirumah Ilma agar menemani bu dhe."Kemana lagi kita Nay?" tanya HendiMemang dia yang selalu setia menemaniku kemanapun tujuanku. "aku nyerah Hen" Kalimatku terucap bersama airmata, keputusasaanku sudah tak bisa kututupi lagi. Banyak yang ingin aku tanyakan. Perihal mengapa ia menghilang, tentang rencana pernikahan kita yang sudah semakin dekat, dan banyak teka teki yang harus dia jelaskan."lemah!" ucap Hendi seketika"kemana Nayra yang kukenal? yang gigih?" imbuhnya"ini sudah hari ketiga Hen, tapi keberadaan mas Deni belum juga ditemukan. Aku mesti nyari kemana lagi? aku nggak tega liat bu dhe, Hen" isakku"kita pulang Hen" rengekkuHendi bangkit dari duduknya, menyalakan motor dan memakaikan helm untukku.Kami sekali lagi mengelilingi jalanan, tapi nihil. Tak ada tanda keberadaan
Jalanan dengan bebatuan yang tertata rapi, tepat dikanan kiri terdapat hamparan sawah luas. Semilir tiupan angin menambah segar suasana. Tapi tak lantas terasa dingin di badanku. Dadaku berdetak tak beraturan, pikiranku tak lantas menikmati pemandangan. "Masih jauh Mei? udah empat jam lebih perjalanan loh" tegurkuMei menghentikan motornya, memeriksa GPS di ponselnya."harusnya sih nggak lama lagi Nay, sabar ya" pintanya Aku mengangguk, kami kembali melanjutkan perjalanan."Permisi bu, numpang tanya desa kali wangi dimana ya?" tanya Mei pada beberapa ibu-ibu yang tengah beristirahat di pinggir jalan tepat samping sawah"lurus aja mbak, nanti ada gapura desa kali wangi" Jawab ramah salah satu ibu"makasih ya bu, permisi"Kami kembali melaju, benar saja tak lama ada gapura dari bambu bertuliskan selamat datang di desa Kali wangi. "Kenapa Mei?" tanyaku melihat Mei kebingungan"hehe nggak ada sinyal disini Nay, GPSnya nggak bisa dipake" Mei nyengir"tapi kita bisa tanya rumah bapak Na
"sebelumnya saya mohon maaf ya pak, jika kedatangan kami membuat bapak bingung. Terlebih dengan apa yang akan kami beritahu. Jujur, berat bagi saya untuk bicara ke bapak. Tapi, saya rasa bapak berhak tau kebenarannya" jelasku"nggak apa apa nak, bilang saja" timpal beliau"Sebenarnya Tiara sudah meninggal empat hari lalu. Kami ke sini mencari mas Deni karena mas Deni tak pulang semenjak pemakaman Tiara. Kami khawatir dengan keadaan mas Deni juga mertuanya yang sangat kebingungan""Innalillahi wainna ilaihi rooji'uun Tiara cucuku meninggal? kenapa Deni bohong? kenapa dia bilang ke sini karena cuti kerja? kenapa anak itu? bocah edan!!" Pak Narto amat sangat marah, kami semakin bingung. Kami menyeruput teh setelah pak Narto berkali-kali mempersilahkan. Waktu sudah semakin siang tapi mas Deni belum juga pulang. Apa dia tau kedatangan kami? bagaimana jika dia pergi tanpa sepengetahuan kami lagi?Pikiranku berkecamuk, perkiraan-perkiraan buruk mulai melintas di otakku."belum, mas Deni be
Hari sudah semakin sore, tapi mas Deni belum menemui kami. Perut kami mulai protes, maklum kami belum makan apapun selain yang dihidangkan pak Narto.Rifki dan Hendi berkali-kali menghubungi aku dan Mei. Mereka khawatir karena membiarkan aku dan Mei pergi ke tempat yang sama sekali belum pernah kamu datangi."ehm, makan dulu. kalian pasti laper" Mas Deni tiba-tiba keluar dengan membawa nasi beserta lauk. Rasa lapar seakan menghilangkan urat maluku dan Mei. Kami menyantap makanan tanpa ragu, sungguh baru kali ini kami seperti ini.Mas Deni hanya melihat kami makan, mungkin benaknya heran melihat aku serta Mei seperti kalap."kamu nggak makan mas?" tegurku"saya sudah makan" singkatnyaHanya itu jawabannya, tak ada perkataan basa-basi lain. Rasanya aku ingin sekali mengungkapkan semua pertanyaan yang sudah aku susun tapi sekali lagi aku masih fokus pada perutku.Hingga akhirnya semua hidangan kami habis, baru aku mulai mengumpulkan nyali untuk meluapkan semua kekesalan."ehm mas, boleh
"sudah, kalian jemput aja Nayra sama Mei. Tante khawatir jika terjadi sesuatu dengan mereka" pinta ibu NayraRifki dan Hendi dengan cekatan menyiapkan apa yang sekiranya akan mereka bawa. Sudah sehari semalam Nayra pergi bersama Mei. Meskipun selalu berkabar, tapi semua tetap khawatir, terlebih mereka menebak jawaban apa yang akan Deni ucapkan. Bagaimana terpukulnya Nayra."Kalian hati-hati. Ajak pulang Nayra sama Mei" ucap ibu Ilma"Tapi bu dhe sama tante nggak papa kami tinggal? acara pengajian masih satu malam lagi loh" tanya Hendi"Kamu tenang aja, disini banyak tetangga yang bantu kok" jawab ibu Ilma yakinBeberapa tetangga tersenyum dan mengangguk. Memang selama acara pengajian banyak tetangga yang rela bergadang di rumah Ilma dan membantu semua keperluan pengajian.Motor Hendi melaju diiringi teriakan beberapa warga agar mereka berhati-hati dijalan.Ibu Nayra mendorong kursi roda ibu Ilma ke dalam rumah. "tat..." panggil ibu Ilma pada ibu NayraTangannya memegang pergelangan t
"pikirkan lagi mas, bukan cuma mas Deni yang kehilangan. Setidaknya mas harus ingat bu dhe, beliau pasti sangat sedih setelah kehilangan anak cucunya apalagi keadaan fisik bu dhe yang sakit" Rifki berusaha membujuk"kita bicara dirumah pakdhe mu saja mas" pinta HendiMereka menuju rumah pak Narto, pandangan Deni lurus dengan tatapan kosong. Pasti dikepalanya kini banyak sekali pertimbangan antara rasa kehilangan, empati pada mertuanya serta egonya yang saling berebut untuk mendominasi pikirannya.Mereka sampai, terdengar sayup tawa kecil dari dalam rumah sederhana itu. Ternyata Mei dan Nayra beserta pak Narto tengah bercengkerama di ruang tamu."Assalamu'alaikum" ucap ketiga laki-laki bersamaan"Wa'alaikum sallam" jawab lainnya"kamu, tamu kok dibiarin diteras seharian?" celetuk pak NartoWajahnya masih masam, mungkin masih ada kekesalan terselip didadanya pada Deni.Deni hanya membalas dengan senyum ragu. Mereka kini duduk pada satu ruangan yang sama dengan banyak pikiran yang berbed
Aku bergegas mengemasi apa yang aku bawa, dengan cekatan aku menyalaminya sebelum pak Narto mencegahku dan menahanku untuk berunding lagi. Rasanya keputusan mas Deni sudah mengobrak-abrik kepercayaanku."Hen, bisa antar aku pulang?" tanyakuHendi tak menjawab, ia hanya bangkit dari duduknya merapikan barang bawaannya lalu mengikuti langkahku keluar setelah berpamitan.Aku tak menghiraukan Mei dan Rifki, karena sudah tentu mereka akan pulang bersama.*****Hari ini hujan, dan aku tetap melakukan perjalanan. Aku ingin menangis tanpa harus terlihat orang lain. Beberapa kali Hendi melirikku dari spion, "kita neduh dulu apa lanjut Nay?" tanyanya setengah teriak"lanjut aja Hen !!" jawabku lantang"nanti kamu sakit loh !""biarin Hen !"Kami melanjutkan perjalanan dengan ditemani deras hujan. Tiba-tiba motor Hendi berhenti di sebuah rumah makan. Hanya kami, entah kemana Rifki Mei serta mas Deni dan pak Narto yang semula tak jauh dibelakang kami."kalau mau hujan-hujanan sambil nangis, peru
Sepulang dari desa kaliwangi, aku belum lagi ke rumah bu dhe. Rasanya ada rasa sungkan bertemu mas Deni. Ibu masih di sana, mungkin sampai acara tujuh hari selesai. "Nanti malam kamu kesini ya Nay" ucap ibu pada sambungan telephon."InsyaAlloh bu" Aku menutup telephon, lalu melanjutkan sholat subuh. Masih terlalu pagi, tapi ibu sudah mengingatkan banyak acara untuk hari ini. Dimulai ke kantor urusan agama untuk kembali membatalkan pernikahanku, membantu persiapan pernikahan Mei, belum lagi aku harus ke rumah mas Deni, Itu adalah bagian yang paling berat bagiku.Setelah selesai beres-beres rumah dan menyiapkan sarapan, aku melongok jam bundar didinding. Sudah pukul tujuh. Aku bergegas, langkahku mantap menuju kantor urusan agama. Mungkin petugas disana akan menganggap aku bermain-main dengan pernikahan karena ini kali kedua aku membatalkan pernikahan.Tok tok tok !!!Terdengar Suara ketukan dari arah pintu depan, aku cepat-cepat menuju ruang tamu."mungkin ibu pulang, dia kan belum k