Share

Salah paham

Sore itu, mendung menaungi langit. Mengibaskan desir angin yang menambah dingin suasana. Aku duduk di sebuah taman kecil di kotaku. Aku menunggu Rifki. Hampir setiap sore kami disini, membicarakan banyak hal. Entah apa sebutannya, kami tidak terikat hubungan tapi kedekatan kami melebihi teman.

Sudah hampir satu jam tapi dia belum datang. 

“Mungkin dia nggak dateng, pulang ajalah” gumamku

Belum sempat aku melangkah tiba seseorang datang,

“Udah lama ya Nay?” Tanyanya

“Hendi? Ngapain kamu kesini?” Tanyaku heran

“Loh kan kamu yang katanya pengin ketemu” jawabnya sumringah

 

Aku terheran, karena aku tak merasa mengatakan seperti yang dia katakan. Aku belum sempat menjawab apapun. Aku masih mematung sampai seorang lainnya datang. Dan...

PLaaaakkkk !!!

Seseorang menamparku. Lalu menarik rambutku saat aku masih meringis memegang pipi.

“Penghianaatt!!! Teman penghianat!!!” teriak wanita itu sambil tak henti” memukuliku.

“cukup meyy” ilma mencoba menghalangi mey yang terus memukul

BRAAAKK

Ilma tersungkur.

“ kamu kenapa mey??” Tanyaku pelan dengan tubuh yang berusaha bangun.

“Nggak usah pura-pura, jadi ini kelakuan kamu? Didepan pura-pura baik. Ternyata malah mau ngrebut hendi lagi” jawab mey dengan raut yang sangat marah

Beberapa orang ditaman menatap. Mereka seperti disuguhkan tontonan. Beberapa ada yang merekam.

“Aku nggak tau maksud kamu Mey. Tadi aku lagi nunggu Rifki” jawabku lirih

“alaah sok polos” sahut Dini dengan tangan di silangkan di dadanya

“Nggak mungkin, aku kenal Nayra. Dia tidak seperti itu” bela ilma

“ Diam kauu, bukan urusanmu” potong mey

“Meyy ayolaahh kita bicarakan baik-baik, lagian tujuan kita ke sini kan mau jalan jalan” bujuk ilma lagi

“ Diaaammm!!!” 

Mey lebih percaya pada pandangannya daripada penjelasanku.

Mey dan Hendi berlalu tanpa memperdulikan kami. Dini sedari tadi mematung menyaksikan apa yang terjadi. Kemudian pergi tanpa sepatah katapun.

Ilma memelukku. Baju kami sudah basah. Ujung bibirku terasa perih tapi semua tak seberapa dibanding rasa malu yang kami lalui karena tatapan orang di sekitar yang masih menonton.

Kami meneduh pada teras toko yang sudah tutup.

“ Sabar ya Nay, ini Cuma salah paham nanti aku coba jelasin ke mey, aku tau betul watak mey jika sudah buta karena cinta” kata-kata ilma menenangkanku

“Iya il, makasih ya” 

“Sama sama” 

 

******* 

 

Malam ini aku tidak pulang, aku lebih memilih menginap di rumah ilma. Karena jelas mama akan khawatir melihat luka diwajahku. Ah, entah tenaga apa yang mey gunakan saat memukulku.

“Aauu, sakit bu dhe” rintihku

Ibu ilma tersenyum. Wajahnya begitu teduh.

“Berteman itu memang kadang karus diwarnai keributan. Tapi, kalian malah terlihat seperti habis melawan preman” ibu ilma terkekeh

“ibu apaan sih, kita ini lagi ada salah paham” ilma cemberut

KRIIINGG !!!

Suara telephon rumah ilma terdengar nyaring. Ibu ilma segera mengangkat dan berbicara dengan orang diseberang. Ternyata ibuku yang menelphon, memastikan anak gadisnya benar benar menginap d sini.

“Tok tok tok”

Selagi ibu ilma menerima telephon ada seseorang datang. Aku cepat-cepat menuju pintu untuk membukanya.

“Bu dhe ada ta....” kataku terpotong

Aku tertunduk

“Oohh dia di sini??!! Kamu nglindungin penghianat ini il?” 

Mey datang masih dengan amarahnya. Ilma bingung harus menjawab apa. Karena apapun yang ia katakan tidak akan diterima oleh mey.

“Eehh mbak mey, mari masuk mbak. Biar bu dhe bikinin teh” bujuk ibu ilma ramah

“nggak perlu bu dhe, saya nggak pengin teh. Saya pengin dia pergi dari sini. Apa bu dhe bisa mengeluarkannya dari rumah bu dhe?” tanya mey dengan nada sombong

“Maaf mbak mey, tapi ini sudah malam. Nay pasti besok pagi pulang kok” ibu ilma tetap membujuk

“Tadinya aku ke sini disuruh papa buat ngasih ini, uang buat biaya sekolah ilma. Tapi aku pikir, nggak perlu mengasihani penghianat” ketusnya lagi

“Saya lebih memilih tidak menerima uang itu daripada harus mengusir sahabatku sendiri, kamu harusnya buka mata kamu siapa penyebab semua ini” ilma mulai naik pitam.

“Sombong sekali” gumam mey

“il, nggak papa saya pulang aja ya, mumpung belum terlalu larut juga kan” aku terenyuh

“Tapi nak...”kata kata ibu ilma terhenti.

 

Seketika tanganku menyambar amplop yang sedari tadi Mey pegang. Menggenggamkannya pada tangan ibu ilma. Aku sontak berlari, melewati pintu yang sedari tadi menganga. Seperti memepersilahkanku pergi.

 

Hujan ini terasa lebih dingin dari biasanya. Sesekali kilatan cahaya mengagetkan. Aku berlari semampuku menjauh dari apa yang bisa ku hindari.

“Nayraaa...Naayyy”

 

Dari jauh terdengar suara yang aku kenal. Ilma mengejarku, tapi langkahku jauh lebih cepat darinya. Aku berlari tanpa tujuan air mataku sudah deras. Entah kemana lagi aku meneduhkan badan. Tidak mungkin aku pulang dengan keadaan basah dan pipi yaang terluka. Aku jongkok meringkuk di tepi jalan.

“Naaayy?” tanya seseorang lirih

Aku mendongak

“Naayy kamu kenapa?” tanyanya lebih keras. 

Ia lantas membuka jaketnya memakaikannya padaku. 

“Nay, pliis cerita. Kamu kenapa?” tanyanya lagi

Aku memeluknya tanpa menjelaskan apapun.

 

***** 

 

“Makasih ya ki, udah nganterin Nayra pulang. Maaf jaketmu jadi basah dipake Nayra” 

“Nggak papa kok tante. Maaf ya saya nggak bisa jagain Nayra” jawab Rifki

Rifki pulang dengan jaket yang basah karena ku kenakan tadi. Untunglah dia menemukanku. Dan mengantar pulang, pastilah negosiasi yang alot karena awalnya aku enggan ke rumah. Walaupun masih ada yang mengganjal. Kenapa dia tak menemuiku sore ini? Apa dia sengaja agar aku seperti ini? Atau dia ada kepentingan lain? Lalu, kenapa stidak memberitahu?

Ah! Terlalu banyak pertanyaan hingga aku tak tau mana yang harus aku tanyakan.

“aaww sakit bu” aku merajuk saat ibu memebersihkan luka di sudut bibir

“anak perempuan itu nggak baik berantem. Apalagi sampai babak belur begini. Jangan bikin mama khawatir Nay. Jangan ikut ikut tawuran lah” omel ibu

 

Aku hanya diam. Entah apa yang dijelaskan Rifki tadi.

 

*****

 

Aku sama sekali tidak menyangka masalah sepele ini merambah kemana-mana. Ibu ilma yang semula bekerja di rumah mey sebagai asisten rumah tangga diberhentikan. Hanya karena anaknya selalu memihakku. Sebegitu tertutupkah penglihatan mey??

“Nay,,, maafin saya ya,,. Lain kali akan saya jelaskan ke mey”

“Lain kali katanya? Kemarin dia ngapain nggak jelasin?”gerutuku

Pesan singkat Hendi masih tersimpan, tak ku balas .kalau kalau mey menyalahkanku lagi, aku mempunyai bukti.

Sejak itu hubungan kami sangat renggang. Bahkan ilma harus membantu ibunya berdagang sepulang sekolah. Banyak perasaan bersalah, tapi apa mau dikata?

Dan kesalahan yang paling aku sesali ialah tetap memaafkan mereka, terlepas dari apa yang telah mereka lakukan

Sampai kelulusanpun, kami masih tak saling tegur sapa. Sampai saat ini. Entah bagaimana kabar Hendi, Dini serta Mey. Aku hanya tau keadaan Ilma yang masih setia bersahabat denganku. Sedangkan Rifki, ia melanjutkan studynya di luar kota. Akupun tak pernah berkabar dengan Rifki. Karena memang beberapa kontak telephone teman sempat hilang saat ponselku rusak. 

****** 

 

Air mataku menetes, mulutku seolah kaku tak bisa meneruskan cerita. Mas Radit menyeka air mataku, meraih tanganku dan digenggamnya

“Dan kamu tau peran Dini?” tanya mas Radit tiba tiba

Aku menggeleng, mas Radit tertegun. Ia berpendapat tidak mungkin hanya karena masalah seperti ini semuanya menjadi rumit. Pasti ada hal lain dibaliknya.

“Looh Nay kenapa nangis? Kalian berantem” entah sedari kapan ibu memperhatikan.

“Nggak kok bu, Nay terharu sebentar lagi punya suami seperti saya” celetuk Radit.

Aku mencubit mas Radit. Seketika aku tertawa melihat tingkah ge er nya. Walaupun aku tau dia cemburu dan marah dari apa yang aku ceritakan.Ia paling pandai menyembuhkan tangisku.

 

 

Pertanyaan mas Radit tentang Dini membuatku penasaran. Dari sekian banyak yang aku ceritakan kenapa dia fokus pada Dini yang sepertinya tak banyak andil dalam masalah itu. 

Ada apa dengan Dini? Kenapa mas Radit penasaran?

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status