Hari ini adalah hari yang kutunggu. Seperti para calon pengantin kebanyakan, pasti akan antusias jika mulai mencoba dan memilih pakaian yang akan dipakai saat hari bahagia.
Kebaya putih dengan payet silver tengah ku kenakan. Dipadukan dengan kain jarik coklat lengkap dengan selop yang menambah elok. Aku berdiri sembari sesekali membalikkan badan. Dari pantulan cermin mas Radit nampak tersenyum. Tangannya sibuk memegangi ponsel yang sedari tadi digunakannya untuk memotretku. "Gimana mas?" Tanyaku setengah tersipu "Cantik" ucap singkat mas Radit tanpa mengedip“Calon isteriku selalu cantik” ucapnya lagi Aku tersipu, pipiku merona. Mas Radit selalu pandai membuatku senang walau hanya dengan kata kata sederhananya. “Berarti sudah cocok yang ini aja ya kebayanya? Tanya mba Reni , seorang pengelola WO yang dipercaya ibu untuk mengurus keperluan pernikahanku “Iya mbak, yaudah kami permisi dulu ya mbak” pamitku setelah mengganti pakaian. Lalu beranjak sembari mengangguk pada mas Radit. Kami beranjak, keluar dari butik mbak Rita dengan wajah sumringah. Tak terasa sebentar lagi kita akan menikah. Seperti biasa setiap aku sift malam dia selalu menyempatkan waktu mengantarku ke pabrik. Sebenarnya tinggal beberapa hari lagi aku dipabrik ini. Mengingat permintaan mas Radit agar aku berhenti bekerja jika sudah menikah. Sebenarnya berat, tapi demi baktiku pada suami aku rela menuruti kemauannya. Toh mas Radit sudah mapan dari segi pekerjaannya. ****** Ting !!! Beberapa kali notifikasi dari ponselku terdengar. Sedikit mengganggu. “Siapa sih nay? Buka aja dulu siapa tau penting” kata ilma yang mungkin mulai terganggu juga. “Iya il...saya permisi ke toilet dulu ya” pamitku dengan langkah cepat Aku melihat sekeliling. Hanya deretan pintu toilet yang masih setengah terbuka tanda tak ada orang di dalamnya. Aku membuka kunci layar ponselku. Seperti dugaanku Hendi mengirim banyak pesan. Biasanya kubiarkan tapi, sepertinya kali ini jarus ku balas agar aku tak diganggunya lagi. “Hai,, Assalamu’alaikum Nay...apakabar? Saya harap kamu baik baik saja” “W*’alaikum sallam” jawabku singgat enggan berbasa basi “Alhamdulillah akhirnya kamu membalas, tolong buka privasi media sosial kamu. Setidaknya agar saya bisa tau kalau kamu baik baik saja” balasnya lagi “Apa apaan? Memastikan aku baik baik saja?” gumamku dengan senyum kecut. Aku tak menjawabnya lagi. Menutup layar. Kemudian berlari kembali ke Line tempat kerjaku. “Lama banget neng?Ke toilet apa tour?” sindir ilma setengah merengut Kulirik mejanya. Pantas saja pekerjaanku sudah menumpuk dimejanya. “Maaf hehe” aku meringis Sebenarnya tak seperti biasanya Ilma memang terlihat ketus malam ini. Aku tau betul sahabatku. Dia tengah dipusingkan dengan biaya lahiran anak pertamanya. Usia kandungannya sudah 8 bulan. Dia juga akan mengundurkan diri di tanggal yang sama denganku. Tak seharusnya ia masih bekerja saat kandungannya memasuki usia trimester tiga. Terlebih ia bekerja pada saat malam hari. Tapi, Ilma memaksa kepada pihak HRD untuk tetap mempekerjakannya dengan surat khusus kalau terjadi sesuatu bukanlah salah dari pihak perusahaan. ****** Orang orang mungkin baru bangun, menyiapkan sarapan atau bersiap memulai aktifitas . Tapi aku dan ilma baru melewati batas gerbang. Tak banyak yang kami bicarakan, ilma murung. “il...” panggilku sembari menjunjukan kertas kecil berlogo bank swasta biru. “Nayraaaa...” seketika tangisnya pecah dipelukanku “ jangan nangis di sini, malu” ledekku “Kamu kan mau nikah, butuh banyak biaya kenapa malah transfer aku?” Aku merangkulnya mengajaknya duduk di bangku panjang depan baprik. mengusap air matanya yang mulai deras. Aku tatap dalam matanya. “Uangku banyak” celetukku mencairkan suasana Ilma tidak bisa melahirkan normal, sedangkan suaminya bekerja serabutan setelah bulan lalu terkena PHK. Ia juga menanggung kehidupan orang tuanya. Ibunya sudah sakit sakitan. Sedang ayahnya telah meninggal 3 tahun lalu. Rasanya apa yang aku berikan pada ilma tak seberapa dengan apa yang ilma korbankan untukku. Pagi ini aku berjanji menemani ilma ke rumah sakit. Sebenarnya mataku berat semalaman tak tidur. Tapi demi ilma aku sangat bersemangat. “Ibu,, minggu depan harus sudah dilakukan tindakan operasi, melihat jumlah ketuban yang mulai berkurang, saya harap ibu sudah tidak bekerja lagi” Terang dokter “ Tapi dok,, apa tidak bisa 2 minggu lagi” ia berusaha negosiasi Tapi dokter menggelengAku memegang tangganya menguatkan dan meyakinkan. Lorong rumah sakit sangat lengang, bahkan aku bingung apa yang mau aku bicarakan. Ilma sangat sibuk dengan pikirannya. “Sudah periksanya ibu ibu?” Suara lelaki dari depan kami mengagetkan. Rupanya Deni, suami ilma. Dengan satu sosok di sampingnya yang sangat ku kenal. Dia selalu tersenyum jika melihatku, mas Radit. “Makasih ya Nay sudah bantu kami.makasih juga udah nemenin ilma periksa” suara Deni sedikit parau “Sama sama den, Cuma buat beli popok kok” jawabku “ itu lebih dari cukup buat bayar operasinya Nay” sambung ilma “Udah nggak papa, do’ain aja biar pernikahan kami lancar” jawabku lagi Kami berlalu meninggalkan ilma dan Deni yang juga akan pulang.Ku gandeng tangan mas Radit dan berlalu.Lengannya yang kokoh sangat nyaman untuk menyandar. Aku memperhatikan deretan mobil di parkiran.“Tak ada mobil mas radit” pikirku Tiba tiba mas Radit datang, mengendarai scooter matic hitam maroon. Deggg Seketika aku terperanjat, karena lebih mirip Hendi. Ini seperti dejavu, seperti mengulang masa lalu tapi dengan sosok dimasa kini. “ Ayoo naik” pintanya Aku menaiki motornya dengan tatapan mematung. Mas Radit meraih tanganku agar berpegangan. “Kenapa?” tanyanya “Nggak papa mas. Kok tumben pake motor?” tanyaku sembari membetulkan jilbabku yang berantakan terkena angin “Nggak papa, biar kamu seneng aja” singkatnya Aku melongoknya dari spion. Wajahnya tak seperti biasa. Sedikit muram walau tetap tersenyum jika menjawab pertanyaanku. Tapi ada sesuatu yang dia pikirkan. “ Mungkin karena sebentar lagi menikah,banyak yang mas Radit pikirkan” aku menerka sebisaku Perjalanan terasa lama karena diantara kamii sepi, nyaris tanpa pembicaraan. ****** Sesampainya di rumah, aku merubuhkan badanku pada sebuah sofa panjang di ruang tengah. Tubuhku terasa sakit, urat-urat di dalamnya terasa mencengkeram. Kepalaku berat. Aku segera mengisi perutku yang sedari tadi berisik. Biasanya mas Radit selalu mengajak makan, tapi kali ini tidak. “Nay makan dulu” ibu membawa beberapa potong roti tawar dengan toping selai cokelat, segelas susupun tak lupa “Makasih ya ma” jawabku dengan tangan telah menyambar sepotong roti lalu menyeruput segelas susu.Rasanya ingin segera beristirahat. Walau otakku masih memikirkan sikap mas Radit. Kupikirkan besok saja. ****** Sore harinya, mas Radit sudah duduk di sofa rung tengah dengan tangan yang sibuk memilah kertas undangan. Aku menghampirinya membantunya merapikan undangan. “Kamu yakin akan melanjutkan ini?” tanyanya pelan Deg “kok tiba tiba nanya gitu?” aku penasaranIa meraih ponsel yang sedari tadi diam di sakunya. Dibukanya aplikasi biru dengan profile seorang laki laki yang ku kenal. Jarinya beralih ke kotak pesan lalu menyodorkannya padaku. “hendi?” “Darimana kamu kenal hendi mas?”“Dia ngomong apa sama kamu?”Rentetan pertanyaanku tak dijawabnya. Ia hanya menyuruhku membaca. “semoga kalian bahagia, jaga Nayra baik baik, saya menyayanginya. Dan saya tau Nayra masih mencintai saya, tapi takdir berpihak pada anda. Kadang jodoh itu tidak harus disertai cinta. Hendi” “Bajingan!!” gerutuku yang jelas didengar mas Radit. Dari sederet kenangan tentang Hendi, beberapa mungkin menyenangkan. Tapi sisanya, terlalu menyakitkan Mas Radit penasaran sebenci itukah aku pada Hendi. Hingga aku yang tak pernah berkata kasar sampai memanggilnya dengan sebutan seperti itu.Sepulang dari butik mbak Reni, kami memutuskan untuk terlebih dulu singgah di sebuah cafe untuk sekedar duduk berbincang sembari menikmati kudapan khas di tempat itu. "Mau pesan apa mbak?" Tanya seorang pelayan "Emm" aku berpikir sejenak "Teh tawar sama choco brown cake mozarella" jawab mas Radit cekatan pas dengan yang hendak ku katakan. Mas Radit tau persis kesukaanku. Pelayan laki-laki di depan kami mencatat pesanan mas Radit dan kemudian berlalu setelah meminta kami menunggu pesanan. Kami tak banyak bicara saat itu. Kami sibuk dengan hidangan yang tengah dinikmati. Hanya saja, mas Radit terlihat sering sekali melirik ke arahku. Aku melihatnya dari balik pantulan gelas di meja. Sikapnya membuatku salah tingkah. Wajah gugupku tak dapat ku tutupi. "Udah makannya Nay?" Tanya mas Radit "Udah mas" jawabku singkat "Kita langsung pulang saja ya. Sudah mendung soalnya." Lanjutnya Aku mengangguk. Kakiku se
Aku berlari menuju kamar mandi yang sebenarnya bukan tujuanku. Aku hanya salah tingkah dengan kenyataan aku mendapat kiriman paket dari Hendi. Setengah hati aku senang. Selebihnya aku takut mas Radit salah paham. Beberapa menit aku berdiam, sampai akhirnya memberanikan diri kembali duduk dengan ibu dan mas Radit. **** Di ruang tengah ibu terlihat memilah beberapa undangan. Mengumpulkannya berdasarkan alamat. Tapi tak terlihat mas Radit bersamanya. "Mas Radit mana bu?" Tanyaku "Ada di teras Nay, katanya mau cari angin" jawab ibu dengan senyum Aku berlalu meninggalkan ibu yang masih sibuk. Ku lihat mas Radit duduk di lantai dengan kaki menyilang. Di depannya nampak bungkusan plastik hitam. "Ah aku lupa dengan paket itu" gumamku "Lagi ngapain mas?" Tanyaku basa-basi "Lagi nunggu kamu buka ini. Aku penasaran apa yang dikirimkan seorang laki-laki pada mantan kekasihnya" terangnya dengan wajah masam
Aku menuju ruang tamu. Kudapati seorang pria dengan kemeja kotak-kotak tengah duduk di sana. Pandangannya tertuju pada beberapa gambar yang tertempel di dinding. Aku duduk di sofa tepat di hadapannya. Tatapanku sangat teliti pada penampilannya. Dari atas kepala hingga ujung kaki kuperhatikan. Pria itu membalas tatapanku "Rifkiiii" teriakku "Apakabar Nay? Sepertinya sangat sehat?" Sapanya usil melihat aku yang sekarang sudah tak sekurus dulu. "Aku mengembang bersama usia ki" jawabku dengan tawa "Kapan kamu pulang ki? Udah mau wisuda ya?" Sambungku "Aku udah lulus dari beberapa tahun lalu Nay, ini udah enam tahun loh masa kamu masih mikir aku belum lulus" jawabnya cemberut "Hehehe kali aja. Oh iya, jadi kamu sekarang kegiatannya ngapain? Kerja atau lanjut S2?" Tanyaku "Lagi mengunjungi calon isteri Nay" jawabnya "Calon isteri? Siapa? Kenalin dong?" Aku penasaran Dia tak menjawab. Ia menatapku dalam
Mencari tau tentang Nayra adalah kebahagiaan tersendiri bagi Hendi. Baginya ada sesuatu yang belum selesai diantara mereka. Mereka terpisah saat kita masih sama-sama suka. Tapi bagi Hendi biarlah seperti ini saja, asal Nayra bersama orang yang tepat.Hendi mengawasi dua orang yang tengah berjalan beriringan. Mereka terlihat sangat behagia. Bersenda gurau ditengah keramaian. Tak sadar, Hendi pun turut senyum melihat tingkah mereka.Nayra sepertinya tak menyadari Hendi berada di sana dan tengah mengawasinya. Hendi memang sengaja meminta tolong Rifki agar bagaimana caranya dia bisa melihat Nayra."Tingkahnya masih sama, keceriaannya masih sama yang berbeda hanya kini dia bersama orang lain" begitu pikirnyaBanyak sekali yang ingin Hendi katakan. Tapi terpaksa dia tahan karena tak ingin melihatnya kecewa. Melihat tawa Nayra saja sudah sangat membuatnya bahagia.Hendi mengambil ponsel dari saku jaket."Sudah cukup Rif. Makasih ya" pesanku singkat
Suara sirine memecah keramaian jalanan. Lalu lalang kendaraan seolah tersibak tatkala mobil putih itu melintas.Di dalam, Deni tengah memegang erat tangan isterinya yang sedang merasakan sakit luar biasa. Sementara Mei turut tersedu melihat wajah temannya pucat pasi tak berdaya. Ilma mengatur nafas sebisanya."Bertahan ya sayang, kamu kuat. Sebentar lagi kita sampai" bisik Deni dengan suara bergetarLima belas menit waktu yang ditempuh. Mereka sampai di Rumah sakit. Petugas segera membawa Ilma. Dokter Rani yang sebelumnya sudah ditelfon pun sudah siaga siap menangani pasiennya."Bapak, ibu mohon tunggu di luar ya" pinta seorang perawat sambil menutup pintu UGD.Deni bolak-balik di depan pintu dimana isterinya ditangani. Mulutnya tak berhenti mengucap dzikir. Beberapa waktu kemudian, Dokter memanggilnya ke sebuah ruangan.“Saya sudah mengingatkan sebelumnya ya pak, kalau ibu Ilma harus operasi dan tindakan tersebut dilakukan sebelum terasa ko
Duniaku hancur, satu sahabatku pergi. Aku merasa seorang diri.“Sabar Nay, ikhlaskan Ilma ya sayang. Dia sudah bahagia” kata-kata lembut itu membangunkankuAku memeluk sosok itu. Entah dari kapan ibu sudah berada di sini. Dibangku tempatku tergeletak.“Ilma bu, Ilma. Kenapa harus Ilma bu??!” Aku semakin histeris“Ssttt sudah sudah” ibu memelukkuMas Deni sedang ikut mengurus jenazah Ilma. Sementara aku tak tega jika harus melihat sahabatku sudah dalam keadaan dingin. Tiba-tiba emosiku mencuat, ku pandang Mei yang masih saja duduk.“Seneng kamu? Kamu mau tertawa? Kalo kamu dulu nggak egois Ilma nggak akan kaya gini. Bu dhe nggak akan kena strok. Ilma tidak harus pontang panting kerja disaat hamil karena harus menutup hutang ibunya” gerutuku“Nay, aku nggak tau kalo kehidupan Ilma berubah drastis setelah bu dhe tidak bekerja di tempat papa” bela Mei“Karena kamu tida
Tiga hari kepergian Ilma rasanya masih seperti mimpi bagiku. Aku masih di rumah sakit menunggu si kecil dengan bolak-balik pulang untuk mengurus keperluan pernikahanku. Mas Radit selalu menemaniku di rumah sakit. Hari ini kami berencana mengantar undangan. Memang ada beberapa undangan yang sengaja kami antar sendiri karena kami pun harus meminta do’a restu kepada yang bersangkutan.Sebenarnya aku agak canggung saat bertemu beberapa rekan dari calon mertuaku. Tapi kusampingkan perasaan itu.“Oh ini calonnya Radit ya? Wah cantik sekali. selamat ya, tante do’akan acaranya lancar” kata tante Asri saat kami berkunjungSesekali aku melirik sekitar, dekorasi rumah semi eropa seolah menggambarkan kalau sang pemilik dari golongan menengah ke atas. Beberapa pajangan mewah pun tampak berderet di sebuah lemari pajangan.“Hen, sini nak bentar!” teriak tante Asri“Mungkin nama anaknya Heni” benakku“ada apa tan” tanya seorang oemud
Motor mas Radit berhenti tepat di depan rumah Ilma. Aku mengajaknya masuk namun ia menolak dengan alasan pekerjaan. “Eehh ada tante Nay!!” teriak seseorang dari arah pintu rumah. Orang itu duduk diatas kursi roda dengan memangku bayi kecil. “Aaaa Tiara sayaaang!!!” teriakku berlari menyambut sang bayi Mas Radit pergi, bahkan tanpa menyalami ibu Ilma. Rasanya tak enak hati melihat tingkah laku mas Radit. Ia yang berwibawa dan sangat sopan santun seakan menjadi orang lain yang tak peduli pada sekitarnya. Ia kini menjadi pria dingin dan murung entah apa yang membuatnya berubah. aku melambai pada calon suamiku dan masuk kedalam rumah mas Deni.Di dalam rumah, masih terpajang foto-foto almarhum Ilma. senyumnya masih hangat mewarnai ruangan. hanya saja, rasanya wajahnya terlalu menyakitkan untuk aku tatap."huuuft" aku menghelaTerdengar suara tangis Tiara dari kamar belakang. aku bergegas menemuinya."ututuuu ana