"Villanya bagus Greet, luas banget. Ada satu kamar kosong. Padahal kamu bisa tempatin."Dan harus tersiksa mendengar kalian bercinta? Big No!Aku meneguk lemon squash dan menandaskannya. Lalu tersenyum dan berpura-pura terlihat tertarik padahal tidak sama sekali! Aku akhirnya menerima tawaran mba Luna untuk ikut dinner sebagai pembuktian pada Tristian.Pembuktian apa? Nanti ku ceritakan."Terus gimana seminarnya?" lanjut mba Luna."Mm ... seru sih Mba, banyak kenalan baru pastinya." Aku tersenyum lebar."Wah, kali aja dapat gebetan Greet." Mba Luna terkekeh.Aku melirik Tristian yang pura-pura acuh. Membalas sikap berlebihannya yang berpikir akan membuatku cemburu.Tidak lama kemudian pria itu minta ijin ke toilet. Mba Luna mendekat padaku."Greet, dandananku berlebihan ga sih?"Aku menoleh dan memperhatikan wajah mba Luna dengan seksama. "Ga sih, Mba. Natural kok ... kenapa, Mba?""Malam ini aku mau lancarkan jurusku untuk ngerayu Tristian"Tenggorokanku berubah kering. Aku hampir te
Aku terdiam di kamar hotel, merenungi perasaanku. Aku sangat terganggu dengan ucapan Tristian.Apakah aku bahagia tanpa dia?......Tidak, aku tidak bahagia. Itu sudah jelas.Tapi kenapa dia bertanya seperti itu? Apa dia sedang berusaha membaca pikiranku? Atau, apa dia menyadari kalau aku sangat terganggu dengan kemesraan mereka berdua?"Arrrggghhh ...."Aku berteriak sendiri. Aku bangun, menegakkan tubuhku dan menolak membiarkan Tristian menang dengan pikirannya. Tapi ...Aku memang cemburu dan aku memang masih mencintainya.Bahuku merosot, memang itu kenyataannya. Tapi aku tidak sejahat itu ingin merebut suami orang. Tidak, tidak! Aku tidak boleh jatuh lagi ke dalam pesona Tristian.Aku mandi dan berpakaian, lalu turun ke arah restoran untuk sarapan, sempat bertemu Pierce yang sudah pindah ke hotel tempatku menginap sejak semalam. Sore nanti rencananya dia ingin mengajakku ke beach club, temannya yang seorang Dj akan tampil malam ini. Dan aku akan melupakan Tristian dengan duga
Malam belum terlalu larut saat kami tiba di hotel. Pierce mengantarku sampai ke depan kamar."Good night, Pierce ...""Greet?""Ya?" Aku menoleh sesaat setelah membuka pintu.Wajah pria itu terlihat sedikit aneh."Mm ... i want to say sorry ... I kissed you earlier. Kamu pasti bingung." Dia mengusap tengkuknya canggung."It's okey Pierce. I wouldn't take it as a serious kiss. Just a kiss between friends, right?" Aku tersenyum dan terdiam sedetik kemudian saat melihat sorot mata pria itu berubah."What if ..."Aku mengerjap cepat. "What?""What do you think if we try ... I mean... would you be my girlfriend, for real?" Pierce mengambil satu tanganku dan menggenggamnya. Dia menarikku mendekat dan meraih tengkukku.Kali ini aku memejamkan mata saat dia kembali menciumku. Untuk sesaat pikiranku kosong, merasakan di cium pria lain selain Tristian membuat aku merasa asing. Aku mencoba konsentrasi dan membalas. Anehnya tidak ada sengatan apapun didalam dadaku. Berdebar, tapi berbeda saat ber
Suara notifikasi ponsel terdengar dari dalam tas mba Luna. "Sepertinya jemputanku datang. Aku harus pergi"Mba Luna mengusap air matanya yang masih menetes. Dan menatapku dengan wajah terluka."Maaf aku jadi ngerepotin kamu, Greet. Aku tadi ga tau harus kemana, aku takut ganggu kamu ..."Aku menggeleng menahan keinginan untuk menangis."Gapapa mba. Maaf aku ... ga bisa berbuat apa-apa." Seperti ada gumpalan batu ditenggorokanku. "Aku anter ke bandara ya, Mba."Mba Luna menggeleng. "Jangan, udah malam. Gapapa aku sendiri aja. Lagipula, aku butuh waktu untuk sendirian."Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku mengerti, sangat mengerti. Mba Luna memelukku sambil mengucapkan terima kasih. Aku mengantarnya ke lift, tidak tega melihatnya terpuruk seperti itu.Maafin aku mba ...Aku tersenyum getir saat pintu lift tertutup, berjalan ke arah kamar dengan perasaan bersalah yang teramat sangat. Semua karena aku ...Aku terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Aku mengambil ponsel dan mengirim pes
Aku mendekat dan mengambil gelas di lemari dapur. "Kamu udah makan?" Aku menuangkan minuman jeruk untuk kami berdua. Gerakanku terhenti saat Tristian memelukku dari belakang."Greet ..."Aku merinding, sudah lama kami tidak sedekat ini. Saat di Bali aku sengaja tidak mau berdekatan dengan Tristian, aku takut kami melakukan hal-hal yang akan membuatku semakin merasa bersalah pada mba Luna.Tapi sekarang, Tristian mengecup ceruk leherku. Aku memejamkan mata, rasanya aku ingin menoleh dan menciumnya. Tapi ucapan Pierce saat kami berpisah di bandara terngiang."Greet, kami, para pria, hanya ingin terus berada di sekitar wanita yang kami cintai. Tapi, kamu harus mendapatkan kejelasan darinya. Aku yakin dia bisa menunggu jika dia benar-benar serius kali ini. Dia harus membereskan semuanya dengan istrinya sebelum kalian berdua bisa hidup damai. Dan aku juga akan lega melepaskan wanita sepertimu untuknya. Tapi Greet, jika dia membiarkanmu pergi lagi, pada pertemuan berikutnya aku tidak hanya
Tristian POVSebutir airmata menetes dari sudut matanya. Aku membuang muka tidak ingin melihat, dia tidak pantas menangis untukku."Lun, maaf. Aku ga bisa." Aku hanya bisa berkata itu."Kamu bahkan belum mencoba, Tian." Dia menggeleng pelan saat airmata lain mulai berjatuhan. "Oke selama ini kita menikah, seolah harmonis karena ingin menjaga perasaan Mama. Tapi kali ini aku mau kita coba untuk benar-benar menjalankan kehidupan rumah tangga seperti pasangan lainnya."Luna bangkit dan berlutut didekatku. Aku reflek menariknya berdiri, aku tidak mau dia melakukan itu."Please Tian, aku sangat berharap kamu mau buka hati kamu buat aku." Dia meletakkan satu tangannya di dadaku."Lun ..." Aku menggeser tangannya. "Aku ga bisa. Andai aku mau pun aku ga akan bisa.""Kenapa? Apa kalian sudah kembali bersama?""Belum. Setelah kita bercerai baru aku akan ..."Luna sontak mundur dua langkah. Dia menggeleng keras. "Tian, kenapa kamu tega lakuin ini sama aku?""Lun, aku ga mau nyakitin kamu. Makany
Aku tengah mengambil cangkir saat Tante Ivon mendekat ke arah meja makan yang menyatu dengan tempat cuci piring."Loh ... kamu beli makan, Greet? Kok masih utuh?" Mama Tristian membuka paperbag yang masih terasa hangat."Pa, coba telepon Ian."Om Tjandra yang sedang menonton tv menurut dan mengambil ponsel dari saku bajunya. Tapi sedetik kemudian kami semua menoleh ke arah pintu saat Tristian masuk."Loh? Ma ... Pa ... lagi pada ngapain?" Dia berjalan masuk dan terkejut saat melihatku."Bee? Kapan kamu ..."Aku tersenyum kecut, sekejap ada rasa was-was apakah Tristian datang bersama mba Luna. Untunglah saat pintu tertutup hanya dia yang masuk ke dalam."Kamu kemana aja Ian? Greet nungguin dari tadi loh ... Mama sama Papa baru sampai, dia lagi beres-beres disini. Tega kamu ya nyuruh-nyuruh Greet beberes!" Tante Ivon menyipitkan matanya menatap anak semata wayangnya.Aku menggeleng saat Tristian menatapku bingung. "Bu-bukan ... gitu Tante. Ian ga suru aku beberes ... itu ..."Tristian m
Tubuhku membeku tidak bisa bergerak. Dia menelan salivanya."Aku ..." Suaranya berubah serak. "Aku mau ambil barang dulu di mobil."Aku menunduk dan mengangguk. Membelakangi Tristian dan merasa malu. Dadaku bergemuruh, saat mendengar suara pintu tertutup, aku menghembuskan napas yang sedari tadi ku tahan. Kepalaku terasa pening, aku memejamkan mata rapat-rapat, meyakinkan diriku bahwa aku tidak akan melakukan hal apapun dengan Tristian walau kami sering bersama.Sepuluh menit kemudian aku sudah duduk di sofa saat dia masuk membawa dua koper besar dan tiga kardus berukuran sedang, aku melihat Bapak sekuriti yang biasa berjaga dibawah ikut membantunya."Apa itu?" tanyaku terkejut."Barang-barangku." Tristian mengambil dompet dan mengeluarkan dua lembar uang kertas merah lalu menyerahkannya kepada bapak sekuriti."Terima kasih Mas. Mari, Mba.."Aku mengangguk saat dia permisi.Tristian langsung memeluk bahu dan mendorongku ke arah sofa. "Besok aja bongkarannya ..."Aku duduk, dia mengamb