Share

BAB VI

“ Hey kemana saja kamu? Aku tadi ingin mentraktirmu makan.” tanya Erina, yang menghampiriku dan datang bersama beberapa teman wanita. “ Apa kamu serius tentang itu?”  kataku merayunya. “ Tidak juga, aku lagi tidak selera makan” jawab Erina.

“ Oh ya, ngomong–ngomong parfume yang kamu kenakan belinya dimana?” tanyaku ingin tahu. “ Penasaran atau kamu hanya basa-basi saja, agar cari perhatian gitu” gumamnya dengan tawa kecil menghiasi wajahnya. “ Ah, aku pulang duluan ya, Erina. Membosankan disini.” Sapaku dan berjalan perlahan meninggalkan kampus, “ Woahhhh, libur sebulan.” ucapku dengan mengangkat kedua tangan keatas.

“ Yah, dia malah kabur. hati –hati Shin” katanya dari belakangku. “ Aku pulang woi.” sapaku kepada teman-teman yang berada disekitar . “ Ya” jawab mereka serempak.

Langit sedikit mendung. Badan Geografi menyatakan, bahwa bulan ini, cuaca mengalami keadaan yang tidak stabil. Aku mengambil kendaraanku dari parkiran sepeda motor, lalu aku mulai beranjak meninggalkan kampus. Keadaan diperjalanan pulang tampak seperti hari-hari biasanya, yang selalu bertubrukkan antara suara satu kendaraan dengan kendaraan lainnya. Aku melintasi jalan tempat rusa itu, dan terlihat suasana disana telah ramai, aku berjalan perlahan untuk bertanya kepada orang yang tinggal disekitarnya tentang kesunyian yang terjadi kemarin lusa, mengejutkan sekali, ketika aku mendengar jawaban dari mereka. Bahwasanya kemarin lusa itu, ada tawuran antarpelajar disini sehingga banyak pepohonan dan sebagian rumah sedikit mengalami kerusakan, orang itu menjelaskan bahwa polisi cepat datangnya, sehingga tawuran itu dapat dihentikan. Akan tetapi, mereka yang tinggal disana tidak berani keluar hingga keesokan harinya, sebab tengah malam kemarin, tawuran itu terjadi lagi. Tapi, bukan pelajar namun para gangster.

Kemudian, aku mulai bertanya tentang seekor rusa tua yang mati disini. Betapa terkesannya aku, ketika mendengar jawaban dari seorang bapak tua, “ Siapa yang peduli dengan rusa tua itu, Nak!” dia mengucapkannya seperti hal itu bukanlah hal yang penting. Setelah itu, aku berterima kasih atas informasi yang diberikannya, lalu aku melanjutkan perjalananku menuju kerumah. Ternyata dugaanku tentang penyerangan makhluk seperti Bigfoot itu salah, tapi mungkin masih ada kemungkinan bahwa rusa itu dibawa oleh Bigfoot yang kutemui dua hari yang lalu.

“ Bu, aku pulang!” sapaku. “ Iya, dari hari Sabtu kok cepat kali pulangnya, Shin” Tanya ibuku dari arah ruang tamu.

“ Ada rapat  dosen dikampus dan hasilnya kami libur selama sebulan, Bu” jawabku, “ Hah! Sebulan. Kampus macam apa yang meliburkan mahasiswanya sampai sebulan penuh. Apa yang akan kau lakukan, Shin?” kata dan tanya ibuku. “  Ya begitulah” jawabku Sederhana. “ Ditanya kok begitu jawabannya” balas ibuku.

Aku hanya diam dan masuk ke kamar untuk berbaring dan sedikit berfikir tentang aktifitas yang akan kulakukan selama liburan ini, kemudian aku mulai menuliskannya. Hasil dari catatan keseluruhan, aktifitas selama sebulan ini hanya akan diisi untuk memperjelas mimpiku. Mencari tahu, apakah itu sebuah kejelasan atau hanya sekedar bunga tidur biasa.

Ketika asyik membaca jadwalku selama sebulan. Juna memanggilku dengan keras, “ Woi, Kenshin” panggilnya kuat. “ Ya, aku keluar Jun, sabar ya.” jeritku dari dalam kamar.

Aku bersiap-siap untuk menebang pohon hari ini, begitu pikirku. “ Ma, aku pergi sebentar”  aku permisi kepada ibuku. “ Ya, hati – hati” balasnya. Akupun keluar rumah dan masuk kedalam mobil mini truck si Juna, lalu kami permisi untuk kedua kalinya dan pergi menuju kehutan di perbatasan Lostcity. Bukan hutan Baramus yang kami kunjungi biasanya.

“  Hey Juna, aku mau bicara samamu” kataku di pertengahan jalan. “ Apa yang mau kau katakan? Katakan saja tak usah risau “ balas Juna yang sedang menyetir dan pandangannya fokus dengan jalan. “ Kau tahu tentang ledakan. Maksudku, apa kau mempercayaiku, kalau aku bilang sesuatu yang takkan pernah ada orang yang mempercayaiku.” tanyaku padanya dan hanya dia satu-satunya orang yang bisa dipercaya saat itu.

“ Hem mungkin, aku akan belajar mempercayaimu. Kau ingat ketika kau berumur Dua Belas tahun.” bilangnya. “ Ya, aku ingat. Saat itu kau berumur 15 tahun bukan” balasku. “ ya ketika kau berumur dua belas tahun kau pernah berkata kalau mimpimu dapat menjadi kenyataan (Tertawa ditengah ucapannya) Mereka mentertawaimu, bahkan mengejekmu dan..” ucapnya, lalu terhenti untuk berfikir. “ Dan hanya kau yang mempercayaiku dan membantuku dari bullying mereka. Maaf, Jun. aku memotong perkataanmu “ sambungku yang sedikit stres memikirkan mimpiku. “ Ya, itu benar. Jadi, apa kau masih meragukanku? bagaimanapun juga, aku lebih berpengalaman  dari padamu.” katanya yang sedang fokus menyetir.

Kami pun berbincang panjang lebar di sepanjang perjalanan, hingga aku melihat sebuah benda runcing, yang sepertinya berada ditengah hutan diperbatasan Lostcity. Menurut dugaanku, itu terlihat seperti pucuk dari sebuah  bangunan yang sudah sangat tua. Tidak lama setelah melihat benda runcing di tengah hutan itu, kami pun sampai ditempat tujuan kami dan berhenti untuk mencari kayu yang berkualitas.

Aku mengambil sebuah kapak dan langsung saja menebang pohon yang sudah layak untuk ditebang hingga tebasan kapakku terhenti, karena rasa penasaranku yang begitu memuncak dengan benda yang kulihat tadi. Aku memberhentikan diriku untuk menebang pohon,

“ Jun, sebentar ya, aku mau ketengah hutan. Tadi, kulihat ada pohon yang kualitasnya sangat bagus, tidak apa-apa kan aku mengeceknya sebentar.” ucapku yang menenteng sebuah kapak besar. “ Ya sudah, jangan lama-lama, oke.” jawabnya yang tengah asyik menebang pohon. Aku pun mulai perlahan berjalan kearah bangunan itu dan mulai meninggalkan Juna dengan beberapa batang pohon yang telah ku tebang, dengan bersenjatakan sebuah kapak, aku berlari menuju tengah hutan.

Langkah kakiku mulai melambat, dan kini aku mulai berjalan perlahan  -lahan menyusuri hutan, demi mencari sebuah bangunan tua, entah itu rumah ataupun bangunan lainnya. Sekilas sebelumnya atap bangunan itu terlihat seperti hotel bahkan istana, aku sudah semakin jauh berjalan namun bangunan itu belum terlihat juga .

“ Apa mungkin itu bangunan di jaga makhluk gaib, agar tak ada satu pun orang yang dapat memasuki bangunan tua itu” pikirku.

Tangan kiri menggenggam pangkal kapak dan tangan kananku memegang gagang kapak, lalu aku mengayunkannya ke beberapa dahan yang menghalangi jalanku. Langit yang semula tidak terlalu mendung kini telah menjadi sangat gelap.

“ Kurasa akan hujan.” ucapku sambil mengayunkan kapak.

Setelah lebih satu jam menyusuri hutan, yang saat itu aku tidak sadar berapa lama aku telah menyusuri hutan itu, aku menemukan sebuah jalan setapak yang sangat bersih.

“ Akhirnya. Ada sebuah jalan” ucapku tenang.

Aku menenteng kapakku dengan satu tangan dan berjalan dengan waspada, sekali-kali pandanganku menatap kearah gemericik daun yang saling bersentuhan. Diujung jalan mulai terlihat pepohonan semakin menutup kembali, pepohonan itu seperti menciptakan sebuah gua yang melindungi jalan setapak. Tanpa ragu, aku melaluinya. Gelap langit semakin menjadi.

Disisi lain Juna menantiku dengan tidak sabarnya. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk menyusulku ke tengah hutan, ponselku tertinggal dimobil dan aku tidak membawa senter, sehingga jalan setapak itu sulit untuk dilalui karena kurangnya pencahayaan. Juna telah menduga bahwa aku bukan mencari pohon yang bagus , melainkan mencari tahu sebuah tempat yang pucuknya terlihat tadi. Tak lama melewati jalan setapak, aku mulai melihat sebuah bangunan tua yang sangat tinggi, tampak seperti gereja, namun itu bukanlah gereja.

Aku mulai mendekati bangunan itu dan menurunkan tingkat kewaspadaanku. “ Ini? Bersih sekali, seperti ada yang merawatnya” ucapku yang melihat rerumputan sekitar tak tumbuh sembarangan.

Tertulis diatas pintu, sebuah bacaan yang tak aku pahami, bahkan aku tak bisa membacanya. Aku mencoba mengingat sesuatu, sebab sepertinya aku pernah melihat tulisan ini sebelumnya. Setelah bersusah payah aku mencoba mengingatnya, akhirnya aku sadar, bahwa huruf  itu sama persis dengan sebuah huruf yang tertulis didepan pintu masuk laboratorium didalam mimpiku.

“ Akhirnya” pikirku sembari tersenyum. Aku mendekati pintu bangunan itu. Perlahan-lahan aku menyentuh permukaan kayu yang menjadi bahan dasar pintu itu. Permukaannya terlihat bersih, tak berdebu sama sekali. Lalu aku mencoba membuka pintunya, namun pintu itu terkunci dengan sangat kuat. Tak berapa lama kemudian hujan mulai turun perlahan, “ Yah, hujan ” ungkapku. Aku mencoba memainkan gagang pintu itu dan berharap bahwa pintunya hanya macet dan tak terkunci.

“ Kenshin!” teriak Juna memanggilku dari belakang, yang membuatku terkejut. Aku lantas menoleh kearah Juna.

“ Sudah kuduga, pasti kau kemari” ucap Juna mendekatiku dengan cepat. “ Maaf Juna, aku sangat penasaran.” Balasku, menanggapi Juna.  “ Ayolah, kita harus kembali sebelum hujan semakin deras” pinta Juna kepadaku. Aku yang tidak bisa melakukan apapun lagi, hanya bisa menuruti kata-kata Juna. Kami berdua menyusuri kembali jalan setapaknya.

“Kenshin. Tidak biasanya kau seperti ini.” ucap Juna yang  seperti mengintrogasi. “ Jangan bilang ini menyangkut mimpimu?” lanjut Juna secara spontan.

“ Ya, kau benar Juna. Tulisan didepan pintu itu sama seperti didalam mimpiku” ucapku tanpa perlu khawatir. “ Tulisan itu artinya selamat datang” jawab Juna santai. Mendengarnya aku terkejut dan bertanya pada Juna tentang bagaimana dia bisa tahu arti tulisan itu. “ Ilmu sejarahmu kurang. Itu bahasa Gresogn, aku pernah belajar dulu sama teman kuliahku saat aku masih S1” lugas Juna menjelaskan sembari berjalan keluar.

Kini aku semakin yakin dengan misteri ini dan menjelaskan mimpiku kepada Juna. “ Juna, besok aku akan kembali kesini” ucapku dibalik hujan yang mulai deras. “ Aku akan ikut.” jawab Juna tanpa pertimbangan. Mendengarnya aku tersenyum, dia memintaku memberitahukan seluruh isi mimpiku.

“ Kenshin. Bolehkah aku mengetahui margamu?” pinta Juna yang selama ini tidak mengetahui identitas lengkapku. Namun pertanyaannya, membuatku sedikit aneh mendengarnya.

“ Landers” ucapku.

Juna hanya diam tak membalas ucapanku, dia hanya fokus memotong dahan yang mengganggu jalan kami. Saat kami telah tiba di mini truck milik Juna, aku membantu Juna melakukan estafet terhadap batang pohon yang telah ditebang dan meletakkannya ke mini truck itu. Lalu setelah selesai, aku kembali memasuki trucknya dan mengambil ponselku. Aku menatap layar datar ponselku dan tak menyangka, bahwa telah terhitung Tiga jam lebih aku pergi dan kembali dari bangunan tua itu. Setelah Juna merapikan beberapa perkakas miliknya, Juna menyusulku kedalam mobil dan duduk dibangku supir.

“ Kau basah, kawan” ucapnya padaku sembari memasang sabuk pengaman. “ Dasar bodoh, sudah jelas kita kehujanan.” jawabku meleceh.

Mobil Juna melaju dengan tenang. Kami mulai memasuki daerah perkotaan. Di kota tidak terlihat hujan sama sekali, terlihat banyaknya anak muda di pinggiran kota yang asyik kongkow di sepanjang jalan dengan teman-temannya. Tak terasa kami telah sampai di jalan Nymfha, mobil Juna berhenti tepat didepan rumahku,

“ Terima kasih kawan.” Sapaku yang beranjak bangkit dan meninggalkan mobil Juna sembari menutup kembali pintu mobilnya,  “ Simpanlah upahku hari ini, aku tidak banyak membantu.” Teriakku kembali. “ Haha, aku juga tidak akan memberikannya.” Pungkasnya sembari memutarkan mobil pickupnya dan menjalankannya menjauhi rumah.

“ Woah,  akhirnya mimpi ini akan selesai.”  Aku bergumam dengan sedikit menampakkan ekspresi lelah. Aku berjalan perlahan menuju kedalam rumah, di dalam, aku melihat Paman Jhonny sedang berada diruang makan bersama ibuku dan Lidya. “ Hey, kemarilah pria besar” sambut Paman Jhonny kepadaku dengan hangat, selayaknya orang tua. Mendengarnya, aku hanya tersenyum kecil dan memberitahukan, bahwa aku akan mengganti pakaian kotorku terdahulu.

Setelah aku selesai berbenah, aku kembali ke meja makan dan duduk berhadapan dengan Paman Jhonny. Menurutku, kehadiran Paman Jhonny memberikanku sebuah kehangatan keluarga dan menciptakan perubahan angin yang sangat drastis dalam keluarga kami. Saat makan berlangsung, Paman Jhonny mengangkat tangan kanannya, aku memperhatikan lengan bagian dalam tepat dibawah telapak tangan Paman Jhonny, disana terlihat sebuah ukiran yang sedikit menyerupai sebuah symbol yang tak asing bagiku dan tidak begitu jelas juga bagiku. Symbol itu membentuk sebuah huruf. Aku mengingatnya, aku sadar bahwa itu huruf dari salah satu huruf yang kulihat dari bangunan tua tadi.

“ Paman.” sapaku. Paman Jhonny langsung menatapku sesaat aku memanggilnya. “ Ada apa, Kenshin?” ucapnya dengan nada berat. “ Symbol ditanganmu. Bukannya, itu huruf Gresogn?” tanyaku yang semakin penasaran.

Paman Jhonny terlihat sangat santai dan rileks, dia tidak merasa terancam sedikitpun dengan pertanyaanku. “ Haha, ini ‘Sembari menunjukkan tatoo symbol tersebut’. Ya, ini memang huruf Gresogn. Kau cukup berwawasan, Kenshin. Tak banyak orang yang tahu ini, kecuali, mereka penduduk asli.” ucapnya datar dengan menyantap hidangan yang disajikan. “ Maksudnya, penduduk asli?” tanyaku yang semakin penasaran, penjelasannya berbeda dengan Juna.

“ Kenshin, penduduk asli adalah orang yang terlahir dan besar disini. Ya, yang lahir di Lostcity, pasti tahu ini huruf apa. Tentu, paman orang asli Lostcity. Dan ini adalah salah satu huruf yang paling bersejarah. Konon, huruf Gresogn menyimpan sebuah fakta dan sejarah kelam. Sejarah yang sangat misterius, sampai saat ini susunan hurufnya dan fakta orang-orang Lostcity, belum terpecahkan” ucap Paman Jhonny seakan-akan dia mengetahui sesuatu tentang sejarah Lostcity,  “ Tapi temanku, dia bisa membacanya” jawabku semakin penasaran.

“ Haha, kamu serius. Jika dia bisa membacanya, sudah dipastikan dia tahu sejarah asli Lostcity dan dia pasti salah satu dari mereka. Pergilah keperpustakaan di Brimhall, Hanya ada satu perpustakaan disana. Disana, ada ratusan buku bertulisan Gresogn dan hanya ada satu buku berjudul ‘Gresognian’. Buku itu murni dari abad pertengahan, sekitar tahun 1781 karangan Immanuel Wijtck. Jika kau bisa membacanya, kau pasti tahu tentang sejarah yang masih menjadi misteri. Pintuku akan selalu terbuka, jadi usahakan kunjungi aku sebelum kesana” beritahu Paman Jhonny kepadaku. Aku hanya terdiam menatap senyumnya dan mendengar penjelasan darinya, meski aku tidak tahu maksud dan tujuan dari apa yang telah dia utarakan, lalu aku melanjutkan menyantap lobster panggang yang dimasak ibuku lagi. Setelah aku selesai makan, aku mengucapkan terima kasih kepada Paman Jhonny atas informasinya. Aku pun beranjak kekamar untuk beristirahat.

Malam yang syahdu itu, dipecahkan oleh suara hujan yang mulai terdengar dari luar. Dinginnya menusuk rusukku, aku menarik selimutku, lalu tertidur ditemani dinginnya malam yang berkolaborasi dengan hujan. Sebelumnya, aku terlalu banyak berfikir tentang mimpiku, dan aku tidak mendapatkan sebuah penglihatan kembali atau lebih tepatnya mimpi, tadi malam. Aku  terbangun pada waktu mentari naik tidak terlalu tinggj, aku telah membuat janji pada Juna agar aku menjemputnya pukul Sembilan pagi hari ini dan saat ini, jam menunjukkan ke angka delapan.

Rumah Juna hanya berjarak 30 menit perjalanan dari rumahku, setelah bersiap-siap, aku pergi menjemput Juna tanpa pamit kepada ibuku. Pagi-pagi sekali, ibuku sudah pergi kepasar dan belum kembali hingga sekarang. Aku memanaskan mesin motor dan setelah itu aku berangkat menuju kerumah Juna yang berada dijalan Slovakia. Ya, sebuah jalan dengan nama negara. Juna tak membuatku menunggu lama, dia keluar dari rumahnya dan mengunci seluruh pintu, Juna adalah anak tunggal dari pasangan Bertrand Closvaki dengan Clarissa Hughens Dorrothy. Dia memiliki marga ayahnya yaitu Closvaki, sebuah marga yang terdiri dari orang-orang penebang kayu terbaik di Lostcity dan saat ini Juna hanya tinggal sendiri perihal orang tuanya harus melakukan perjalanan bisnis ke Surabaya. Sebuah kota di negara Indonesia dan Lostcity Sendiri adalah sebuah kota kecil di Eropa Utara.

“ Jun, kelihatannya kau baru memangkas rambutmu” sapaku yang melihat penampilan barunya mengenakan model rambut pendek. Sebelumnya, Juna memiliki potongan rambut lebat dan panjang namun sedikit ikal. Juna memakai sebuah carrier besar yang sudah pasti itu peralatan berkemah atau semisalnya, dia hanya tersenyum setelah mendengar ucapanku lalu duduk dibelakangku. Aku menghidupkan motorku, lalu kami mulai berjalan menyusuri kota Lostcity, hutan perbatasan Lostcity terletak diluar kota Lostcity, sekitar sejam lebih diatas motor tanpa berbicara, akhirnya Juna pun mulai angkat suara.

“ Kenshin, sebelum kita sampai di lokasi semalam, tempat aku memarkirkan mobilku. Nanti, di kiri ada sebuah gubuk penjaga. Nah, kita berhenti disana” ucapnya merekomendasikan tempat parkir. Kami pun sampai di sebuah gubuk yang direkomendasikan Juna, ternyata Juna pula kenal dengan pemilik gubuk tua itu.

“ Hey Juna, lama tidak jumpa.” Sapanya pada Juna dan melirik sedikit kepadaku. “ Ya, apa kau menyimpan kunci bangunan tua itu?” tanya Juna padanya. Pertanyaan itu membuatku heran. “ Tunggu, apa kau pemilik bangunan tua itu?” Tanyaku pada kenalan Juna. “ Tentu Juna dan tentu juga untukmu. Panggil aku James” Ucap pria tersebut yang tersenyum ramah padaku sembari menjulurkan tangan kanannya kepadaku. Jujur, saat itu aku merasa aneh terhadap perilaku James dan Juna.

Yang pertama, mereka mengetahui bangunan itu, tapi menurutku itu wajar sebab Juna sering kehutan untuk menebang dan James penjaga hutan, tapi kalau untuk memiliki kunci bangunan itu, sepertinya itu tidak wajar. Aku mencoba tenang. James masuk kedalam gubuk sederhananya, lalu mengambil sesuatu. Kami menunggu James keluar, setelah James keluar, dia memegang sebuah kunci yang diikat dengan beberapa kunci lainnya, lalu dia memberikannya kepada Juna.

“ Kelihatannya kita akan kedatangan tamu” ucap James dengan senyumnya, yang membuatku semakin curiga. Tanpa menghiraukannya, Juna mengajakku memulai penelusuran hutan menuju bangunan tua itu. Dipertengahan jalan Juna mengeluarkan dua buah kapak untuk menjaga-jaga dan dia memberikan salah satunya padaku.

“ Juna, apa yang kau sembunyikan dariku.” tanyaku penasaran. “ Haha, apa yang aku sembunyikan darimu.” ucapnya sembari memotong ilalang yang menghalangi jalan. Kami melewati jalan yang berbeda saat itu, jalan kali ini dipenuhi rumput ilalang yang tinggi. Tiba-tiba Juna menghentikan langkah kakinya.

“ Kenshin, sialan kita harus kembali.” ucap Juna yang sedikit terlihat panik. “   Kenapa? Ada apa?” ucapku heran. “ Tidak apa-apa, kita harus kembali saja.” ucapnya sambil menarikku dan kami berjalan kembali. Saat itu, aku hanya mengikuti ucapan Juna dan egoku seketika hilang. “ Lari!” perintah Juna, dia berlari diatas permukaan tanah penuh ilalang, Juna memiliki fisik yang kokoh, bahkan dengan menggendong sebuah carrier, dia mampu berlari jauh lebih cepat dariku. Aku yang tak tahu apa yang terjadi, mencoba berlari mengikuti Juna

“ Mereka! suku Tarmus mengejar kita.” ucapnya dengan terengah-engah berlari. “ Suku Tarmus” ucapku heran.

Saat kami berlari, aku melihat sesuatu seperti bergerak cepat didalam lebatnya ilalang yang tinggi,tidak jelas wujudnya seperti apa. Awalnya, aku mengira hanya satu, namun semakin menghitungnya, semakin banyak pula jumlahnya. Aku tidak terlalu fokus dengan jalan didepanku, karena fokusku telah teralihkan pada sesuatu yang bergerak cepat didalam ilalang.

“ Hey. Kita aman, mereka tidak mengejar kita lagi ”ucapku pada Juna dengan berlari dan hanya fokus pada sekelabat suku Tarmus yang telah berhenti mengejar kami. Lalu, tanpa sadar aku menabrak Juna yang telah berhenti. “ Ya, mereka tak mengejar ” ucapnya pelan yang telah melihat beberapa makhluk seperti kelinci sebesar tubuh anak kecil berusia delapan tahun, berdiri mengelilingi kami. Aku menghitung  mereka, mereka berjumlah sekitar 20-an.  Ekspresiku berubah menjadi tidak menentu, aku merasa takut dengan sedikit aneh, tanganku bergetar hebat melihat makhluk-makhluk seperti makhluk mitologi itu.

“ Tidak, apa aku bermimpi. Ini benar-benar membingungkan” terlintas dalam benakku.

Makhluk itu menodongkan sebuah tombak kearah kami. Saat itu, ingin rasanya aku melarikan diri dan meninggalkan Juna, namun itu tidak mungkin. Keberanianku seketika menghilang dan hanya terdiam di belakang Juna.

“ Matilah aku” begitulah pikiranku saat itu.

Suku Tarmus memiliki wujud seperti kelinci yang sangat buruk, mereka memiliki sebuah tanduk dikepalanya, berdaun telinga panjang dan lebar, menutupi pundak kiri dan kanannya, wujud mereka sangat menyeramkan dan berbeda dari kelinci pada umumnya, bulu yang menyelimuti mereka tidak terlalu memenuhi kulitnya dan satu keanehan lagi, mereka mampu berbicara, namun tidak dengan dialek sepertiku. Juna mencoba berbicara dengan mereka menggunakan sebuah bahasa yang tak aku pahami, aku merasa bahwa itu bahasa Gresogn, dan makhluk itu dengan fasih beradu argumen dengan Juna, Terjadi perdebatan antara suku Tarmus dan Juna. Aku merasa bahwa, ini benar-benar mimpi, dimana aku menyaksikan makhluk-makhluk aneh seperti makhluk mitologi yang berada di cerita urban atau pun cerita dongeng sedang mengelilingiku. Suku Tarmus terlihat seperti manusia kerdil hasil persilangan jackalope dengan manusia. Tak lama setelah berbincang. Terlihat suku Tarmus mulai menurunkan todongan tombaknya dan membiarkan kami jalan dengan sebuah pesan terakhir yang dia sampaikan kepada Juna. Lalu, suku Tarmus hilang dibalik ilalang yang tinggi.

“ Sungguh, biasanya suku Tarmus tidak pernah ramah. Siapapun yang bertemu denganya pasti akan mati, termasuk kami.” Gumam Juna padaku. “ Juna ini semua aneh. Apa aku bermimpi? Apa pesan terakhirnya,” ucapku. “ Tidak kawan, kau sedang keadaan sadar, apa perlu aku memukulmu? Pemimpin suku mereka berkata ‘Sampaikan berita gembira, dimana keturunan Landers mendapat penawar , agar kami bisa berbaur dengan manusia’.” Ucap Juna memberitahu kembali. “ Apa kau bercanda. Sungguh aku tak paham maksudmu?” tanyaku kepada Juna, dia hanya tersenyum dan tak menjawab pertanyaanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status