Share

BAB 6 BANG TOGAR

"Ini untuk Bagas, cuma lima ratus ribu, Abang belum gajian bulan ini." Togar menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan dari dompetnya ketangan Nabila.

"Jangan Bang, minggu lalu Bang Togar sudah ngasih uang buat beli susu Bagas."

"Tidak apa-apa ini uang simpanan abang sendiri, Mbak Fitri tidak tahu."

"Jangan Bang, sungguh nabila gak enak sama Mbak Fitri."

Sebenarnya kaka ipar Nabila sudah tahu jika tiap bulan suaminya akan menyisihkan uang satu setengah juta rupiah untuk Bagas dan terimakasihnya karena Nabila bantu mengurus ibu mereka. Tapi kadang Bang Togar juga masih sering tidak tega melihat kondisi Nabila. Biasanya Nabila baru akan menemuinya diam-diam seperti ini jika sudah sangat terdesak.

"Sudahlah Nabila, terima saja, Abang tahu kau sedang tidak bisa minta pada mantan suamimu."

Nabila malah kembali meneteskan air mata ketika Bang Togar memaksakan uang tersebut ke dalam genggamannya. Nabila memang sangat butuh uang tapi seperti ini membuat Nabila sangat sedih dan tidak berdaya.

"Terima kasih Bang." Nabila benar-benar sedang tidak memiliki pilihan. Padahal Nabila juga tahu berapa besar gaji kakaknya sebagai pegawai negri yang juga harus membiayai dua anaknya berkuliah.

"Biar Abang antarkan pulang."

Bang Togar sudah hendak berdiri sambil membayar makanan mereka ketika Nabila menghentikannya.

"Tidak usah Bang, Nabila naik angkot aja, tadi Nabila gak bilang papa kalau ketemu sama Abang."

Tadi Nabila memang berbohong pergi bertemu Moy yang mau menawarkan pekerjaan di salonnya.

"Nabila tidak mau papa ikut memikirkan masalah Nabila."

Ibu nabila sudah struk, mereka juga harus menjaga kesehatan sang papa agar tidak banyak pikiran.

"Naik taksi aja jangan naik angkot nanti Abang yang bayar."

"Tidak usah Bang, Nabila gak papa naik angkot. Lagipula Nabila juga mau berhenti buat beliin Bagas susu."

Walaupun Nabila tidak mengatakan sedang sangat butuh uang hanya untuk membeli susu, tapi sebagai kakak laki-laki, Togar bisa melihat kondisi adik perempuannya meski Nabila tidak sampai bicara jika sisa uang di dompetnya hanya tinggal satu lembar lima puluh ribuan.

"Ya sudah, hati-hati di jalan."

"Ya, Bang. Abang juga harus kembali ke kantor."

Nabila berpamitan dengan mencium punggung tangan kakak laki-lakinya. Tadi Nabila menemui abangnya ketika jam makan siang. Mereka bertemu di kafe tidak jauh dari kantor Togar, tapi hampir setengah jam perjalan untuk kembali ke rumah orang tua Nabila jika dalam kondisi lalulintas lancar.

Seperti yang nabila katakan tadi, dalam perjalanan pulang Nabila berhenti di mini market untuk membeli keperluan Bagas. Nabila membeli popok, susu dan beberapa biskuit. Nabila membelanjakan uang lima ratus ribu yang diberikan abangnya dengan rasa syukur tapi juga sekaligus pedih karena seharusnya semua itu menjadi tanggung jawab Riko bukan abangnya yang sampai harus ikut menyisihkan uang gajinya tanpa sepengetahuan sang istri. Nabila benar-benar merasa bersalah tapi juga tidak memiliki pilihan. Nabila hanya bisa mendoakan Bang Togar agar selalu sehat dan ditambah rejekinya karena Nabila tidak bisa membalas kebaikannya selain dengan doa.

Nabila pulang dengan membawa kantong belanjaan yang isinya juga cuma keperluan untuk putranya, paling tidak cukup untuk dua minggu. Papa Nabila sedang terlihat menyiram tanaman di halaman ketika nabila turun dari angkot.

"Dimana Bagas, Pa?" Nabila tersenyum untuk menutupi kegundahannya dari sang papa.

"Masih tidur."

"Dari sejak Nabila tinggal tadi?" tanya Nabila dengan nada agak heran.

"Ya, baru saja Papa lihatin masih tidur di depan TV."

Nabila langsung buru-buru masuk ke dalam rumah karena tidak biasanya Bagas tidur selama itu. Nabila segera memeriksa dahi putranya dan benar saja Bagas demam.

"Bagas, bangun sayang bunda sudah pulang." Nabila membangunkan putranya pelan-pelan dengan ciuman. Bocah laki-laki itu hanya menggeliat lesu. " Bagas bangun sebentar Bunda buatkan susu," bujuk Nabila supaya anaknya minum minuman hangat.

"Kenapa dengan Bagas?" tanya papa Nabila ketika melihat Nabila mengendong putranya utuk dia ajak ke dapur memanaskan air.

"Sepertinya Bagas demam Pa."

"Oh, Papa tidak tahu."

Papa Nabila langsung ikut mendekat untuk memeriksa suhu tubuh cucunya yang dari tadi memang hanya tidur tidak berlarian seperti biasanya.

"Nabila buatkan minuman hangat dulu biar keringatan, siapa tahu Bagas flu."

Nabila membuatkan susu sambil mengendong putranya karena anak laki-laki itu sedang tidak mau turun dan nampaknya akan rewel semalaman.

Nabila memberikan susu, roti dan membujuk Bagas agar mau makan sebelum memberinya obat penurun demam. Tadinya anak laki-laki itu masih rewel karena tidak suka minum obat tapi Nabila lega akhirnya Bagas tidak memuntahkan sirup turun panasnya.

Bagas sudah kembali lesu setelah minum obat karena efek kantuk dari obat tersebut. Sambil terus mengendong putranya Nabila mengetik pesan kepada Riko untuk memberitahu jika putranya sedang demam. Sepanjang malam itu Bagas juga terus rewel hingga Nabila tidak bisa istirahat dan belum makan sama sekali sejak siang. Riko juga tidak ada menelpon sama sekali, Nabila coba menahan dadanya yang memberat untuk berpikir positif jika mungkin Riko hanya belum membaca pesannya karena mungkin Novie yang membuka pesan.

Setelah Bagas mau tidur dan tidak terbangun ketika Nabila membaringkannya pelan-pelan, Nabila coba kembali menelpon Riko, sudah hampir tengah malam dan sama saja tidak dijawab. Nabila terus berusaha berpikir positif mungkin mantan suaminya sudah tidur, meski dulu biasanya Riko baru tidur setelah lewat tengah malam karena kadang masih harus lembur di ruang kerjanya.

Nabila memperhatikan Bagas yang sudah tertidur, bibir kecilnya merona kemerahan dan sedikit terbuka menghembuskan napas hangat karena demamnya belum juga turun setelah tiga jam minum obat. Padahal ketika Nabila tinggalkan pagi tadi putranya terlihat sehat dan ceria, tapi anak-anak di usia balita memang masih sangat rawan sakit dan perlu penjagaan ekstra. Nabila juga khawatir jika mungkin Bagas demam karena bisa ikut merasakan susana hati orang tuanya. Apa lagi sejak nabila dan Riko berpisah bagas juga cuma bertemu beberapa kali dengan Riko, mungkin anak laki-laki itu juga kangen dengan papanya.

Dulu Nabila pikir dirinya sudah sangat siap menghadapi segala resiko dari perceraian tapi nyatanya tetap tidak mudah ketika harus benar-benar di jalani. Terutama ketika harus mengurus anak yang sedang sakit seorang diri. Bukan karena rasa lelahnya yang harus ikut bergadang semalaman tapi lebih karena rasa cemasnya. Bagi seorang ibu jauh lebih baik ia sendiri yang menanggung rasa sakitnya dari pada melihat anaknya yang sakit meskipun itu hanya sekedar demam karena flu.

Nabila ikut berbaring di samping Bagas dan sama sekali tidak bisa memejamkan mata hingga pagi.

"Apa demamnya sudah turun?" tanya papa Nabila yang kembali menengok ke kamar cucunya.

"Belum, Pa." Nabila kembali memeras kompres untuk berusaha menurunkan demamnya.

"Sebaiknya kita bawa ke klinik biar Bang Togar yang antar."

Nabila mengangguk setuju karena memang tidak memiliki pilihan, Nabila sangat takut sebab demam Bagas sama sekali belum turun sejak semalam.

Akhirnya Bang Togar yang datang untuk mengantarkan Nabila dan putranya pergi ke klinik dokter anak.

"Apa Riko sudah kamu beri tahu?" tanya Bang Togar sambil menyetir.

"Sudah bang tapi sepertinya pesan nabila belum dibaca sama Mas Riko."

Togar masih berusaha untuk tenang meski sebenarnya sudah sangat keterlaluan jika Riko belum tahu putranya sakit sejak kemarin. Togar menemani Nabila sampai Bagas mendapatkan penanganan dan akhirnya memang harus menginap karena anak laki-laki itu mulai kehabisan cairan disebabkan dehidrasi.

Ketika Nabila menjaga putranya, Togar permisi untuk keluar dan diam-diam menelpon Riko. Panggilannya langsung diangkat karena nama Togar yang muncul di layar.

"Ya, Bang," jawab Riko yang sedang berada di kantor.

"Apa Nabila belum memberitahumu jika putra kalian sakit!" tegas Togar tanpa basa-basi.

"Nabila tidak memberitahuku."

"Cepat kemari dan lihat kondisi putramu!" Bang Togar tipe pria yang keras dia juga tidak suka laki-laki yang banyak bicara.

"Aku masih kerja Bang, Aku tidak bisa meninggalkan kantor begitu saja."

"Apa kau tidak bisa pergi untuk putramu!" nada sura Togar mulai meninggi karena dia saja ijin bolos dari kantor demi menemani Nabila dan putranya tapi Riko malah masih banyak alasan. "Aku tidak mau tahu! anak laki-laki itu anakmu, tanggungjawabmu meski adik perempuanku adalah ibunya!"

Jemyadam

JANGAN LUPA VOTE UNTUK DUKUNG CERITA BARUKU INI YA . AKU AKAN BERUSAHA UP BERSAAMAN DENGAN 'HOT NIGHT' seasons4

| 2
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Kikiw
selepet aja si riko
goodnovel comment avatar
Leni Riyana
seru ceritanya
goodnovel comment avatar
Ummu Shalma
gws bagas..!!!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status