LOGINCelina menatap jalan raya, langit mengeluarkan rintik hujan. Udara semakin dingin. Celine memeluk tubuhnya sendiri. Tubuhnya bersandar di jok mobil penumpang. Beberapa kali supir taksi melirik ke arahnya.
"Kenapa Anda melihat saya seperti itu Pak?" tanya Celina. Ia risih dengan tatapan supir tersebut. Apalagi ia pulang di jam rawan kejahatan. "Saya merasa tak asing dengan Anda Nona, maaf kalau membuat Anda takut," ungkap supir itu ragu. Ia masih menatap Celina dari kaca spion depan. "Apakah Anda putri sulung Alvin dan ibu Anda Denada?" Netra supir itu penuh harap. Ia sudah lama tak mendengar kabar istri dari Alvin. Alvin adalah ayah kandung Celina. Dulu ia juga supir taksi karena kecelakaan ayahnya meninggal dunia setelah dirawat tiga hari di rumah sakit. Sejak itu hidup mereka berubah drastis. Kehidupan semakin miskin dan sengsara. Ibunya harus banting tulang untuk membiayai kedua putrinya. Celina mendapatkan beasiswa Universitas Herd yang terkenal dengan murid berprestasi. Banyak para jenius lahir dari universitas tersebut begitu juga Celina anak yang pintar dan berprestasi. "Iya betul. Apa Anda teman ayahku?" "Iya. Saya teman ayahmu. Nama saya Dion kamu bisa panggil Paman Dion. Kamu Celina, kan? Kenapa kamu berada di hotel itu?" tanyanya menatap dari kaca depan. Senyum terukir jelas di bibir supir itu. Bertemu anak teman deketnya membuat dirinya terharu. Senyum di bibir berubah sendu apalagi melihat penampilan Celina. Gadis berpakaian dress terbuka pulang malam dan wajah menyedihkan membuat pria itu berpikir yang tidak-tidak tentu saja Celina mengetahui pikiran itu. "Iya aku Celina. Senang bertemu Anda . Di hotel tadi ada pesta. Teman saya mengadakan pesta di sana." Alasan yang masuk akal. Memang hotel yang dikunjungi Celina bukan hotel kaleng-kaleng justru hotel bintang lima Pria itu hanya mengangguk saja. Ia percaya kalau putri almarhum temannya tak akan berbuat macam-macam. Apalagi ayahnya Celina adalah pria baik dan bertanggung jawab. Celine mengeluarkan uang selembar setelah ia sampai di depan rumah. "Tidak usah. Buat kamu saja. Jagalah diri kalian. Jaga ibu kalian ia wanita sangat baik dan lembut." Pria itu melambaikan tangan setelah Celina berjalan menuju pintu rumahnya. Pintu terbuka kasar, wajah Riana muncul dengan wajah bantalnya. Gadis 17 tahun dengan rambut acak-acakan mencerca Celina. Ia tak bisa tidur di kamar jadi memutuskan tidur di sofa hingga kakaknya pulang. "Kakak itu kebiasaan. Kenapa kunci duplikatnya ditinggal di kamar. Aku menunggumu sejak tadi di sofa. Ponselku masih rusak." Celina terkekeh. Ia bersyukur masih memiliki adik yang sangat perhatian kepadanya. "Kakak ada kerjaan baru. Terburu-buru tadi. Nanti kita perbaiki ponselmu." Celina mengusap kepala adiknya dan duduk di kursi dapur. Ia berniat membelikan ponsel baru untuk adiknya setelah urusan ibunya selesai. Celina berjalan melewati adiknya. Riana memerhatikan cara berjalan Celina. "Kamu kenapa, Kak? Jalannya ngangkang gitu. Apa ada yang sakit?" "Aku tak kenapa-kenapa?" Celina mencari luka atau memar di tubuh yang terlihat. Bisa jadi Luis meninggalkan jejak mencurigakan. Tapi tadi Luis tidak melakukan kekerasan. "Apa Kakak mengalami sesuatu?" Riana menatap kakaknya lebih detail. "Kamu sakit, Kak?" Wajah Riana khawatir. Ia menyentuh lengan kakaknya. Celina memang merasa sesuatu mengganjal di bagian bawah tubuhnya, sangat tidak nyaman. Apalagi ia baru melakukan hubungan intim pertama kali. Mungkin itu yang membuat dirinya aneh. "Oh, aku sedang datang bulan agak sedikit tak nyaman.Ehm, sedikit nyeri saja. Tak apa. Sudah biasa begini." Celina memaksa diri untuk tersenyum. Adiknya begitu perhatian hingga semua yang ia lakukan hapal. "Bukankah kamu sudah datang bulan. Kenapa datang lagi?" Riana ingat baru minggu kemarin membelikan kakaknya pembalut. Ia pun merasa aneh. "Hormon. Kadang hormon berubah-ubah. Sudah malam. Tidurlah. Besok kamu sekolah." Celina bangkit dari duduk dan mendorong tubuh adiknya ke kamar dengan omelan dan nasihat yang tak disukai Riana. "Ck, aku sudah besar Kak. Bukan anak kecil lagi. Istirahatlah, aku sisakan makanan malam untukmu. Sup ada di panci tinggal hangatin saja." "Baiklah, terima kasih adikku. Tidurlah." Celina kembali ke kursinya. Ia duduk di meja dapur menatap makanan di atas meja. Semua makanan adiknya yang memasak. Ponsel Celina berdering ia mengambil dari tas kecilnya. Panggilan dari nomor asing yang tak dikenal. Celina abaikan panggilan itu. Tapi panggilan ke dua datang dari kantor polisi. Celina langsung mengangkat panggilan tersebut apalagi panggilan malam-malam begini. Pasti ada hal penting tentang ibunya. Celina was-was apakah sesuatu terjadi dengan wanita itu. Terakhir kali Denada, ibunya Celina menangis meraung-raung minta dikeluarkan dari tempat terkutuk itu. "Halo, Nona Celina sesuatu terjadi dengan ibu Anda. Segera datang ke rumah sakit kepolisian." Jantung Celina berdetak kencang dan mendengar ucapan dari pria yang kini menceritakan kondisi ibunya, ia segera berlari ke arah pintu kamar adiknya dengan napas memburu mengabaikan rasa nyeri yang sejak tadi dirasakan. "Riana, Ibu!" teriak Celina dan Riana terbangun menatap wajah kakaknya.Bab 6 Pagi-pagi sekali Celina sudah rapi dengan pakaian formal dan siap pergi ke perusahaan tempat bekerja ibunya. Denada hanya karyawan kantor biasa dengan pekerjaan serabutan. Perusahaan itu memang tak terlalu besar, tapi setidaknya bisa menghidupi anak-anak daripada harus berjualan keliling yang penghasilannya tak menentu. Umur Denada sudah 45 tahun hanya perusahaan itu yang menerimanya. Selama tiga tahun Denada bekerja di sana. "Ibu, aku akan berjuang membebaskan Ibu. Kita akan berkumpul lagi," ucap Celina dalam hati. Usahanya tidak akan sia-sia. Celina menghampiri perusahaan Surya Cipta yang menuduh korupsi 100 juta. Walau Denada mengelak, tapi tak ada satupun yang percaya. Semua bukti menyatakan Denada yang melakukan korupsi tersebut hingga akhirnya di penjara. Kalau memang ibunya korupsi pasti ada barang mewah yang dimilikinya, tapi sampai saat ini tak ada barang atau tabungan yang bernilai 100 juta. Mereka saja masih hidup pas-pasan. Tidak mungkin. Hasil penyelidik se
Bab 5 Setelah kelas usai Celina menunduk sepanjang jalan. Setiap kali nama Luis disebut teman-temannya jantung Celina semakin berdetak kencang. Dosen baru itu adalah Luis, teman kencan Celina. Kenapa harus dia yang menjadi dosennya. Apakah takdir memang sudah mengaturnya. Celina membuang napas panjang. "Benar-benar gak aku duga. Ganteng banget Pak Luis. Kalau begini aku betah dan gak mau bolos," ucap Vina sepanjang jalan membicarakan pria itu. Begitu juga yang lainnya. "Aku harus mendapatkan nilai bagus untuk mendapatkan perhatiannya. Cel, bantu aku belajar. Aku ingin mendapatkan nilai yang bagus." Celina tak menanggapi ucapannya. Vina baru menyadari sesuatu yang aneh dari Celina. Ia menahan lengan Celina agar berhenti berjalan. "Cel, muka kamu pucat banget. Kamu kenapa?" Vina menyentuh dagu Celina. "Gak apa. Aku pengen buru-buru pulang, aja. Malam ini harus kerja sebelumnya aku mau jenguk Ibu." Suara Celina lesu dan lemah. "Tapi ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku. Ad
Bab 4Keesok paginya Celina segera pulang ke rumah dan langsung ke kampus sedangkan Riana menemani ibunya di rumah sakit. Ia izin tidak masuk sekolah. Semua kebutuhan selama di rumah sakit sudah ia belikan dari makanan sampai minuman. Riana tak akan mau meninggalkan ibunya sendirian. Kini Celina duduk di kursi kantin kampus menikmati sarapan sebelum dosen datang. Kantung mata menghitam dan tubuh lemas. Rambut hanya diikat asal. Pakai kaos biasa dan jeans biru navy. Begitu simple penampilan gadis itu, tapi tetap cantik. Ia butuh asupan agar otaknya dapat menerima pelajaran. Setelah percakapan dengan Riana semalam, semuanya aman. Celina harus berbohong lagi kalau di hotel ada pesta temannya. Riana percaya jika kakaknya tak melakukan hal macam-macam. Pemilik kantin mengantarkan pesanan Celina. Gadis itu adalah pelanggan pertamanya. "Makanlah Celina jangan tidur," tegur pemilik kantin melihat kepala Celina di atas meja. Gadis itu memang sering tertidur di atas meja kantin. Beberap
Bab 3 Suara langkah kaki terdengar di lorong rumah sakit. Keadaan lorong sangat sepi dan senyap. Celina dan Riana bergandengan tangan mencari kamar ibunya. "Kamar Rose nomor 18, Kak." Riana mengingat hal itu. Mereka bertanya kepada perawat yang melintas. Beruntung menemukan salah satu perawat jaga apalagi rumah sakit tampak tak ada penghuninya."Di sana!" tunjuk Celina. Tangan mereka masih bertautan. Sejam lalu kabar itu diketahui mereka hanya saja ada kendala. Mereka sulit mendapatkan taksi karena malam semakin larut. Celina ingat teman ayahnya yang tadi mengantar pulang. Ia menghubungi pria itu, nomor yang sempat diberikannya tadi di dama mobil. Untung saja ia masih ada di sekitar tempat tinggal Celina dan menunggu penumpang baru. Hanya butuh dua puluh menit karena putaran jalan ke rumah Celina agak jauh. "Ibu Anda asmanya kambuh. Ia juga mengalami luka serius. Bagian perut tergores senjata tajam dan harus segera dioperasi." ucap penelepon yang mengaku sebagai polisi. Kalima
Celina menatap jalan raya, langit mengeluarkan rintik hujan. Udara semakin dingin. Celine memeluk tubuhnya sendiri. Tubuhnya bersandar di jok mobil penumpang. Beberapa kali supir taksi melirik ke arahnya. "Kenapa Anda melihat saya seperti itu Pak?" tanya Celina. Ia risih dengan tatapan supir tersebut. Apalagi ia pulang di jam rawan kejahatan. "Saya merasa tak asing dengan Anda Nona, maaf kalau membuat Anda takut," ungkap supir itu ragu. Ia masih menatap Celina dari kaca spion depan. "Apakah Anda putri sulung Alvin dan ibu Anda Denada?" Netra supir itu penuh harap. Ia sudah lama tak mendengar kabar istri dari Alvin. Alvin adalah ayah kandung Celina. Dulu ia juga supir taksi karena kecelakaan ayahnya meninggal dunia setelah dirawat tiga hari di rumah sakit. Sejak itu hidup mereka berubah drastis. Kehidupan semakin miskin dan sengsara. Ibunya harus banting tulang untuk membiayai kedua putrinya. Celina mendapatkan beasiswa Universitas Herd yang terkenal dengan murid berprestasi. Ban
Bab 1 "Berapa tarifmu?" Pria itu duduk di sofa kulit cream elegan di depannya tersaji wine dengan dua gelas cantik tertata rapi. Jas hitam menutupi tubuhnya yang atletis, tatapan mata tajam, mata bola coklat gelap yang dingin tanpa ekspresi. Alis tebal, rahang tegas dan keras. Wajahnya dihiasi jambang halus. Ruangan luas dengan pencahayaan hangat menampilkan ranjang king size berlapis seprai putih bersih di luar jendela memperlihatkan pemandangan kota yang berkilau. "100 Juta Om," ucap gadis dihadapannya, Celina. Wajah tertunduk tak berani melihat wajah pelanggan pertamanya. Kedua tangan meremas dress memperlihatkan kaki dan kulit tubuhnya. "Apa kamu yakin bersih?" tanya pria itu menatap ragu. Luis Suarez, pria yang baru datang dari luar negeri ingin melepaskan lelah dengan cara menjamah wanita. Ia bukan pemain hanya ingin bermain sekali-kali saja. Perjalanan 15 jam membuat dirinya ingin bercinta. Ia harus datang ke kota Barlian atas perintah orang tuanya. Dengan bantuan t







