Bab 2“Aku pernah melihatnya di dekat rumah Angga.” Mati. Jangan sampai mereka tahu kalau itu adalah istriku. Mau ditaruh di mana mukaku ini. Argh! Wanita itu sungguh memalukan. “Kamu salah kali.” Aldo memandang Heri. “Bener. Aku lihat dia waktu mau ke rumah Angga.” Mendengar hal itu aku panik. “Dia tetanggamu ya, Ngga?” tanya Aldo “Kamu kenal enggak, Ngga?” tambah Soni. Lekas aku menggelengkan kepala. Tak ingin mereka tahu yang sebenarnya, akhirnya aku berkata, “dia pembantuku.” Hah! Gila! Itu yang dikatakan teman-temanku. Mereka juga menanyakan, bagaimana bisa aku kenal dengan Mira dan memperkerjakannya. Aku berdalih pada mereka, karena pria-pria itu tak mau bertanggung jawab, Mira bekerja sebagai asisten rumah tangga untuk menafkahi putranya. “Mau dong kapan-kapan aku berkenalan dengan gadis itu.” Hah! Entah apa yang hendak dilakukan Soni. Pria itu benar-benar gila. “Mau apa, Lo?” Heri tertawa mendengar pertanyaan Soni. “Mau gua nikahin.” Dua orang lain tertawa mende
Sudah pukul empat sore, Mas Angga belum juga pulang. Beberapa kali aku menghubunginya pun tak ada jawaban. Harap-harap cemas, aku menunggu kepulangannya. Beberapa kali aku berpikir, bila Mas Angga akan pulang sebentar lagi. Iya, sebentar lagi yang ke sekian kali aku menunggu.Lelah, akhirnya aku memilih duduk di ruang keluarga. Dengan harapan pria itu akan segera pulang dan kami bisa bersama ke rumah Mama Sandra untuk makan malam di sana.“Zahir, kalau main hati-hati.” Aku menatap putraku yang sedang bermain mobil-mobilan tak jauh dariku. Sesekali bocah itu berdiri menyentuh barang-barang yang ada. Hal itu membuatku takut barang-barang itu jatuh menimpanya.Drrt! Drrt!Ponselku tiba-tiba bergetar. Tanda sebuah panggilan masuk. Segera aku meraih ponsel yang ada di atas meja kaca. Berharap panggilan tersebut dari Mas Angga. “Ya, Ma.” Ternyata Mama Sandra yang menanyakan aku sudah sampai mana. Di situ aku merasa bingung harus menjawab apa. Beberapa kali kami sudah tak datang memenuh
“Mas, kamu sudah pulang?”Aku tak menjawab pertanyaan istri jalangku itu. Pertanyaan yang tidak penting. “Kamu sudah makan, Mas?” Aku mengangguk lalu bergegas menuju kamar. Rasanya muak melihat wajah wanita itu. Badanku terasa lelah usai keluar bersenang-senang dengan teman-temanku. Kami berkaraoke untuk melepas penat. Mereka bertiga sungguh luar biasa. Mempunyai semangat yang membara. Hingga larut malam, kami baru pulang.Setibanya di kamar, aku bergegas mandi. Selain badan sudah terasa lengket, rasa kantuk, sudah tak tertahankan lagi.Keluar kamar mandi, aku mencium aroma segar jahe. Benar saja, di atas mejaku ada secangkir susu hangat. Aku memilih mengabaikannya. Aku tidak ingin wanita besar kepala kalau aku meminumnya. Apalagi setelah mengingat kejadian pagi tadi. Sungguh memalukan.Gegas aku mengambil sebuah kaos dan celana panjang berwarna hitam. Setelah memakainya kurebahkan diri, bersiap untuk tidur. Namun, baru saja hendak memejamkan mata, ponselku bergetar.Aku bangun unt
Pov Mira Aku menikmati udara segar di halaman bersama Zahir. Bocah kecil itu, asyik mengayuh sepeda roda tiga pemberian Mama Santi, sebagai kado ulang tahun kedua. Jagoan kecil itu, tertawa ketika aku berlari dan berhenti di hadapannya untuk menghadang. Ketika berhasil menangkapnya, kuhujani bocah kecil itu ciuman. Kami tak hanya berdua, pagi itu. Ada Mama Sandra dan Mas Angga yang duduk di teras. Mama, datang pagi tadi. Rindu dan khawatir mendengar Zahir sakit, menjadi alasan utama. Sedangkan Mas Angga, tidak berangkat kerja karena tak enak badan. Sejenak, aku menatap mereka. Entah apa yang sedang dibicarakan. Tak berselang lama, Mama Sandra berdiri dan berjalan menghampiri kami. Sedangkan Mas Angga, tergesa masuk dengan pandangan fokus pada ponselnya. Sepertinya ada hal penting atau, karena Naura. “Zahir.” Mama mendekati putraku itu. Melihatnya, aku pamit untuk menyusul Mas Angga. Aku beralasan ingin tahu keadaan pria itu. Sebenarnya, aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya
Pov AnggaSemalaman pikiranku berkecamuk. Rasa benci membuatku mengatakan hal buruk pada Mira. Sungguh, aku tidak tahan dengan semua yang terjadi. Terutama, kesalahan menikahinya. Berada dalam satu kamar dengannya, bukan berarti aku akan menyentuhnya. Kami tak tidur di ranjang yang sama, Mira tidur di lantai. Jijik rasanya bila dekat dengan wanita itu. Tengah malam, aku terjaga. Samar aku mendengar suara isak tangis. Mira. Itu artinya, wanita itu menangis semalaman. Tega tak tega, memang itu kenyataannya. Tak bisa tidur kembali, aku meraih ponsel yang ada di dekat bantal. Ada banyak pesan dan panggilan. Dari Naura. Seperti biasa, dia tak bisa tidur. Aku tak membalas pesan Naura. Mungkin saat ini dia sudah tidur. Apalagi tak ada tanda dia sedang online. Kembali kuletakan ponsel ke samping bantal. Bersamaan itu ponselku menyala, ada panggilan masuk. Ponsel memang kusunyikan agar tak mengganggu suara deringnya. Naura. Sejenak aku melirik Mira. Suara isaknya masih terdengar. Akhirn
POV MIRAAku tak tahu harus berkata apa. Aku memang menangis semalaman. Perkataan Mas Angga begitu menusuk hati. Aku memang wanita kotor dan tak berharga. Apa yang terjadi kala itu hanya ketakberdayaan. Iming-iming cinta membuatku tergoda. “Masak sih, Ma?” Aku memegang wajah, coba menerangkan pada Mama Sandra kalau aku dalam keadaan baik-baik saja. Aku juga membohongi wanita yang telah melahirkanku itu, kalau tak menangis semalam. Usia menyiapkan makanan, aku duduk dan sarapan bersama mereka. “Mir, wajahmu pucat, apa kamu sakit?” Mas Angga memegang dahiku. Aku tahu itu hanya kepura-puraan agar dia terlihat baik di mata Mama Sandra. “Aku baik-baik saja.” “Apa perlu mama antar ke dokter?” tanya Mama Sandra. Lekas aku menggeleng. “Mira hanya perlu istirahat saja.” Kami lantas melanjutkan makan dalam diam. Seperti biasa, aku mengantarkan Mas Angga hingga teras rumah untuk membawakan tas kerjanya. Terkadang, aku merasa, diri ini hanya seorang pembantu untuknya. Bedanya, kalau pem
Badan terasa sangat lelah. Hari ini, hari yang sibuk untukku. Usai pulang bekerja, aku berkeliling mencari rumah kontrakan untuk Naura. Andai rumah lama milik keluarganya tak dijual, pasti dia bisa datang kapan saja.Pukul sebelas malam, aku baru tiba. Seharusnya, aku pulang pukul sembilan tadi. Aldo menelepon, dia mengajakku nongkrong di kafe.Selepas mandi, aku merebahkan diri. Badan terasa pegal semua. Sejenak aku melirik ponsel yang ada di dekat bantal. Menyala. Ada beberapa pesan masuk. Naura. Wanita itu sejak kemarin tak henti-hentinya menelepon dan mengirimkan pesan. Suasana hatinya sedang buruk karena pertikaian kedua orang tuanya.Sore tadi, Naura dan ibunya memilih keluar dari rumah. Ayahnya sudah di luar kendali. Tak hanya melukai ibunya secara batin, pria itu juga memukulinya. Sementara mereka tinggal di rumah teman ibunya. Rencana, besok pagi mereka akan kemari. “Ngga, aku tak bisa tidur.” Hampir tiap malam, Naura berkata seperti itu. Hampir tiap malam juga aku menemani
Jalan macet sore itu. Suara klakson kendaraan beberapa kali terdengar. Mereka, para pengemudi tidak sabar untuk bisa tiba ke tempat tujuan. Begitu juga denganku. Ya, aku harus menjemput Naura dan ibunya di bandara. Tak ingin di a risau menunggu, akhirnya aku mengirimkan pesan kalau sedang terjebak macet. Satu jam berlalu, akhirnya aku tiba di tempat tujuan.Dari jauh, aku memandang di depan terminal kedatangan. Naura mengirimkan pesan kalau dirinya sudah berada di depan. Dari jauh, aku memandang, seorang wanita dengan mengenakan atasan tunik berwarna jingga dan bawahan leging berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan dada.Wanita itu masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Hanya saja, penampilannya kini lebih dewasa. “Naura.” Dadaku berdebar hebat ketika mendekati wanita itu. Sama seperti ketika pertama kali aku menyatakan cinta padanya.“Angga.” Pandanganku berpindah pada wanita yang ada di samping Naura. Segera kuraih tangan wanita itu dan menciumnya takzim.Tanpa basa