Setahun berlalu tidak ada perubahan sedikit pun pada bangunan-bangunan kampus selain pada parkiran mobil yang telah bertambah lahannya. Setidaknya Serena tidak perlu lagi rebutan sana-sini dengan mahasiswa lain. Begitu juga dengan gedung perpustakaan ini yang masih saja menggunakan interior klasik membosankan. Tidak heran selain mahasiswa akhir yang sedang mengerjakan skripsi atau pun tesis tidak ada mahasiswa lain yang berminat untuk menetap di perpustakaan.
"Gue penarasan siapa yang pertama kali menciptakan skripsi sampai harus jadi syarat kelulusan begini?" Gumam Bianca miris di depan layar laptopnya. "Apa dia nggak sadar kalau udah jadi beban jutaan mahasiswa di bumi?"
"Beratkan skripsian? Ngulang aja temenin gue." Kata Serena santai. Serena benar-benar tidak punya teman di kelas saat ini. Sudah hukum alam, ketika kamu populer di kalangan pria maka para wanita akan membencimu.
"Gue kira lo nggak akan balik kuliah lagi." Kata gadis lain di sana yang juga sedang memeras seluruh kemampuan otaknya, Sarah.
Serena jadi melengos. "Ya kalau lo mau menafkahi karena gue di coret dari daftar keluarga sih, nggak masalah." Katanya teringat ancaman sang ibunda.
Sejujurnya Sarah masih penasaran kenapa Serena tiba-tiba menghilang setahun lalu. Gadis itu cukup populer namun tiba-tiba hilang tak berkabar yang kemudian status di sistem akademiknya berubah dari mahasiswa aktif menjadi cuti. Dan sekarang juga tiba-tiba datang seperti tak terjadi apa-apa.
Merasa jengah diperhatikan, Serena menoleh pada Sarah. "Apa, sih?"
"Lo hamil, ya? Cowok lo enggak mau tanggung jawab, jadi lo ke luar negeri buat melahirkan? Iya kan? Ngaku lo?!"
Serena menganga tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Geez, for god's sake. Seriously? Did i look like wanna have a child? Please, kondom harganya lebih murah dari siomay abang-abang."
“Ya terus kenapa lo tiba-tiba kabur? Banyak utang lo? Perusahaan bokap lo bangkrut? Jangan-jangan lo pengedar? Atau lo habis rehabilitas?”
Serena melotot. "Siapa yang kabur?!" Serunya tidak terima.
"Tiba-tiba nggak ngampus, apartement kosong, nomor mati semua. Apa namanya kalau bukan kabur?" Semprot Sarah tak mau kalah.
"Anggap aja gue healing, biar kayak orang-orang jaman sekarang."
"Healing my ass!" Umpat Bianca kesal. Kepalanya sudah pusing memikirkan pendahuluan skripsi ditambah lagi dengan dua temannya yang ribut.
Serena mencibir. "Gue tahu lo berdua nangis setelah ketemu gue tadi pagi."
Bianca mengalihkan pandangan ke kanan dan kiri salah tingkah. "Nangis? Apa itu? Jenis buah-buahan?"
"Oh, itu yang kulit nangis kini ada ekstraknya." Sarah ikut meracau tak jelas.
Serena mengumpat tanpa suara lalu memutuskan untuk bangkit dan pergi menjauh agar tidak tertular teman-teman nya yang mulai error. Sekaligus mengelakan diri agar dua temannya itu tidak lanjut menuduh macam-macam. Serena hanya masih belum ingin membuka ceritanya.
Sebenarnya perpustakaan kampus ini tidak begitu buruk, kesan vintage-nya benar-benar terasa. Memang mahasiswa jaman sekarang saja yang lebih suka mencari di internet ketimbang perpustakaan. Melewati rak-rak novel gadis itu bergidik. Serena tidak suka membaca buku terutama buku fiksi. Untuk apa membaca buku karangan yang bahkan si penulisnya saja tidak mampu merealisasikannya. Konyol, bukan?
Hingga Serena memundurkan kembali kakinya beberapa langkah ingin memastikan penglihataannya pada rak buku terakhir yang baru saja ia lewati. Laki-laki menyebalkan yang kemarin menabraknya ada di sana sedang duduk lesehan dengan beberapa buku di samping kanan dan kirinya. Sangat fokus sekali dengan laptop di pangkuannya. Serena mengulas senyum senang karena ia tidak perlu susah payah untuk mencari cowok itu.
"What you doing here, dude?"
Daffin mendongak dan langsung menyipitkan mata tak suka ketika bertemu pandang dengan Serena. "Do what you want to do then leave me alone."
Tapi Serena malah menekuk lututnya tepat di depan laki-laki itu, tangannya bahkan terulur membenarkan letak kacamata Daffin yang turun membuat laki-laki itu mengernyit heran.
"Didn't I tell you to leave?"
"You told me to do what I want to do first." Jawab Serena enteng.
"I see." Gumam Daffin sambil mengangguk paham. "So, you can leave right now?" Tanyanya kemudian.
Serena mendelik samar. Bukan seperti ini reaksi yang biasa Serena dapatkan dari seorang laki-laki. Gadis itu menggeram dalam hati.
"Do you even know who am I?"
"I do not."
"Kalau begitu mau mengenal gue lebih jauh?"
"Nggak, makasih." Daffin kembali mengalihkan pandangannya pada monitor laptop di pangkuannya.
Walau begitu Daffin bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya gadis itu inginkan. Ia tahu Serena sudah terkenal sebagai bad bitches yang flirty sana-sini sejak semester awal. Ia juga tahu hampir semua laki-laki di sini mengejar senior cewek satu itu. Sudah sering Daffin mendengar akan taruhan untuk mendapatkan seorang Serena namun tidak pernah ada yang berhasil. Serena tahu dan malah terang-terangan mencibir akan hasil taruhan terlalu sedikit. Padahal pernah ada yang mempertaruhkan Mercedes Benz untuk laki-laki yang berhasil.
Serena tertawa tak percaya. "Seriously? Lo itu transgender, ya?
Daffin mendelik tak terima. "Apa hubungannya dengan transgender!?"
"Karena lo nggak minat sama gue?" Jawab Serena sambil membentuk tanda petik dengan dua jarinya.
"Apa semua cowok harus suka sama lo?"
Serena menggeleng santai tak merasa sakit hati sama sekali. Justru ia mencondongkan tubuh untuk mengikis jaraknya dengan Daffin.
"Wh—what you going to do?"
"Just a minute, look into me." Katanya cepat.
Daffin mengerjap cepat menghindari tatapan Serena. Gotcha! Reaksi seperti ini yang biasa Serena dapatkan. Beginilah reaksi normal para laki-laki yang biasa dia temui. Tatapan bergetar yang seperti kehilangan fokus. Setidaknya Serena telah membuktikan bahwa laki-laki itu bernar-benar normal.
Daffin berdeham ringan. "Hey, listen. I didn't—"
Seluruh kata-katanya terputus bersamaan dengan Serena yang meraih kerah kemeja Daffin. Serena mendaratkan bibirnya pada bibir laki-laki itu. Bisa Daffin rasakan bulu mata gadis itu di pipinya. Hanya beberapa detik hingga Serena menarik diri. Daffin langsung menoleh ke kanan dan kiri memastikan tidak ada siapa pun di sekitarnya.
"What was that for!?" Tanya Daffin kesal.
Serena membasahi bibir bawahnya dengan tenang. "Ehm, experiment?"
Daffin makin mengernyit, ingin sekali meneriaki perempuan di hadapannya itu. Sebaliknya Serena sangat menikmati ekspresi kesal cowok itu. Tangannya kembali terulur namun langsung Daffin tepis dengan sigap membuat Serena terkekeh pelan.
"Lipstik gue nempel, by the way.”
Daffin mengelap kasar bibirnya dengan punggung tangan. Serena memperhatikan itu sambil tersenyum miring. Entahlah, seharusnya ia merasa terhina namun pada kenyataannya Serena malah merasa senang. Ia sangat menikmati ekspresi kesal Daffin.
“Don’t touch me, You Chick!” Sergah Daffin keras ketika tangan Serena ingin menyentuhnya.
Serena mendengus samar karena sebenarnya gadis itu hanya ingin mengacak rambut Daffin. “Lo yakin bukan cowok jadi-jadian? Kalaupun gue cium seorang perempuan juga juga kayaknya enggak akan semarah lo, serius.”
“Fuck your mouth off.”
Serena mengacungkan telunjuknya pada Daffin. “Languange, babe.”
“Pardon? Who is your babe!?”
“Masih tanya?”
Serena lagi-lagi menaikan kacamata Daffin yang sedikit turun dengan telunjuknya, tak mempedulikan sama sekali tatapan tajam Daffin yang seakan sudah siap untuk melemparkannya ke dalam lubang buaya.
“Jadi Daffin Pradipta, mulai sekarang lo punya gue. Okay?”
Kelas yang satu selesai, kemudian kelas lainnya akan dimulai dalam beberapa waktu. Begitulah siklus perkuliahan. Rencana awal Serena untuk menunggu kelas selanjutnya adalah pergi ke perpustakaan untuk menemui Bianca dan Sarah sekaligus berharap bertemu juga dengan Daffin. Walau setelah ia cium, Daffin tidak lagi menampakan diri di perpustakaan. Cukup membuat Serena kesal karena ia merasa tak diacuhkan. Ditambah lagi hari ini Bianca dan Sarah tidak datang ke kampus karena jadwal bimbingan mereka dibatalkan.Jadilah Serena melangkahkan kakinya ke lab komputer tempat biasa mereka praktikum setelah tadi menghubungi Wildan—si penanggung jawab lab komputer I—untuk memastikan tidak ada praktikum yang sedang berlangsung. Namun siapa sangka ternyata malah ada manusia yang sedang ia cari-cari di sini. Mungkin dewi keberuntungan mulai kasihan padanya."Jadi lo ngungsi ke sini, ya?" Tanya Serena tepat setelah Daffin menyadari kehadirannya."Ngungsi? Apa
Yang namanya tugas kelompok itu pasti bukannya menjadi ringan tapi malah akan menjadi beban. Makanya Daffin sangat-sangat membenci tugas kelompok. Sejak masa sekolah laki-laki itu tidak segan untuk menghapus nama anggota kelompoknya yang tidak membantu. Karenanya tidak sedikit yang memandang Daffin sinis. Dan kejadian seperti itu tentu saja terulang lagi di Universitas sehingga banyak teman-temannya yang perlu berpikir dua kali untuk satu kelompok dengan Daffin.Awalnya Daffin merasa tidak masalah dengan daftar kelompok yang dibagikan karena hanya ada namanya dan nama Serena sebagai anggota kelompoknya. Dengan kemampuan Serena, Daffin yakin ia tidak akan kesulitan.Setidaknya begitu pemikiran Daffin sebelum kenyataannya Serena lagi-lagi tidak menghadiri kelas Pak Galendra minggu ini. Tanpa keterangan yang jelas. Sebenarnya kemana gadis itu?Seperti semesta yang ingin membantunya, siang ini Daffin bertemu dengan Serena di depan ruang dosen. Perempuan itu sedang b
Perempuan dalam balutan gaun berwarna merah maroon itu mengerjap tak kalah bingung. Serena memutar cepat otaknya untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia memang selalu berharap untuk bisa bertemu dengan Daffin namun bukan berarti harus bertemu di tempat seperti ini juga. Rambut gadis itu yang biasanya berwarna-warni kini sudah berganti warna menjadi cokelat tua."Gue tahu lo terkejut karena sama gue juga. Tapi apa lo harus seterkejut itu?""Melihat lo di sini itu lebih nggak mungkin daripada melihat alien di luar angkasa." Desis Daffin.Serena mendelik. "Dan lo sendiri ngapain di sini?""She is my cousin."“Siapa?” Kernyit Serena menoleh ke kanan dan kiri masih tidak bisa paham.“The bride, of course.”Mata Serena membulat, tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka. Ini fakta paling mengejutkan yang pernah ia dengar selama hidup. Daffin dan Cath adalah saudara sepupu? Apa semesta se
"Lo enggak benar-benar suka sama si cupu kan? Selera lo jadi rendah sekarang?"Serena melirik sinis laki-laki di depannya itu. Kepalanya sudah sakit karena kuis dadakan dari kelas barusan dan sekarang malah dihadang oleh manusia yang sangat terobsesi dengannya ini. Ingin sekali Serena melempar bola bowling ke kepala cowok itu. Ia pikir setelah setahun tak melihatnya laki-laki itu akan sembuh."Kalau Daffin rendah, lo apa? Barang gagal produksi?"Adit membuang napas marah. "Apa sih yang lo lihat dari Daffin?"Kucing depan kampus pun tahu bagaimana lebih-nya seorang Daffin dari cowok yang otaknya hanya sebatas tali bra perempuan. Serena jadi tertawa sarkas."Jauh banget kali kalau dibandingkan sama lo." Jawab Serena enteng.Adit melotot tak terima. "Setahun enggak kuliah otak lo jadi korslet, yah? Lo bandingin gue sama cowok kuper itu?"Serena setuju Daffin memang sangat-sangat kurang pergaulan. Itulah alasan satu-satunya yang paling ma
Serena berani jamin pada awalnya ia tak berniat sama sekali untuk mengajak Daffin datang ke tempatnya. Ajakan kencan yang ia lontarkan di kelas tadi juga hanya iseng semata. Apalagi perihal mengerjakan tugas, tak ada keinginan sama sekali.Tapi melihat bagaimana Daffin merespon membuat gadis itu jadi merasa tertantang. Tanpa berpikir atau ragu sedikit pun laki-laki itu terang-terangan menolak. Serena sudah menebak memang, ia pasti akan ditolak. Tapi ia tak menyangka kalau ditolak itu sebegini menggores harga dirinya.Maka di sinilah mereka sekarang. Di ruang tamu unit apartement Serena. Unit mewah dengan biaya sewa yang jelas tak ingin Daffin kira-kira.Bukannya Daffin memiliki pikiran yang agak melesat jauh ke mana-mana, tapi laki-laki itu telah mempersiapkan mental dan rohani-nya sejak pertama kali melangkahkan kaki dari pintu masuk. Karena jelas ini adalah Serena. Perempuan yang hobi menyerang kapan saja. Tapi diluar perkiraan, Serena tidak melakukan apa pun.
"Want to beg, eh?" Menelan umpatannya dalam hati, Serena berusaha mengatur dirinya sendiri. Gadis itu tidak menyukai situasi saat ini. Seharusnya ia yang memegang kendali. Harusnya ia yang membuat laki-laki itu frustasi. Kenapa justru sebaliknya? Tidak, Serena menolak untuk disebut frustasi. Gadis itu hanya sedang merutuki tubuhnya sendiri karena terlalu peka terhadap sentuhan. Sejak Serena mengambil gerakan untuk duduk di atasnya, Daffin sudah meraung dalam hati. Laki-laki itu memang tidak terlihat mengumbar apa-apa namun percayalah Daffin tetap seorang pria normal. Perempuan secantik Serena kini berada di pangkuannya, pria normal mana yang bisa baik-baik saja? Yang jelas bukan Daffin. Walau selalu menolak, faktanya laki-laki itu tidak pernah benar-benar menolak ketika Serena menyentuhnya. Daffin tahu dengan pasti menghadapi Serena itu harus dengan tenang mengikuti arus yang sengaja gadis itu buat. Dengan begitu maka kendali pun berhasil didapatkan. Tak mempedulikan cengkraman Sere
Bukan Daffin yang tidak bisa menahan umpatannya ketika bel apartement Serena berbunyi. Mau tak mau melepaskan rengkuhannya dari gadis itu dan meraup wajahnya agar bisa berpikir jernih. Serena berdiri di sana dengan muka tertekuk namun dalam hati merasa bersyukur karena ada yang mengganggu sehingga ia dan Daffin masih bisa bertahan di zona aman. "Lo berantakan," Daffin mengingatkan. Serena menunduk melihat kondisinya sendiri. Kemeja yang ia kenakan bagian kerahnya sudah terbuka hingga memperlihatkan bahunya. Serena membenarkan sedikit bentuk kemejanya dan menyisir helaian rambutnya dengan tangan. Kemudian langsung menuju pintu untuk melihat siapa yang berkunjung ke rumahnya. Melalui intercome, perempuan itu bisa melihat siapa orang di balik pintu. Serena membeku beberapa detik sebelum mengumpat kemudian. Galendra Wijaya ada di sana. Serena berani bertaruh, laki-laki itu pasti sudah berada di ambang kesabarannya sampai-sampai memutuskan untuk datang ke
Serena mengusap telinganya yang mulai terasa perih. Bukan luka sungguhan, hanya efek samping dari mendengarkan ocehan Bianca dan Sarah tentang progress skripsi mereka yang tak kunjung menemukan titik terang. Kena coretnya satu baris, omelannya satu alinea. Apalagi kalau satu bab hampir semua paragrafnya terdapat coretan merah. Bianca dan Sarah langsung ingat pada tuhan seketika.“Percuma gue punya teman pinter banget, IP-nya udah kayak jumlah member Blackpink tapi ternyata enggak bisa diandelin.”Serena nyaris melemparkan sumpitnya pada Bianca yang baru berbicara barusan. “Lo dapat judul juga dari gue heh, Maemunah!”“Iya ini gara-gara judul dari lo gue jadi serasa ketemu Dajjal tiap kali bimbingan!”Soalnya judul yang diusulkan oleh Serena itu menarik perhatian dosen pembimbing Bianca, tapi ternyata cukup rumit untuk dilaksanakan.“Gue bisa bantu untuk urusan programing, tapi kalau pembah