Share

02 | Lips on Mine

Setahun berlalu tidak ada perubahan sedikit pun pada bangunan-bangunan kampus selain pada parkiran mobil yang telah bertambah lahannya. Setidaknya Serena tidak perlu lagi rebutan sana-sini dengan mahasiswa lain. Begitu juga dengan gedung perpustakaan ini yang masih saja menggunakan interior klasik membosankan. Tidak heran selain mahasiswa akhir yang sedang mengerjakan skripsi atau pun tesis tidak ada mahasiswa lain yang berminat untuk menetap di perpustakaan.

"Gue penarasan siapa yang pertama kali menciptakan skripsi sampai harus jadi syarat kelulusan begini?" Gumam Bianca miris di depan layar laptopnya. "Apa dia nggak sadar kalau udah jadi beban jutaan mahasiswa di bumi?"

"Beratkan skripsian? Ngulang aja temenin gue." Kata Serena santai. Serena benar-benar tidak punya teman di kelas saat ini. Sudah hukum alam, ketika kamu populer di kalangan pria maka para wanita akan membencimu.

"Gue kira lo nggak akan balik kuliah lagi." Kata gadis lain di sana yang juga sedang memeras seluruh kemampuan otaknya, Sarah.

Serena jadi melengos. "Ya kalau lo mau menafkahi karena gue di coret dari daftar keluarga sih, nggak masalah." Katanya teringat ancaman sang ibunda.

Sejujurnya Sarah masih penasaran kenapa Serena tiba-tiba menghilang setahun lalu. Gadis itu cukup populer namun tiba-tiba hilang tak berkabar yang kemudian status di sistem akademiknya berubah dari mahasiswa aktif menjadi cuti. Dan sekarang juga tiba-tiba datang seperti tak terjadi apa-apa.

Merasa jengah diperhatikan, Serena menoleh pada Sarah. "Apa, sih?"

"Lo hamil, ya? Cowok lo enggak mau tanggung jawab, jadi lo ke luar negeri buat melahirkan? Iya kan? Ngaku lo?!"

Serena menganga tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Geez, for god's sake. Seriously? Did i look like wanna have a child? Please, kondom harganya lebih murah dari siomay abang-abang."

“Ya terus kenapa lo tiba-tiba kabur? Banyak utang lo? Perusahaan bokap lo bangkrut? Jangan-jangan lo pengedar? Atau lo habis rehabilitas?”

Serena melotot. "Siapa yang kabur?!" Serunya tidak terima.

"Tiba-tiba nggak ngampus, apartement kosong, nomor mati semua. Apa namanya kalau bukan kabur?" Semprot Sarah tak mau kalah.

"Anggap aja gue healing, biar kayak orang-orang jaman sekarang."

"Healing my ass!" Umpat Bianca kesal. Kepalanya sudah pusing memikirkan pendahuluan skripsi ditambah lagi dengan dua temannya yang ribut.

Serena mencibir. "Gue tahu lo berdua nangis setelah ketemu gue tadi pagi."

Bianca mengalihkan pandangan ke kanan dan kiri salah tingkah. "Nangis? Apa itu? Jenis buah-buahan?"

"Oh, itu yang kulit nangis kini ada ekstraknya." Sarah ikut meracau tak jelas.

Serena mengumpat tanpa suara lalu memutuskan untuk bangkit dan pergi menjauh agar tidak tertular teman-teman nya yang mulai error. Sekaligus mengelakan diri agar dua temannya itu tidak lanjut menuduh macam-macam. Serena hanya masih belum ingin membuka ceritanya.

Sebenarnya perpustakaan kampus ini tidak begitu buruk, kesan vintage-nya benar-benar terasa. Memang mahasiswa jaman sekarang saja yang lebih suka mencari di internet ketimbang perpustakaan. Melewati rak-rak novel gadis itu bergidik. Serena tidak suka membaca buku terutama buku fiksi. Untuk apa membaca buku karangan yang bahkan si penulisnya saja tidak mampu merealisasikannya. Konyol, bukan?

Hingga Serena memundurkan kembali kakinya beberapa langkah ingin memastikan penglihataannya pada rak buku terakhir yang baru saja ia lewati. Laki-laki menyebalkan yang kemarin menabraknya ada di sana sedang duduk lesehan dengan beberapa buku di samping kanan dan kirinya. Sangat fokus sekali dengan laptop di pangkuannya. Serena mengulas senyum senang karena ia tidak perlu susah payah untuk mencari cowok itu.

"What you doing here, dude?"

Daffin mendongak dan langsung menyipitkan mata tak suka ketika bertemu pandang dengan Serena. "Do what you want to do then leave me alone."

Tapi Serena malah menekuk lututnya tepat di depan laki-laki itu, tangannya bahkan terulur membenarkan letak kacamata Daffin yang turun membuat laki-laki itu mengernyit heran.

"Didn't I tell you to leave?"

"You told me to do what I want to do first." Jawab Serena enteng.

"I see." Gumam Daffin sambil mengangguk paham. "So, you can leave right now?" Tanyanya kemudian.

Serena mendelik samar. Bukan seperti ini reaksi yang biasa Serena dapatkan dari seorang laki-laki. Gadis itu menggeram dalam hati.

"Do you even know who am I?"

"I do not."

"Kalau begitu mau mengenal gue lebih jauh?"

"Nggak, makasih." Daffin kembali mengalihkan pandangannya pada monitor laptop di pangkuannya.

Walau begitu Daffin bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya gadis itu inginkan. Ia tahu Serena sudah terkenal sebagai bad bitches yang flirty sana-sini sejak semester awal. Ia juga tahu hampir semua laki-laki di sini mengejar senior cewek satu itu. Sudah sering Daffin mendengar akan taruhan untuk mendapatkan seorang Serena namun tidak pernah ada yang berhasil. Serena tahu dan malah terang-terangan mencibir akan hasil taruhan terlalu sedikit. Padahal pernah ada yang mempertaruhkan Mercedes Benz untuk laki-laki yang berhasil.

Serena tertawa tak percaya. "Seriously? Lo itu transgender, ya?

Daffin mendelik tak terima. "Apa hubungannya dengan transgender!?"

"Karena lo nggak minat sama gue?" Jawab Serena sambil membentuk tanda petik dengan dua jarinya.

"Apa semua cowok harus suka sama lo?"

Serena menggeleng santai tak merasa sakit hati sama sekali. Justru ia mencondongkan tubuh untuk mengikis jaraknya dengan Daffin.

"Wh—what you going to do?"

"Just a minute, look into me." Katanya cepat.

Daffin mengerjap cepat menghindari tatapan Serena. Gotcha! Reaksi seperti ini yang biasa Serena dapatkan. Beginilah reaksi normal para laki-laki yang biasa dia temui. Tatapan bergetar yang seperti kehilangan fokus. Setidaknya Serena telah membuktikan bahwa laki-laki itu bernar-benar normal.

Daffin berdeham ringan. "Hey, listen. I didn't—"

Seluruh kata-katanya terputus bersamaan dengan Serena yang meraih kerah kemeja Daffin. Serena mendaratkan bibirnya pada bibir laki-laki itu. Bisa Daffin rasakan bulu mata gadis itu di pipinya. Hanya beberapa detik hingga Serena menarik diri. Daffin langsung menoleh ke kanan dan kiri memastikan tidak ada siapa pun di sekitarnya.

"What was that for!?" Tanya Daffin kesal.

Serena membasahi bibir bawahnya dengan tenang. "Ehm, experiment?"

Daffin makin mengernyit, ingin sekali meneriaki perempuan di hadapannya itu. Sebaliknya Serena sangat menikmati ekspresi kesal cowok itu. Tangannya kembali terulur namun langsung Daffin tepis dengan sigap membuat Serena terkekeh pelan.

"Lipstik gue nempel, by the way.

Daffin mengelap kasar bibirnya dengan punggung tangan. Serena memperhatikan itu sambil tersenyum miring. Entahlah, seharusnya ia merasa terhina namun pada kenyataannya Serena malah merasa senang. Ia sangat menikmati ekspresi kesal Daffin.

Don’t touch me, You Chick!” Sergah Daffin keras ketika tangan Serena ingin menyentuhnya.

Serena mendengus samar karena sebenarnya gadis itu hanya ingin mengacak rambut Daffin. “Lo yakin bukan cowok jadi-jadian? Kalaupun gue cium seorang perempuan juga juga kayaknya enggak akan semarah lo, serius.”

Fuck your mouth off.”

Serena mengacungkan telunjuknya pada Daffin. “Languange, babe.”

Pardon? Who is your babe!?

“Masih tanya?”

Serena lagi-lagi menaikan kacamata Daffin yang sedikit turun dengan telunjuknya, tak mempedulikan sama sekali tatapan tajam Daffin yang seakan sudah siap untuk melemparkannya ke dalam lubang buaya.

“Jadi Daffin Pradipta, mulai sekarang lo punya gue. Okay?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status