"Setahun ini rektornya semedi doang, ya? Percuma bayar UKT mahal-mahal." Omel Serena sambil memutar bola mata malas.
Ia kesal karena ternyata fasilitas lift masih belum tersedia untuk para mahasiswa sedangkan kelas pertamanya hari ini ada di lantai lima. Padahal selama mengambil cuti ia terus membayar ukt penuh.
Ingin sekali rasanya Serena menyumpahi para motivator yang mengatakan bahwa kuliah itu tidak penting. Karena berbekal anggapan para motivator tersebut serta satu dan lain hal, Serena memutuskan untuk cuti setahun lalu. Sekarang beginilah akibatnya, ia tertinggal cukup jauh dengan teman-teman seangkatannya. Yang lain sudah mulai garap skripsi sebagai syarat kelulusan, Serena masih harus berebut dosen dengan adik tingkat. Percuma ia sudah mempunyai banyak ide-ide untuk skripsinya sejak semester awal.
Sayonara cumlaude.
Melirik arlojinya yang sudah hampir tepat pukul delapan gadis itu mempercepat langkah kakinya. Hingga tiba di belokan koridor, Serena terjatuh kebelakang karena menabrak sesuatu atau lebih tepatnya seseorang.
"Oh, shit!" Pekiknya ketika isi gelas amerikano di tangannya nyaris keluar. Untung isinya tinggal setengah.
Serena mendongak untuk melihat laki-laki yang baru saja ia tabrak. Ia mengulurkan tangannya yang tidak sedang memegang gelas kopi, bermaksud untuk meminta bantuan berdiri. Tapi tak ada sambutan. Daffin hanya bergeming melihatnya tanpa ekspresi.
"Bantu gue berdiri."
Cowok berkacamata itu mengangkat kedua alisnya tinggi. "Kenapa gue harus bantu lo?" Tanyanya balik tak merasa bersalah.
"Duh, ya karena gue jatoh. Lo sudah pakai kacamata masih enggak bisa melihat dengan jelas?"
"Lo yang nabrak gue, kalau-kalau kepala lo kena benturan lalu hilang ingatan." Terang Daffin datar.
Ia sedang berusaha mengingat siapa gadis dengan rambut seperti ayam warna-warni di pasar ini. Setahunya gedung jurusan ini bukan termasuk dalam fakultas seni.
Serena tertawa sarkas. "Apa sesusah itu untuk mengulurkan tangan?"
"Apa sesusah itu untuk berdiri sendiri? Lo cacat? Enggak kan?" Balas Daffin sambil mendengus.
"You little piece of moron!" Umpat Serena akhirnya berusaha bangun sendiri.
Makhluk menyebalkan darimana pula ini? Seingat Serena setahun lalu ia masih menjadi salah satu idola kampus paling diincar. Gadis itu membuang napas menahan tangannya untuk tidak menyiramkan laki-laki ini dengan amerikano-nya.
Serena menatap Daffin dengan seksama, mencatat dengan jelas figur wajahnya. "Lo angkatan tahun berapa?"
Daffin yang telah sadar siapa gadis di depannya ini jadi menarik senyum separuh. "Orang yang paling anti sama senioritas sekarang mau semena-mena karena dia senior? Lucu banget."
Benar, Serena sangat amat membenci senioritas bagaimana pun bentuknya. Laki-laki itu ingat dengan jelas bagaimana Serena mengkonfrontasi para senior-nya yang semena-mena ketika Daffin masih menyandang status mahasiswa baru dulu.
Mata Serena menyipit. “Lo tahu gue? Jangan-jangan fans, ya? Oh gue tahu, lo pasti kesal karena gue udah lama enggak datang ke kampus. Nih, sekarang lo bisa lihat gue lagi sepuasnya.”
Daffin melemparkan tatapan aneh-nya agak sedikit tak pecaya dengan kalimat yang ia dengar. “Dalam mimpi sekalipun gue enggak minat untuk jadi fans lo.” Ucapnya datar lalu pergi melewati Serena begitu saja.
Serena mendidih. Seumur hidupnya belum pernah sama sekali pun Serena dilewati begitu saja oleh seorang laki-laki. Ia jadi tertawa tak percaya. Laki-laki lain harusnya merasa beruntung, tapi apa katanya tadi? Serena pun menyusul dengan langkah lebar. Wah, apa cowok itu ingin menantangnya?
"Seriously? Enggak apa-apa, jujur aja. Wajar salah tingkah karena gue terlalu cantik." Kata Serena percaya diri sambil berusaha menyamai langkah dengan Daffin.
Daffin menoleh. "Mau lo apa, sih?"
"Apologyze, dude. The one who got the injury was me. So, say I am sorry. Case closed."
"Injury apanya, lo fraktura juga enggak. Siapa suruh lari-lari di koridor."
"Gue enggak lari!" Tekan Serena kurang terima.
Daffin memutar matanya malas. "Apa itu mengubah fakta kalau lo yang nabrak gue?"
Serena nyaris kehilangan kata. "Can’t you just say ‘sorry my bad’?"
"Sorry thats not my bad." Jawab Daffin dengan menekankan kata per kata.
Serena yang sudah siap meluncurkan berbagai umpatan harus rela menelannya kembali ketika melihat ada seorang dosen yang keluar begitu saja dari salah satu ruangan di dekat mereka. Dosen muda idola semua kalangan mahasiswi hingga ke gedung fakultas sebelah. Galendra Wijaya yang juga diketahui sebagai anak sulung pemilik yayasan kampus mereka ini.
Serena jadi teringat dengan semboyan menjijikan yang dulu sering ia dengar. Sudahi mencari yang sempurna, cukup nikahi anak sulung pewaris tahta. Pak Galendra contohnya. Gadis itu bergidik seketika. Sedangkan di sisi lain, Daffin mengangguk pelan bermaksud menyapa dengan sopan.
"Daffin Pradipta?"
Daffin hanya menarik senyum diplomatis bingung juga ingin membalas apa. Meski mereka saling kenal secara pribadi, namun di area sekitar kampus Ia hanya pernah beberapa kali berurusan dengan dosen ini kala mengurus beberapa proposal.
Sedangkan Serena langsung mengalihkan wajah ketika pandangannya tidak sengaja saling bertabrakan dengan Galendra. Secara formal Serena belum pernah sama sekali diajar oleh dosen satu ini. Lebih tepatnya sengaja menghindari nama Galendra Wijaya sebagai dosen pengampu saat mengisi Kartu Rencana Studi. Tapi untuk semester kali ini, Serena tidak punya pilihan lain. Salah satu mata kuliah wajib 3 sks nya diampu oleh Galendra.
"Serena—"
"Iya, saya pak. Kenapa, pak?" Potong Serena cepat.
Galendra hampir tertawa mendengar respon cepat perempuan itu. Hanya hampir.
"Kalian berdua, sampai bertemu di dalam kelas." Pesannya sebelum melanjutkan langkah.
"Baik, pak." Jawab Daffin sopan.
Serena hanya menahan semua kata-kata yang ingin disampaikan nya dalam tenggorokan. Menatap datar punggung sang dosen hingga hilang di ujung koridor.
"Oh, ternyata lo termasuk cewek-cewek pemuja pak Galen juga." Daffin tak tahan untuk tidak menyeletuk jengah.
Serena kembali pada kenyataan, ia melirik sekilas pada Daffin. "Bukan."
"Sikap lo mengatakan iya."
"Gue bilang, bukan."
Daffin mengangkat kedua tangannya, pura-pura terkejut. "Oh, wow. Lalu apa gue harus memberi lo sebuah penghargaan?"
Serena mendengus keras. "Dengar, siapa nama lo tadi— Kevin? Muffin? Ravi? Dimas? Whatever—"
"Daffin!" Potong laki-laki itu tak terima.
“Okay, Daffin, listen. Tenang aja, sebagai fans lo enggak perlu cemburu karena gue benar-benar bukan bagian dari ciwi-ciwi aneh penggemar dosen itu.” Serena menjelaskan dengan ekspresi lebih serius dari pada seorang pemimpin upacara.
Daffin jadi melengos merasa menyesal telah benar-benar memasang telinganya dengan seksama tadi.
"Gue serius." Kata Serena berusaha meyakinkan.
“Then I don't give a shit.” Seloroh Daffin mulai jengkel.
“I would prefer for your taste than your shit though.” Sahut Serena sambil tersenyum manis.
Daffin menyeringai tipis. “Sorry, but my taste is just not you.”
Serena mengulum bibirnya berusaha untuk tidak merasa tertohok.
“Nama gue Serena.” Ucapnya asal kemudian.
Daffin meninggikan alis melemparkan tatapan skeptisnya. Tentu saja ia tahu nama perempuan di hadapannya ini. Cowok berkacamata tebal itu bahkan tahu dengan jelas siapa Serena dan Daffin yakin gadis itu juga sadar dengan eksistensinya yang sudah cukup terkenal di kampus ini. Serena malah tertawa melihat ekspresi Daffin. Menurutnya cowok itu terlihat menggemaskan.
“Apa gue harus bilang nice to meet you?” Tanya Daffin sarkas kemudian.
“Well, gue lebih sering mendengar ajakan Neflix and chill, sih.”
“Too much information.”
Serena hanya tertawa lebih keras kemudian membiarkan Daffin melangkahkan kaki lebih dulu meninggalkannya. Gadis itu bergeming memperhatikan Daffin dengan tatapan tertarik. Tidak, bukan hanya tatapan. Tapi sepertinya Serena benar-benar tertarik dan sebuah niat untuk bermain pun mulai muncul. Serena menarik seringainya, Let’s play ball, Daffin!
Sejak kehadiran seseorang, Serena hanya menganggap laki-laki sebagai mainan yang bisa menghilangkan suntuk sejenak, seperti sebuah bola bagi seekor kucing. Tapi bagaimana jika Serena tak berhasil menganggap kalau seorang Daffin hanyalah bola mainan baginya?
Setahun berlalu tidak ada perubahan sedikit pun pada bangunan-bangunan kampus selain pada parkiran mobil yang telah bertambah lahannya. Setidaknya Serena tidak perlu lagi rebutan sana-sini dengan mahasiswa lain. Begitu juga dengan gedung perpustakaan ini yang masih saja menggunakan interior klasik membosankan. Tidak heran selain mahasiswa akhir yang sedang mengerjakan skripsi atau pun tesis tidak ada mahasiswa lain yang berminat untuk menetap di perpustakaan."Gue penarasan siapa yang pertama kali menciptakan skripsi sampai harus jadi syarat kelulusan begini?" Gumam Bianca miris di depan layar laptopnya. "Apa dia nggak sadar kalau udah jadi beban jutaan mahasiswa di bumi?""Beratkan skripsian? Ngulang aja temenin gue." Kata Serena santai. Serena benar-benar tidak punya teman di kelas saat ini. Sudah hukum alam, ketika kamu populer di kalangan pria maka para wanita akan membencimu."Gue kira lo nggak akan balik kuliah lagi." Kata gadis lain di sana yang juga seda
Kelas yang satu selesai, kemudian kelas lainnya akan dimulai dalam beberapa waktu. Begitulah siklus perkuliahan. Rencana awal Serena untuk menunggu kelas selanjutnya adalah pergi ke perpustakaan untuk menemui Bianca dan Sarah sekaligus berharap bertemu juga dengan Daffin. Walau setelah ia cium, Daffin tidak lagi menampakan diri di perpustakaan. Cukup membuat Serena kesal karena ia merasa tak diacuhkan. Ditambah lagi hari ini Bianca dan Sarah tidak datang ke kampus karena jadwal bimbingan mereka dibatalkan.Jadilah Serena melangkahkan kakinya ke lab komputer tempat biasa mereka praktikum setelah tadi menghubungi Wildan—si penanggung jawab lab komputer I—untuk memastikan tidak ada praktikum yang sedang berlangsung. Namun siapa sangka ternyata malah ada manusia yang sedang ia cari-cari di sini. Mungkin dewi keberuntungan mulai kasihan padanya."Jadi lo ngungsi ke sini, ya?" Tanya Serena tepat setelah Daffin menyadari kehadirannya."Ngungsi? Apa
Yang namanya tugas kelompok itu pasti bukannya menjadi ringan tapi malah akan menjadi beban. Makanya Daffin sangat-sangat membenci tugas kelompok. Sejak masa sekolah laki-laki itu tidak segan untuk menghapus nama anggota kelompoknya yang tidak membantu. Karenanya tidak sedikit yang memandang Daffin sinis. Dan kejadian seperti itu tentu saja terulang lagi di Universitas sehingga banyak teman-temannya yang perlu berpikir dua kali untuk satu kelompok dengan Daffin.Awalnya Daffin merasa tidak masalah dengan daftar kelompok yang dibagikan karena hanya ada namanya dan nama Serena sebagai anggota kelompoknya. Dengan kemampuan Serena, Daffin yakin ia tidak akan kesulitan.Setidaknya begitu pemikiran Daffin sebelum kenyataannya Serena lagi-lagi tidak menghadiri kelas Pak Galendra minggu ini. Tanpa keterangan yang jelas. Sebenarnya kemana gadis itu?Seperti semesta yang ingin membantunya, siang ini Daffin bertemu dengan Serena di depan ruang dosen. Perempuan itu sedang b
Perempuan dalam balutan gaun berwarna merah maroon itu mengerjap tak kalah bingung. Serena memutar cepat otaknya untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia memang selalu berharap untuk bisa bertemu dengan Daffin namun bukan berarti harus bertemu di tempat seperti ini juga. Rambut gadis itu yang biasanya berwarna-warni kini sudah berganti warna menjadi cokelat tua."Gue tahu lo terkejut karena sama gue juga. Tapi apa lo harus seterkejut itu?""Melihat lo di sini itu lebih nggak mungkin daripada melihat alien di luar angkasa." Desis Daffin.Serena mendelik. "Dan lo sendiri ngapain di sini?""She is my cousin."“Siapa?” Kernyit Serena menoleh ke kanan dan kiri masih tidak bisa paham.“The bride, of course.”Mata Serena membulat, tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka. Ini fakta paling mengejutkan yang pernah ia dengar selama hidup. Daffin dan Cath adalah saudara sepupu? Apa semesta se
"Lo enggak benar-benar suka sama si cupu kan? Selera lo jadi rendah sekarang?"Serena melirik sinis laki-laki di depannya itu. Kepalanya sudah sakit karena kuis dadakan dari kelas barusan dan sekarang malah dihadang oleh manusia yang sangat terobsesi dengannya ini. Ingin sekali Serena melempar bola bowling ke kepala cowok itu. Ia pikir setelah setahun tak melihatnya laki-laki itu akan sembuh."Kalau Daffin rendah, lo apa? Barang gagal produksi?"Adit membuang napas marah. "Apa sih yang lo lihat dari Daffin?"Kucing depan kampus pun tahu bagaimana lebih-nya seorang Daffin dari cowok yang otaknya hanya sebatas tali bra perempuan. Serena jadi tertawa sarkas."Jauh banget kali kalau dibandingkan sama lo." Jawab Serena enteng.Adit melotot tak terima. "Setahun enggak kuliah otak lo jadi korslet, yah? Lo bandingin gue sama cowok kuper itu?"Serena setuju Daffin memang sangat-sangat kurang pergaulan. Itulah alasan satu-satunya yang paling ma
Serena berani jamin pada awalnya ia tak berniat sama sekali untuk mengajak Daffin datang ke tempatnya. Ajakan kencan yang ia lontarkan di kelas tadi juga hanya iseng semata. Apalagi perihal mengerjakan tugas, tak ada keinginan sama sekali.Tapi melihat bagaimana Daffin merespon membuat gadis itu jadi merasa tertantang. Tanpa berpikir atau ragu sedikit pun laki-laki itu terang-terangan menolak. Serena sudah menebak memang, ia pasti akan ditolak. Tapi ia tak menyangka kalau ditolak itu sebegini menggores harga dirinya.Maka di sinilah mereka sekarang. Di ruang tamu unit apartement Serena. Unit mewah dengan biaya sewa yang jelas tak ingin Daffin kira-kira.Bukannya Daffin memiliki pikiran yang agak melesat jauh ke mana-mana, tapi laki-laki itu telah mempersiapkan mental dan rohani-nya sejak pertama kali melangkahkan kaki dari pintu masuk. Karena jelas ini adalah Serena. Perempuan yang hobi menyerang kapan saja. Tapi diluar perkiraan, Serena tidak melakukan apa pun.
"Want to beg, eh?" Menelan umpatannya dalam hati, Serena berusaha mengatur dirinya sendiri. Gadis itu tidak menyukai situasi saat ini. Seharusnya ia yang memegang kendali. Harusnya ia yang membuat laki-laki itu frustasi. Kenapa justru sebaliknya? Tidak, Serena menolak untuk disebut frustasi. Gadis itu hanya sedang merutuki tubuhnya sendiri karena terlalu peka terhadap sentuhan. Sejak Serena mengambil gerakan untuk duduk di atasnya, Daffin sudah meraung dalam hati. Laki-laki itu memang tidak terlihat mengumbar apa-apa namun percayalah Daffin tetap seorang pria normal. Perempuan secantik Serena kini berada di pangkuannya, pria normal mana yang bisa baik-baik saja? Yang jelas bukan Daffin. Walau selalu menolak, faktanya laki-laki itu tidak pernah benar-benar menolak ketika Serena menyentuhnya. Daffin tahu dengan pasti menghadapi Serena itu harus dengan tenang mengikuti arus yang sengaja gadis itu buat. Dengan begitu maka kendali pun berhasil didapatkan. Tak mempedulikan cengkraman Sere
Bukan Daffin yang tidak bisa menahan umpatannya ketika bel apartement Serena berbunyi. Mau tak mau melepaskan rengkuhannya dari gadis itu dan meraup wajahnya agar bisa berpikir jernih. Serena berdiri di sana dengan muka tertekuk namun dalam hati merasa bersyukur karena ada yang mengganggu sehingga ia dan Daffin masih bisa bertahan di zona aman. "Lo berantakan," Daffin mengingatkan. Serena menunduk melihat kondisinya sendiri. Kemeja yang ia kenakan bagian kerahnya sudah terbuka hingga memperlihatkan bahunya. Serena membenarkan sedikit bentuk kemejanya dan menyisir helaian rambutnya dengan tangan. Kemudian langsung menuju pintu untuk melihat siapa yang berkunjung ke rumahnya. Melalui intercome, perempuan itu bisa melihat siapa orang di balik pintu. Serena membeku beberapa detik sebelum mengumpat kemudian. Galendra Wijaya ada di sana. Serena berani bertaruh, laki-laki itu pasti sudah berada di ambang kesabarannya sampai-sampai memutuskan untuk datang ke