Share

6. Keputusan Berat

Terlihat seorang gadis keluar dari kamarnya dengan menguap lebar. Masih dengan mata terpejam, Febi berjalan ke arah dapur. Tak jarang dia menabrak perabotan rumah karena tidak fokus. Hal itu membuat Cia yang sudah bangun sedari tadi mulai menuntun tubuh Febi agar berjalan dengan benar.

Baru saja melepaskan Febi yang sudah membuka mata, Cia kembali melihat gadis itu menabrak galon air. Dengan kesal Cia menepuk keras kening Febi. Mau tidak mau membuat gadis itu membuka mata lebar. Hilang sudah rasa kantuknya.

"Sakit, Cia!" rutuk Febi.

Cia mengabaikan Febi dan kembali fokus pada kegiatannya. "Teh?" tawarnya.

"Teh jahe, ya?" Febi mulai terlihat semangat, "Udah lama gue nggak minum teh jahe buatan lo. Mau juga."

Cia menganggap itu sebagai pujian. Memang benar jik teh jahe buatannya sangat nikmat. Dia memiliki resep tersendiri yang turun-temurun dari keluarga ibunya.

"Bikin banyak banget," ucap Febi menyesap tehnya.

"Gue mau bawain buat bokap lo."

Febi tersedak mendengar itu. Dia menepuk dadanya dengan pelan. Matanya yang memerah mulai menatap Cia gugup.

"Bokap gue?" tanya Febi ragu.

"Iya, udah lama nggak ketemu jadi nggak enak kalau nggak bawa apa-apa. Lagian bokap lo suka teh jahe buatan gue, kan?"

"Ngapain, sih? Nggak usah pake bawa-bawa ginian." Febi berusaha mencegah Cia.

"Emangnya kenapa? Teh jahe juga bagus buat kesehatan, kok."

"Lo itu mau kerja, bukan silaturahmi," cibir Febi.

"Ya tau, gue lagi nggak jilat atasan ya?!" Cia menatap Febi kesal

Febi hanya bisa menghela napas pasrah. Dia meminum tehnya cepat hingga habis sebelum pergi.

"Terserah, deh. Gue mau maskeran dulu."

"Mau juga!" Cia memeluk Febi manja.

***

Saat ini Cia sudah duduk di meja sekretaris di mana ia akan bekerja. Kali ini ia tidak sendiri karena ada Febi di sampingnya. Gadis itu akan menemaninya sampai atasannya datang. Biar bagaimanapun Febi yang merekomendasikan Cia untuk bekerja di sini.

"Udah gue bilang nggak usah bawa teh." Febi meringis melihat tempat minum yang serupa seperti termos mini untuk membuat teh tetap hangat.

"Diem, deh. Gue deg-degan."

Cia tidak bohong saat ia berkata jika jantungnya berdebar. Meskipun dia sudah pernah belerja sebelumnya, rasa panik itu tetap ada saat ia bekerja di tempat baru. Hari pertama akan selalu menjadi hari yang menegangkan. Di hari ini juga dia harus memberikan kesan terbaik agar bisa terus bertahan. Meskipun Cia sudah mengenal Ayah Febi, tetapi dia tidak bisa bersikap santai. Cia akan bekerja secara profesional.

"Bokap lo biasanya dateng jam berapa?" tanya Cia lagi.

"Hm, bentar lagi, kok," balasnya sambil melihat jam.

"Oh, iya. Gue boleh tanya sesuatu nggak, Feb?"

Cia bertanya dengan sangat hati-hati. Takut jika pertanyaannya akan membuat Febi terkejut. Sebenarnya Cia sudah ingin menanyakan hal ini dari semalam. Namun saat melihat Febi yang kelelahan membuatnya mengurungkan niatnya. Selagi menunggu atasannya datang, mungkin ini saat yang tepat untuk bertanya. Meski ia tahu pertanyaannya pasti sangatlah sulit.

"Mau tanya apa?"

"Kakak lo punya temen?" tanya Cia tidak jelas.

Dahi Febi berkerut mendengar itu. "Kakak? Maksud lo?"

Cia menggeleng dengan cepat. Dia berubah pikiran. Cia tidak jadi menanyakan apa yang ada di kepalanya saat ini. Malu rasanya jika mengungkit seseorang yang sudah bertekat ia lupakan dulu.

"Nggak jadi," jawab Cia cepat.

"Ih, nggak mau! Lanjutin mau ngomong apa, jangan bikin penasaran!" Febi mulai bergerak untuk menggigit lengan Febi.

"Lepasin, Feb. Duh, bocah banget!"

"Nggak, lo mau ngom—Pak Bos dateng," ucap Febi tiba-tiba.

Mereka kompak berdiri saat melihat pintu lift mulai terbuka. Cia memilih untuk menatap botol teh jahe yang ia peluk dengan perasaan senang. Tentu ia akan senang bertemu dengan pria yang ia anggap sebagai orang tua keduanya itu.

"Selamat pagi, Pak," sapa Febi.

"Selamat pa—" Senyum Cia langsung luntur saat melihat pria di hadapannya.

Rasa terkejut tidak bisa lagi terhindarkan. Bahkan botol yang Cia bawa harus terjatuh dan menggelinding sempurna di kaki pria itu. Hal itu membuat suasana menjadi lebih dramatis.

Melihat ekspresi Cia, Febi mulai meringis ketakutan. Dia bergeser untuk menjaga jarak. Takut jika Cia akan menarik rambut indahnya tiba-tiba. Meski sudsh tahu apa yang akan terjadi, Febi tetap nekat membawa Cia ke tempat ini. Tempat di mana ia mempertemukan Cia dengan masa lalunya.

"Cia, lo nggak apa-apa?" bisik Febi pelan.

"Ada apa ini?" tanya Agam tiba-tiba. Sepertinya pria itu juga berniat meminta penjelasan pada adiknya.

Febi berdeham pelan sambil merapikan rambutnya. Mendadak tenggorokannya terasa kering. Teh jahe buatan Cia tidak banyak membantu dalam kondisi menegangkan seperti ini.

"Jadi, Pak. Perkenalkam dia Cia yang akan jadi sekretaris bapak, dan Cia... ini Pak Agam yang akan jadi atasan kamu."

Cia masih terdiam dengan bibir yang terbuka. Matanya masih tertuju pada pria di hadapannya dengan ekspresi terkejut. Cia memang diam tetapi tidak dengan hatinya. Debaran jantungnya malah semakin berdetak cepat. Seperti berdisko ria di tengah situasi yang membuatnya mati kutu.

"Cia?" panggil Febi lagi. "Lo nggak apa-apa?"

Cia menelan ludahnya susah payah. "Gue? Nggak apa-apa?" tanyanya penuh penekanan.

Siaga satu.

Febi semakin menjaga jarak dari Cia. Wajah sahabatnya itu sudah sangat memerah. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Namun Febi yakin ada rasa malu, gugup, marah, kesal, dan bahkan juga senang yang Cia rasakan.

"Cia, gue minta maaf," cicit Febi.

Cia mulai menatap Febi dari sudut matanya. Dia terpejam dan mulai mengambil napas dalam. Cia berusaha untuk mengontrol emosinya saat ini. Namun sepertinya tidak membuahkan hasil. Tak lama setelah Cia kembali membuka mata. Tangannya langsung bergerak cepat menarik rambut Febi dengan geram.

"Lo gila?!" teriaknya marah.

***

Ruangan Agam terlihat mencekam pagi ini. Biasanya memang selalu hening, tetapi kali ini lebih parah karena ditambah dengan kecanggungan yang ada. Pertemuan ini tentu menjadi pertemuan yang tak diinginkan. Bahkan Cia ingin kembali lari, tetapi Febi menahannya cepat dan membisikkan kalimat keramat di telinganya.

"Katanya lo butuh duit?"

Kalimat itu berhasil membuat Cia bertahan dan pasrah saat Febi menariknya masuk ke dalam ruangan.

Sepertinya hanya Febi yang tampak normal di sini. Cia dan Agam masih setia dengan mulut yang tertutup. Tidak berniat memulai percakapan untuk yang pertama kalinya. Di dalam hatinya, Cia benar-benar tak mau berada di ruangan ini. Untuk apa dia melarikan diri dari rumah sakit kemarin jika tetap harus berakhir satu ruangan bersama Agam?

"Jadi?" tanya Febi hati-hati.

Alis Agam naik sebelah mendengar pertanyaan itu. Dia duduk santai sambil memainkan bolpoinnya. Dia menatap Cia dengan datar, tetapi terlihat tajam dan menusuk.

"Kamu tanya teman kamu. Apa masih bersedia kerja di sini?"

Febi tersenyum senang mendengar itu. Dia pikir kakaknya juga akan menolak keras permintaannya.

"Gue nggak mau," jawab Cia cepat.

Tanpa diduga, Febi langsung berlutut di kaki Cia. Bahkan dia merengek sambil memeluk kaki sahabatnya itu erat.

"Gue mohon, mau ya lo kerja di sini. Please, temenin gue. Nanti kita makan siang bareng, dinas bareng, semuanya bareng," ucap Febi semangat.

Cia menatap Febi tidak percaya. Dia tersenyum canggung sambil sambil mendorong gadis itu menjauh. Kadang kelakuan Febi membuatnya malu dan tidak habis pikir.

Cia mengumpat dalam hati. Dia seperti terjebak dengan keadaan. Bukan hanya karena Febi yang memohon seperti ini, tetapi juga kewajibannya untuk membayar semua kebutuhan Dika sampai pria itu sembuh.

Mata Cia kembali bertemu dengan Agam. Ada sedikit rasa kesal di hatinya saat pria itu tidak menunjukan ekspresi lain selain datar. Entah kenapa Cia berharap lain. Dia kesal karena sepertinya hanya dirinya sendiri yang berjuang keras untuk melupakan semuanya. Bahkan dia rela pergi untuk mengubur semua kenangan pahit. Berbeda dengan Agam yang sepertinya tidak sulit untuk melupakan apa yang pernah terjadi.

"Saya tidak memaksa, kalau kamu tidak mau silakan keluar."

"Kak!" bentak Febi yang wajahnya sudah penuh dengan air mata.

Cia menelan ludahnya susah payah. Dia sudah membuat keputusan, keputusan yang mungkin akan ia sesali nantinya.

"Oke, saya mau kerja di sini."

Ya, Cia memutuskan untuk bertahan sampai dia memiliki cukup uang untuk kembali pergi.

***

TBC

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status