Share

7. Kesepakatan Paksa

Masih di ruang kerja Agam. Keadaan ruangan itu semakin mencekam saat Febi pergi. Menahan gadis itu di tempat ini ada hal sia-sia. Jam kerja sudah dimulai, sudah dipastikan Febi harus kembali ke ruangannya.

Tidak ada percakapan yang terjadi antara Agam dan Cia setelah Febi pergi. Bahkan Agam sendiri sudah mulai menyalakan komputernya, berbeda dengan Cia yang terdiam dengan bingung. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Cia seolah lupa jika dia harus bekerja dengan Agam.

"Kalau nggak mau kerja, kamu bisa keluar sekarang. Saya bisa cari yang lain," ucap Agam sambil membuka berkas di tangannya.

Cia memejamkan matanya erat. Dia tidak menyangka jika akan seperti ini. Agam benar-benar menyebalkan. Mereka seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya.

"Maaf, Pak. Sebelum saya bekerja, apa boleh saya tau apa pekerjaan saya?" tanya Cia hati-hati.

"Febi sudah bilang?"

"Sudah, Pak."

"Ya sudah kalau gitu, kenapa tanya lagi?"

Cia menarik napas dalam dan menggigit bibirnya kesal. Beruntung Agam tidak menatapnya saat ini sehingga Cia bisa puas menunjukan wajah kesalnya. Pria itu tidak banyak berubah. Malah bisa dibilang semakin menyebalkan.

"Maksud saya apa saja tugas dan tanggung jawab saya, Pak."

Agam mulai mengalihkan pandangannya dari komputer. Dia duduk bersandar dan menatap Cia lekat. Jari tangannya saling bertaut memberikan kesan penguasa di ruangan ini. Jangankan ruangan, pria itu memang penguasa di kantor ini.

Seketika Cia menyesal menerima tawaran Febi. Sejak kapan posisi CEO perusahaan digantikan oleh Agam? Oh ayolah, itu bukan mustahil! Hampir tujuh tahun dia memblokir nama Agam dari hidupnya. Tentu Cia tidak akan mengetahui kabar pria itu. Febi juga bersikap bijak dengan tidak pernah menyebut nama kakaknya selama ini.

"Kamu akan jadi sekretaris saya." Agam mengambil sesuatu dari lacinya dan meletakkannya di atas meja berhadapan dengan Cia.

"Apa ini, Pak?" tanya Cia penasaran.

"Kontrak kerja kamu."

Cia meraih lembaran kertas itu dan membacanya dengan teliti. Tidak ada yang aneh dari isi kontrak itu. Seperti kontrak kerja pada umumnya.

"Kamu bekerja langsung di bawah perintah saya," jelas Agam lagi yang kembali fokus pada komputernya.

Cia mengerucutkan bibirnya kesal. Apa komputer lebih menarik dari dirinya?

"Langsung kerja, Pak? Nggak ada tahapan interview?"

Pertanyaan Cia berhasil membuat Agam menoleh. "Saya nggak punya waktu. Saya butuh cepat."

Cia mengangguk dan kembali membaca kertas di tangannya. Sampai akhirnya dia sampai di poin terakhir. Poin yang membuat dahinya berkerut tajam.

"Maksud poin terakhir apa, Pak? Saya akan bekerja sampai sekretaris utama kembali masuk?" tanya Cia memastikan.

"Sekretaris saya sakit. Jadi saya butuh seseorang untuk menggantikannya sampai sembuh."

"Berarti saya cadangan, dong?" Suara Cia tiba-tiba meninggi. Melihat Agam yang menatapnya tajam membuat Cia berdeham pelan. "Maksudnya, berarti saya kerja tanpa ada jangka waktu? Intinya sampai sekretaris utama Bapak sembuh?"

"Ucapan saya tadi sudah jelas, kan?"

Cia menunduk lesu. Agam benar-benar menyebalkan. Tidak ada ramah tamah yang ia berikan untuk membuatnya betah. Sebenarnya Agam memang butuh sekretaris atau terpaksa?

"Saya nggak mau kalau nggak pasti, Pak." Cia mendorong kontrak kerja itu angkuh.

"Terserah. Saya harap kamu tidak lari dari tanggung jawab."

"Maksud, Bapak?"

Agam maju dan menumpukan kedua tangannya di atas meja. "Saya tau kamu butuh uang."

Mata Cia mulai menyipit. Dari mana pria itu mengetahui masalahnya? Apa Febi yang memberitahu? Melihat Agam yang tidak tahu jika dirinya adalah calon sekretaris pengganti sepertinya Febi tidak bercerita apapun tentang dirinya.

Mendadak Cia terkekeh, "Jangan sok tau deh, Pak."

"Dika, pria yang kecelakaan gara-gara kamu. Dia sekretaris saya."

Cia tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Bahkan mulutnya terbuka lebar tanpa tahu malu. Kadang dia membenci dirinya sendiri yang tidak bisa menahan diri dan terlalu ekspresif.

"Jadi semalam Pak Agam ke rumah sakit untuk...?"

"Ya, saya jenguk sekretaris saya."

Tubuh Cia mulai melemas. Terjawab sudah rasa bingungnya selama ini. Ternyata Agam mengenal Dika. Tentu saja! Pria itu tidak mungkin datang menjenguk jika tidak saling mengenal.

"Oke, saya mau kerja di sini tapi ada beberapa hal yang perlu ditambah dalam kontrak ini."

"Kamu lagi negosiasi? Saya pikir kamu beneran kepepet." Agam menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Kita sama-sama kepepet, Pak. Saya butuh uang dan Bapak butuh sekretaris pengganti."

"Tapi saya bisa cari yang lain kalau kamu nggak mau."

Cia berdecak kesal. "Saya mau, Pak. Dengerin saya dulu, ih!" geramnya.

Hilang sudah sikap angkuh yang menjadi pertahanan Cia sedari tadi. Keras kepala adalah sikap yang paling benar untuk berhadapan dengan Agam. Lagipula pria itu juga sudah mengetahui apa yang ia inginkan, tak perlu lagi berpura-pura.

"Saya mau gaji saya dua kali lipat."

Tanpa menjawab, Agam mengambil kontrak kerja itu dan memasukannya ke dalam laci meja. "Keluar kamu."

Cia langsung panik. "Bercanda, Pak."

Agam meliriknya sinis dan mengembalikan kontrak kerja itu.

"Tapi beneran, Pak. Saya butuh uang untuk pengobatan Kak Dika. Kalau duitnya kurang, nanti sembuhnya jadi lama."

Agam menatap Cia aneh. "Kamu lagi ngerayu anak kecil?"

"Enak aja! Saya ngerayu Kak Agam tau!" Cia memutar matanya jengah, tetapi satu detik kemudian dia tersadar. "Maksud saya bukan ngerayu, tapi negosiasi... Pak."

"Keputusan saya tetap sama. Perjanjian kerja tetap sesuai dengan kontrak."

Cia mulai pasrah. Berdebat dengan Agam tidak akan pernah selesai dan hanya membuang-buang waktu. Pria itu akan selalu menang dan membuatnya bungkam, seperti dulu.

"Di sini ada jenjang karir nggak, Pak?"

Dari awal kesan yang Cia tunjukan sudah tidak bagus, percuma jika harus menutupinya. Menjilat atasan seperti Agam adalah langkah yang buruk.

"Tergantung."

"Tergantung?" tanya Cia penasaran.

"Kamu pintar atau tidak."

Klasik.

"Percuma pinter kalau keblinger," gumam Cia mulai mengambil bolpoinnya. Seketika dia teringat dengan mantan manajer pemasaran di mana ia bekerja dulu, siapa lagi jika bukan si Beruk Bonang.

Tanpa banyak berpikir atau kembali berdebat, Cia mulai menandatangani kontrak kerja itu. Entah kenapa tubuh Cia tiba-tiba merinding. Dia seperti menandatangani kontak penyiksaan seumur hidup.

"Sudah, Pak."

"Sekarang kamu keluar. Meja kamu ada di depan ruangan saya. Buka laptop Dika, semua pekerjaan kamu ada di sana," perintah Agam yang lagi-lagi tidak menatapnya.

Cia mengangguk dan mulai keluar dari ruangan. Setelah pintu tertutup, dia mengacak rambutnya frustrasi. Sepertinya kehidupan sialnya akan segera dimulai.

Berbeda dengan Cia yang tengah meratapi nasib, Agam langsung menyandarkan tubuhnya setelah gadis itu keluar. Matanya masih tertuju pada pintu ruangan dengan lekat. Pandangannya kosong, tetapi Agam tengah memikirkan sesuatu saat ini. Memikirkan hal yang hanya ia sendiri yang mengetahuinya.

Padangan Agam beralih pada sebuah botol minuman di atas meja. Dia mengambil botol itu dan melihatnya dengan teliti. Ini milik gadis aneh di depan ruangannya itu.

"Maaf, Pak. Kata sandi laptopnya Kak Dika ap—a?" Cia tiba-tiba masuk membuat Agam meletakkan botol itu cepat.

Cia yang melihat kecanggungan Agam mulai menahan senyumnya. Cukup menghibur emosinya di pagi hari.

Gemas!

"Nama Dika ditambah angka 123."

"Oke, Pak. Terima kasih."

"Lain kali ketuk pintu," tegur Agam.

"Oke, Pak," jawab Cia santai.

Dia beranjak keluar, tetapi kembali masuk saat teringat sesuatu. "Itu minuman buat Pak Agam. Isinya teh jahe. Pak Agam masih suka, kan?"

"Hm."

Setelah Cia keluar, Agam mulai bisa bernapas dengan lega. Dia melirik botol minum itu sebentar dan kembali fokus bekerja. Namun hanya satu detik bertahan, Agam langsung meraih botol itu dan membukanya. Aroma herbal langsung merasuk ke hidungnya. Membuat tubuhnya sedikit tenang.

"Masih sama," gumam Agam setelah meminum teh jahe itu.

***

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status