Share

7. Kesepakatan Paksa

Author: Viallynn
last update Last Updated: 2023-10-18 18:15:18

Masih di ruang kerja Agam. Keadaan ruangan itu semakin mencekam saat Febi pergi. Menahan gadis itu di tempat ini ada hal sia-sia. Jam kerja sudah dimulai, sudah dipastikan Febi harus kembali ke ruangannya.

Tidak ada percakapan yang terjadi antara Agam dan Cia setelah Febi pergi. Bahkan Agam sendiri sudah mulai menyalakan komputernya, berbeda dengan Cia yang terdiam dengan bingung. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Cia seolah lupa jika dia harus bekerja dengan Agam.

"Kalau nggak mau kerja, kamu bisa keluar sekarang. Saya bisa cari yang lain," ucap Agam sambil membuka berkas di tangannya.

Cia memejamkan matanya erat. Dia tidak menyangka jika akan seperti ini. Agam benar-benar menyebalkan. Mereka seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya.

"Maaf, Pak. Sebelum saya bekerja, apa boleh saya tau apa pekerjaan saya?" tanya Cia hati-hati.

"Febi sudah bilang?"

"Sudah, Pak."

"Ya sudah kalau gitu, kenapa tanya lagi?"

Cia menarik napas dalam dan menggigit bibirnya kesal. Beruntung Agam tidak menatapnya saat ini sehingga Cia bisa puas menunjukan wajah kesalnya. Pria itu tidak banyak berubah. Malah bisa dibilang semakin menyebalkan.

"Maksud saya apa saja tugas dan tanggung jawab saya, Pak."

Agam mulai mengalihkan pandangannya dari komputer. Dia duduk bersandar dan menatap Cia lekat. Jari tangannya saling bertaut memberikan kesan penguasa di ruangan ini. Jangankan ruangan, pria itu memang penguasa di kantor ini.

Seketika Cia menyesal menerima tawaran Febi. Sejak kapan posisi CEO perusahaan digantikan oleh Agam? Oh ayolah, itu bukan mustahil! Hampir tujuh tahun dia memblokir nama Agam dari hidupnya. Tentu Cia tidak akan mengetahui kabar pria itu. Febi juga bersikap bijak dengan tidak pernah menyebut nama kakaknya selama ini.

"Kamu akan jadi sekretaris saya." Agam mengambil sesuatu dari lacinya dan meletakkannya di atas meja berhadapan dengan Cia.

"Apa ini, Pak?" tanya Cia penasaran.

"Kontrak kerja kamu."

Cia meraih lembaran kertas itu dan membacanya dengan teliti. Tidak ada yang aneh dari isi kontrak itu. Seperti kontrak kerja pada umumnya.

"Kamu bekerja langsung di bawah perintah saya," jelas Agam lagi yang kembali fokus pada komputernya.

Cia mengerucutkan bibirnya kesal. Apa komputer lebih menarik dari dirinya?

"Langsung kerja, Pak? Nggak ada tahapan interview?"

Pertanyaan Cia berhasil membuat Agam menoleh. "Saya nggak punya waktu. Saya butuh cepat."

Cia mengangguk dan kembali membaca kertas di tangannya. Sampai akhirnya dia sampai di poin terakhir. Poin yang membuat dahinya berkerut tajam.

"Maksud poin terakhir apa, Pak? Saya akan bekerja sampai sekretaris utama kembali masuk?" tanya Cia memastikan.

"Sekretaris saya sakit. Jadi saya butuh seseorang untuk menggantikannya sampai sembuh."

"Berarti saya cadangan, dong?" Suara Cia tiba-tiba meninggi. Melihat Agam yang menatapnya tajam membuat Cia berdeham pelan. "Maksudnya, berarti saya kerja tanpa ada jangka waktu? Intinya sampai sekretaris utama Bapak sembuh?"

"Ucapan saya tadi sudah jelas, kan?"

Cia menunduk lesu. Agam benar-benar menyebalkan. Tidak ada ramah tamah yang ia berikan untuk membuatnya betah. Sebenarnya Agam memang butuh sekretaris atau terpaksa?

"Saya nggak mau kalau nggak pasti, Pak." Cia mendorong kontrak kerja itu angkuh.

"Terserah. Saya harap kamu tidak lari dari tanggung jawab."

"Maksud, Bapak?"

Agam maju dan menumpukan kedua tangannya di atas meja. "Saya tau kamu butuh uang."

Mata Cia mulai menyipit. Dari mana pria itu mengetahui masalahnya? Apa Febi yang memberitahu? Melihat Agam yang tidak tahu jika dirinya adalah calon sekretaris pengganti sepertinya Febi tidak bercerita apapun tentang dirinya.

Mendadak Cia terkekeh, "Jangan sok tau deh, Pak."

"Dika, pria yang kecelakaan gara-gara kamu. Dia sekretaris saya."

Cia tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Bahkan mulutnya terbuka lebar tanpa tahu malu. Kadang dia membenci dirinya sendiri yang tidak bisa menahan diri dan terlalu ekspresif.

"Jadi semalam Pak Agam ke rumah sakit untuk...?"

"Ya, saya jenguk sekretaris saya."

Tubuh Cia mulai melemas. Terjawab sudah rasa bingungnya selama ini. Ternyata Agam mengenal Dika. Tentu saja! Pria itu tidak mungkin datang menjenguk jika tidak saling mengenal.

"Oke, saya mau kerja di sini tapi ada beberapa hal yang perlu ditambah dalam kontrak ini."

"Kamu lagi negosiasi? Saya pikir kamu beneran kepepet." Agam menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Kita sama-sama kepepet, Pak. Saya butuh uang dan Bapak butuh sekretaris pengganti."

"Tapi saya bisa cari yang lain kalau kamu nggak mau."

Cia berdecak kesal. "Saya mau, Pak. Dengerin saya dulu, ih!" geramnya.

Hilang sudah sikap angkuh yang menjadi pertahanan Cia sedari tadi. Keras kepala adalah sikap yang paling benar untuk berhadapan dengan Agam. Lagipula pria itu juga sudah mengetahui apa yang ia inginkan, tak perlu lagi berpura-pura.

"Saya mau gaji saya dua kali lipat."

Tanpa menjawab, Agam mengambil kontrak kerja itu dan memasukannya ke dalam laci meja. "Keluar kamu."

Cia langsung panik. "Bercanda, Pak."

Agam meliriknya sinis dan mengembalikan kontrak kerja itu.

"Tapi beneran, Pak. Saya butuh uang untuk pengobatan Kak Dika. Kalau duitnya kurang, nanti sembuhnya jadi lama."

Agam menatap Cia aneh. "Kamu lagi ngerayu anak kecil?"

"Enak aja! Saya ngerayu Kak Agam tau!" Cia memutar matanya jengah, tetapi satu detik kemudian dia tersadar. "Maksud saya bukan ngerayu, tapi negosiasi... Pak."

"Keputusan saya tetap sama. Perjanjian kerja tetap sesuai dengan kontrak."

Cia mulai pasrah. Berdebat dengan Agam tidak akan pernah selesai dan hanya membuang-buang waktu. Pria itu akan selalu menang dan membuatnya bungkam, seperti dulu.

"Di sini ada jenjang karir nggak, Pak?"

Dari awal kesan yang Cia tunjukan sudah tidak bagus, percuma jika harus menutupinya. Menjilat atasan seperti Agam adalah langkah yang buruk.

"Tergantung."

"Tergantung?" tanya Cia penasaran.

"Kamu pintar atau tidak."

Klasik.

"Percuma pinter kalau keblinger," gumam Cia mulai mengambil bolpoinnya. Seketika dia teringat dengan mantan manajer pemasaran di mana ia bekerja dulu, siapa lagi jika bukan si Beruk Bonang.

Tanpa banyak berpikir atau kembali berdebat, Cia mulai menandatangani kontrak kerja itu. Entah kenapa tubuh Cia tiba-tiba merinding. Dia seperti menandatangani kontak penyiksaan seumur hidup.

"Sudah, Pak."

"Sekarang kamu keluar. Meja kamu ada di depan ruangan saya. Buka laptop Dika, semua pekerjaan kamu ada di sana," perintah Agam yang lagi-lagi tidak menatapnya.

Cia mengangguk dan mulai keluar dari ruangan. Setelah pintu tertutup, dia mengacak rambutnya frustrasi. Sepertinya kehidupan sialnya akan segera dimulai.

Berbeda dengan Cia yang tengah meratapi nasib, Agam langsung menyandarkan tubuhnya setelah gadis itu keluar. Matanya masih tertuju pada pintu ruangan dengan lekat. Pandangannya kosong, tetapi Agam tengah memikirkan sesuatu saat ini. Memikirkan hal yang hanya ia sendiri yang mengetahuinya.

Padangan Agam beralih pada sebuah botol minuman di atas meja. Dia mengambil botol itu dan melihatnya dengan teliti. Ini milik gadis aneh di depan ruangannya itu.

"Maaf, Pak. Kata sandi laptopnya Kak Dika ap—a?" Cia tiba-tiba masuk membuat Agam meletakkan botol itu cepat.

Cia yang melihat kecanggungan Agam mulai menahan senyumnya. Cukup menghibur emosinya di pagi hari.

Gemas!

"Nama Dika ditambah angka 123."

"Oke, Pak. Terima kasih."

"Lain kali ketuk pintu," tegur Agam.

"Oke, Pak," jawab Cia santai.

Dia beranjak keluar, tetapi kembali masuk saat teringat sesuatu. "Itu minuman buat Pak Agam. Isinya teh jahe. Pak Agam masih suka, kan?"

"Hm."

Setelah Cia keluar, Agam mulai bisa bernapas dengan lega. Dia melirik botol minum itu sebentar dan kembali fokus bekerja. Namun hanya satu detik bertahan, Agam langsung meraih botol itu dan membukanya. Aroma herbal langsung merasuk ke hidungnya. Membuat tubuhnya sedikit tenang.

"Masih sama," gumam Agam setelah meminum teh jahe itu.

***

TBC

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Bucin Incaran Presdir Dingin   EKSTRA CHAPTER 6 - AKHIR SEMPURNA (TAMAT)

    Cia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny

  • Gadis Bucin Incaran Presdir Dingin   EKSTRA CHAPTER 5 - NGIDAM DADAKAN

    "Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu

  • Gadis Bucin Incaran Presdir Dingin   EKSTRA CHAPTER 4 - HARI BAHAGIA

    Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a

  • Gadis Bucin Incaran Presdir Dingin   EKSTRA CHAPTER 3 - MAKAN MALAM ISTIMEWA

    Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken

  • Gadis Bucin Incaran Presdir Dingin   EKSTRA CHAPTER 2 - KEJUTAN HARI TERAKHIR

    Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan

  • Gadis Bucin Incaran Presdir Dingin   EKSTRA CHAPTER 1 - GAGAL HONEYMOON

    Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer

  • Gadis Bucin Incaran Presdir Dingin   89. Bahagia Bersama (Selesai)

    Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma

  • Gadis Bucin Incaran Presdir Dingin   88. Buah Kesabaran

    Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se

  • Gadis Bucin Incaran Presdir Dingin   87. Rencana Pernikahan

    Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status