“Pak Agam?"
Agam langsung tersadar saat mendengar panggilan itu. Dia kembali menatap dokter dan berusaha untuk fokus. Untuk saat ini, Agam tidak bisa mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi Dika dengan serius. Entah kenapa dia masih memikirkan hal yang membuatnya terkejut.Apalagi jika bukan karena kejadian di lift tadi. Agam masih tidak percaya dibuatnya. Bisa jadi dia salah lihat. Namun matanya sangat sehat untuk melihat semuanya dengan jelas."Ada pertanyaan, Pak?"Agam menggeleng dan mulai berdiri. Dia mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari ruangan dokter. Bukan tanpa alasan tiba-tiba Agam berada di rumah sakit. Dia mendapatkan kabar jika Dika sudah sadar.Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa rumah sakit menghubunginya dan bukan keluarga Dika sendiri? Dika adalah seorang yatim-piatu. Bisa dibilang ia tidak memiliki siapapun di dunia ini selain dirinya. Bukan bermaksud sombong, tetapi Agam dan Dika sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMP.Mereka bersahabat, meski tidak banyak orang yang mengetahuinya.Agam bergegas kembali ke kamar Dika setelah selesai dengan dokter. Saat tangannya akan membuka pintu, Agam melihat sesuatu yang mengejutkan. Dari kaca bening di pintu, Agam bisa melihat seorang gadis yang berada di dalam ruangan. Seseorang yang sama seperti saat ia di lift tadi."Cia," gumam Agam lagi.Ternyata ia tidak salah lihat. Agam benar, ternyata gadis itu memang Cia."Sus?" panggil Agam saat perawat melewatinya. "Apa dia keluarga pasien?" tanya Agam menunjuk Cia.Perawat ikut mengintip dan mengeleng. "Bukan, Pak. Dia yang datang bersama pasien waktu kecelakaan dulu."Agam mengangguk mengerti. Sekarang ia tahu kenapa Cia berada di kamar Dika. Ternyata gadis itu yang membuat kecelakaan ini terjadi. Kebetulan macam apa ini? Setelah bertahun-tahun berlalu, gadis itu kembali muncul dengan tragedi mengenaskan.Agam memutuskan untuk pergi. Tidak ada alasan baginya untuk masuk ke dalam ruangan. Dia tidak mau mereka kembali mengingat masa lalu.Agam memutuskan untuk kembali ke kantor. Niat awal dia ingin ke bagian administrasi untuk membayar sisa pengobatan Dika sekaligus pindah kamar yang lebih baik, VIP. Namun saat tahu jika Cia yang bertanggung jawab, Agam mengurungkan niatnya. Jangankan membantu, untuk bertemu saja Agam tidak melakukannya.***Di dalam kamar pasien itu, Cia duduk dengan rasa bersalah. Apalagi saat melihat kondisi Dika yang masih belum bisa dikatakan baik. Namun semua butuh proses. Melihat pria itu sudah sadar saja Cia sudah sangat bahagia."Kak, maafin saya." Sudah puluhan kali Cia mengucapkan kalimat itu.Dika yang memang masih lemah terasa sulit untuk berbicara. Dia hanya bisa mengangguk dan kembali memejamkan mata. Sudah mulai lelah dengan ucapan Cia yang selalu sama.Jujur, Dika tidak tahu harus bersikap bagaimana. Saat membuka mata, dia mendapati tubuhnya terasa sangat sakit. Setelah mendengar apa yang terjadi dari Agam, dia hanya bisa menghela napas pasrah. Menyesal pun percuma karena tidak ada untungnya. Lebih baik fokus dengan apa yang akan terjadi dari pada apa yang sudah terjadi."Saya akan tanggung jawab, Kak. Saya yang akan tanggung semuanya sampai kakak pulih," ucap Cia lagi.Peduli setan dengan dari mana ia akan mendapatkan uang. Yang pasti Cia akan tetap tanggung jawab. Pria itu tidak memiliki wali. Siapa lagi yang akan merawatnya? Patah lengan dan kaki bukanlah masalah biasa. Apalagi pria itu juga masih menggunakan penyangga leher karena trauma akibat kecelakaan. Melihat Dika bisa sadar dengan cepat saja sudah menjadi keajaiban dunia bagi Cia.Lagi-lagi Dika hanya bisa mengangguk. Dia tidak bisa banyak bicara karena rasa lemas. Bersyukur gadis itu mau bertanggung jawab dan membantunya mengurus semua keperluan rumah sakit."Bisa.. panggilkan teman sa—ya?"Cia langsung berdiri dan mendekat. "Apa, Kak? Saya nggak denger.""Panggilkan teman saya," bisik Dika lagi.Dahi Cia berkerut mendengar itu. Teman? Teman siapa yang pria itu maksud. Selama beberapa hari ini Cia tidak melihat siapapun. Tidak ada yang menjenguk pria itu selain dirinya. Itu yang Cia tahu."Kak Dika punya temen?" tanya Cia ragu. Dia sudah takut jika nasibnya akan habis di tangan teman pria itu.Dika hanya menunjuk pintu kamar dengan jari telunjuknya. Beberapa menit yang lalu ia tidak sengaja melihat Agam di sana. Namun pria itu pergi entah ke mana."Oke, saya panggil dulu. Kak Dika jangan banyak gerak."Dengan cepat Cia berlari keluar kamar. Pandangannya mengedar ke segala arah. Tidak ada seorang pun yang menunggu di depan ruangan. Cia juga tidak melihat adanya wajah yang ia kenal di sana.Siapa yang pria itu maksud? Apa dia melihat hantu?Cia seketika bergidik ngeri. Mereka berada di rumah sakit saat ini. Melihat hantu bukanlah hal yang mustahil. Apalagi kondisi Dika berada di titik yang terendah."Maaf, Sus. Saya mau tanya." Akhirnya Cia memilih untuk bertanya pada perawat yang biasa menangani Dika. "Apa sebelumnya ada yang pernah jenguk pasien di dalam?""Oh, ada, Mbak.""Di mana orangnya sekarang, Sus? Dicariin sama pasien."Perawat itu ikut melihat sekeliling. Dia sempat melihat pria itu tadi tetapi sekarang sudah menghilang."Kayaknya sudah pergi, Mbak."Cia menghela napas kasar mendengar itu. Seketika kepalanya berdenyut."Kalau boleh tahu siapa namanya, Sus? Atau ada nomernya? Saya mau hubungi biar dateng.""Namanya Pak Agam kalau nggak salah. Untuk nomornya bisa ikuti saya, Mbak. Ada di data rumah sakit. Nanti bisa saya bantu untuk hubungi."Bukannya berjalan mengikuti, Cia malah berdiri dengan kaku. Pandangannya seketika berubah menjadi kosong karena pikirannya mulai tidak fokus. Dia tidak salah dengar, bukan?Nama itu terdengar tidak asing di telinga Cia. Dia sering mendengar nama itu dulu. Sudah bertahun-tahun dia tidak mendengar nama itu, lalu sekarang dia kembali mendengarnya. Cia hanya bisa berharap jika itu bukan Agam yang sama."Mbak?" panggil perawat itu lagi.Cia tersadar dan berjalan mendekat. Tangannya sudah berubah dingin. Bahkan sesekali bergetar karena gugup. Dia tidak menyangka jika efek dari sebuah nama bisa membuatnya seperti ini. Seketika hati Cia kembali sakit. Percuma jika dia melarikan diri selama bertahun-tahun jika nama itu belum bisa menghilang sempurna dari pikirannya. Ternyata selama ini nama itu hanya terkubur sementara sampai ada pemicu yang kembali membangkitkannya."Bisa tolong dihubungi, Sus?" tanya Cia dengan suara tercekat."Nggak perlu."Suara berat itu membuat tubuh Cia kembali menegang. Dia ingin berbalik tetapi ada sesuatu yang membuatnya bertahan dengan posisi seperti ini. Mata Cia terpejam saat jantungnya mulai berdegup kencang. Ternyata doa dan harapannya sia-sia. Dia sangat mengenal suara itu. Suara yang ternyata masih sama seperti dulu.Dia adalah Agam Mahawira.Pria itu di sini, berada di belakangnya.Apa yang akan Cia lakukan sekarang? Dia seperti terjebak dalam kondisi mengejutkan ini. Benar, tidak ada pilihan lain selain menghadapinya. Cia memejamkan matanya dan mulai menarik napas dalam. Setelah itu dia membukanya dan tersenyum pada perawat di depannya."Saya permisi ya, Sus."Satu detik kemudian, Cia langsung berlari dengan langkah terbirit-birit. Bahkan dia tidak menoleh sekali pun ke belakang.Menghadapi Agam? Tentu saja tidak! Cia memilih untuk kembali melarikan diri.***TBCCia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer