Suara jeruji besi yang berderit menggema di seluruh ruangan yang lembab dan gelap, menciptakan atmosfer yang mencekam. Tiba-tiba, suara seorang sipir memecah kesunyian, "Tahanan nomor 165, keluarlah! Kamu bebas hari ini," serunya lantang.
Seorang pria yang sedang duduk tertunduk perlahan mengangkat kepalanya—Arsenio Alvier, manusia berdarah dingin melekat setiap kali namanya disebut, pria tinggi dan kekar berumur 27 tahun itu berdiri tegak kemudian berjalan melangkah keluar dari balik Jeruji besi yang sudah ia diami selama 7 tahun setelah dituduh melakukan satu pembunuhan. Kedua bola matanya yang coklat berkeliling menatap suasana di luar gedung tinggi dan tertutup itu, kedua alisnya bertaut ketat saat sinar matahari menerpa kedua matanya. Rambutnya yang gondrong berantakan, serta kumis dan juga janggut tipis membuat wajah tampannya terlihat liar dan sangar. Sreeeeetttttttttttt Tiba tiba, sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapan Arsenio. Kaca hitam jendela belakang mobil itu pun turun. "Masuklah!" ucap tegas seorang pria tua berumur 50 tahun, Tuan Albert Jung. Meski tak muda lagi, pria blasteran Inggris dan Cina itu tampak gagah dan berwibawa, matanya sipit dan janggut serta kumis tebal yang sudah tampak memutih. Dia—kepala gengster kelas kakap yang tak segan melakukan segala cara untuk mendapakan uang. Dengan tatapan tajam, tanpa basa basi, Arsenio masuk ke dalam jok belakang mobil mewah itu, tepat di samping Tuan Albert, bos besarnya. "Bagaimana kabarmu?" Tn. Albert bertanya, dengan tatapan yang tetap fokus ke depan. "Baik," sahut Arsenio. Singkat dan dingin. Tuan Albert menoleh ke arah pria di sampingnya, "Maafkan aku, karena aku telah..." "Cukup! Asalkan Tuan menepati semua janjimu," potong Arsenio tajam, menyela perkataan Tn. Albert. "Tentu saja, kamu bisa memeriksanya sendiri, anak-anak panti baik baik saja Arsen. Sandang, pangan dan pendidikan mereka tercukupi selama kamu tak ada, hahaha," ucap Tn. Albert sambil tertawa. Arsenio tak menjawab, tatapannya tajam menuju keluar jendela. Hening. "Aku senang kamu telah kembali Arsen." Tn. Albert menepuk bahu pria itu. Sang ketua sudah tak heran dengan sikap Arsenio yang dingin dan tak banyak bicara. "Aku ada tugas baru untukmu, bayarannya besar, gimana? Kamu mau," sambung Tn. Albert bertanya. "Berapa?" singkat Arsenio. "4 digit, 80-20," jawab Tn. Albert sembari mengacungkan ke empat jarinya. "70-30," tegas Arsenio. "Hmm... baiklah, aku setuju, hahaha," jawab Tn. Albert dengan tawanya yang serak dan khas. "Apa tugasnya?" tanya Arsenio. Tn. Albert merogoh saku dalam jas nya, kemudian mengeluarkan selembar poto berukuran 4R dan memberikannya kepada Arsenio. Arsenio mengerutkan keningnya saat melihat gambar seorang gadis muda di dalam poto itu. "Siapa dia?" tanyanya dengan nada serius. "Dia bernama Alexa... Alexa Jennifer, putri semata wayang dari pasangan konglomerat yang baru saja meninggal dunia, pewaris tunggal dari perusahaan Algenio. Cantik bukan?" jawab Tn. Albert, namun ia segera menambahkan, "Tapi sayang... dia buta." Arsenio terdiam sejenak menatap dalam poto itu dalam genggamannya. "Lalu?" "Sekarang dia hidup sebatang kara, walau dia buta dan lugu, namun dia tegas dan tak mudah percaya dengan siapapun, bahkan kepada keluarganya sendiri, paman dan bibinya ingin menguasai semua hartanya, karena menganggap Alexa tak mampu sebagai orang buta." Dengan santai Tn. Albert menjawab. "Apakah aku harus melenyapkannya?" tanya Arsenio, tanpa basa basi. "Ya, tapi tidak untuk sekarang," sahut Tn. Albert seketika Arsenio mengernyitkan keningnya. "Seluruh aset, surat-surat penting dan harta kekayaan orang tuanya hanya dia yang mengetahuinya, kamu hanya perlu menjadi bodyguardnya, dan buat dia sepenuhnya percaya padamu. Dengan begitu dia akan menunjukkan di mana seluruh kekayaan orang tuanya berada. Setelah itu baru kita habisi dia, bagaimana?" Tn. Albert tersenyum licik, penuh ambisi. "Baiklah, Aku mengerti," jawab Arsenio sambil memasukkan foto itu ke dalam saku jaketnya. "Hahahahahaha. Bagus, kamu memang orang yang paling bisa aku andalkan," ucap Tn. Albert dengan gelak tawa penuh kepuasan. Tak lama kemudian, mereka pun sampai di sebuah rumah mewah nan mega. Milik Tn. Albert tentunya. Di sana telah berjajar puluhan anak buahnya dengan pakaian yang sama, yaitu setelan jas hitam. "Selamat datang, Kak Arsen," seru salah satu anak buahnya, diikuti serempak oleh anak buahnya yang lain. "Ya," singkat Arsenio, kharisma dan aura dinginnya sungguh tak terbantahkan. "Pergilah mandi, kemudian istirahatlah, karena besok kamu akan mulai melakukan misi," ucap Tn. Albert, menepuk bahu kekar Arsen. "Oke." Tanpa menoleh, Arsenio langsung pergi menuju kamar lama—kamar mewah yang sudah ia tempati sejak datang ke tempat itu. "Ah..." desahan lembut terluncur dari bibirnya saat tubuhnya terbenam ke dalam hangatnya air di dalam bathtub. Rasa lelah menyeruak pergi, digantikan oleh kenyamanan yang sudah lama tak ia rasakan. Pria itu memejamkan mata, merendam setiap inci kelelahan dalam tubuhnya. Namun, dalam keheningan dan kedamaian itu, tiba tiba ia teringat wajah gadis dalam foto. "Wajahnya... terasa tak asing. Tapi... di mana aku pernah melihatnya?" gumamnya pelan, hatinya kini dibayangi rasa penasaran yang mendalam.Empat jam telah berlalu, tapi keheningan antara Alexa dan Arsenio seolah menebal tanpa terpecahkan. Mereka masuk ke pintu belakang mobil, duduk bersebelahan dengan jarak yang begitu dekat. Mobil melaju pelan, sementara mata Arsenio tak pernah beranjak dari sosok Alexa di sisinya — pandangan itu tajam, penuh pertanyaan dan rahasia yang belum terungkap. ‘Kenapa gadis ini bisa buta? Dia banyak bicara, tapi tak pernah membicarakan tentang penyebab kebutaannya,’ batin Arsenio tiba tiba penasaran. "Pak, antar aku ke tempat biasa, ya!” pinta Alexa kepada supirnya yang sudah tua itu. "Baik, Nona,” sahut sang supir singkat. Dahi Arsenio berkerut, hatinya penuh tanda tanya, ‘Kemana dia akan pergi? Apakah dia akan pergi memeriksa aset-asetnya? Bagus… Dengan begitu aku akan segera tau, dan aku akan segera pergi setelah mendapatkan bagianku.’ Tak lama kemudian, supirnya berhenti di depan sebuah toko mainan besar yang bersebelahan dengan toko makanan ringan. “Kita sudah sampai,
Kring Kring Kring Tiba tiba Arsenio dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering. "Tuan Thomas,” gumamnya. Ia mengintip sejenak ke ruang kerja, terlihat Alexa dengan wajah serius sedang meraba tulisan di atas kertas, kemudian menandatanganinya. Arsenio segera mengangkat panggilan itu dan pergi menjauhi ruangan Alexa. "Ya! Ada apa?” sahut Arsenio. "Arsen, kamu mencabut semua kamera di kamar Alexa, kan? " tanya Tn. Thomas terdengar marah. "Ya! Memang kenapa?" jawab Arsenio kemudian balik bertanya. "Kenapa kamu melakukan itu! Aku perintahkan kamu untuk memasangnya kembali!” bentak Tn. Thomas. "Tidak!” tegas Arsenio. "Kurang ajar! Kamu berani menentang aku. Ingat! Aku yang akan membayarmu nanti!" Tn. Thomas naik pitam. "Aku dibayar untuk menjadi bodyguardnya, dan untuk mengetahui di mana gadis buta itu menyimpan semua aset- asetnya. Selain itu aku menolak!” jawab Arsenio dengan nada tegas dan datar. "Sial!” Tn. Thomas tak bisa bicara apapun lagi. "Ak
Ini... ini..." Pelayan itu bergetar hebat. "Cepat katakan! Jika tidak, aku akan membunuhmu!" ancam Arsenio. “Anda tak bisa membunuhku, karena ini perintah dari Tuan Thomas," ucap sang pelayan. "Apa? Tuan Thomas?" Arsenio terperangah, "Lalu, apa Nyonya Audrey mengetahuinya?" sambungnya bertanya, dahinya berkerut dalam. "Tidak, Tuan Thomas menyuruhku merahasiakannya dari siapapun, termasuk Nyonya Audrey." Dengan ragu pelayan itu menjawab. "Berikan itu padaku!" Arsenio merebut obat itu dari tangan pelayan dengan kasar. Ia mencicipi sedikit dari obat serbuk itu, "Ini obat perangsang? Apa maksudnya dengan ini?" sambungnya bergumam, kedua alisnya bertaut ketat. "Tapi, Tuan. Nanti Tuan Thomas akan marah padaku," ujar pelayan itu dengan suara bergetar. "Masalah Tuan Thomas biar aku yang urus. Jangan pernah berikan obat ini pada Nona Alexa lagi! Paham?!" tegas Arsenio. "Ba-baiklah, Tuan," jawab pelayan itu ketakutan. "Sejak kapan kamu memberikan obat ini pada Nona Alexa?" tanya
"Ini adalah kamarmu, kepala pelayan akan mempersiapkan semuanya untukmu, dari mulai pakaian dan juga makanan, dan kamarku tepat ada di depan kamar ini," jelas Alexa. Mata Arsenio menelusuri setiap detail ruangan luas itu. Sejenak ia berdecak takjub melihat kamarnya yang dua kali lipat lebih mewah dari kamarnya yang berada di kediaman Tn. Albert. "Apakah kamu sudah tahu apa saja tugasmu?" tanya Alexa kemudian. "Tentu, aku sudah tahu," sahut Arsenio. "Baiklah, sekarang bersiaplah! Antar aku shopping!" seru Alexa dengan semangat. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, memacu tongkatnya—melangkah pergi ke keluar dari ruangan itu. "Shopping? Oke! Aku ingin tahu, bagaimana gadis buta berbelanja," gumam Arsenio sambil menggelengkan kepalanya. Singkat cerita, mereka pun tiba di mall terbesar di kota itu, semangat Alexa tak terbendung. Meski kehilangan penglihatannya, setiap aroma dan suara di sekitar menghidupkan imajinasinya. Dia tahu persis arah toko langganannya, tongkat d
Keesokan harinya... "Kamu sudah siap, Arsenio. Kamu... kembali tampan sekarang. Hahaha," ucap Tn. Albert, seperti biasa, tawanya selalu mengiringi ucapannya. Pria dingin itu, mencukur rambut dengan gaya Caesar Cut, gaya rambut yang klasik dan simple, membuatnya semakin gagah, aura dingin dan sangar semakin terpancar. Ia juga menghilangkan semua bulu di wajahnya, mempertegas garis wajahnya yang maskulin. Ditambah dengan setelah jas serba hitam dan sepatu pentofel mengkilat yang menambah kesan wibawanya. "Ya" Dan seperti biasa, jawabannya sangat singkat. Wajah Tn. Albert berubah serius, suaranya serak saat berkata: "Nyonya Audrey, Tuan Thomas dan juga Nona Alexa si gadis buta putri konglomerat itu sudah menunggumu di sana, kamu sudah tahu tugasmu, kan, Arsen?" "Ya, aku mengerti," sahut Arsenio. Tanpa menunggu lama, Arsenio dengan penuh keyakinan dalam mengemban tugas yang telah diperintahkan, pergi menuju Kediaman megah milik Alexa Jennifer. 'Aku harus berhasil menyeles
Suara jeruji besi yang berderit menggema di seluruh ruangan yang lembab dan gelap, menciptakan atmosfer yang mencekam. Tiba-tiba, suara seorang sipir memecah kesunyian, "Tahanan nomor 165, keluarlah! Kamu bebas hari ini," serunya lantang. Seorang pria yang sedang duduk tertunduk perlahan mengangkat kepalanya—Arsenio Alvier, manusia berdarah dingin melekat setiap kali namanya disebut, pria tinggi dan kekar berumur 27 tahun itu berdiri tegak kemudian berjalan melangkah keluar dari balik Jeruji besi yang sudah ia diami selama 7 tahun setelah dituduh melakukan satu pembunuhan. Kedua bola matanya yang coklat berkeliling menatap suasana di luar gedung tinggi dan tertutup itu, kedua alisnya bertaut ketat saat sinar matahari menerpa kedua matanya. Rambutnya yang gondrong berantakan, serta kumis dan juga janggut tipis membuat wajah tampannya terlihat liar dan sangar. Sreeeeetttttttttttt Tiba tiba, sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapan Arsenio. Kaca hitam jendela belakang mobi