Sejak kedua orang tuanya tiada, dunia telah kehilangan segala warnanya bagi Alexa; kebahagiaan seolah menjadi bayang-bayang yang tak pernah mampu ia sentuh. Seolah semua penderitaannya tak cukup membuatnya merana, entah sejak kapan Alexa merasakan gairah panas menyeruak tanpa henti, yang ia juga tak paham bagaimana semua ini bisa terjadi. Rahasia itu ia simpan rapat, terkunci di balik senyum dan diamnya, membelit malam-malam dengan napas yang berat dan desir hasrat. Ketika ia teramat menginginkan sentuhan, terasa berkali lipat memberikan Alexa penderitaan ketimbang kenikmatan.
Di sebuah rumah mewah yang tampak seperti sebuah kastil, seorang gadis muda tengah duduk sendiri di meja makan yang panjang dan sepi. “Bi, minum!” perintah gadis itu tegas namun anggun. Alexa Jennifer—gadis muda berusia 21 tahun. Dia tampak mempesona dengan balutan dress mewah nan elegan berwarna putih menutupi kulitnya yang putih bersih, dengan accesories kalung, anting dan juga gelang yang terbuat dari mutiara asli. Rambutnya panjang terurai indah berwarna kecoklatan. Dengan anggun ia meneguk segelas air putih, disusul dengan memasukkan potongan daging sapi ke dalam mulutnya. Namun matanya yang biru indah, tetap fokus ke depan, menatap kegelapan. "Nona, apakah anda membutuhkan yang lain?" tanya Alis, pelayan rumahnya. "Tidak!" sahutnya sembari mengusap lembut bibirnya dengan tisu setelah meneguk air putih. "Aku mau ke kamar," ucapnya menambahkan. "Baik, Nona," sahut Alis, kepala menunduk hormat. Dengan perlahan Alexa meraih tongkatnya, lalu berdiri tegak, ia sama sekali tak ingin dibantu oleh siapapun yang akan membuatnya lemah dan manja. Walau terkadang ia sering terjatuh karena kecerobohannya. "Alexa sayang, kamu mau kemana, sayangku?" tanya seorang wanita mengalun lembut. Wanita berumur 37 tahun itu berdiri, wajahnya cantik namun sorot matanya tajam penuh ambisi dan keserahakan. Dia adalah adik satu satunya dari ayah kandung Alexa—Ny. Audrey. Alexa sontak berhenti, wajahnya menghadap ke arah suara, "Aku mau ke kamar tante," sahutnya lembut. "Tante mau bicara sebentar sama kamu, sayang, " ucap Ny. Audrey dengan mulut manisnya. Alexa terdiam sejenak, teringat pembicaraan Ny. Audrey beberapa hari yang lalu. "Tenang, sayang... tante tak akan membahas tentang harta dan perusahaan orang tuamu lagi," ujar Ny. Audrey. "Lalu apa, tante?" tanya Alexa. "Sayang, Om dan Tante sangat khawatir sama kamu, kamu adalah keluarga Tante satu-satunya. Kamu adalah keponakan Tante, sayang," ucap Ny. Audrey dramatis. "Lalu apa keinginanmu, Tante?" Alexa bertanya lagi. "Kamu tinggal seorang diri di rumah sebesar ini dan hanya ditemani beberapa pekerja, dalam keadaanmu yang seperti ini, Tante sangat cemas, bahkan kamu harus meneruskan perusahaan orang tuamu. Om dan Tante sudah berdiskusi di rumah, kami sudah menyewakanmu seorang bodyguard. Dia akan menjagamu dan membantumu bekerja, sayang, " bujuk Ny. Audrey. "Tidak, Tante. Aku bisa sendiri, aku tak suka ada orang asing di dekatku." Alexa menolak tegas. "Sayang... sebenci itu kah kamu pada kami? Sehingga kamu tak mau menerima rasa perhatian kami?" ucap lirih Ny. Audrey. "Maafkan aku kak... aku tak bisa menjaga anakmu dengan baik," sambungnya dengan nada meringis, bicara pada orang yang tak ada. Alexa merasa tak nyaman. "Bukannya begitu Tante,,tapi..." "Dengar, sayang... kamu harus mengemban amanah dari kedua orang tuamu bukan? Maaf, sayang, dengan keadaanmu yang seperti ini kamu tak kan bisa melakukannya dengan maksimal, kamu harus mempunyai seseorang yang membantumu, Tante sudah menyewa orang yang pintar, cekatan dan dapat dipercaya. Dia juga bisa melindungimu dari orang jahat. Apa kamu tau? Pesaing perusahaan ayahmu itu banyak, mereka bisa menghalalkan segala cara agar perusahaan ayahmu jatuh," ucap Ny. Audrey dengan niat menakut nakuti. Alexa menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan, "Baiklah, Tante. Tapi aku ingin menemuinya terlebih dahulu. Jika aku tak suka, aku tak kan menerimanya." Alexa menegaskan. "Oke, sayang. Terima kasih, ya. Kamu sudah ngertiin perasaan Tante. Sekarang tante pulang dulu, ok," ucap Ny. Audrey tersenyum, sembari mendelikkan kedua matanya sinis. "Ya, tante," sahut Alexa. Gadis itu kembali mengarahkan tongkatnya ke depan. Dengan tangan terangkat, ia meraih pagar tangga, perlahan ia berjalan menaiki satu per satu anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua rumah mewah itu.Empat jam telah berlalu, tapi keheningan antara Alexa dan Arsenio seolah menebal tanpa terpecahkan. Mereka masuk ke pintu belakang mobil, duduk bersebelahan dengan jarak yang begitu dekat. Mobil melaju pelan, sementara mata Arsenio tak pernah beranjak dari sosok Alexa di sisinya — pandangan itu tajam, penuh pertanyaan dan rahasia yang belum terungkap. ‘Kenapa gadis ini bisa buta? Dia banyak bicara, tapi tak pernah membicarakan tentang penyebab kebutaannya,’ batin Arsenio tiba tiba penasaran. "Pak, antar aku ke tempat biasa, ya!” pinta Alexa kepada supirnya yang sudah tua itu. "Baik, Nona,” sahut sang supir singkat. Dahi Arsenio berkerut, hatinya penuh tanda tanya, ‘Kemana dia akan pergi? Apakah dia akan pergi memeriksa aset-asetnya? Bagus… Dengan begitu aku akan segera tau, dan aku akan segera pergi setelah mendapatkan bagianku.’ Tak lama kemudian, supirnya berhenti di depan sebuah toko mainan besar yang bersebelahan dengan toko makanan ringan. “Kita sudah sampai,
Kring Kring Kring Tiba tiba Arsenio dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering. "Tuan Thomas,” gumamnya. Ia mengintip sejenak ke ruang kerja, terlihat Alexa dengan wajah serius sedang meraba tulisan di atas kertas, kemudian menandatanganinya. Arsenio segera mengangkat panggilan itu dan pergi menjauhi ruangan Alexa. "Ya! Ada apa?” sahut Arsenio. "Arsen, kamu mencabut semua kamera di kamar Alexa, kan? " tanya Tn. Thomas terdengar marah. "Ya! Memang kenapa?" jawab Arsenio kemudian balik bertanya. "Kenapa kamu melakukan itu! Aku perintahkan kamu untuk memasangnya kembali!” bentak Tn. Thomas. "Tidak!” tegas Arsenio. "Kurang ajar! Kamu berani menentang aku. Ingat! Aku yang akan membayarmu nanti!" Tn. Thomas naik pitam. "Aku dibayar untuk menjadi bodyguardnya, dan untuk mengetahui di mana gadis buta itu menyimpan semua aset- asetnya. Selain itu aku menolak!” jawab Arsenio dengan nada tegas dan datar. "Sial!” Tn. Thomas tak bisa bicara apapun lagi. "Ak
Ini... ini..." Pelayan itu bergetar hebat. "Cepat katakan! Jika tidak, aku akan membunuhmu!" ancam Arsenio. “Anda tak bisa membunuhku, karena ini perintah dari Tuan Thomas," ucap sang pelayan. "Apa? Tuan Thomas?" Arsenio terperangah, "Lalu, apa Nyonya Audrey mengetahuinya?" sambungnya bertanya, dahinya berkerut dalam. "Tidak, Tuan Thomas menyuruhku merahasiakannya dari siapapun, termasuk Nyonya Audrey." Dengan ragu pelayan itu menjawab. "Berikan itu padaku!" Arsenio merebut obat itu dari tangan pelayan dengan kasar. Ia mencicipi sedikit dari obat serbuk itu, "Ini obat perangsang? Apa maksudnya dengan ini?" sambungnya bergumam, kedua alisnya bertaut ketat. "Tapi, Tuan. Nanti Tuan Thomas akan marah padaku," ujar pelayan itu dengan suara bergetar. "Masalah Tuan Thomas biar aku yang urus. Jangan pernah berikan obat ini pada Nona Alexa lagi! Paham?!" tegas Arsenio. "Ba-baiklah, Tuan," jawab pelayan itu ketakutan. "Sejak kapan kamu memberikan obat ini pada Nona Alexa?" tanya
"Ini adalah kamarmu, kepala pelayan akan mempersiapkan semuanya untukmu, dari mulai pakaian dan juga makanan, dan kamarku tepat ada di depan kamar ini," jelas Alexa. Mata Arsenio menelusuri setiap detail ruangan luas itu. Sejenak ia berdecak takjub melihat kamarnya yang dua kali lipat lebih mewah dari kamarnya yang berada di kediaman Tn. Albert. "Apakah kamu sudah tahu apa saja tugasmu?" tanya Alexa kemudian. "Tentu, aku sudah tahu," sahut Arsenio. "Baiklah, sekarang bersiaplah! Antar aku shopping!" seru Alexa dengan semangat. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, memacu tongkatnya—melangkah pergi ke keluar dari ruangan itu. "Shopping? Oke! Aku ingin tahu, bagaimana gadis buta berbelanja," gumam Arsenio sambil menggelengkan kepalanya. Singkat cerita, mereka pun tiba di mall terbesar di kota itu, semangat Alexa tak terbendung. Meski kehilangan penglihatannya, setiap aroma dan suara di sekitar menghidupkan imajinasinya. Dia tahu persis arah toko langganannya, tongkat d
Keesokan harinya... "Kamu sudah siap, Arsenio. Kamu... kembali tampan sekarang. Hahaha," ucap Tn. Albert, seperti biasa, tawanya selalu mengiringi ucapannya. Pria dingin itu, mencukur rambut dengan gaya Caesar Cut, gaya rambut yang klasik dan simple, membuatnya semakin gagah, aura dingin dan sangar semakin terpancar. Ia juga menghilangkan semua bulu di wajahnya, mempertegas garis wajahnya yang maskulin. Ditambah dengan setelah jas serba hitam dan sepatu pentofel mengkilat yang menambah kesan wibawanya. "Ya" Dan seperti biasa, jawabannya sangat singkat. Wajah Tn. Albert berubah serius, suaranya serak saat berkata: "Nyonya Audrey, Tuan Thomas dan juga Nona Alexa si gadis buta putri konglomerat itu sudah menunggumu di sana, kamu sudah tahu tugasmu, kan, Arsen?" "Ya, aku mengerti," sahut Arsenio. Tanpa menunggu lama, Arsenio dengan penuh keyakinan dalam mengemban tugas yang telah diperintahkan, pergi menuju Kediaman megah milik Alexa Jennifer. 'Aku harus berhasil menyeles
Suara jeruji besi yang berderit menggema di seluruh ruangan yang lembab dan gelap, menciptakan atmosfer yang mencekam. Tiba-tiba, suara seorang sipir memecah kesunyian, "Tahanan nomor 165, keluarlah! Kamu bebas hari ini," serunya lantang. Seorang pria yang sedang duduk tertunduk perlahan mengangkat kepalanya—Arsenio Alvier, manusia berdarah dingin melekat setiap kali namanya disebut, pria tinggi dan kekar berumur 27 tahun itu berdiri tegak kemudian berjalan melangkah keluar dari balik Jeruji besi yang sudah ia diami selama 7 tahun setelah dituduh melakukan satu pembunuhan. Kedua bola matanya yang coklat berkeliling menatap suasana di luar gedung tinggi dan tertutup itu, kedua alisnya bertaut ketat saat sinar matahari menerpa kedua matanya. Rambutnya yang gondrong berantakan, serta kumis dan juga janggut tipis membuat wajah tampannya terlihat liar dan sangar. Sreeeeetttttttttttt Tiba tiba, sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapan Arsenio. Kaca hitam jendela belakang mobi