Share

Bab 8. Siasat (2)

last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-01 16:16:24

Beberapa hari berlalu sejak percakapan malam itu, dan suasana di rumah besar keluarga Lawrence menjadi ladang sunyi yang dipenuhi bisik-bisik tajam. Zera tetap menjalani hari-harinya dengan tenang—terlalu tenang hingga membuat orang di sekelilingnya tidak bisa membaca kapan ia akan meledak atau justru hancur diam-diam.

Hari itu, Zera sedang duduk di taman belakang, di bawah pohon palem kecil. Jemarinya menyentuh buku Braille yang dibacakan oleh Nia, pelayan muda yang mulai dekat dengannya. Tiba-tiba langkah cepat menghentikan suara pelan dari Nia.

“Zera!” seru Clarisse.

Zera menoleh pelan. Ia tak bisa melihat siapa yang baru saja memanggil namanya, tapi ketegangan dari suara itu begitu jelas.

“Maaf Nona Clarisse, Nona Zera sedang belajar,” ucap Nia, berdiri dan menunduk gugup.

“Pergi kau dari sini,” kata Clarisse dingin pada Nia. “Aku perlu bicara berdua dengan… istri sementara Johnny.”

Zera menahan napas. Nia tampak enggan, tapi dengan ragu akhirnya mundur dan meninggalkan mereka berdua.

Clarisse mendekat dengan langkah pelan namun pasti. “Aku akan langsung ke intinya,” katanya. “Kau harus pergi dari rumah ini. Kalau tidak, jangan salahkan aku jika Johnny sendiri yang mengusirmu nanti.”

“Aku tidak berniat mengganggu,” jawab Zera tenang. “Aku hanya butuh tempat untuk bertenduh dan berlindung, tak ada niat sekalipun untuk menyelinap dalam hubungan kalian.”

Clarisse menyeringai. “Berhenti pura-pura lugu. Kau pikir aku tidak tahu permainanmu? Tanganmu mungkin lemah, tapi kata-katamu tajam. Kau mencoba memikat Johnny diam-diam, membuatnya merasa bersalah, membuat dia... memperhatikanmu.”

Zera mengerutkan kening. “Aku tidak pernah meminta dia memperhatikan apa pun dariku.”

Clarisse menunduk, menyamakan tinggi wajah mereka, lalu berbisik, “Tapi kau menikmatinya, bukan? Saat dia membelamu. Saat dia menyentuh tanganmu. Kau pikir itu cinta?”

Zera menegakkan tubuhnya, walau tubuhnya menggigil. “Aku tidak punya ilusi sejauh itu.”

Clarisse menggeleng pelan, lalu tiba-tiba berseru dengan suara keras, “Lepaskan aku, Zera!”

Zera terkejut. “Apa—”

Langkah kaki terdengar. Johnny datang dari arah samping taman, wajahnya gelap.

“Apa yang terjadi?” tanyanya tajam.

Clarisse berlari kecil menghampirinya, memasang wajah takut. “Dia… dia menggenggam tanganku dan mencengkeramnya. Aku hanya ingin bicara baik-baik, Johnny.”

Zera berdiri kaku, seolah tersambar petir.

Johnny menatap ke arah Zera. “Benarkah itu?”

Zera menggeleng pelan. “Aku bahkan tak tahu di mana dia berdiri sebelum dia bicara. Aku tak menyentuhnya, Johnny. Aku duduk di sini sejak tadi.”

Clarisse pura-pura menahan tangis. “Aku cuma ingin memperbaiki hubungan kami. Tapi dia langsung menolak dan—dan menuduhku macam-macam. Dia kasar.”

Zera mengatupkan bibir. Di dadanya, jantung berdetak tidak karuan. Ia tahu Clarisse memutarbalikkan fakta, dan lebih dari itu—ia tahu Johnny mulai meragukannya.

Johnny tidak langsung bicara. Ia hanya menatap Zera, lalu Clarisse. Sorot matanya gelap, rahangnya mengeras.

“Clarisse, kembali ke kamar,” katanya akhirnya.

Clarisse tampak enggan, tapi menurut. Sebelum pergi, ia melemparkan pandangan tajam pada Zera—pandangan kemenangan.

Setelah wanita itu pergi, Johnny masih berdiri di sana.

Zera membuka suara pelan. “Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi aku tidak pernah menyakitinya, Johnny.”

Johnny mengangguk pelan, tapi tak berkata apa-apa.

“Dan kalau pun aku membencinya… aku tak akan menyentuhnya. Aku bukan orang seperti itu, berada di bawah perlindunganmu saja aku sudah bersyukur, tidak berniat mencari masalah.”

Johnny menarik napas panjang. “Aku tak tahu harus percaya siapa sekarang.”

Zera memejamkan mata. “Itu hakmu. Tapi ketidakpercayaanmu… lebih menyakitkan dari fitnahan apa pun.”

Johnny berbalik tanpa kata dan meninggalkan taman.

Malamnya, di kamar Zera, lampu tidak dinyalakan. Ia duduk di tepi ranjang, masih mengenakan gaun yang sama sejak siang. Tangannya menggenggam helai kain di pangkuannya—erat, seperti ingin mencengkeram realita agar tak tergelincir dari genggamannya.

Ia menarik napas pelan. "Kenapa aku tetap di sini?" batinnya. Suara Clarisse masih terngiang di telinganya, bersama sorot mata Johnny yang menggantung—bimbang, tidak percaya, tidak memilih. Dan justru itu yang paling menyakitkan.

Bukan dibenci yang paling menyakitkan. Tapi diragukan.

Telinganya menangkap suara lembut dari luar jendela—daun jatuh, angin menyusup di sela-sela tirai. Tapi yang lebih ia rasakan adalah keheningan Johnny. Lelaki itu tidak datang malam ini. Tidak mengetuk. Tidak bertanya. Tidak menatap.

Seakan kepercayaan mereka yang rapuh… telah sepenuhnya runtuh.

Air mata menetes di pipi Zera. Bukan karena sedih, tapi karena kecewa pada harapan yang diam-diam pernah tumbuh.

"Aku bahkan tak sempat tahu seperti apa rasanya disayangi," gumamnya. Suaranya mengambang di udara, seolah tak ditujukan pada siapa pun.

***

Di lantai atas, Johnny duduk sendiri di ruang kerjanya. Lampu baca menyala temaram, menyinari berkas-berkas yang belum sempat ia sentuh. Tapi pikirannya bukan pada laporan. Bukan pula pada transaksi gelap yang sedang menunggu tanda tangannya.

Pikirannya tertambat pada gadis buta di taman.

Wajah Zera yang pucat, suara tenangnya, dan caranya mengatakan:

"Aku tidak pernah menyakitinya, Johnny."

"Aku bukan dia."

Johnny menutup mata. Tangannya mengepal, mencengkeram ujung meja.

“Kenapa kau terdengar begitu meyakinkan… padahal aku ingin memercayai Clarisse?”

Ingatan-ingatan kecil berkelebat di pikirannya:

Zera yang duduk diam di bawah pohon, membaca dengan Braille.

Zera yang menyiapkan sarapan diam-diam.

Zera yang tak pernah meminta apa pun—bahkan kasih sayang.

Dan Clarisse? Selalu menuntut, selalu bersandiwara, selalu memakai air mata sebagai senjata.

Johnny mengumpat pelan. "Aku harus tahu siapa di antara kalian yang berbohong."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 25. Kebeneran atau Kebetulan?

    “Zera.”Zera berdiri, tubuhnya sedikit gemetar. Ia tidak bisa membaca ekspresi Johnny, tapi bisa merasakan kemarahan yang menekan di antara jeda napasnya.“Ya?”“Jelaskan padaku... kenapa aku harus mempercayaimu sekarang?” suara Johnny terdengar nyaris berbisik, namun sangat menekan. “Setelah apa yang kulihat di kamar lamamu dengan Shio. Lalu sekarang kau datang ke ruanganku... menyusun sesuatu. Apa yang sebenarnya kau rencanakan?”Zera mengepalkan jemarinya. “Aku tidak merencanakan apa pun. Aku hanya membawakanmu makan siang.”“Makan siang?” Johnny terkekeh sinis. “Kau tahu letak mejaku. Kau tahu di mana pot kecil itu diletakkan. Bahkan kau tahu posisi sendokmu jatuh—dengan akurat.”Ia menatap tajam. “Kau buta, Zera. Tapi hari ini kau seperti punya mata lebih tajam dari siapapun di rumah ini.”Zera diam sejenak. Lalu berkata pelan, “Aku hafal ruangan ini. Setiap sudutnya. Karena aku sering ke sini. Karena aku mengingatnya... dari aroma, dari suara.”“Dari suara?” Johnny mendekat, nap

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 24. Jebakan

    Clarisse berdiri diam. Matanya menyipit saat melihat bayangan dua tubuh yang saling melekat di dalam ruangan. “Zera…” gumamnya pelan, hampir berdesis seperti racun. Jemarinya mencengkeram dinding, rahangnya mengeras saat suara-suara lembut dari dalam ruangan terdengar samar. Saat Johnny menarik Zera dalam pelukan dan membisikkan kata-kata yang hanya diucapkan pria yang sedang jatuh cinta, Clarisse mundur perlahan. Tidak ada air mata di matanya—hanya bara api yang menyala di dasar tatapannya. “Kau benar-benar bodoh, Johnny,” bisiknya getir. “Kau pikir gadis buta itu tulus padamu?” Ia melangkah menjauh, gaun sutranya berdesir mengikuti irama langkah penuh amarah. Sesampainya di kamarnya, Clarisse menjatuhkan dirinya di sofa dengan napas tersengal. Wajahnya yang cantik memerah karena marah dan cemburu. “Aku tidak akan diam saja melihat dia mengambilmu dariku...” Clarisse Menyusun Rencana. Keesokan harinya, Clarisse mengundang pelayan tua bernama Risa, salah satu loyalisnya.

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 23. Muslihat (4)

    Pagi menjelang siang. Zera berjalan pelan dari kamar Johnny, tangannya meraba dinding sebagai penuntun, tapi langkahnya lebih lambat dari biasanya. Setiap gerakan terasa perih—bekas dari kejadian pagi-pagi buta yang terlalu panas untuk disebut sekadar kebetulan. Raut wajahnya datar, namun dari cara ia sesekali mencengkeram perut bagian bawah, terlihat jelas ada ketidaknyamanan. Ia mencoba menyembunyikannya… namun tidak cukup berhasil. Beberapa pelayan wanita yang kebetulan lewat, berhenti sejenak, lalu menatap satu sama lain. “Lihat cara jalannya…,” bisik salah satu pelayan sambil menahan senyum kecil. “Pagi-pagi keluar dari kamar Tuan Johnny… dan sekarang begitu?” “Jangan keras-keras. Tapi… sepertinya mereka benar-benar tidur bersama tadi malam.” “Tapi bukankah biasanya Tuan John tidur di ruang kerjanya?” Zera mengabaikan suara-suara itu. Tapi hatinya berdebar. Ia sadar apa yang mereka pikirkan. Ia tahu kabar bisa menyebar lebih cepat dari angin. Tiba-tiba langkahnya t

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 22. Muslihat (3)

    Sinar pagi menembus celah tirai, menyinari kamar dengan hangatnya. Udara terasa segar dan lembab setelah malam panjang yang menyimpan banyak rahasia. Zera keluar dari kamar mandi dengan tubuh hanya dibalut handuk putih, rambutnya basah menetes perlahan hingga ke bahu. Ia mengusap rambut dengan handuk kecil, mengira Johnny sudah pergi sejak pagi seperti biasanya. “Dia pasti sibuk… Tak mungkin masih di sini,” gumamnya pelan. Zera berjalan perlahan menuju sisi ranjang, ingin mengambil baju dari tas kecilnya. Ia meraba ujung tempat tidur, tidak menyadari bahwa Johnny masih berbaring di sana, membelakanginya dalam diam. Johnny membuka matanya perlahan. Ia terjaga sejak Zera mandi. Tapi entah mengapa, ia terlalu malas untuk bangun… atau mungkin terlalu tertarik menunggu. Suara langkah kaki Zera. Aroma sabun yang masih melekat di kulitnya. Uap hangat dari tubuh yang baru selesai mandi. Semua membuat darahnya mendidih. Zera yang tengah berdiri dan membenahi rambut, tiba-tiba tersan

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 21. Muslihat (2)

    Zera bersandar lemah di bahu Shio. Tubuhnya tampak ringkih, dengan lengan kiri dibalut perban seadanya. Di pelukannya, selimut kecil membungkus tubuh mungilnya yang menggigil seolah habis diterpa badai.Shio berjalan pelan, berhati-hati agar tak menyakiti Zera yang tampak kesakitan."Aku... minta maaf, Shio..." gumam Zera dengan suara parau. "Karena aku... sudah merepotkanmu seperti ini."Shio menoleh, suaranya tenang tapi khawatir. "Berhenti bilang begitu. Kau baru saja diserang. Sudah sewajarnya aku melindungimu.""Tapi Johnny... dia pasti marah kalau tahu kau membantuku sejauh ini...""Aku tak peduli kalau dia marah. Aku bertanggung jawab menjaga keselamatanmu."Zera memeluk lengannya sendiri, berpura-pura menggigil lebih kuat."Aku takut... orang itu... dia bilang Johnny bukan orang baik. Tapi aku... aku tak ingin mempercayainya. Aku hanya ingin semuanya seperti biasa."Shio berhenti sejenak, lalu menatap wajah pucat Zera."Zera..." suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku tah

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 20. Muslihat

    Zera duduk di bangku kayu, jubah tidurnya membungkus tubuh, sementara tangannya menggenggam kalung yang diam-diam ia sembunyikan. Ia tak sendiri.Dari balik semak tinggi, suara langkah kaki nyaris tak terdengar mendekat. Sosok lelaki muncul tanpa suara, mengenakan jas panjang hitam. Wajahnya samar, tapi nada suaranya dingin dan tenang."Zera."Tubuh gadis itu menegang. Tapi ia tak lari. Ia sudah tahu—seseorang pasti akan datang padanya lagi. Ia..tahu ia telah membuka pintu menuju dunia yang jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan."Jangan teriak. Aku di sini bukan untuk mencelakakanmu," kata pria itu pelan. Ia meletakkan sebuah benda kecil ke tangan Zera. Bentuknya seperti kancing logam bundar, dingin dan ringan."Apa ini?" bisik Zera."Pemicu untuk membuka chip itu. Dengan ini, kau bisa mendengar rekamannya... semua rekaman yang Nia pertaruhkan nyawanya untuk disimpan."Zera meraba benda itu dengan hati-hati. Tak butuh banyak untuk merasa bahwa ini bukan benda biasa."Dan ini," lanj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status