Malam hari.
Charlotte berdiri di dekat jendela kamar, memandangi liontin peninggalan ibunya yang tergantung di lehernya. Jemarinya dengan lembut membuka liontin itu, ia selalu penasaran dengan liontin tersebut.
"Kenapa kalung ini tidak ada foto Mama? Aku bahkan tidak tahu wajah Mama sampai sekarang," gumamnya dengan suara lirih, matanya berkabut oleh rasa penasaran yang tak kunjung terjawab.
Di saat yang sama, Elvis melangkah melewati kamar putrinya. Pandangannya tertarik pada sosok Charlotte yang berdiri diam dengan liontin terbuka di tangannya. Seketika, tatapan Elvis berubah tegang. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan, sesuatu yang tak seharusnya diketahui putrinya.
Dengan langkah cepat, Elvis masuk ke dalam kamar.
"Lolipop," panggilnya, mencoba menghentikan gerakan Charlotte yang tampak begitu fokus pada liontin itu.
Charlotte menoleh dan menatap ayahnya dengan heran.
"Papa? Sudah malam, kenapa belum tidur?" tanyanya, suaranya mengandung keheranan.
Elvis menghela napas pelan. Ia berjalan mendekat, lalu berdiri di samping putrinya. "Seharusnya aku yang bertanya begitu, Besok kamu harus bekerja, kenapa masih berdiri di sini larut malam?" jawabnya dengan nada lembut, meskipun ada kegelisahan samar dalam suaranya.
"Aku hanya penasaran dengan kalung ini, Pa," katanya pelan, suaranya penuh harap. "Kenapa tidak ada foto Mama di dalamnya? Biasanya, liontin seperti ini menyimpan sesuatu yang berharga, kan? Tapi ini kosong... kenapa?"
Tatapan Elvis menggelap seketika. Ia menelan ludah, seolah mencari jawaban yang tepat untuk diberikan kepada putrinya. Namun, yang tersimpan di dalam hatinya bukanlah jawaban yang mudah untuk diungkapkan.
"Lolipop, untuk apa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?" suara Elvis terdengar sedikit bergetar. "Mamamu meninggal begitu cepat, sehingga Papa tidak sempat mengambil fotonya."
"Papa mengatakan Mama meninggal akibat kebakaran, apakah benar?" tanya Charlotte dengan nada hati-hati, namun penuh tekanan.
Elvis menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Wajahnya berubah muram, seakan-akan dia kembali mengingat sesuatu yang menyakitkan.
"Iya, itu semua karena kesalahan Papa juga," jawabnya lirih. "Andaikan siang itu Papa membawa Mamamu keluar bersama, maka Mamamu pasti tidak akan menjadi korban."
Charlotte merasakan hatinya mencelos. Selama ini ia hanya mengetahui bahwa ibunya meninggal dalam kebakaran, tetapi tidak pernah mendengar detailnya langsung dari sang ayah.
"Ada lagi, sejak kapan kamu mengenal Daniel Harris? Apakah hubungan kalian begitu dekat sehingga dia ingin melamarmu?" tanya Daniel.
"Papa, aku tidak ingin menikah dulu. Itu terlalu cepat bagiku," Charlotte menambahkan cepat, tidak ingin ayahnya mengambil keputusan sepihak.
Elvis menghela napas pelan. "Kalau memang itu yang kamu pikirkan, Papa tidak akan memaksamu," katanya lembut. "Tapi dari sorotan matanya, dia bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia bukan hanya seorang CEO biasa."
Charlotte mengernyit. "Kenapa Papa begitu yakin? Padahal Papa dan dia belum pernah bertemu."
Elvis terdiam sesaat sebelum menjawab, "Daniel Harris muncul tiba-tiba, kita hanya orang dari kalangan rendah. Jangan terlalu dekat dengannya. Untuk masuk ke keluarganya juga tidak mudah, apalagi kalau dia memiliki seorang ibu tiri dan adik tiri."
Charlotte termenung, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Pikirannya penuh dengan kebingungan dan penyesalan. "Malam pertamaku telah diambilnya… Aku rugi besar. Kalau aku minta ganti rugi, sepertinya aku menjual diri. Kalau aku diam, aku yang rugi. Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya dalam hati.
Elvis, yang sejak tadi memperhatikan putrinya, mengerutkan kening. "Apa yang kamu pikirkan? Kenapa diam saja?" tanyanya, suaranya mengandung kekhawatiran.
Charlotte tersentak dari lamunannya. Ia menatap ayahnya dengan mata penuh tekad, mencoba menyembunyikan perasaannya yang campur aduk. "Aku juga tidak menyukainya, Papa," katanya dengan suara mantap. "Jangan cemaskan aku! Aku akan berhati-hati dalam memilih pasangan, agar tidak seperti Mama yang memiliki suami yang suka nikah cerai."
Elvis terdiam sejenak, lalu mendesah panjang. Dengan tangan besar dan kasar, ia menepuk dahi putrinya ringan, membuat Charlotte sedikit meringis. "Bisanya kau mengejek ayahmu sendiri," ujarnya dengan nada pasrah, meskipun ada sedikit senyum di sudut bibirnya.
Charlotte hanya tersenyum kecil. Ia tahu, meskipun ayahnya tampak santai, pria itu sebenarnya menyimpan banyak hal yang belum ia ketahui. Dan salah satunya adalah rahasia tentang masa lalu ibunya.
Setelah beberapa saat berbicara dengan Charlotte, Elvis keluar dari kamar putrinya dengan ekspresi serius. Langkahnya berat, seolah pikirannya dipenuhi oleh sesuatu yang mengganggunya.
"Daniel Harris… Kenapa sorotan matanya tidak asing? Apakah ini hanya kebetulan, atau aku pernah melihatnya sebelumnya?" batinnya.
Rasa penasaran itu semakin kuat. Ia segera menuju kamarnya, mengambil ponselnya, dan dengan cepat menekan nomor tujuan.
Tak lama kemudian, suara seorang pria terdengar dari seberang sana. "Hallo."
Tanpa basa-basi, Elvis berkata dengan nada tegas, "Selidiki Daniel Harris. Aku ingin tahu semua tentangnya!"
"Baik, Bos," jawab pria di seberang dengan sigap.
Elvis mengakhiri panggilan tanpa berkata apa-apa lagi. Tak ada yang tahu siapa yang dihubunginya secara diam-diam, atau alasan di balik penyelidikan itu. Pria yang biasanya ceria kini terlihat begitu misterius, seolah menyimpan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Keesokan Harinya
Pagi itu, Charlotte tiba di studio tempatnya bekerja. Ia membuka pintu dengan sedikit terburu-buru dan melangkah masuk. Udara di dalam ruangan terasa sedikit berbeda, seolah ada sesuatu yang berubah. Tanpa banyak pikir, ia meletakkan tasnya di atas meja kerja dan bersiap memulai hari.
Namun, sebelum ia sempat duduk, Kelvin—rekan kerjanya—mendekat dan berbisik dengan nada penuh rahasia. "Lolipop, bos baru kita sudah datang, dan pengurus kita tiba-tiba dipecat. Tidak tahu apa sebabnya."
Charlotte mengernyit. "Bos baru?"
Kelvin mengangguk. "Iya, dan kabarnya, dia orang yang cukup berpengaruh. Tapi yang membuatku penasaran, kenapa tiba-tiba terjadi perubahan drastis seperti ini?"
"Siapa bos baru kita, dan apa alasan bos lama ingin menjual studionya pada orang lain?" tanya Charlotte dengan penasaran.
Kelvin, yang tengah sibuk merapikan beberapa dokumen di mejanya, menoleh sebentar sebelum menjawab, "Mungkin butuh uang, karena anak gadisnya akan melanjutkan pelajarannya ke luar negeri."
Charlotte mengangguk kecil, mencoba mencerna informasi itu. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara nyaring Sally terdengar di seluruh ruangan.
"Lolipop, Bos ingin bertemu denganmu!" seru Sally sambil menghampiri Charlotte dengan langkah cepat.
Charlotte mengerutkan kening, sedikit enggan. "Apakah orangnya menakutkan?" bisiknya, merasa was-was.
Sally justru tersenyum lebar, ekspresinya tampak penuh kekaguman. "Tenang saja, dia bahkan sangat tampan. Senyumannya sangat menawan," katanya dengan nada menggoda.
Tanpa menunggu lebih lama, ia pun melangkah menuju ruang kantor atasannya. Perasaannya bercampur aduk—penasaran, gugup, sekaligus tak sabar ingin melihat sosok pria yang kini menjadi bos barunya.
Charlotte tiba di depan pintu ruang kantor. Ia menarik napas dalam sebelum mengetuk perlahan.
Klek!
Pintu terbuka, dan Charlotte melangkah masuk dengan sopan. "Tuan," sapanya singkat.
Pandangan pertamanya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri menghadap jendela besar. Cahaya matahari pagi menyinari tubuhnya, menciptakan siluet yang tampak gagah dan berwibawa.
Charlotte menunggu, jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas.
Lalu, pria itu berbalik perlahan.
Saat mata mereka bertemu, Charlotte terbelalak, napasnya tercekat. "D-Daniel Harris...?" gumamnya, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pria itu—bos barunya—tersenyum tipis, tatapan matanya tajam sekaligus mengandung sesuatu yang sulit ditebak.
"Charlotte Wilson, Kita bertemu lagi," ucap Daniel dengan senyum.
Charlotte berdiri di ambang pintu dengan tubuh bergetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena amarah yang membakar setiap inci dirinya. Matanya memerah, dan air mata yang ia tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dikendalikan. Ia tak lagi peduli jika terlihat lemah—saat ini, ia hanya ingin melampiaskan semua rasa sakitnya."Tuan, mungkin istri Anda akan datang. Lebih baik kita hentikan dulu," ucap wanita itu dengan suara menggoda, meski ada sedikit kegelisahan dalam nadanya.Daniel tertawa kecil, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Ia mengusap wajah wanita itu dengan penuh gairah sebelum menjawab, "Kristy, biarkan saja. Jangan sampai dia merusak kesenangan kita. Tubuhmu sangat seksi dari atas hingga bawah, dan selain membuatku puas, mulai saat ini aku tidak membutuhkan siapa pun, termasuk Charlotte. Aku hanya membutuhkanmu. Tetap rawat tubuhmu dan buat aku bahagia."Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk jantung Charlotte tanpa belas kasihan. Tangannya
"Kita tidak serasi sama sekali. Kalau bersama juga tidak akan bahagia. Daripada dipaksa lebih baik diakhiri saja," ucap Daniel dengan suara dingin dan tak berperasaan.Charlotte menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Sakit. Kata-kata itu menusuknya tanpa ampun. Dua bulan yang ia habiskan sebagai istri pria itu ternyata tidak berarti apa-apa baginya. Hanya omong kosong."Baru dua bulan menikah, kau sudah bisa melontarkan ucapan seperti itu?" Suaranya bergetar. "Daniel Harris, aku tidak menyangka kau adalah manusia paling kejam dan tidak berperasaan."Daniel tersenyum miring, seolah menikmati rasa sakit yang ia berikan. "Iya, aku adalah pria yang tidak berperasaan," katanya tanpa sedikit pun penyesalan. "Jadi jangan serius dan percaya semua ucapanku. Aku bisa memberi janji apa saja di saat aku ingin memiliki seorang gadis. Setelah itu, aku akan bosan dan ingin meninggalkannya. Itulah sikapku yang sebenarnya."Charlotte terkekeh sinis. Tawanya dipenuhi kepedihan. Air mata yang sejak
"Bos, apakah Anda tidak ingin memberitahu kakak ipar yang sebenarnya?" tanya Levis dengan ragu. Daniel menghela napas panjang, jemarinya mengetuk ringan permukaan meja. "Dia akan tahu suatu saat nanti," jawabnya dengan suara pelan, tetapi penuh kepastian. "Namun, pada saat itu, semuanya sudah berubah."Levis menatap Daniel dengan hati-hati. "Lalu, apa rencana kita selanjutnya?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal yang lebih penting.Daniel menegakkan tubuhnya, sorot matanya kembali tajam seperti biasanya. "Selidiki di mana markas mereka," perintahnya dengan suara dingin. "Aku harus membubarkan organisasi mereka."Levis mengangguk mantap. "Baik, Bos," jawabnya tanpa ragu.Daniel meraih gelasnya dan meneguk isinya dalam satu tegukan sebelum berkata, "Pergilah! Aku ingin sendirian!"Tanpa banyak bicara, Levis segera beranjak dari sana, meninggalkan bosnya yang masih tenggelam dalam pikirannya. Namun, saat tiba di pintu, ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Daniel.Dalam h
Beberapa hari kemudian.Charlotte masih sibuk mencari keberadaan suaminya yang hilang tanpa jejak. Ia mencoba menghubungi nomor Levis, tetapi tidak aktif. Nomor suaminya pun tak bisa dihubungi. Hanya ada satu cara—Charlotte harus kembali ke rumah keluarga suaminya dan menemui Sannia serta Lucia, adik tiri Daniel."Suamimu tidak pulang, dan kau mencarinya di sini? Apa dia sudah mencampakkanmu?" tanya Sannia dengan nada mengejek."Apakah Daniel pernah pulang ke sini?" tanya Charlotte, mengabaikan ejekan itu."Dia seorang mafia. Mana mungkin selalu ada di rumah? Kalau kau sudah memilih menikah dengannya, maka kau harus bersabar dan menerima apa adanya. Kakakku itu orang yang berbahaya dan tidak punya perasaan. Meskipun kau istrinya, jangan lupa bahwa Kristy selalu ada di sisinya," jawab Lucia santai."Jangan mengarang cerita di depanku. Wanita itu sudah pergi," balas Charlotte tegas."Kau percaya begitu saja? Kristy adalah wanita paling penting setelah Samantha. Daniel hanya ingin menenan
Daniel yang penasaran ia melepaskan tempelan tersebut dan menemukan sebuah kartu memori."Kenapa bisa ada kartu memori di sini? Apakah ada rahasia yang tersimpan?" batin Daniel, alisnya berkerut tajam. Ia menggulirkan kartu kecil itu di antara jemarinya, matanya meneliti setiap sudutnya dengan seksama.Karena penasaran, Daniel mengambil kartu memori tersebut dan beranjak dari kamarnya. Ia memasukkannya ke dalam flash disk lalu menyambungkannya ke laptop miliknya.Jantungnya berdebar tak menentu saat layar monitor menyala, menampilkan rekaman yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Daniel menatap layar monitor laptop dengan saksama. Matanya membesar, tubuhnya menegang, dan napasnya tercekat. Tangannya mengepal erat, kuku-kuku jarinya hampir menancap ke telapak tangan. Apa yang ia saksikan benar-benar menghancurkan perasaannya.Di layar, seorang pria dengan tatapan dingin tanpa belas kasihan menghabisi nyawa seorang wanita—ibunya. Sosok itu tidak asing baginya. Daniel ingin meyakinkan
Elvis dan Jhon saling bertatapan tajam, masing-masing tidak mau mengalah dalam ketegangan yang mulai memanas. Dengan ekspresi dingin, Elvis berkata dengan nada mengancam, “Tuan Jhon, jangan bertindak sesuka hati. Ini bukan wilayahmu. Siapa pun yang berani maju, akan kupastikan mereka tidak akan bisa pulang dengan hidup-hidup.”Anak buah Jhon yang berdiri di belakangnya mulai saling pandang, menyadari bahwa jumlah mereka kalah banyak dibanding kelompok Elvis. Meski begitu, Jhon tetap berdiri tegap, menatap pria di hadapannya dengan penuh selidik.“Tuan Wilson, apakah Anda seorang mafia?” tanyanya dengan nada tenang, tapi penuh kecurigaan.Mata Elvis sedikit menyipit, tetapi ia tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik hening, ia tersenyum tipis, tetapi tatapannya tetap tajam. "Kau tidak perlu tahu. Tapi satu hal yang harus kau ingat, jangan coba-coba mendekati putriku jika kau masih sayang dengan nyawamu," ujarnya dengan suara rendah