Charlotte berjalan pelan menyusuri deretan rumah yang terlihat seragam, dengan model dan warna hijau yang sama persis. Wajahnya tampak bingung, seolah memikirkan sesuatu yang mengganjal di benaknya.
"Kalau kami benar-benar melakukannya, seharusnya aku pasti merasa sakit..." gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia mengernyitkan dahi, menatap langkah kakinya yang terus membawa dirinya maju. "Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa? Tidak mungkin seorang pria melepaskan semua pakaianku tanpa melakukan apa pun." Ia berhenti sejenak, menatap ke depan dengan pandangan kosong. "Di dunia ini, mana ada pria yang tidak tergoda dengan tubuh wanita..." lanjutnya dengan nada lirih, mencoba mencari jawaban atas kebingungannya.
Charlotte menghela napas panjang, akhirnya sampai di salah satu rumah. Dengan santai, ia membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat orang-orang di dalam rumah tersebut. Semua kepala menoleh ke arahnya dengan pandangan heran.
"Charlotte, kamu pasti salah masuk lagi. Rumahmu ada di ujung sana," ujar seorang pria paruh baya dengan nada santai, sambil menunjuk ke arah luar.
Wajah Charlotte memerah karena malu. "Maaf, Paman. Aku salah masuk lagi," ujarnya sambil menundukkan kepala dan tersenyum kaku. Ia cepat-cepat melangkah keluar, meninggalkan rumah itu dengan langkah terburu-buru.
Pria paruh baya itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. "Gadis ini selalu saja salah masuk rumah," gumamnya sambil kembali fokus pada kegiatannya.
Di luar, Charlotte berjalan dengan ekspresi kesal, menggerutu sambil melipat tangan di depan dada. "Sudah kubilang pada Papa untuk memasang nomor rumah supaya aku tidak salah masuk terus. Tapi dia tidak mau!" gerutunya dengan nada sebal. Ia menendang kerikil kecil di depannya dengan gemas. "Selain warna hijau, model rumah juga sama semua. Sekarang aku lupa rumah kami ada di nomor berapa!" Suaranya dipenuhi frustasi, tapi langkahnya tetap berlanjut menuju ujung jalan, berharap kali ini ia tidak salah lagi.
Charlotte berdiri di tengah jalan dengan tangan di pinggang, merasa frustrasi setelah salah masuk rumah lagi. Ia menghela napas panjang, memutar otak untuk mencari cara lain agar tidak mengulang kesalahan yang sama.
"Dari pada aku salah masuk terus, lebih baik aku gunakan cara lain untuk menemukan rumahku," gumamnya sambil memandang deretan rumah yang tampak seragam. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepalanya. Charlotte menghirup napas dalam-dalam sebelum berteriak sekeras mungkin, "Elvis Wilson! Di mana rumah kita?" Suaranya menggema di sepanjang jalan, membuat beberapa tetangga keluar untuk melihat sumber keributan.
Belum sempat ia berpikir lebih jauh, seorang pria muncul dari rumah di dekatnya. Dengan langkah tegas, pria itu berjalan mendekatinya sambil membawa kipas di tangan.
"Ahhh!" jerit Charlotte kaget ketika pria itu tiba-tiba menepuk kepalanya dengan kipas yang ia bawa.
"Kenapa teriak-teriak di jalan seperti orang hilang akal?" omel pria itu, yang ternyata adalah ayahnya sendiri, Elvis Wilson. Wajahnya terlihat kesal, "Sampai kapan kau baru bisa menghafal rumahmu sendiri, hah? Padahal kau hanya perlu menghitung dari depan sampai ke rumah ke lima belas. Apa itu susah sekali?"
Charlotte mengusap kepalanya yang masih terasa sakit akibat pukulan kipas tersebut. Ia melirik ayahnya dengan wajah kesal. "Papa, jangan salahkan aku! Kenapa tidak memasang nomor rumah saja? Kalau ada nomor, pasti lebih mudah ditemukan. Biar aku tidak salah masuk rumah orang lagi!"
Elvis mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Sejak kapan kau tidak pernah salah masuk, hah? Bahkan saat aku menyuruhmu mengejar nenekmu yang salah naik bus, kau malah masuk ke mobil jenazah!" ucapnya dengan nada setengah kesal, setengah geli.
Charlotte mengerucutkan bibirnya, mencoba membela diri. "Nenek kan sudah tua! Jadi aku mengira nenek masuk ke mobil jenazah, makanya aku ikut. Itu bukan salahku!" jawabnya santai, seolah kejadian itu hal biasa.
Elvis hanya menggelengkan kepala sebelum kembali menepuk kepala Charlotte dengan kipas di tangannya.
"Aah! Jangan pukul aku terus!" jerit Charlotte sambil memegangi kepalanya yang kembali terasa sakit. Ia memandang ayahnya dengan wajah cemberut.
Elvis mengabaikan protesnya dan menatap Charlotte dengan sorot mata serius. "Sekarang katakan, ke mana kau semalam? Kenapa tidak pulang? Kau ini seorang gadis, semalaman tidak pulang dan tidak ada di kantor. Kau ke mana saja, hah?" Nada suaranya naik, memperlihatkan kekhawatirannya.
Charlotte langsung menunduk, merasa sedikit bersalah. Dengan suara pelan, ia menjawab, "Aku... dikhianati oleh Calvin. Dia berkencan dengan wanita lain. Jadi aku mabuk dan tidur di rumah temanku."
Elvis terdiam sesaat, lalu mendengus sambil tersenyum kecil. "Bagus juga kalau dia berselingkuh. Pria mana yang bisa tahan dengan gadis pelupa seperti dirimu? Bahkan saat aku memintamu pergi beli obat saja, kau malah nyasar ke kebun binatang!" ucapnya
Charlotte menatap ayahnya dengan kesal. "Anakmu ini baru saja diselingkuhi, tapi kenapa Papa malah senang?" tanyanya dengan nada tajam, melirik ayahnya dengan pandangan tidak percaya.
Elvis hanya tertawa kecil sambil memukul kepalanya lagi dengan kipas, membuat Charlotte menggerutu kesal sambil mengusap-usap kepalanya. Di balik tingkah konyol itu, jelas terlihat hubungan ayah dan anak ini dipenuhi kasih sayang yang unik, meski penuh dengan omelan dan pukulan kipas.
Malam hari.
Sebuah mansion mewah
Cahaya lampu yang temaram membiaskan bayangan di dinding mansion mewah itu. Suasana terasa sunyi, hanya terdengar suara dentingan es di dalam gelas kristal yang dipegang Daniel.
Daniel duduk dengan santai di sofa kulit hitam, salah satu tangannya memegang gelas minuman sementara tangan lainnya bertumpu di lengan sofa.
Levis, pria berjas hitam yang berdiri di hadapannya, menunggu dengan sikap tegap sebelum akhirnya mulai melaporkan hasil penyelidikannya. Suaranya tenang, tetapi ada sedikit keraguan dalam nada bicaranya.
"Tuan, informasi mengenai nona itu sudah kami dapat. Namanya Charlotte Wilson, sering dipanggil Lolipop. Usianya 23 tahun dan bekerja sebagai fotografer," ucap Levis sambil membuka catatan kecil di tangannya. "Ayahnya bernama Elvis Wilson, pria berusia 55 tahun yang telah menikah delapan kali. Beberapa istrinya meninggal, sementara sisanya bercerai. Neneknya, Nanny, berusia 70 tahun dan memiliki pendengaran yang sangat buruk."
Daniel mendengarkan dengan ekspresi datar, tetapi bibirnya sedikit melengkung ke atas. Matanya yang tajam mengamati Levis dengan penuh minat.
"Menikah sebanyak delapan kali?" gumamnya sambil mengangkat alis. Dia memutar gelasnya perlahan, memperhatikan cairan amber yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung. "Lalu, gadis itu anak dari istri yang keberapa?"
Levis tidak butuh waktu lama untuk menjawab. "Istri kedua, Tuan."
"Apakah dia sudah punya pacar?" tanyanya santai.
Daniel tersenyum tipis. Matanya berkilat tajam sebelum akhirnya berkata dengan nada ringan, seolah sedang membicarakan sesuatu yang sepele.
"Kalau sudah, kirim dia ke Afrika dan biarkan dia bekerja di sana seumur hidup!"
Elvis duduk diam di kamarnya, menatap sebuah foto keluarga dengan tatapan dalam. Dalam foto itu, seorang wanita muda berdiri di sampingnya, menggendong bayi perempuan yang lucu, sementara ibunya juga berdiri di sisi lain. Wanita muda itu adalah istrinya, Zean—seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya."Zean, kamu pergi terlalu cepat..." gumam Elvis lirih. "Anak gadis kita sudah besar dan mandiri sekarang. Dia menjadi seorang fotografer profesional, bekerja dengan baik, memiliki banyak teman, dan ceria seperti dirimu."Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Selama ini aku menikah-cerai, berharap ada seseorang yang bisa merawatnya. Tapi sayang, pernikahanku tidak pernah berjalan mulus."Elvis terdiam sejenak, lalu menatap foto itu lebih lekat. Suaranya berubah menjadi lebih dalam, penuh rahasia yang selama ini ia pendam."Aku adalah Samuel Wilson Franz," bisiknya. "Harus menyamar sebagai orang biasa demi melindungi anak kita. Semasa muda, aku memiliki banyak musuh. Setela
"Ke-Kenapa kamu ada di sini?" tanya Charlotte dengan gugup, matanya memandang pria di hadapannya dengan waspada.Daniel tersenyum santai, namun tatapan matanya tajam dan penuh keyakinan. Tangannya masih melingkar di pinggang Charlotte, membuat gadis itu semakin gelisah."Aku datang mencarimu," jawabnya pelan, suaranya rendah namun penuh ketegasan.Charlotte menelan ludah, tangannya refleks mendorong dada pria itu, meskipun tidak cukup kuat untuk membuatnya mundur. "Apakah aku mengenalmu? Kamu siapa?"Daniel terkekeh pelan, seolah terhibur oleh kepanikan gadis itu. "Namamu Charlotte Wilson, usia 23 tahun. Seorang fotografer berbakat." Ia mendekatkan wajahnya, membuat Charlotte semakin mundur dengan jantung berdegup kencang. "Dengar baik-baik, namaku Daniel Harris... yang dikenal sebagai duda menawan."Charlotte mengernyit, merasa ada sesuatu yang familiar tentang pria ini. "Kenapa namamu tidak asing? Di mana aku pernah mendengarnya?"Daniel tersenyum penuh arti, lalu berbisik tepat di
Malam hari.Charlotte berdiri di dekat jendela kamar, memandangi liontin peninggalan ibunya yang tergantung di lehernya. Jemarinya dengan lembut membuka liontin itu, ia selalu penasaran dengan liontin tersebut."Kenapa kalung ini tidak ada foto Mama? Aku bahkan tidak tahu wajah Mama sampai sekarang," gumamnya dengan suara lirih, matanya berkabut oleh rasa penasaran yang tak kunjung terjawab.Di saat yang sama, Elvis melangkah melewati kamar putrinya. Pandangannya tertarik pada sosok Charlotte yang berdiri diam dengan liontin terbuka di tangannya. Seketika, tatapan Elvis berubah tegang. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan, sesuatu yang tak seharusnya diketahui putrinya.Dengan langkah cepat, Elvis masuk ke dalam kamar."Lolipop," panggilnya, mencoba menghentikan gerakan Charlotte yang tampak begitu fokus pada liontin itu.Charlotte menoleh dan menatap ayahnya dengan heran."Papa? Sudah malam, kenapa belum tidur?" tanyanya, suaranya mengandung keheranan.Elvis menghela napas pe
"Kenapa kamu lagi?" tanya Charlotte, tatapannya tajam menembus sosok pria di hadapannya.Daniel hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaksukaan Charlotte kepadanya. Ia melangkah santai, semakin mendekat. "Studio ini telah menjadi milikku," ujarnya dengan nada puas.Charlotte mencengkram erat pegangan tasnya, hatinya bergejolak. "Kalau begitu, aku akan berhenti kerja," katanya tegas, berbalik hendak pergi.Namun, suara Daniel menghentikan langkahnya. "Bukankah kau sudah tanda tangan kontrak lima tahun? Kalau kau pergi, kau harus membayar ganti rugi," katanya dengan nada santai, seakan-akan ia tahu bahwa Charlotte tidak punya pilihan lain.Charlotte menoleh dengan tatapan penuh curiga. "Apa tujuanmu membeli studio ini? Sebenarnya kamu siapa, dan apa maumu?" tuntutnya, suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan.Daniel tersenyum tipis, matanya berkilat penuh arti. "Aku membelinya demi calon istriku. Kalau kita satu tempat kerja, kita bisa bersama s
Charlotte mundur dengan wajah tegang, punggungnya menabrak meja rias di belakangnya. Jantungnya berdebar kencang melihat Daniel semakin mendekat, mata pria itu menyala dengan intensitas yang membuatnya tidak nyaman."Untuk apa kamu di sini?" tanya Charlotte, suaranya gemetar meski berusaha terdengar tegas.Daniel menyandarkan satu tangan ke meja rias, tubuhnya tetap condong ke arah Charlotte, menciptakan jarak yang semakin sempit di antara mereka. "Menunggumu!" jawabnya santai, namun sorot matanya menunjukkan tekad yang sulit digoyahkan. "Sebelum menikah, kita harus saling memahami dan lebih dekat. Bukankah begitu?"Charlotte mengernyit, dadanya naik turun karena napas yang tak teratur. "Siapa yang ingin dekat denganmu," balasnya tajam. Ia mencoba melangkah pergi, namun belum sempat ia bergerak jauh, Daniel sudah menangkap pergelangan tangannya dengan erat."Hei, lepaskan tanganmu!" serunya sambil meronta, tetapi Daniel justru menariknya lebih dekat hingg
Sementara Elvis meninggalkan rumahnya dengan diam-diam, ia melangkah dengan cepat menuju suatu tempat yang telah ia tentukan sebelumnya. Ia mengenakan jaket kulit hitam, kerahnya sedikit dinaikkan, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu dari keluarganya. Pandangannya tajam, penuh kehati-hatian, seakan menghindari siapapun yang mungkin melihatnya pergi.Beberapa saat kemudian, sebuah mobil hitam meluncur mendekat dan berhenti tepat di depannya. Seorang pria paruh baya dengan seragam rapi segera keluar dari kursi pengemudi. Dengan gerakan penuh hormat, ia membukakan pintu belakang untuk Elvis.“Bos,” sapanya dengan suara rendah.Elvis tidak membalas sapaan itu dengan kata-kata, hanya mengangguk kecil sebelum masuk ke dalam mobil. Pintu tertutup rapat, dan kendaraan itu segera melaju meninggalkan area perumahan, membawa Elvis menuju tujuannya.Tak lama kemudian, mobil berhenti di tepi sebuah danau yang tenang. Di tempat itu, dua pria paruh baya d
"Tuan Wilson, kedatanganku adalah untuk mengantar hadiah untuk Anda dan Nenek," ucap Daniel dengan tenang, namun penuh wibawa. Ia memberi isyarat kecil kepada para anggotanya.Levis, tangan kanannya yang setia, segera melangkah masuk, diikuti oleh beberapa pria lainnya. Mereka membawa beberapa kotak besar yang diletakkan rapi di meja ruang tamu. Begitu tutupnya dibuka, kilauan emas serta tumpukan uang dalam ikatan rapi seketika memenuhi ruangan dengan aura kemewahan.Elvis, yang sejak tadi berdiri dengan santai, kini terperanjat. Matanya membulat melihat jumlah uang dan batang emas yang tak sedikit. Ia bahkan sempat mengusap matanya, memastikan bahwa ini bukan sekadar ilusi."Ini semua untuk apa?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa penasaran sekaligus waspada.Daniel, yang sejak tadi tetap menjaga senyumnya, melangkah lebih dekat. Dengan penuh percaya diri, ia berkata, "Hadiah dariku untuk melamar putrimu, Paman."Suasana mendadak sunyi. Hanya suara
"Itu hanya janji Nenek, bukan aku. Jadi tidak sah!" ujar Charlotte dengan nada tegas.Nanny menatapnya dengan sorot mata tajam, bibirnya menipis karena kesal. "Aku adalah nenekmu. Kenapa tidak sah? Lebih baik kau cepat menikah agar tidak menjadi beban dalam keluarga ini!" katanya dengan suara dingin, seakan tak peduli dengan perasaan Charlotte.Charlotte melirik tajam ke arah neneknya. "Tega sekali menganggapku sebagai beban," gumamnya lirih."Nenek, Paman, sebenarnya aku dan Charlotte bukan hanya sekadar saling mengenal begitu saja. Hubungan kami juga sudah jauh," ujar Daniel dengan nada tenang namun penuh keyakinan.Charlotte langsung membelalakkan mata, wajahnya berubah drastis dari keterkejutan menjadi panik. " Dia akan beritahu kejadian malam itu?!" batinnya berteriak. Tanpa berpikir panjang, ia segera menarik lengan Daniel dengan kuat dan berdiri dengan cepat."Cepat ikut aku!" serunya panik, tanpa menunggu jawaban dari Daniel.Daniel
"Sudah waktunya dia pergi. Yang aku utamakan adalah istriku. Yang akan menemaniku selama hidupku. Charlotte, aku berjanji padamu. Tidak akan berbohong lagi padamu mengenai identitasku sebagai mafia. Aku berharap kau tidak keberatan," kata Daniel, menatap dalam mata Charlotte dengan penuh kesungguhan.Charlotte terdiam sejenak. Jantungnya berdebar cepat, tetapi matanya tetap menatap Daniel tanpa keraguan. "Aku tidak keberatan kalau kau adalah mafia. Asalkan kau jangan mengingkari janjimu. Apa kau akan selingkuh suatu saat nanti?" tanyanya pelan, namun penuh harap. Ada kekhawatiran yang tersembunyi dalam suaranya, ketakutan akan dikhianati.Daniel tersenyum tipis dan meraih tangan Charlotte, menggenggamnya erat. "Tidak akan! Aku berjanji akan setia padamu seorang. Tidak ada orang ketiga di dalam hubungan kita," ucapnya penuh keyakinan. Jemarinya mengusap punggung tangan Charlotte, mencoba meyakinkan bahwa setiap kata yang ia ucapkan adalah janji yang tak akan ia kh
Daniel yang mengemudi mengejar istrinya yang berjalan di pinggir jalan. Ia kemudian menghentikan mobilnya."Honey, aku akan mengantarmu ke studio setelah kita pergi ke suatu tempat," seru Daniel pada istrinya."Tidak perlu, aku akan pergi dengan bus," jawab Charlotte sambil melanjutkan langkahnya.Daniel turun dari mobil dan menghampiri istrinya itu. Tanpa banyak bicara, ia langsung menggendong wanita itu ke mobilnya."Aku bisa jalan sendiri! Kamu tidak perlu mengantarku," ujar Charlotte sambil berusaha melepaskan diri.Namun Daniel tetap tenang, memasukkan Charlotte ke dalam mobil, lalu menutup pintu. Ia menatapnya sejenak sebelum berkata, "Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian hari ini. Ada sesuatu yang harus kamu tahu."Charlotte terdiam, menatap Daniel dengan campuran rasa penasaran dan kesal.Tidak lama kemudian, mobil Daniel tiba di tepi pantai. Angin kencang meniup rambut Charlotte saat ia membuka jendela, membiarkan aroma laut yang asin memenuhi kabin mobil. Suara debura
Tangan Daniel mulai meraba paha istrinya, jemarinya bergerak perlahan seolah menikmati setiap sentuhan, sementara bibirnya terus mencium Charlotte dengan dalam dan penuh hasr*t. Nafasnya hangat, membakar jarak tipis di antara mereka.Charlotte menggeliat, berusaha melawan dan menahan tangan suaminya yang mulai kelewatan. "Hentikan!" serunya, suaranya bergetar antara marah dan gugup.Namun, Daniel tidak bergeming. Ia menahan bagian belakang kepala Charlotte dengan lembut tapi kuat, membuat wanita itu tak bisa menghindar. "Aku ingin melepaskan rindu," ucapnya lirih, matanya menatap dalam ke arah istrinya, seolah ingin menunjukkan betapa ia tak mampu menahan hasr*t yang terpendam.Charlotte menelan ludah, detak jantungnya berdebar keras, tapi ia mencoba tetap tegar. "Jangan main-main lagi! Aku masih ada pekerjaan. Cepat lepaskan tanganmu! Ini kantor, Daniel!" pintanya dengan nada tegas, meski tubuhnya terasa melemah dalam pelukan suaminya.Tapi bukannya menu
"Kalau tidak ingin aku tahu, juga tidak apa-apa. Lagi pula aku hanya istri kontrak. Mana mungkin berhak tahu segalanya," ujar Charlotte sambil bangkit dari tempat duduknya.Daniel menahan kedua pundak istrinya dan berkata, "Saat waktunya tiba, kamu akan mengetahuinya," ucapnya sambil menatap dalam ke mata istrinya.***Di sisi lain, Elvis yang sedang berkumpul dengan rekannya di ruangan yang pencahayaannya tidak terlalu terang, tampak muram, begitu juga dengan yang lain."Elvis, menantumu memiliki banyak anak buah. Kejadian ini disaksikan oleh banyak orang. Aku yakin putrimu juga tahu, karena saat menantumu dikepung oleh sejumlah orang, putrimu ada di sana. Sepertinya dia bukan hanya sekadar CEO," ujar salah satu rekannya."Siapa pun dia, aku hanya berharap dia akan melindungi putriku. Lolipop butuh perlindungan yang ketat. Dia adalah putriku satu-satunya. Aku tidak ingin dia terluka. Mengenai anak laki-laki itu, aku ingin mencarinya. Beberapa bula
"Apa yang kalian ributkan malam-malam begini? Apakah kalian tidak sadar sudah pukul berapa?" tanya Charlotte dengan nada sedikit kesal. Suaranya menggema di sepanjang koridor yang sepi, menciptakan suasana tegang di antara mereka.Daniel dan Sannia menoleh bersamaan ke arah Charlotte yang berdiri di ujung koridor. Pijar lampu redup mempertegas gurat lelah di wajah Charlotte, namun matanya masih memancarkan ketegasan."Istriku, apakah kami membangunkanmu?" tanya Daniel dengan senyum tipis, mencoba meredakan ketegangan. Namun, nada suaranya terdengar kaku, seolah menyembunyikan sesuatu.Charlotte menatap tajam, seolah mampu menembus kebohongan di balik senyuman itu. "Kalian berisik sehingga mengganggu tidurku," balas Charlotte dingin, matanya tidak melepaskan pandangan dari Daniel."Maaf, Istriku. Aku akan segera kembali ke kamar. Aku dan Bibi sedang bertengkar," ucap Daniel, berusaha terdengar santai, meski nada gugupnya sulit disembunyikan."Berten
"Kau sedang menggodaku? Jangan lupa statusmu!" kecam Daniel, menatap tajam ke arah wanita di depannya. Sannia tersenyum lembut, seolah tak tergoyahkan oleh ketegangan yang menggantung di antara mereka. "Tentu saja aku ingat, Daniel." Nada suaranya tetap tenang, penuh kelembutan. "Aku telah berjanji pada ayahmu untuk merawatmu dengan baik. Jadi aku harus menepati janjiku!"Daniel berdiri dengan ekspresi penuh amarah. Dalam sekejap, tangannya terangkat dan mencengkeram leher wanita itu dengan erat. Sannia terbatuk, kedua tangannya mencengkeram pergelangan tangan Daniel, berusaha melepaskan diri. Tapi genggaman pria itu terlalu kuat, membuatnya sulit bernapas, bahkan sekadar mengeluarkan suara."Sannia, dengar baik-baik." Suara Daniel rendah, tajam, dan penuh ancaman. "Jangan coba-coba menggodaku. Wanita seperti dirimu tidak berbeda dengan mantan istriku." Matanya berkilat dingin, penuh kebencian yang tersembunyi di balik sorotannya.Sannia mencoba meronta, tetapi cengkeraman Daniel ti
Tanpa menunggu lama, Daniel langsung melakukan penyatuan dengan istrinya. Ia bergerak maju mundur dengan perlahan, seakan memberi waktu bagi Charlotte untuk menyesuaikan diri.Charlotte menggigit bibir bawahnya, merasakan sensasi perih yang menusuk. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan, membasahi pelipisnya. Tubuhnya menegang, jari-jarinya mencengkeram sprei di bawahnya. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, semakin terasa saat Daniel semakin dalam menyatu dengannya.Daniel melihat butiran air mata yang mengalir dari sudut mata istrinya. Pandangannya beralih ke noda merah yang kini menghiasi sprei putih di bawah mereka. Hatinya sangat puas—tanda kepolosan Charlotte kini lenyap di tangannya. Namun, naluri dan g4irahnya terus menguasai dirinya."Aaahh! Sakit!" Charlotte berteriak, kedua tangannya berusaha mendorong dada suaminya agar menjauh. Rasa nyeri membuatnya ingin menghindar, ingin menghentikan segalanya.Namun, Daniel tak memberinya kesem
Charlotte merasa tubuhnya menegang saat Daniel menahan tangannya, menolak memberinya kesempatan untuk menjauh."Kau mengingkari janji, itu adalah perjanjian kita. Pernikahan ini tanpa sentuhan fisik," ujar Charlotte, suaranya tegas meskipun sedikit bergetar. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, namun cengkeraman Daniel di pergelangan tangannya semakin erat.Daniel tersenyum miring, tatapannya dipenuhi kilatan main-main. "Sebuah pernikahan tidak mungkin tanpa sentuhan fisik. Apalagi aku begitu merindukanmu selama ini," godanya, suaranya dalam dan menggoda, seolah menantang Charlotte untuk menyangkal kata-katanya.Charlotte memutar matanya penuh ketidakpercayaan. "Merindukanku? Kau sedang bercanda? Aku malah mencurigaimu bahwa kau di sana ada wanita lain. Jangan berbohong. Aku bukannya tidak tahu sifat lelaki!" katanya, nada suaranya dipenuhi kecurigaan.Daniel hanya tertawa pelan, seakan pernyataan Charlotte adalah hal yang menghiburnya. Jari-jariny
"Akhirnya kamu pulang setelah sebulan menghilang," sindir Charlotte dengan suara tajam. Matanya menatap suaminya, Daniel, dengan penuh kekecewaan dan kemarahan yang sudah lama dipendam."Maaf, aku ada urusan penting sehingga tidak menghidupkan ponselku," ucap Daniel dengan nada datar, seolah tidak menyadari betapa sakitnya hati istrinya setelah sekian lama ditinggalkan tanpa kabar.Charlotte mendengus sinis. "Ada urusan penting apa sehingga tidak bisa menghidupkan ponsel? Kenapa perasaanku mengatakan bahwa kau sedang berbohong?" Dia melipat tangannya di dada, rahangnya mengeras menahan amarah. "Aku tidak peduli kau di mana. Tapi aku ini istrimu, dan setiap hari aku harus menerima penghinaan di rumah ini. Apakah kau sadar bahwa rumah ini seperti neraka bagiku?"Sebelum Daniel sempat menjawab, suara nyaring Sannia, mertuanya, memotong pembicaraan. "Daniel, istrimu ini suka membantah dan berani menamparku!" serunya dengan wajah penuh kemarahan. "Aku adalah mertuany