Elvis duduk diam di kamarnya, menatap sebuah foto keluarga dengan tatapan dalam. Dalam foto itu, seorang wanita muda berdiri di sampingnya, menggendong bayi perempuan yang lucu, sementara ibunya juga berdiri di sisi lain. Wanita muda itu adalah istrinya, Zean—seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya.
"Zean, kamu pergi terlalu cepat..." gumam Elvis lirih. "Anak gadis kita sudah besar dan mandiri sekarang. Dia menjadi seorang fotografer profesional, bekerja dengan baik, memiliki banyak teman, dan ceria seperti dirimu."
Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Selama ini aku menikah-cerai, berharap ada seseorang yang bisa merawatnya. Tapi sayang, pernikahanku tidak pernah berjalan mulus."
Elvis terdiam sejenak, lalu menatap foto itu lebih lekat. Suaranya berubah menjadi lebih dalam, penuh rahasia yang selama ini ia pendam.
"Aku adalah Samuel Wilson Franz," bisiknya. "Harus menyamar sebagai orang biasa demi melindungi anak kita. Semasa muda, aku memiliki banyak musuh. Setelah Lolipop lahir, aku terpaksa menyembunyikan identitasku."
Matanya yang biasanya penuh canda kini dipenuhi keseriusan."Semoga saja Lolipop tetap selamat dan aman ke mana pun dia pergi," batin Elvis.
Keesokan harinya.
Daniel berada di sebuah studio besar. Di dalam ruangan itu, ia terlihat duduk bersama seorang pria yang merupakan pemilik studio tersebut.
"Tuan, Anda adalah pebisnis. Kenapa bisa tertarik dengan studio kami? Bahkan rela membelinya dengan harga yang tinggi?" tanya pria itu dengan penasaran.
"Ini urusan kami. Anda cukup jual saja pada kami, sisanya tidak perlu tahu," ucap Levis dengan tegas.
"Iya, iya," jawab pria itu, mengangguk cepat.
Di sisi lain, Charlotte sedang fokus pada layar laptopnya.
"Lolipop, kamu sudah datang? Mari kita pergi ke suatu tempat!" seru seorang rekan kerja pria dengan wajah antusias.
Charlotte menoleh dan menatap pria itu dengan alis sedikit berkerut. "Apakah ini tugas baru?" tanyanya, memastikan.
Pemuda itu, Kelvin, mengangguk cepat. "Iya, perintah atasan. Kita diminta mengambil gambar pemandangan indah di pegunungan."
Mendengar itu, Charlotte langsung bersemangat. Ia bangkit dengan sigap, meraih kameranya, lalu mengenakan tali kamera di lehernya. "Baik, kita pergi sekarang!" ujarnya penuh energi.
Mereka berdua berjalan menuju lift, berbincang ringan tentang perjalanan yang akan mereka lakukan. Namun, ketika hampir sampai, Kelvin tiba-tiba menghentikan langkahnya dan merogoh tasnya dengan wajah cemas.
"Lolipop, kamu tunggu di mobil dulu. Aku lupa sesuatu," ujar Kelvin sambil berbalik arah.
Charlotte mengangguk dan tanpa berpikir panjang, melanjutkan perjalanannya sendiri. Sesampainya di lantai dasar, ia berjalan cepat menuju area parkir dan membuka pintu salah satu mobil yang terparkir di depan studio, mengira itu adalah mobil yang akan mereka gunakan.
Namun, begitu ia masuk dan duduk di dalam, suasana di dalam mobil terasa aneh. Dua pasang mata langsung tertuju padanya.
Charlotte menegang. Ia mendongak dan mendapati dua pria yang duduk di dalam mobil menatapnya dengan ekspresi heran—Levis di kursi pengemudi dan Daniel di sampingnya.
Hening sesaat.
Mata Charlotte membulat ketika kesadarannya kembali. "Maaf, aku salah masuk mobil!" katanya cepat, wajahnya berubah merah karena malu.
Daniel masih menatap Charlotte dengan senyum tertahan, sementara Levis melirik sekilas, seolah menunggu kelanjutan dari kejadian konyol itu.
Charlotte, yang sudah cukup cemas dan malu, segera berusaha membuka pintu mobil untuk segera kabur dari situasi memalukan ini. Namun, dalam kepanikannya, bukannya menarik pegangan pintu, ia malah salah menekan tombol yang justru membuat kaca jendela mobil turun hingga habis.
Angin luar langsung masuk ke dalam mobil, sementara Charlotte terdiam sesaat, mencoba mencerna kebodohannya sendiri.
"Kenapa tidak bisa dibuka? Memalukan sekali," gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar, namun tetap tertangkap oleh Daniel yang duduk di sampingnya.
Levis terkekeh pelan, sementara Daniel akhirnya bersuara dengan nada menggoda. "Kau yakin hanya salah masuk mobil? Atau mungkin kau sengaja ingin ikut dengan kami?" Daniel mendekati gadis itu dengan senyuman yang menawan.
"Kenapa pria ini tampan sekali?" batin Charlotte.
"Ka-kamu manusia atau siluman?" tanya Charlotte yang tidak sadar dengan pertanyaannya. Ia terpana melihat ketampanan pria itu.
"Untuk apa aku ikut denganmu?" Charlotte menatap tajam ke arah pria di dalam mobil itu. Ia berusaha menjauh, tangannya panik mengutak-atik tombol pintu mobil agar bisa segera keluar. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya pintu terbuka.
Tanpa membuang waktu, Charlotte langsung melompat keluar dan bergegas mencari mobil rekan kerjanya. Namun, sebelum sempat menemukan mobil Kelvin, ia justru berhenti sejenak, mendesah panjang sambil menggerutu sendiri.
"Sial sekali, dalam hidupku ini sudah ke-85 kali salah masuk mobil, dan 59 kali salah masuk rumah," gumamnya, sambil mengacak rambutnya dengan frustasi.
Daniel tersenyum melihat tingkah gadis itu.
Levis menatap bosnya melalui cermin, suaranya terdengar hati-hati saat berbicara.
"Bos, ada kaki tangan kita yang mengaku pernah melihat orang itu di dalam kota. Sepertinya dia sudah memiliki keluarga. Namun, saat mereka mencoba mengikutinya, dia menghilang begitu saja," lapornya.
"Samuel Wilson Franz..." gumam Daniel. "Aku tidak akan melepaskannya. Cari dia sampai dapat!" perintahnya dengan nada tegas.
"Aku curiga dia telah mengganti identitasnya, itulah kenapa kita kesulitan melacaknya." Daniel menatap ke luar jendela dengan tatapan tajam. "Temukan keluarganya, semua kerabatnya... Aku ingin mereka semua lenyap. Aku akan membunuh mereka satu per satu untuk membalas dendamku!"
Sore itu, Charlotte berjalan santai menuju rumah setelah seharian bekerja. Namun, langkahnya terhenti saat melihat ayahnya, Elvis, berlari terbirit-birit dikejar oleh neneknya, Nanny, yang mengayunkan sapu dengan penuh semangat.
Charlotte menghela napas panjang. "Kali ini apa lagi yang dilakukan Papa?" gumamnya, sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini.
"Dasar anak durhaka! Jangan lari kalau kau berani!" teriak Nanny dengan suara lantang, sapunya melayang ke arah Elvis.
Elvis dengan gesit menghindari pukulan itu, lalu berseru, "Mana ada orang bodoh yang diam saja saat mau dipukul!"
Charlotte hanya bisa menggelengkan kepala, menyadari bahwa drama sore ini belum berakhir.
"Papa, apa yang terjadi?" tanyanya, mencoba memahami situasi.
Elvis, yang masih sibuk menghindari sapuan sapu, berlari melewati Charlotte sambil berteriak, "Cepat lari! Nenekmu kumat lagi! Sudah tuli, tapi tetap keras kepala!"
"Nenek, sudah! Jangan pukul lagi!" katanya, berusaha menahan tangan neneknya.
Namun, alih-alih berhenti, Nanny justru beralih target dan dengan cepat menarik telinga Charlotte.
"Apa?! Kau berani sekali bilang aku pikun!" bentaknya sambil mencubit lebih keras.
Charlotte langsung menjerit. "Aahhh... sakit! Lepaskan, Nek!"
"Bukan pikun, tapi pukul! Nenek selalu saja salah dengar dan ngamuk sendiri!" Charlotte meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman neneknya yang ternyata masih kuat meski sudah tua.
Nanny mendengus kesal. "Kau dan papamu sama saja! Durhaka! Kenapa kau tidak mirip ibumu?! Kenapa malah mirip papamu!"
Nanny mendengus sambil melipat tangan di dada. "Kau dan papamu sama-sama bodoh!" ketusnya dengan nada meremehkan.
Charlotte tak mau kalah. Ia mengangkat dagunya dengan ekspresi menantang. "Kebodohan Papa itu diturunkan oleh Nenek, dan kemudian aku juga mewarisi kebodohan Nenek. Jadi, siapa yang paling bersalah di sini?" balasnya, menatap langsung ke arah neneknya.
Mata Nanny menyipit. Raut wajahnya yang awalnya penuh amarah berubah semakin mengerikan. "Apa yang kau katakan tadi? Coba ulangi lagi kalau berani!" katanya dengan nada tinggi, lalu tanpa basa-basi mengayunkan sapu ke arah cucunya.
Mata Charlotte membelalak, reflek langsung berlari menghindar. "Papa, tolong!!" teriaknya panik, kakinya melangkah cepat tanpa melihat ke depan.
Di saat Charlotte menoleh ke belakang untuk memastikan jaraknya dengan sang nenek, tubuhnya justru menabrak seseorang yang berdiri di sana. Benturan itu cukup kuat hingga membuat keseimbangannya goyah, hampir saja ia terjatuh.
Tangan kokoh pria itu dengan sigap menangkap pinggangnya, menahan tubuh Charlotte agar tidak terhempas ke tanah. Dalam sekejap, wajah mereka berada dalam jarak yang sangat dekat.
Charlotte menahan napas, jantungnya berdegup lebih kencang saat menyadari siapa pria yang kini menatapnya dengan intens.
Daniel Harris.
Mata tajam pria itu menatapnya tanpa berkedip, Charlotte yang masih dalam posisi setengah bersandar di pelukannya bisa merasakan hawa dingin yang dipancarkan pria itu.
Daniel yang dikenal selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan kali ini, Selain musuh lamanya, yang menarik perhatiannya adalah Charlotte Wilson—gadis ceria dengan senyum menawan dan sikap yang begitu polos.
Charlotte bukan sekadar wanita biasa.
Dia adalah putri dari pria yang selama ini Daniel incar—Samuel Wilson Franz. Pria yang telah menghancurkan hidupnya, musuh yang telah lama dia cari untuk membalas dendam.
Apa yang akan terjadi ketika kebenaran terungkap? Apakah Daniel akan tetap mencintai Charlotte, atau justru menjadikannya alat untuk membalaskan dendam yang telah lama membara?
Cuaca dingin dengan terpaan angin kencang menyapu tepian laut.Langit mulai menggelap, seakan ikut menjadi saksi bisu pertemuan dua insan yang telah lama terpisah. Angin menggoyangkan helaian rambut Charlotte yang terlepas dari ikatannya, sementara matanya masih tak percaya melihat Daniel berdiri di hadapannya.Mereka saling diam beberapa saat, membiarkan rindu dan luka masa lalu berbicara dalam tatapan.Daniel akhirnya memecah keheningan."Lama tidak bertemu... bagaimana dengan kabarmu?" tanyanya, suaranya berat namun lembut.Charlotte menelan ludah, suaranya terdengar tenang, tapi jelas ada dinding yang ia bangun di antara mereka."Aku baik-baik saja... Kenapa kau bisa ada di Jepang? Apakah ada urusan bisnis?"Daniel mengangguk singkat, meski jelas ia menyimpan sesuatu di balik jawabannya."Iya. Aku ada urusan penting."Charlotte tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai penolakan."Baiklah kalau begitu, aku p
Malam hari.Apartemen.Lampu ruangan hanya menyala redup, menebar cahaya hangat ke seluruh sudut ruangan yang luas namun terasa sepi. Di salah satu sisi, Daniel duduk sendirian di sofa kulit hitam, ditemani sebotol wine yang hampir habis dan sebatang rokok yang mengepul di antara jari-jarinya. Asapnya berputar di udara, seolah menjadi bagian dari pikirannya yang kusut.Ia menatap kosong ke arah jendela, tempat bayangan kota malam terlihat kabur."Charlotte, lima tahun berlalu... kenapa kau masih tidak pulang?" batinnya lirih, suara hatinya lebih keras dari gumaman bibirnya. "Keluargamu ada di sini... apa kau berencana menghindar dariku seumur hidupmu?"Ia menarik napas dalam-dalam, menyesap wine perlahan, membiarkan rasa getirnya mengalir bersama kenangan."Aku ingin memulai hubungan baru denganmu... Aku tahu, masa lalu adalah kesalahanku juga. Tapi pengorbananmu, darahmu—semuanya membuatku sadar... aku telah membuat kesalahan besar." Ma
Rumah Sakit. Malam Hari.Suara sepatu para tenaga medis bergema di lorong rumah sakit, membawa Charlotte yang bersimbah darah ke ruang UGD. Para dokter dan perawat bergerak cepat. Detak jantung Charlotte melemah. Wajahnya pucat, dan luka tembak di bagian perut kirinya terus mengucurkan darah. Sementara itu, di luar ruangan...Daniel berdiri kaku di depan pintu UGD. Matanya memerah, wajahnya pucat pasi, dan kedua tangannya mencengkeram erat liontin kalungnya—tempat cincin pernikahan Charlotte tergantung. Cincin itu berayun pelan, seolah mengikuti detak cemas hatinya.“Bos... Jangan khawatir, nyonya pasti bisa melewatinya,” ucap Levis, mencoba menenangkan. Ia berdiri di samping Daniel, namun suara tenangnya tak mampu menyentuh hati pria itu yang tengah diliputi penyesalan.Daniel menggeleng pelan, suaranya serak. “Kalau Charlotte sampai meninggal... aku lah pembunuhnya.”Ia menarik napas panjang, seakan berusaha menahan
"Aku... kembali... untuk menebus... hutangku padamu..." suara Charlotte mulai melemah, nafasnya terputus-putus. Wajahnya pucat, matanya mulai buram. "Ibumu... meninggal... karena aku... bukan... papaku..." lanjutnya sebelum akhirnya kepalanya terkulai, tak sadarkan diri dalam pelukan Elvis."Lolipop... Lolipop!" jerit Elvis panik, mengguncang tubuh putrinya yang sudah lemas. "Bangun, Lolipop! Jangan tinggalkan Papa…!"Daniel berdiri membeku, air matanya mengalir tanpa mampu ia cegah. Ia menatap sosok wanita yang pernah ia cintai, kini bersimbah darah di pelukan pria yang dulu ia anggap musuh.Dengan suara serak, ia bertanya, "Beritahu aku… apa maksud Charlotte tadi?"Elvis menatap Daniel dengan wajah kusut penuh penyesalan. Ia menggeleng pelan, suaranya berat saat menjawab, "Kalau aku tahu begini jadinya… seharusnya aku lebih berhati-hati...""Apakah ada sesuatu yang aku tidak tahu?" tanya Daniel, suaranya bergetar antara amarah, kebingungan, dan kesedihan yang menggerogoti pikirannya
Beberapa saat kemudian, anak buah Elvis berjatuhan tak berdaya. Suara tembakan menggema di udara, meninggalkan jejak darah dan erangan sakit yang memekakkan telinga. Beberapa di antara mereka tewas seketika, sementara yang lain tergeletak dengan luka parah, menggeliat menahan rasa sakit yang luar biasa.Elvis berdiri di tengah kekacauan itu, tubuhnya gemetar melihat kondisi anak buahnya yang begitu mengenaskan. Matanya memerah, bukan karena rasa takut, melainkan karena perasaan bersalah yang mendalam. Ia tidak pernah ingin pertumpahan darah ini terjadi. Nafasnya memburu, tubuhnya tegang menahan emosi.Dengan langkah berat, Elvis maju ke depan. Tangannya terangkat ke udara sebagai tanda menyerah."Daniel, bunuh saja aku... mereka tidak tahu apa-apa sama sekali," ucap Elvis lirih, suaranya parau oleh emosi. Ia berdiri di antara tubuh-tubuh yang terkapar, menjadi tameng hidup bagi mereka yang tersisa.Daniel melangkah maju perlahan, wajahnya dingin dan tanpa ekspresi. Pistolnya terarah t
Tidak lama kemudian, sejumlah mobil mendekati markas Elvis. Suara deru mesin dan debu yang mengepul di jalan tanah membuat suasana di sekitar mendadak tegang. Kehadiran mereka tidak luput dari perhatian Charlotte, yang tengah duduk menunggu di warung sepi di tepi jalan yang tidak begitu jauh dari markas ayahnya.Dahi Charlotte berkerut saat melihat iring-iringan kendaraan itu. Matanya menatap tajam ke arah mobil-mobil yang melaju cepat."Apakah itu Daniel?" gumam Charlotte dengan suara gemetar. Ia bangkit dari kursi usangnya dan berdiri sambil memandangi mobil-mobil yang semakin mendekat ke markas.Beberapa detik kemudian, mobil-mobil itu berhenti mendadak di depan gerbang. Daniel turun lebih dulu, disusul seluruh anak buahnya. Mereka semua keluar dari kendaraan dengan sigap, menggenggam senjata api di tangan masing-masing. Tatapan mereka penuh tekad, seakan tak akan mundur meski maut menanti di depan.Sementara itu, di dalam markas, Elvis, sang pemimpin