Pria itu adalah Erlangga. Meskipun Erlangga sudah mempersiapkan diri agar tidak terkejut saat bertemu Sabrina, dia sekilas tercengang. "Darimana saja kamu?" celetuk Farhan. Sehingga membuat Sabrina sadar kembali. "Maaf, tadi ada klient yang rewel. Jadi gagal ontime untuk sahabatku yang keren ini," timpal Erlangga dengan nada yang dibuat–buat seperti sedang menyesal. Lalu Farhan berdiri dan mengajak Erlangga duduk. Kebetulan tempat duduk yang kosong adalah samping kiri Sabrina. Mereka kembali berbincang–bincang seakan baru saja bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. "Wahh kalian cocok banget jadi keluarga," puji Farhan yang meluncur begitu saja untuk Erlangga, Sabrina dan Tari. "Tapi…bukankah dulu kalian menikah?" tambahnya. Lalu saat menyadari ekspresi keduanya yang berubah, Farhan buru–buru mengalihkan topik. "Maaf! Aku tidak bermaksud apa–apa." "Ahh, tidak masalah," ucap Sabrina Dalam sekejap, Farhan langsung akrab dengan para tetangga disini. Jadi dia membahas perih
Sebenarnya Aldo mengatakan itu hanya sebuah candaan. Akan tetapi, saat Erlangga benar menikah dengan Sabrina, Aldo memberinya kado sebuah mobil sports keluaran terbaru di zaman itu. Dari ketiga teman Erlang lainnya, Aldo-lah yang paling kaya. Ayah Aldo merupakan salah satu orang terkaya di negara ini. Jadi memberi hadiah mobil untuk Erlangga adalah hal yang kecil. "Kalau mobil itu, sepertinya masih ada di garasi," lirih Erlangga. Tatapannya sendu dan lurus ke depan. "Saat menyadari ini, kenapa lo tidak menghubungi Aldo dan Samuel? Aku yakin pasti mereka akan mengatakan yang sebenarnya." Mobil yang di setir oleh Farhan berbelok menuju sebuah kafe. "Gue kehilangan kontak mereka setelah kecelakaan." Erlangga masih pada posisi semula saat mobil sidah berada di halaman parkir. "Kita mampir dulu." Keduanya turun dari mobil dan masuk ke kafe itu. Di dalam, suasana cukup rame. Farhan memilih tempat duduk yang berada di sebuah ruangan. Ya, kafe ini juga memiliki konsep in–door seperti
Ratna muncul di depan pintu dengan napas yang terengah. Erlangga dapat mendengarnya. Secepat kilat, Erlangga menutup pena itu. Beruntung setelah mengambil penanya, Erlangga kembali meletakkan kotak beludru di laci dan menutupnya kembali. "Mama? Mama ngapain kemari?" tanya Erlangga seraya memasukkan pena itu ke sakunya. Ratna terus mengamati gerak Erlangga yang memasukkan pena ke saku. Hatinya lega saat melihatnya. Syukurlah hanya pena, gumanya dalam hati. "Ti–tidak, ta–tadi, Ma–ma, pergi ke rumah Susi," jawab Ratna gugup. Erlangga semakin mengerutkan kening. "Kenapa suara Mama tergagap?" "Ehh, tidak, tidak. Mungkin karena Mama barusan lari." Sembari mengatakan itu, Ratna masuk mendekat pada Erlangga. "Kenapa juga Mama harus lari? Sudah tahu umur tidak muda, nanti kalau terjadi sesuatu, 'kan Papa juga yang repot cari istri baru." Bughh! Spontan Ratna menabok mulut anaknya. "Dasar itu mulut!" "Jangan main tabok dong, Ma. Nanti kalau wajah Erlangga berubah menjadi seperti Lemi
Saat ini, matahari berada pada posisi dimana masih menyebarkan sinar yang pagi yang sejuk untuk bumi. Mobil Erlangga sudah berhenti di tempat parkir depan toko tanaman hias Sabrina. Setelah pintu mobil terbuka otomatis, Bulan langsung berlari keluar. "Mama… Mama Sabrina…." panggil gadis mungil itu berteriak. Matanya masih sembab dan masih mengeluarkan tetesan air mata. Berkali-kali gadis itu memanggil Sabrina. Akan tetapi, Sabrina masih menangis di kamar Tari. Jadi dia tidak mendengarnya. Luna yang sedang menyiram bunga terkejut melihat Bulan yang berlari sembari menangis. Dia mengira itu adalah Tari. "Mama Sabrina? Sejak kapan Neng Tari manggil mamanya 'Mama Sabrina'? Terus itu kapan ganti bajunya? Tadi 'kan sudah pakai dress, kapan ganti piyamanya?" Namun, Luna tidak berniat menghampirinya. Dia memilih melanjutkan menyiram bunga. Sementara Bela dan Ilham yang berada di dalam toko juga terkejut dan mengira itu Tari, tapi saat hendak buka suara, Bulan tidak menanggapinya. "Mam
Di ruang makan, Sabrina duduk berhadapan dengan Erlangga. Sementara Bulan bermain di kamar Tari sendirian. Tari dan Susi belum pulang. "Kamu tahu alasan Mama melakukan ini?" tanya Erlangga lirih seraya menatap mata Sabrina. Kedua tangannya menggenggam erat tangan Sabrina. Sesekali dia mencium punggung tangan Sabrina. "Aku tidak tahu pasti. Tetapi, Mama pernah bilang kalau beliau punya dendam dengan almarhum orangtuaku," jawab Sabrina yang juga menatap mata Erlangga. Tatapan mereka menyiratkan rindu yang sangat dalam. "Lalu, kenapa kamu lebih percaya padaku daripada dengan cerita Mama?" "Hati yang sudah lama terpaut, pasti akan tertarik kembali oleh benang yang menyatukan." ***"Tante,maaf ya jika menunggu lama. Aku baru saja selesai syuting. Huft, melelahkan sekali memiliki profesi seperti ini," ujar seorang wanita yang baru saja masuk ke ruangan privasi pada sebuah kafe, kepada seorang wanita paruh baya yang sudah berada di dalam. Wajah seukuran telapak tangan lelaki dewasa de
Sabrina berdiri dan menghampiri Tari. Bulan berada di samping Tari. "Sayang, kenapa kamu berbicara seperti itu?" "Kenapa? Tidak boleh? Kalian asyik bercengkrama dan mengungkap rindu tanpa aku. Jika aku tidak pulang, apa kalian akan mencariku?" Tari berkata sembari melipat kedua tangan di dada. Erlangga menggela napas dan berusaha menahan tawa melihat Tari yang merajuk. Padahal, Sabrina dan Bulan sedikit panik. Lalu Erlangga berjongkok di samping Sabrina dan menghadap Tari. Otomatis, Sabrina menggeser tubuhnya ke hadapan Bulan. "Sini peluk, Papa! Kamu tidak kangen sama Papa?" Tari bertahan pada sikapnya yang marah. "Maafkan, Papa, karena telah membuatmu hidup berdua dengan Mama. Ini semua salah Papa. Kamu mau 'kan memaafkan Papa?" Wajah Tari sedikit melunak. Tetapi dia masih bergeming. "Bagaimana kalau kita pergi ke pantai hari ini? Papa, Mama, Bulan dan Tari. Kita berempat. Mau?" "Horeee! Kita ke pantai!" sorak Bulan lalu melompat–lompat kegirangan. "Mau ya, Kak? Please!" tam
"Silahkan bilang saja pada Santoso! Aku tidak takut! Aku tidak sepertimu yang takut dengan kemiskinan!" Ratna menghentakkan kakinya, lalu keluar dari ruangan Fredy. Sementara Fredy mengacak rambutnya yang sedikit bercampur uban dengan kasar.Setelah Fredy mengatur napas dan mendongak ke atas. Pintu ruangan kembali terbuka. Seorang wanita memakai setelan kemeja dengan rok yang panjangnya di atas lutut masuk. Dia memeluk beberapa map. dokumen berwarna biru. Dandanannya natural dan terkesan sederhana namun elegan. "Tuan, maaf. Ini ada beberapa dokumen lagi yang harus di cek." Wanita itu bercicit ragu–ragu seraya menunduk. "Baiklah! Letakkan di atas meja." Usai menunaikan apa yang dipinta bosnya, wanita bernama Dewi itu berbalik dan keluar. Namun langkahnya terhenti saat tangannya sudah memegang knop pintu. "Tunggu!" Dewi berbalik, "Iya, Tuan? Ada hal yang lain?" "Kamu masih single 'kan?" tanya Fredy yang membuat Dewi tertegun. Sekaligus membuat wanita itu berpikir macam–macam.
Mata Dewi melebar dan tubuhnya mematung. Rasanya seperti tersengat listrik beberapa volt saat Fredy mengatakan itu. Otak Fredy juga sulit diajak kerja sama untuk saat ini. Dia tergoda dengan perempuan yang berada di depannya. Bibir ranum merah muda dengan polesan lipstick warna senada membuat naluri kelelakian Fredy ingin melahapnya. Setelah mengatakan itu, Fredy menegakkan kembali tubuhnya pada posisi kemudi. Lalu berdehem beberapa kali. Tanpa mereka ketahui, sebenarnya hati keduanya sama–sama berdebar tak karuan. "Maaf!" ujar Fredy setelah mobil melaju. Dewi diam dan masih menata degupan hati juga jantung. "Biar saya antar kamu pulang. Dimana alamat rumahmu?" "Komplek Escendol, nomor rumah 19, Tuan." Setelah itu, tidak ada perkataan lain yang meluncur dari bibir kedua manusia itu. Bahkan saat sampai di depan rumahnya, Dewi buru–buru turun tanpa mengucapkan terima kasih. "Astaga, Fredy! Apa yang sudah kamu lakukan?" Pria itu memukul stir cukup keras. Dia marah pada diriny