"Apa katamu?" Erlangga menyerengit. Dia tidak terlalu mendengar karena suara Bia sangat pelan. "Aku tadi mengucapkan semoga cinta kita bisa langgeng. Kenapa?" Bia mengira Erlangga tidak mendengar gumanannya yang samar. Jadi hatinya dag-dig-dug takut Erlangga benar-benar mendengar. "Benarkah?" "Memangnya kamu mendengar aku berkata apa?" Bia berusaha untuk tidak gugup. "Lupakan saja! Ayo kita mandi lalu makan. Aku yakin kamu pasti belum makan." Wanita itu bersyukurlah, Erlangga benar-benar tidak jelas mendengar. "Hum. Aku sangat lapar sekarang." ***Wajah Ratna memerah bak tomat menahan marah melihat putra dan menantunya, turun dari tangga bergandengan tangan dan bercengkrama. Tangannya yang berada di atas sofa terkepal erat hingga buku-buku tangan terlihat. "Selamat siang, Ma!" sapa Erlangga. Ratna kembali melipat koran yang dibaca setelah Bia dan Erlangga sudah di samping sofa. Wanita yang telah melahirkan Erlangga itu hanya menatap keduanya dengan wajah sinis tanpa senyum.
"Mama!" "Papa!" Teriak Tari dan Bukan secara bersamaan. Mereka berlari sembari merentangkan tangan pada Bia dan Erlangga. Meskipun baru pulang dari rumah sakit, kondisi Erlangga benar-benar sehat saat ini. Jadi dia memutuskan untuk menjemput kedua gadis kecilnya. Tentu saja dengan meminta bantuan sopir untuk menjemput. Erlangga dan Bia sama-sama berlutut untuk menyambut masing-masing putrinya. "Umm, ceria sekali dua putri Mama," ujar Bia yang mencium pipi Tari. Kemudian, Tari beralih memeluk Erlangga dan begitupun pada Bulan. Kembaran Tari itu ganti memeluk Bia. Erlangga membantu kedua gadis kecil itu masuk ke mobil sembari mereka bercerita tentang kegiatan di sekolah. "Ma, tadi Tari dapat bintang lima loh! Kata Bu Guru, hasil mewarnai Tari rapi dan bagus.""Bulan, juga! Bulan, juga! Bulan juga mendapat bintang lima. Bu Guru juga memuji gambar Bulan." "Benarkah? Karena kedua putri Papa mendapat nilai bagus, bagaimana kalau kita merayakannya?" sahut Erlangga yang antusias deng
"Mama, aku mohon jangan bawa putriku! Aku sanggup menghidupinya, Ma." Seorang wanita berparas memikat yang baru saja melahirkan bersimpuh dan memegang kaki wanita lain yang sedang menggendong seorang bayi perempuan baru lahir. "Jangan egois, kamu! Ini adalah balasan karena kamu telah merebut putraku," hardik wanita dengan usia yang dua kali lipat dengan usianya. Wanita paruh baya itu menghentakkan kakinya agar ibu dari bayi yang digendongnya melepaskan kakinya. Setelah lepas, dia pergi dengan cepat agar tidak bisa dikejar. "Ma…. Aku mohon…!" Ratna, mertua dari wanita yang baru saja melahirkan itu, sama sekali tidak menoleh. Kabar kematian anaknya–Erlangga Edward membuatnya tega memisahkan ibu dan bayi yang baru dilahirkan, yang tak lain adalah cucu dan menantunya. Bagaimana tidak, menantunya baru saja menyebabkan hilangnya satu generasi penerus dari dari Fredi Edward, pemilik perusahaan WANGS GOOD. Wanita bernama Sabrina yang sebelumnya berstatus sebagai istri sah dari Er
"Mas Erlang?!" Seketika Sabrina mematung dan larut dalam keterkejutannya. Tubuhnya terasa disengat ketika menyaksikan pria yang pernah memiki peran di kehidupannya. Wanita itu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin orang yang sudah mati bisa berdiri di hadapannya sekarang? Pria berambut hitam yang saat ini memakai jas lengkap itu melangkah mendekati mereka. Namun mata Sabrina masih tertuju di mana pria itu berdiri dan mengucap salam. "Ehh, Pak Erlangga dan Nak Bulan. Mari silahkan duduk!" sambut wanita sedikit subur itu yang kemudian berdiri dan menunjuk sofa yang di sebelah Sabrina dan Tari. Sabrina semakin terkesiap saat Bunda Asih menyebut pria itu dengan nama 'Erlangga'. "Nyonya, anda baik–baik saja?" Deg! Jantung Sabrina seakan hendak lari dari tempatnya saat mendengar suara itu. Wajahnya begitu pucat dan deru napasnya masih tak beraturan. "Eh, i–iya. Saya baik–baik saja," jawab Sabrina tergagap seraya menetralkan gemuruh dalam dada. Sabrina
Setelah selesai berbicara pada orang di seberang teleponnya, pria itu melajukan mobilnya. Sementara itu, Sabrina masih bercanda dengan Tari. "Iiihhh! Anak Mama sekarang sudah berani nyuekin Mama," ujarnya sembari menggelitik Tari. "Ampun, Ma! Ampun!" gelak Tari berusaha melepaskan diri. Cukup lama mereka bergurau dengan canda tawa. Kebahagiaan itu menular pada karyawan, sehinggga mereka ikut tersenyum. Seorang wanita yang mengenakan seragam putih berbalut cardigan juga tas kecil menaut pada lengan kirinya menghampiri mereka. Dia adalah Susi, seseorang yang membantu Sabrina selama ini. "Seru banget, ada apa sih?" tanya Susi dengan senyuman dan wajah tanda tanya. Sabrina dan Tari diam sejenak beralih menatap Susi. Kesempatan Tari untuk melepas diri dari pelukan ibunya yang di selingi gelitik. "Tante, tolong aku!" ujar Tari yang berlari menuju pelukan Susi sembari tertawa. Sabrina mengejar Tari. Akhirnya Susi pasrah karena Sabrina dan Tari mengelilinginya. "Mbak, ada ya
Lalu Ratna melihat Erlangga berdiri agak jauh di belakang Sabrina dan sedang tersenyum padanya. "Mama," panggil Erlangga seraya melambaikan tangan pada Ratna. Bergegas Ratna mengakhiri pembicaraannya dengan Sabrina sebelum Erlangga menghampirinya. "Ingat baik-baik, jangan pernah ganggu kehidupan Erlangga lagi." Bisikan yang terdengar lembut tapi mampu menusuk hati Sabrina hingga dalam dan terasa ngilu. Kemudian Erlangga menggandeng tangan Mamanya ke dokter spesialis langganan Ratna periksa kesehatan. "Mama mengenal wanita tadi?" tanya Erlang saat mereka berjalan di lorong. "Tidak. Mama tidak mengenalnya. Tadi secara tidak sengaja Mama menabraknya dan kami sedikit berbincang," jawab Ratna berbohong. "Memangnya kenapa?" Ratna bertanya lagi. "Tidak. Hanya tanya." Erlang tidak percaya dengan jawaban ibunya. Wajahnya sulit diartikan. Erlangga tahu jika Mamanya berbohong dan memilih tidak mengatakan kalau dia kenal dengan Sabrina. Tanpa berkatapun, Erlangga dapat melihat dari sorot
Kalimat Erlangga menggantung karena mendapat pelototan mata dari Sabrina. Wanita itu khawatir jika kedua anak gadis yang masih polos ini berpikir yang tidak–tidak. Tari dan Bulan juga sontak menoleh ke Erlangga saat dia mengatakan kata 'memeluk'. Tentu saja pemikiran keduanya tidak polos lagi. Mereka justru mengharapkan jika Sabrina dan Erlangga bersama. "Cieee, maksud Papa, Tante Sabrina meluk Papa ya?" goda Bulan dengan menyipitkan mata dan lengkungan senyum. "Mama suka sama Papanya Bulan ya?" Tari ikut–ikutan menggoda kedua orang dewasa itu. Pipi Sabrina memerah seperti kepiting rebus. Sedangkan Erlangga tersenyum canggung dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Kalian masih kecil, jangan berpikir yang tidak–tidak. Bulan, jangan dengarkan Papa kamu. Dan kamu Tari, jangan menggoda Mama lagi, atau Mama akan panggil dokter biar kamu disuntik lagi." ***Keesokan harinya, Tari sudah diperbolehkan pulang. Semalam, Susi datang menjenguk sekalian membawa baju ganti untuk Sabrina. S
Wanita berbadan ramping itu mendongakkan kepalanya untuk menatap langit. Lalu dia memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak–banyaknya. Saat matanya terpejam, muncul wajah Erlangga, Tari dan Bulan tersenyum kepadanya. "Aku harus bagaimana, Mas? Harus kah aku pergi jauh darimu, setelah mengetahui kalau kamu masih hidup?" "Kenapa pula kamu lupa ingatan?" Setelah dua hari berlalu, Sabrina sudah memikirkan matang–matang keputusan tentang Erlang. Saat ini juga, Tari sudah pergi ke sekolah. Gadis kecil itu benar–benar tak sabar untuk kembali ke sekolah. Padahal dia baru sehari masuk. "Bulan!" teriak Tari saat melihat Bulan turun dari mobil. Lalu Erlang juga turun setelah Bulan. Kedua orang yang usianya terpaut jauh itu menatap Tari dan Sabrina secara bergantian. Bulan menatap Sabrina sekilas lalu beralih pada Tari yang masih diperban bagian tangannya. Sementara Erlang, menatap Tari sekilas lalu menatap Sabrina dengan senyuman yang menawan. "Tari sudah sembuh?" tanya Erlan